[22] Insiden
"Calvino?" Suara heran dari Raquela menghentikan langkah lelaki yang tengah berjalan di belakang gadis itu.
"Ya?" Calvino bertanya setelah tersadar Raquela yang tadi berjalan di depannya, kini sudah berhenti melangkahkan kaki.
Calvino melihat sekeliling sejenak, ternyata hiruk pikuk pasar sama sekali tidak terdengar di telinganya barusan. Lelaki itu terkesiap ketika Raquela tiba-tiba berjalan cepat menujunya untuk bertanya satu pertanyaan yang membuat Calvino bingung. "Kau kenapa?"
"Aku?"
Raquela semakin tidak mengerti melihat kening Calvino mengernyit dan baru saja melontarkan pertanyaan balik.
Lelaki itu tidak sadar sejak tadi ia melamun? Bahkan celotehan Raquela saat mereka berjalan bersisian sebelumnya, mungkin hanya jadi angin lalu yang tidak terserap sama sekali di benak Calvino.
"Memangnya aku kenapa?"
Raquela menghela napas, lalu menggaruk pelipis sendiri. Ikutan bingung. "Apa kau sadar, kau terus melamun dari sejak kau menjemputku untuk pergi ke pasar bersama hari ini?"
Ya, hari ini akhir pekan dan sore harinya menjadi jadwal bagi seluruh junior pastry chef libur dari pekerjaan, lalu dibolehkan berjalan-jalan keluar.
Jika Jaycee dan Amy menghabiskan waktu dengan mengunjungi Imperial Library, perpustakaan nasional Sceybia, yang sedang menyelenggarakan festival buku, maka Raquela memutuskan jalan-jalan menyusuri pasar. Sebuah tempat yang ia sukai saat di Askor dulu. Karena tiap kali Bibi Ruth mengajaknya ke pasar, Raquela selalu bisa melihat-lihat bahan kue beraneka ragam di sana.
Tapi, hari ini.. ia tidak sendirian. Saat mengatakan pada Calvino bahwa dirinya akan mengunjungi pasar kota, lelaki itu meminta ikut. Wajahnya begitu memelas saat meminta, hingga Raquela tak kuasa menolak.
"Benarkah? Aku tampak begitu?"
Raquela mengangguk mantap, sebelum melesatkan cepat satu telunjuknya ke depan wajah Calvino.
"Jangan mencoba bohong padaku. Kau tidak tahu, selain membuat roti, aku juga punya kemampuan membaca ekspresi wajah?"
Calvino terkejut. "Oh ya?"
"Jawab saja pertanyaanku." Elak Raquela sembari mengibaskan tangan, tidak mau ketahuan bahwa dirinya baru saja membual. "Apa yang sedang kau pikirkan sampai fokusmu terpecah begitu? Apa kau sedang menghadapi masalah berat?"
"Sedikit."
"Oh, wow. Ini mengejutkan."
Dahi Calvino makin berkerut dalam saat melihat Raquela bergeleng-geleng tak percaya.
"Tidak kusangka lelaki kuat sepertimu juga punya masalah." sambung Raquela, mencipta tawa kecil Calvino yang mendengarnya.
"Aku juga manusia, Raa.."
Melihat Raquela menyengir, Calvino mendesah lega. Sikap blak-blakan dan ceria gadis itu ternyata cukup mampu mengenyahkan ketidaknyamanan yang ia rasakan akibat perbincangannya dengan sang ibu semalam.
"Kupikir kau titisan Dewa Hermes, Cal. Habis tampan sekali." Jika biasanya Calvino akan menanggapi keusilan Raquela dengan senyuman, kali ini ia tidak bisa menggerakkan bibir. Raquela baru saja memajukan tubuh, menatap Calvino dengan raut jahil. Masalahnya, mata, hidung, bahkan bibir gadis itu hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.
"Wa—wajahmu.." Calvino meneguk ludah. "ter—terlalu dekat."
Terkesiap, Raquela spontan memundurkan wajah. "Oh, maaf." Dalam hati ia berdoa, semoga Calvino tidak menganggapnya sebagai wanita genit. Terbiasa bersama selama beberapa kali, ia mulai merasa nyaman hingga bisa bersikap akrab pada Calvino.
"Jadi, apa kau ingin berbagi keluh kesah denganku?" Raquela bertanya kembali. Sementara Calvino hanya tersenyum menanggapi.
"Aku masih bisa mengatasinya sendiri."
"Baiklah." Raquela mengangguk. Sejujurnya ia tulus menawarkan bantuan pada Calvino. Bagaimana pun, kebaikan lelaki itu selama ini telah membuatnya menganggap Calvino benar-benar seorang teman. Bahkan.. sahabat?
Mungkin. Hanya saja, Raquela tidak henti-hentinya berharap jika lelaki itu juga tulus menganggapnya teman. Ketakutan akan pengkhianatan Laura di kehidupan lampau membuat Raquela dibayangi rasa takut yang masih sering datang selama beberapa waktu.
"Tapi, kalau suatu saat kau tidak bisa memendam masalah itu sendirian lagi, aku siap mendengarkanmu kapan pun."
Hanya dengan satu kalimat yang disertai garis senyuman secerah mentari yang membayangi wajah Raquela sekarang, Calvino merasakan satu respon berbeda yang tiba-tiba saja menerjang salah satu organ tubuhnya.
Kenapa.. jantungnya berdetak lebih cepat dari biasa?
Debaran itu bahkan semakin kencang ketika belum sempat ia mengucapkan terima kasih, Raquela sudah lebih dulu menarik pergelangan tangan kanannya untuk kemudian membawa Calvino menuju deretan pedagang kecil yang menjual empanada, makanan khas mediterania yang sudah lima tahun ini merambah dan berkembang dalam industri kuliner Sceybia.
*
"AROOON!"
Tangan Raquela hampir tremor saat seruan lantang itu terdengar bak angin topan dari arah barat paviliun. Hampir saja ia menumpahkan susu almond yang sedang dituangnya untuk Elisa, bocah kecil enam tahun yang merupakan cucu ratu Tamara. Bukan cucu dari Nacio atau Nagia, tapi cucu dari kakak kandung ratu yang Raquela lupa siapa namanya—padahal sudah disebutkan saat perkenalan tadi pagi.
Dan hari ini, sialnya mereka mengunjungi istana. Mengapa sial? Karena Raquela mendadak dijadikan babysitter cadangan oleh ratu ketika Raquela sedang menyuguhkan sarapan kudapan pada beliau pagi tadi. Alhasil, seharian ini Raquela sudah dirusuhi puluhan, tidak, ratusan kali dari bocah-bocah itu. Mulai dari menyuruh Raquela berpura-pura jadi ring basket, mengejar mereka yang punya kecepatan melebihi cahaya, sampai menemani mereka bermain lumpur-lumpuran di kebun kaca istana.
Ugh, kalau mengingat hal itu, rasanya Raquela ingin sekali memasukkan kedua bocah itu ke dalam karung untuk dilempar ke atas gunung.
Ah, Raquela lupa menyebutkan saudara kembar Elisa. Namanya Aron. Sosok setengah iblis yang sepertinya kini sedang mengibarkan bendera perang dengan Nagia, wanita yang baru saja berteriak.
"AWAS KAU, YA! MAU LARI KE MANA KAU, BOCAH TENGIK?" Wujud Nagia benar-benar muncul di paviliun, tapi sebelum itu, wujud menjengkelkan Aron sudah lebih dulu saat ia berderap cepat untuk kemudian bersembunyi di belakang Ratu Tamara sembari menyengir tanpa rasa bersalah.
Raquela menghela napas. Kesalahan apa lagi yang bocah itu perbuat? Boleh tidak, sih, Raquela ikat saja kaki si bocah lalu menggantungnya di pohon kelapa?
"Nagia, ada apa kau berteriak pagi-pagi begini?"
Bukannya menjawab pertanyaan ratu, tangis Nagia justru kembali pecah. "Lihat rambutku, Bu!" ujarnya kesal sambil menunjuki rambut panjangnya yang tersampir di bahu kiri. Raquela membeliak ketika mendapati gumpalan permen karet yang tampaknya sudah di kunyah menempel di rambut puteri Raja Lucian itu.
"Bocah nakal itu menempeli rambutku dengan permen karet saat aku tidur, Bu. Ini sama sekali tidak bisa dilepaskan lagiii. Aku harus apaaa?" Bak bertransformasi menjadi bocah juga, Nagia mendumel sembari menghentak-hentakkan kaki dan tangannya. Membuat Raquela bergeleng kecil tidak habis pikir dengan tingkah perempuan itu. Dibalik sosok angkuh yang selama ini Raquela kenali dari Nagia, ternyata adik Nacio itu bisa bersikap kekanakan seperti itu juga?
"Kenapa susah sekali, Bibi?" Pertanyaan Elisa yang diucapkan dengan penuh kesantaian mengalihkan semua perhatian orang dewasa padanya.
"Kau tahu cara melepaskannya dengan mudah, Elisa?"
"Tentu saja." Elisa mengedikkan bahu, menjawab pertanyaan ratu.
"Bibi Nagia potong saja rambutnya. Selesai."
Raquela terperangah. Entahlah seperti apa keterkejutan yang pasti muncul juga di wajah Ratu Tamara dan Nagia. Karena saat ini, Raquela lebih fokus memerhatikan takjub Elisa yang setelah menjawab tenang langsung menggigiti cookies-nya kembali.
"Bibi pasti akan sangat cantik bila punya rambut sependek paman Nacio." Tanpa rasa bersalah, Elisa kembali menyahut sebelum menikmati susu almondnya dengan tenang.
"ARGHH! KAU JUGA ELISA! AKU AKAN MENGURUNGMU DI KAMAR MANDI NANTI!"
Raquela mengernyit, ingin sekali meredam telinganya karena terus-menerus mendengar suara badai Nagia yang berdiri di sebelah.
Setelah menghela napas beberapa kali, Raquela akhirnya memberanikan diri untuk berkata pada Nagia yang kini sudah menangis lebih dramatis, meratapi nasib rambut indahnya lagi.
"Maaf, Yang Mulia Putri. Sebenarnya.. saya tahu cara lain."
Melihat tatapan tajam Nagia padanya, Raquela menunduk sedikit. Tangannya memegang erat-erat nampan yang ia dekap.
"I—itu juga kalau Tuan Putri mau menerima masukan dari saya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro