Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[21] Penerus Tahta

Harum roti yang menguar memanjakan indera penciuman Calvino begitu ia keluar dari kamar mandi sambil mengelap rambut basahnya dengan handuk. Setelah menggantung handuk di rak, lelaki itu berjalan menuju keranjang roti yang sore tadi Raquela berikan sebagai hadiah pertemanan untuknya. Lantaran harus menemui Raja Lucian, ia belum sempat menyicipi roti yang Raquela sebut croissant itu sama sekali.

Calvino mengambil satu croissant dan menggigit bagian ujungnya. Lelaki itu tersenyum saat rasa manis bercampur asinnya mentega, berpadu dengan selai cokelat yang meleleh begitu terasa di lidahnya. Tidak mengisi lambung dengan apa pun usai berlatih pedang sore tadi, membuat Calvino akhirnya menghabiskan setengah isi keranjang roti sendirian.

Ia tidak menyesal telah menolak untuk membagikan pemberian Raquela pada para bawahannya yang tadi sempat meminta croissant juga. Karena roti buatan Raquela memang benar-benar enak. Tidak heran gadis itu terpilih sebagai pastry chef di covey dovey yang terkenal selektif memilih pekerja dapur.

Lagipula, Croissant ini dibuat khusus untuknya, kan? Jadi sudah sewajarnya Calvino sendirian yang menghabiskan. Enak saja hadiah Raquela yang susah payah ia ajak berteman harus dibagi-bagikan pada orang lain.

"Calvino!" Seruan pertanyaan itu datang bersamaan dengan pintu kamar Calvino yang terjeblak membuka. Lelaki itu menoleh.

"Bagaimana?"

Calvino menghela napas mendengar pertanyaan tersebut. Ditatapnya seorang wanita bersanggul di hadapannya yang seperti biasa, selalu menggunakan pakaian modis bahkan ketika berada malam hari di rumahnya sendiri.

Wanita berpoles lipstik merah menyala itu berjalan mendekatinya sedikit terburu. Ia duduk di sofa yang sama dengan Calvino yang kembali mendesah kesekian kali.

"Bagaimana, Calvino?" Merasa tidak segera digubris, wanita lima puluh tahun itu menggoyang-goyangkan lengan kanan Calvino. Raut wajahnya tidak sabaran sekaligus antusias.

"Aku lelah, ibu." Segera, Calvino bangkit dari duduk.

Demi Tuhan, ia ingin sekali menghindari ibunya malam ini karena tahu hal pertama yang akan perempuan itu tanyakan begitu mengetahui bahwa kali ini, Calvino menginap di rumahnya-bukan di mansion istana-adalah..

"Calvino! Bisa-bisanya kau datang ke sini dan berkata lelah? Padahal kau tahu apa yang Ibu cemaskan dari tadi, kan?." Perempuan itu menarik napas sesaat untuk bersikap lebih tenang. Ia melipat kedua tangan di depan dada.

"Jadi bagaimana? Ayahmu mau menurunkan tahta untukmu, kan? Iya, kan?"

Calvino tertawa getir.

Benar. Hanya pembahasan tentang itu yang selalu keluar dari bibir perempuan yang telah melahirkannya. Segala perihal yang berhubungan dengan kenaikan tahta. Bukan untuk menanyakan kabar Calvino, atau menanyakan bagaimana suasana hati anaknya dalam menjalani hari. Selalu. Tidak pernah sekali pun terlepas dari perbincangan itu.

"Calvino! Ayo cepat katakan pada Ibu!"

Mengabaikan gerutuan Emmeline, ibunya, Calvino meraih keranjang roti di atas meja depan sofa, lalu membawanya ke atas nakas di samping ranjang tidur.

Ia bisa memakan rotinya kembali nanti setelah ibunya pergi, tapi sekarang.. Calvino bahkan tidak memiliki selera untuk mengunyah apa pun lagi ketika pembahasan yang paling ia hindari terlontar lagi dari Emmeline.

"Calvino! Apa kau tuli?"

"Ayah hanya bilang bahwa aku dan Nacio harus bersaing." Akhirnya Calvino menjawab datar, sebelum kemudian mendesah samar.

Ia sudah jujur dan berharap ibunya segera keluar dari kamar agar bisa segera beristirahat damai malam ini. Sungguh, Calvino sudah cukup lelah menerima perlakuan berbeda dari ayahnya sendiri saat pertemuan sore tadi. Perlakuan yang sungguh berbanding terbalik dengan apa yang Nacio dapatkan.

Sejak dulu, Nacio Alvaro Baldwin dan adiknya, Nagia, tidak hanya mendapatkan pujaan dari seluruh rakyat Sceybia. Tapi pengakuan dan kasih sayang seutuhnya dari seorang ayah kandung yang mencintai mereka. Berbeda dengan Calvino yang diacuhkan hanya karena ibunya bukanlah perempuan yang sang Raja cintai.

Menahan perih, Calvino mengerjap. Kedua tangannya yang membenarkan posisi keranjang di atas nakas meremat erat bambu keranjang untuk menyalurkan kebenciannya pada Lucian. Ayahnya sendiri yang entah kapan akan sadar bahwa Calvino juga anak kandungnya.

"APA?!" Suara menggelegar Emmeline membuat Calvino terkesiap. Lelaki itu menarik napas, berusaha keras menahan gelegak amarah yang mulai merambat ke permukaan.

Calvino harus sabar dan segera menyelesaikan permasalahan dengan ibunya sekarang, sehingga ia berbalik badan dan menghela napas saat menatap ibunya yang kini berderap cepat menuju padanya.

"Kau bilang apa barusan, Cal?" Suara Emmeline sarat tekanan.

"BERSAING?!" Perempuan itu tertawa sumbang setelah bertanya lagi dengan suara jauh lebih keras.

"Kegilaan macam apa ini?! Bisa-bisanya pria tua itu tetap saja mementingkan anak sialan-"

"Nacio juga anak ayah." Calvino memotong cepat. Menatap ibunya frustrasi. "Dia juga.." suaranya memelan lirih. "anak tirimu, Bu.."

Emmeline mendengus keras. Memancing dahi Calvino berkerut menatapinya. Sampai kapan ibunya akan terus seperti ini?

"Kau bercanda?" Ada nada ejekan dalam tiap kata Emmeline. Selalu begitu, setiap kali menyangkut perihal Nacio, ibu, atau adik Nacio, Emmeline selalu bertingkah demikian.

"Sejak kapan ibumu ini mengakui anak dari wanita jalang itu sebagai anak, hah?!"

"Ratu Tamara bukan wanita jalang, Bu!"

Emmeline terperangah, menatap anak semata wayangnya dengan mata membeliak lebar. "Sekarang kau bahkan membelanya? Kau anakku atau bukan, sih? Bisa-bisanya kau membela wanita sialan yang tidak tahu diri itu! Dia yang sudah merebut ayahmu dariku, Calvinooo.. sadarlah, Nak! Harus berapa kali ibu beritahu bahwa ibulah yang tersakiti karena wanita itu Seharusnya kau mendukung ibu, bukan dia!" Hardikan ibunya tidak sama sekali menggoyahkan Calvino untuk ikut membenci Ratu Tamara.

Satu-satunya keluarga inti kerajaan yang selalu menerima Calvino dengan hati lapang dan penuh tulus adalah Tamara Baldwin. Saking tulusnya, Calvino masih mengingat jelas bagaimana perempuan itu merawat dan merengkuh tubuhnya kala Calvino kecil menderita demam tinggi, di saat ibunya sendiri lebih memilih sibuk mengikuti pertemuan kalangan atas di luar kota. Bahkan tidak segera pulang menemuinya.

"Ratulah yang berkorban untuk ibu, suaminya, bahkan negeri ini. Dia yang merelakan hatinya disakiti dengan melihat Ibu menjadi istri kedua suaminya sendiri.." Calvino menjeda, menahan rasa sakit di hati yang kembali mengakar. "semua itu dia lakukan, hanya untuk menghasilkan keturunan raja dan membuat ibu tidak bunuh diri karena terus berharap bisa menjadi istri seorang raja!"

PLAK!

Calvino membeliak. Tamparan dari perempuan yang telah melahirkannya membuat hati ia jauh lebih sakit dari ketidakacuhan ayahnya sendiri. Tamparan itu menghantarkan gelombang sakit seolah ditusuk benda tajam ribuan kali di luka yang sama.

"Calvino!" Kembali, ibunya membentak.

"Ibu, cukup." pinta Calvino. Suaranya melirih. Wajahnya memelas. Sungguh, ia ingin tidur dan tidak mau melanjutkan lagi pertengkaran antara ibu dan anak ini.

"Seharusnya kau mendengarkan Ibu dari awal. Seharusnya Ibu bertindak cepat untuk menjauhkan wanita binal itu darimu. Dia pasti memberi pengaruh buruk untukmu!"

Itu tidak benar. Karena Calvino tahu jelas seperti apa Tamara. Satu-satunya orang yang menganggap Calvino tidak hanya sebagai seorang manusia, tapi juga seorang anak meski bukan darah dagingnya.

Calvino tahu jelas, bagaimana perempuan itu menangis dan meninta maaf karena Calvino kecil tidak disekolahkan oleh raja di sekolah elit yang Nacio dan Nagia masuki. Juga menangis kala Calvino terlibat pertengkaran dengan orang lain beberapa kali.

"Sudah berapa kali Ibu katakan, sebaik apa pun sikap perempuan itu di depanmu, itu hanya pura-pura semata, Calvino! Dia punya rencana agar terlihat baik di mata orang-orang, dan semuanya karena dia ingin nama anaknya semakin terangkat! Dia ingin Naciolah yang menjadi calon Raja, bukan dirimu!" Emmeline mengalihkan wajah, menatap jendela besar kamar Calvino yang memperlihatkan langit malam dengan jelas.

"Padahal perempuan kurang ajar itu tahu pasti bahwa keturunan pertama raja adalah kau. Kau yang seharusnya lebih pantas menjadi pewaris Sceybia! Bukan Nacio yang ia lahirkan setelah sepuluh tahun menikah dengan Lucian. Jangan-jangan, Nacio malah anaknya dari lelaki lain."

Calvino menghela napas lelah. "Kalau pun Nacio yang menjadi calon pewaris tahta, lalu kenapa, Bu?"

Memandangi anaknya tidak percaya, Emmeline berdesis mengucapkan kalimat dengan wajah penuh kebencian. "Sepertinya otakmu benar-benar sudah dicuci oleh wanita jalang itu, ya?"

"Jangan terus menghinanya, Bu! Kumohon!" Calvino mendesah frustrasi.

"Tidak bisakah Ibu juga berhenti menyuruhku menjadi Raja? Ibu tahu, aku tahu, bahkan seluruh orang di negeri ini tahu jelas bahwa Nacio Alvaro Baldwin adalah anak dari Raja dan Ratu Sceybia. Bukan sepertiku, yang hanya anak dari seorang selir dan terus-terusan dimanfaatkan ibunya sendiri untuk mencapai kekayaan-"

PLAK!

Dengan tangan bergetar, Calvino menyentuh pipi kirinya yang kembali mendapatkan tamparan kedua.

"JAGA MULUTMU! KAU BERANI MENENTANG IBUMU SENDIRI, HAH?"

Calvino memejam sesaat. Cukup. Ia sudah cukup diam.

Ia harus menyadarkan ibunya dari keinginan duniawi yang tidak akan pernah beliau dapatkan. Ia harus membuat ibunya sadar pada kenyataan dan tidak larut pada ilusi akibat keserakahan. Karena seburuk apa pun, Emmeline tetap ibu kandungnya. Seperti apa yang selalu Tamara beritahukan.

"Sejak dulu.." Calvin memberi penekanan di setiap kata. "aku tidak pernah menentang Ibu, kan? Tidak pernah sama sekali dan Ibu tahu itu dengan jelas! Aku bahkan menjauhi Nacio karena permintaanmu, aku juga tidak menjenguknya sama sekali saat dia hampir jatuh ke dalam jurang karena perbuatan Ibu! Aku.." Calvino menjeda untuk menarik napas yang sempat tercekat.

"aku bahkan melindungi perbuatan Ibu dulu yang pernah hampir mencelakai Nacio dari semua orang! Aku lakukan semua mau Ibu, hanya agar Ibu tidak mengganggu Nacio dan ibunya terus.

Aku terus berharap Ibu merasa cukup dengan semua kekayaan yang ibu dapat sebagai istri kedua raja. Cukup itu, Bu.. jadi, tidak bisakah ibu bersyukur dengan kehadiranku saja? Apa tidak bisa?"

"Dan kenapa harus aku yang berkorban untuk mencapai kekayaan itu? Ibu juga tahu bahwa aku tidak pernah memiliki keinginan menjadi raja."

Emmeline mendengus, lalu bergeleng dengan wajah angkuhnya yang biasa. "Kalau kau benar-benar melakukan kalimat terakhirmu tadi, Calvino.. maka jangan harap kau bisa melihat ibumu bernyawa lagi. Ingat itu baik-baik!"

Perempuan itu berbalik dengan amarah menggumpal dalam hati. Berjalan cepat hendak pergi daripada terus melanjutkan perdebatan tanpa guna ini. Tapi sebelum tangan kanannya menarik knop pintu kamar Calvino, ia berkata kembali tanpa melihat anaknya lagi.

"Ibu tidak peduli. Bagaimana pun caranya, kau harus bisa kalahkan Nacio! Kalau perlu bunuh dia agar kau lah yang menjadi Raja Sceybia selanjutnya. Karena kau anak lelaki pertama, sudah sepantasnya kau yang meneruskan tahta ayahmu. Jadi jangan pernah merasa bersalah dengan siapa pun."

Hari itu, harapan Calvino untuk bisa menghabiskan malam dengan tenang karena berhasil menjalin pertemanan baik dengan Raquela, lenyap. Hanya menyisakan perih teramat sangat karena sekian kalinya, tidak ada satu pun keluarga yang mengerti perasaannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro