Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[17] 'Kau Lebih darinya'

"Lama-lama kakakku semakin aneh memilih orang. Bisa-bisanya dia memilih dirimu."

"Kurang-" Bibir Raquela sudah menganga hendak mengeluarkan sumpah serapah, tapi tangan Jaycee yag bergerak melebihi kecepatan cahaya, mampir menutupi mulutnya. Begitu melirik dan mengerti maksud kedap-kedip manja mata Jaycee, Raquela paham satu hal. Jaycee sedang memperingatinya untuk bersikap sopan pada keluarga kerajaan. Dari mana Jaycee tahu tentang Nagia? Padahal pastry chef yang kini menjadi temannya itu, baru menjalani hari pertama di Covey Dovey saat ini.

Tentu saja Jaycee tahu. Puteri Nagia Baldwin adalah perpaduan sempurna bersama Pangeran Nacio. Tidak hanya dari wajah yang sama-sama rupawan, kecerdasan saudara sekandung itu sangat terkenal, bahkan hingga menjadi desas-desus yang berkembang ilegal di Askor-membicarakan apa pun yang berhubungan dengan negara musuh, penduduk Askor beresiko ditangkap oleh prajurit Kerajaan Askor ketika itu.

Sebenarnya Calvino pun sama, mereka bertiga selalu menemani Raja di saat acara kerajaan berlangsung. Tapi dalam kehidupan sehari-sehari yang diliput oleh para wartawan, hanya Nagia dan Nacio yang sering melakukan kegiatan hiburan bersama. Terutama bersama Raja dan Ratu. Tidak dengan Calvino. Sejak di masa lalu, Raquela tahu betul bahwa anak kedua dan anak ketiga Raja Lucian itu tidak pernah akur dengan sang anak pertama, Calvino.

Dan Raquela sungguh tidak tahu apa alasannya. Sejak dulu ia menebak-nebak, tapi hanya sampai pada kesimpulan bahwa Nacio dan Nagia membenci Calvino yang merupakan anak Raja dengan perempuan lain.

"Lebih baik kau membiasakan diri untuk tidak bersikap kurang ajar di istana." ucapan Nagia yang penuh sarkas menyentak Raquela. Lamunannya tentang hubungan tiga kakak beradik buyar seketika saat sorot tajam Nagia mengintimidasinya.

"Aku tahu segala hal tentang sikapmu dari catatan para prajurit. Kau tidak punya teman dan tinggal di perkampungan kecil Askor, kan? Sekolahmu hanya sampai pendidikan menengah dan kau masuk dalam kategori tawanan Sceybia. Miris sekali. Aku yakin kau diterima di sini karena sahabat licikmu itu memohon-mohon pada Kakakku. Bisa-bisanya kalian memanfaatkan seorang pangeran."

"Sahabat?" Raquela tanpa sadar bertanya. Kenapa tiba-tiba Nagia menyinggung tentang sahabatnya? Maksudnya Laura?

Nagia berdecih dan melipat kedua tangannya di depan dada. Dagunya terangkat, memamerkan kuasa bahwa tidak ada satu pun dari ketiga pelayan di depannya yang bisa melawan dia. "Pantas saja pendidikanmu rendah, rupanya kau memang bodoh."

Raquela menggigit bibir cukup keras, berusaha menahan gelagak amarah yang siap meledak kapan saja. Nagia tidak pernah berubah, kata-katanya selalu saja ketus untuk orang yang tidak ia suka. Di masa lalu, puteri kerajaan itu membencinya karena sikap Raquela memang terkenal bar-bar dan pemberontak.

Nagia juga sempat memusuhi Laura yang dianggapnya tidak pantas bersanding dengan kakaknya yang sempurna, tapi kebaikan Laura membuat Nagia berubah pikiran dan beralih mendukung. Sementara pada Raquela, Nagia selalu menjadi singa betina yang siap menerkam hanya karena gosip-gosip yang menyematkan predikat 'perebut kekasih sahabat' dalam diri Raquela.

"Dengar, ya, Nona. Aku tidak peduli tentangmu, tapi aku tidak suka si Laura-Laura itu mendekati kakakku. Dia tidak cocok sama sekali menjadi penerus Ratu. Kakakku harus mendapatkan putri bangsawan. Ingat kata-kataku ini dan sampaikan pada sahabatmu itu." desis Nagia penuh penekanan. Ia sudah berbalik hendak pergi. Baru dua langkah, kakinya tertahan untuk kemudian membalikkan tubuhnya lagi dan menatap Raquela dengan sorot menusuk.

"Kau juga.. jika masih ingin berada di sini, jaga sikapmu. Jangan bertingkah layaknya orang utan yang tidak tahu adab. Kau mengerti?"

Dengan amarah yang menggumpal di hati, hingga kedua tangannya tanpa sadar mengepal di sisi tubuh, pada akhirnya Raquela hanya mampu diam dan membiarkan Nagia berjalan angkuh meninggalkannya, Jaycee, dan juga Amy yang sama-sama terkejut melihat tingkah putri bungsu sang Raja.

'Kau hanya gadis rendahan. Bisa-bisanya mengharapkan cinta kakakku, padahal Laura jauh lebih baik darimu!'

Raquela mengerjap. Bukan partikel debu yang terbawa angin dan baru saja menembus matanya hingga memberi rasa perih, yang kini membuat hati Raquela nyeri. Tapi ucapan Nagia di kehidupan lalu kembali menguak luka dalam itu. Sebenarnya, Raquela sudah terbiasa. Tapi, tetap saja ia merasa sedih ketika latar belakangnya direndahkan sekali lagi.

Di antara semilir angin yang berhembus menerpa kulit putihnya, Raquela bertanya-tanya, apa ia akan tetap dipandang rendah bila ayah dan ibunya masih ada di dunia? Apa semua orang akan selalu memihak Laura?

Bukan Nacio yang ia inginkan di kehidupan kali ini. Raquela hanya ingin diterima sebagai seorang manusia.

*

"Apa yang kau pikirkan?"

Raquela terkesiap. Saraf sensoriknya merasakan dingin teramat di bagian pipi bersamaan suara barusan, hingga ia spontan memegang pipi kanannya yang sedang ditempeli sebuah gelas berisi air dingin. Menelan ludah, gadis itu membeliak saat menyadari Calvino berdiri begitu dekat dengannya.

"Calvin-" Raquela segera menutup mulut saat menyadari kecerobohannya. Tidak seharusnya ia memanggil Calvino tanpa gelar kehormatan di dalam istana. Bisa-bisa, jika ada prajurit yang mendengar dan melaporkan sikap kurang ajarnya pada Nacio, ia bisa kembali dipenggal.

"Pangeran.. Calvino? Ke-kenapa anda bisa di sini?" Raquela bertanya, terbata.

"Ini kediamanku." Jawaban Calvino membuat Raquela mengerjap. Lelaki itu menjawab tepat, membuatnya meringis malu karena bisa-bisanya ia lupa tentang status derajat tinggi Calvino. Gadis yang kini sibuk membenahi topi putih berbentuk lebar dengan beberapa lipatan serta lebih pendek dari kebanyakan chef lain yang pernah Calvino lihat di istana itu, tidak menyadari Calvino sedang menatapnya takjub.

"Aku sudah menantikan kedatanganmu ke istana. Selamat datang di sini, ya. Kuharap kau betah menjadi seorang Pastry Chef."

"Ya, terima kasih." Raquela menjawab sekenanya. Ia tidak ingin terlibat pembicaraan lebih lama dengan Calvino sebenarnya. Bukan karena ia masih menghindari lelaki itu, hanya saja jam istirahatnya hampir selesai.

Setelah yakin topinya tidak berpotensi jatuh lagi karena tiupan angin ibukota Mosca yang belakangan hari ini berdesir cukup kencang, Raquela bersiap membuka mulut hendak berpamitan pada Nacio.

Tapi lelaki yang kini diam sedang menatapinya lamat-lamat itu membuat bibirnya serta-merta mengatup kembali. Garis senyuman Calvino tercetak nyata. Membuat Raquela canggung dan hanya bisa memilih berdeham untuk menyadarkan Calvino yang mungkin larut dalam lamunan.

"Kenapa?" Raquela bertanya.

"Apanya?" Calvino balik melontarkan tanya.

Raquela mengangkat satu alisnya. "Kau tidak ingin pergi?"

Mendengar pertanyaan itu, raut Calvino berubah lesu. Entah kenapa sedikit menggemaskan. Tapi, Raquela langsung menepuk pelipisnya sendiri kuat-kuat untuk mengenyahkan pemikiran itu.

Matanya memang pantang sekali melihat lelaki tampan. Tidak, tidak. Raquela sudah bertekad untuk tobat mata, tobat mulut, pokoknya tobat-tobat semua organ tubuh yang bisa memancing kesalahan tindakan lah.

Desahan Calvino menyentak Raquela. Kening gadis itu mengerut mendapati bahu tegap Calvino merosot terang-terangan.

"Benar, aku memang harus pergi. Ada rapat parlemen yang harus kuhadiri sebentar lagi. Sayang sekali."
Raquela mengangguk-angguk. Pura-pura prihatin menatap Calvino yang kini memandangi sedih gelas kaca di atas pahanya yang ia pegang dengan tangan kanan.

"Tadi aku begitu bersemangat menemuimu di dapur, pura-pura minta segelas air pada seorang chef agar aku bisa melihatmu, tapi mereka bilang kalau kau tengah istirahat di taman tengah. Makanya, aku menyusul ke mari. Seandainya aku lupa pada tugasku, aku bisa di sini lebih lama bersamamu. Tapi kau malah bantu membuatku ingat pada tugas."

Raquela menganga. Pria di sebelahnya ini sedang mengeluh, ya? Dan kalimat menggelikan apa itu tadi?

Bisa bersama Raquela lebih lama?!

Heh! Tidak sadarkah Calvino, dirinyalah yang menebas leher Raquela dulu?

Raquela menggigit bibir, mencoba menahan alunan indah untuk memaki seseorang yang bisa saja akan meledak jika Calvino menyenggolnya sekali lagi.

"Aku juga sedih, sih. Tapi mau bagaimana lagi, aku juga harus segera bekerja, Cal." ujar Raquela setelah berhasil menahan kesal.

"Cal?" Kepala Calvino berputar cepat ke arah Raquela.

Raquela mengangguk mantap. "Cal." Ada yang salah dengan ucapannya?

"Kau..." Raquela kebingungan saat tiba-tiba Calvino menggeser duduknya lebih dekat. "memanggilku Cal barusan?"

"I-iya. Itu panggilanku untukmu. Nama Calvino terlalu panjang. Aku singkat saja tidak apa-apa, ya? Tidak bolehkah?"

Gelengan kepala Nacio kuat-kuat membuat Raquela tertegun. Pria itu tampak begitu semangat.

"Boleh sekali! Aku suka pangilan itu. Kalau begitu, apa aku bisa memanggilmu dengan.."

"Raa saja, kau bisa memanggilku Raa.."

Demi apa pun, Raquela sungguh berharap pembicaraan ini selesai. Raquela takut jika Nagia mendapatinya tengah duduk di satu bangku yang sama dengan Calvino, gadis itu bisa kembali menjadikannya bahan hinaan.

"Sahabatku sering memanggilku dengan panggilan itu." sambung Raquela lagi meenjelaskan.

"Sahabat?"

"Laura, gadis yang pernah kau lihat bersamaku di gedung tawanan tempo hari. Dia sahabatku."

Meski sempat mengernyit, bibir Calvino membentuk huruf 'O' pada akhirnya. "Aah, dia.."

"Ya, Laura.." Raquela tertawa paksa. Tangan kanannya bergerak-gerak menepuk kecil paha, sebagai alih menetralisir rasa tidak nyaman.

Bagaimana pun, ia harus membiasakan diri berteman dengan Calvino. Sesuai janjinya. "gadis yang cantik itu, lho."
Melihat Calvino diam, tidak mengukir senyuman setipis apa pun, Raquela bertanya kemudian. "Kenapa kau diam?"

"Tidak.." Calvino bergeleng. Menatapi gelas yang dipegangnya lagi. Kali ini, senyum yang jauh lebih lebar lelaki itu ukir sebelum berkata, "aku hanya sedang berpikir sesuatu yang penting."

"Tentang?"

"Tentang kau yang juga cantik. Sahabatmu memang cantik. Tapi menurutku, kau jauh lebih cantik dari dia." Calvino menunda ucapan untuk memandangi Raquela kembali. "Apa kau pernah mengakui kecantikanmu sendiri, Raa? Atau kau tidak pernah menyadarinya?"

Raquela terhenyak. Raut polos tanpa dosa Calvino yang mungkin tidak sadar dirinya baru saja memberikan gombalan menggelikan pada seorang gadis perawan, membuat Raquela mendesah pasrah.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro