[2] Laura
"Yang Mulia?"
Jika lelaki di hadapannya hanya terkesiap dan menoleh ke sumber suara, Raquela justru tersentak keras. Serta merta mendorong perlahan tubuhnya agar tertutupi semak-semak. Sungguh, ia takut keberadaannya diketahui.
"Yang Mulia sedang apa di sini?"
Pupil Raquela membesar, memperhatikan lebih seksama lelaki yang masih menjulang di hadapannya. Muda, mungkin berusia tujuh belas tahunan.
Yang Mulia? Apa dia.. anggota kerajaan?
Ketakutan hebat membayangi Raquela, tubuhnya bergetar hanya dengan memikirkan hukuman apa yang akan diberi padanya, jika sampai ia tertangkap dengan tuduhan mengganggu anggota kerajaan.
Raquela menggigit bibir. Pedang yang masih menancap tegak di tanah itu juga semakin membuat bulu kuduknya meremang.
"Bukankah aku menyuruh kalian hanya berjaga di luar pagar?" Suara dingin lelaki di hadapannya mengalihkan fokus Raquela pada lelaki tersebut.
"Aah.. maafkan kami, Yang Mulia. Kami memutuskan untuk berpatroli." Salah satu dari dua orang yang baru datang itu menjawab. Sepertinya mereka prajurit dan kini berdiri di balik semak-semak belukar di belakang Raquela.
"Dalam seminggu ini, sudah ada dua orang mata-mata dari Kerajaan Askor yang berhasil menyelusup di perbatasan kita. Baginda Raja berpesan agar kami terus berada di dekat Pangeran Nacio."
Gemuruh dalam dada Raquela bertambah parah mendengar kalimat barusan.
Pangeran? Penyusup? ASTAGA!
Raquela benar-benar masuk ke daratan Sceybia? Bagaimana bisa ia melewati perbatasan?
Di tengah kebingungan, Raquela ingin menangis saja saat matanya baru menangkap keberadaan sebuah plang nama yang jatuh ke tanah, berada di dekat pagar kayu yang tadi ia lewati. Sepertinya benda itu terhempas angin saat hujan.
"Hukuman apa yang diberikan untuk para penyusup itu?" Lelaki di hadapan Raquela bertanya lagi, melirik Raquela sekilas dengan tatapan datar yang demi apa pun, efeknya seolah mengelupas satu demi satu kulit tubuh Raquela.
"Kepala mereka ditebas."
Raquela terhenyak tanpa suara.
"Lalu jasadnya dibuang ke lautan."
Pupil Raquela bertembah lebar. Kali ini dia bahkan tidak bisa menelan ludah.
"Astaga! Kami sampai lupa. Barusan kami mendengar suara teriakan orang, Yang Mulia. Sepertinya itu penyusup."
"Benar, Yang Mulia! Tempatnya di sekitar sin—"
"Itu suaraku." Lelaki itu menyela cepat, menciptakan kerutan di kening Raquela.
"Eh? Ta—tapi tadi.. kedengarannya suara wanita."
"Haruskah aku menjelaskan semuanya pada kalian?" Lelaki bersepatu boots itu mencabut pedangnya dalam sepersekian detik. Terlampau cepat sampai Raquela terkesima. Jika tak ingat hari ini bisa saja nyawanya melayang, Raquela pasti sudah menatap takjub lebih lama.
"Tidak, Yang Mulia!"
"Kembalilah berjaga di luar. Aku bisa menjaga diriku sendiri."
"Baik!"
Raquela baru mengembuskan napas lega saat langkah para prajurit tadi mulai menjauh. Namun, napasnya kembali tercekat saat ujung pedang hampir menancap dagunya. Tatapan lelaki itu tak kalah tajam dari senjatanya sendiri.
"Kau dari Askor?"
Beberapa detik terlewati. Mungkin simpati melihat Raquela mematung, pedang itu dijauhkan kembali. Raquela akhirnya bisa bicara setelah susah payah menemukan suara. "Ma—maaf.. sa—saya hanya.. mencari kelinci tadi!" Mata Raquela membelalak kala hanya angin yang diangkatnya.
Ke mana kelinci di pangkuanku tadi? Kabur? Kapaaan? Kenapa aku tidak sadar?
Arggh!
Dasar kelinci tidak tahu balas budi! Malah kabur saat-saat genting begini?
"Ta—tadi.. kelincinya.. benar-benar di sini. Sa—saya bersumpah!" Hening melingkupi setelah Raquela membuka lebar-lebar kedua telapak tangannya untuk diperlihatkan. Saat menyadari mata memicing lelaki tadi, Raquela terkejut mendapati lumuran darah di sela jarinya sendiri.
"Kau membunuh kelinci?"
"Tidak!" Raquela bergeleng.
Dengan kemampuan bicara super cepat yang mendadak ia kuasai, Raquela menjelaskan dengan tatapan penuh permohonan ampun. "Ke—kelincinya terluka, saya obati, jauh-jauh saya ke sini lewat ilalang lewati lembah, demi si kelinci, saya juga tidak punya rencana menyusup apalagi membunuh anda sama sekali, sa—saya bahkan tidak tahu ini daerah Sceybia. Maaf..." lirihnya di ujung kalimat.
Hanya suara jangkrik yang kemudian terdengar, meski itu hanya dalam halusinasi Raquela semata. Tapi diamnya lelaki itu, membuat Raquela ingin sekali mengubur diri di tanah saking malunya.
"Pergilah."
Kepala Raquela yang semula menunduk lesu, terangkat cepat.
"Pergi sebelum mereka menemukanmu." Seolah menjelaskan kebingungan Raquela, lelaki itu berkata lagi. Suaranya tenang, namun sarat penegasan yang membuat tulang belulang di tubuh Raquela serasa akan retak.
"Aku tidak bisa menyelamatkanmu jika sampai kau tertangkap. Bila itu terjadi, bersiaplah. Organ tubuhmu akan benar-benar disebarkan ke lautan dan menjadi makanan ikan."
*
Eropa, Askor, 1933
"Namanya Pangeran Nacio. Dia putra kedua dari Raja Sceybia."
Gerakan tangan Raquela yang mengaduk teh terhenti. Kalimat Beatrix Morgan sukses mengalihkan perhatiannya dari teh earl grey di tangan, minuman yang sejak tadi lebih menarik minatnya ketimbang membahas kemewahan gaun yang sedang tren kala ini.
"Aku dengar dia sangat tampan dan cerdas. Buktinya dia jadi perwakilan Sceybia untuk menemui Raja Joel." Rose Caitlyn kali ini menimpali. Ia menghela napas, memangku dagu dengan kedua tangan. "Seandainya Askor dan Sceybia akur, pasti kita leluasa berkunjung ke wilayah mereka. Menyenangkan sekali jika bisa melihat Pangeran Nacio lebih dekat."
"Kalian tidak bosan membicarakannya terus?"
Perhatian semua orang terarah pada lelaki berambut kuning yang datang dari kejauhan. Raquela mendesah gusar, Henry Wattson adalah satu dari sekian anak bangsawan yang malas sekali untuk ia temui. Tapi, dia kakak lelaki Adeline—putri Viscount Wattson yang mengadakan jamuan sore ini.
"Bilang saja kau iri, kan, Henry." Adeline mencibir, menggelarkan tawa tertahan Henry yang kini mengambil kursi kosong tepat di sebelah Raquela. Sebelum bicara, lelaki itu sempat melirik remeh Raquela. Seperti biasa.
"Tidak ada yang bisa aku irikan dari dia, Adeline. Mungkin dia tampan, walau pasti tidak lebih tampan dariku. Tapi ketampanannya percuma saja jika keahlian bela diri dia masih kalah jauh, bahkan dari calon pengawal rendahan di kalangan kita!"
Raquela mendengus samar.
Meski sudah tujuh tahun berlalu, Raquela masih ingat jelas bagaimana keahlian lelaki yang belakangan ini baru diketahuinya bernama Nacio. Kedatangan Nacio mengunjungi Raja Askor sebulan lalu—entah untuk membicarakan apa—sudah melahirkan desas-desus ketampanan dan kecerdasannya yang menyeruak di kalangan istana hingga para bangsawan. Sedikit demi sedikit, kabar itu berhembus di telinga para rakyat, termasuk Raquela.
Jadi, kemampuan menggerakkan pedang seringan angin yang pernah Raquela lihat dulu, tidak mungkin dapat dikatakan lemah bela diri.
"Kalian tidak tahu, kan, dia sangat berbeda dari kakaknya sendiri? Kakaknya berhasil masuk anggota militer kerajaan lebih dulu daripada dia. Bahkan di usia muda! Wow!"
"Setidaknya Pangeran Nacio orang baik yang tidak suka menghabiskan waktu untuk bergunjing." ujar Raquela mendadak, memancing tatapan tajam Henry padanya. Raquela tahu perkataannya sangat tersirat sindiran. Tapi sungguh, ia tidak tahan mendengar penyelamatnya dulu diremehkan seperti tadi. Kalau pun kemampuan Pangeran Nacio masih kalah dari kakaknya sendiri, setidaknya dia sudah berusaha keras berlatih lebih baik, kan?
Beberapa detik tak ada yang merespon. Yang terdengar hanya kucuran susu panas dalam teko yang sedang Laura Catalina tuangkan di cangkir teh seduh miliknya sendiri. Hingga hardikan Henry membuat semua orang terkejut, kecuali Raquela.
"Kau menghinaku, Raquela?!"
"Aku tidak menyebutmu. Kau merasa?"
"Raquel, sudah.."
Raquela menghela samar. Melirik Laura yang menyentuh lengannya. Seperti biasa, perempuan berambut hitam itu berusaha menenangkan Raquela tiap kali kata-kata menyindir yang bisa Raquela utarakan. Sejak orang tuanya meninggal, Raquela terbiasa bersikap dingin pada siapa pun yang ia rasa bertingkah semena-mena dan sombong. Bila dulu gelar 'Viscount' milik ayahnya membatasi Raquela dalam menyuarakan pendapat, kali ini tidak lagi. Ia tidak suka bicara di belakang. Tapi, mereka yang tidak terima ucapan ceplas-ceplos saat dirinya menegur memang kerap marah padanya.
"Henry, tolong maafkan Raquela, ya. Dia tidak bermaksud menghinamu."
Raquela mendelik pada satu-satunya sahabat yang dia miliki, tak terima Laura memohon.
"Akan kumaafkan bila dia tidak ikut pesta teh ini." Jawab Henry
"Kebetulan aku juga tidak ingin berlama-lama melihat wajahmu lagi." sindir Raquela. Ia bangkit dari kursi dan membungkuk sopan pada Adeline, tuan rumah yang mengundangnya dalam pesta teh sore ini. Tidak, Laura yang memohon pada Adeline untuk mengundang dirinya.
"Maaf, Lady Adeline. Terima kasih atas jamuan anda. Tapi, saya mohon maaf karena harus berpamitan sebelum pesta usai."
Raquela tahu, tak ada satu pun di sini yang menginginkan kehadirannya. Karena itulah, Adeline hanya menggumam datar tanpa membalas tatapan.
"Laura, maaf.. aku baru ingat, aku harus menjemput roti pesanan Bibi Ruth di toko Sir Edwards. Aku pulang lebih dulu, ya." Raquela berbalik pergi, meninggalkan halaman luas yang dulu juga pernah dimilikinya di rumah lama, sebelum bangunan itu menjadi milik paman dan bibinya sekarang.
Dalam langkah kaki yang berjalan cepat, percakapan Laura dan yang lain masih bisa Raquela dengar. Entah mereka sengaja bicara keras atau memang diri mereka sendiri sesungguhnya bukanlah bangsawan dengan tutur krama yang baik, kecuali Laura tentunya.
"Bagaimana bisa kau sudi berteman dengan gadis seperti itu, Laura?"
"Iya, Laura. Orang baik dan lemah lembut sepertimu rasanya mustahil tahan berteman dengan gadis pembangkang seperti Raquela. Dia sangat menyebalkan."
"Tolong jangan menjelekkannya. Dia tetap sahabatku."
"Kalau bukan karena dirimu, aku tidak mau mengizinkannya ikut dalam perjamuan ini! Dia bahkan sudah tidak mendapatkan gelarnya lagi, tidak pantas berada di antara kita!"
Tidak apa bila mereka tak sudi berteman dengannya. Raquela hanya butuh seseorang yang tulus seperti Laura.
PS : Tetep aja, Back Sound bab kali ini lagu korea wkwk. Emang aku pecinta Asia wkwk. Ada yang bisa merekomendasikan lagu barat bertema best friend?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro