Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[15] Perkataan Berarti

"Aku serius dengan ucapanku."

Raut tegas dan suara penuh keyakinan yang meluncur mulus dari bibir Calvino membuat Raquela menghela napas—kesekian kali. Belum juga rasa kesalnya hilang lantaran Laura yang tiba-tiba menjelma jadi bocah patuh saat Calvino meminta kesediaannya tadi untuk meninggalkan Calvino dan Raquela berdua saja, kini ucapan lelaki bertubuh tegap yang hari mengenakan pakaian lebih santai—tidak memakai seragam militernya— memancing denyutan di kepala Raquela.

"Ma—maaf, Pangeran.. tapi.." Raquela menunduk, menatap sepatu lusuhnya lebih menarik untuk dilakukan dibanding menatap wajah Calvino. Sejak mereka bicara berdua di teras gedung, mata abu-abu lelaki itu setia memberikan sorot harap yang sejujurnya membuat Raquela risih.

Sungguh, keinginan Raquela di kehidupan kedua ini hanyalah memperbaiki hubungannya dan Laura, membuat Laura lupa pada dendamnya dan jatuh cinta sepenuhnya pada Nacio hingga mereka berdua bisa berakhir bersama, serta sebisa mungkin menghindari Calvino yang pernah menebas lehernya dulu. Agar tidak ada secelah pun kemungkinan masalah yang Raquela timbulkan dan mengundang amarah saudara tiri Nacio itu.

"Maksud saya.. saya hanya bingung.." Raquela menunda ucapannya dan mendongak. Kembali menatap Calvino. "ke—kenapa pangeran tiba-tiba mau saya menjadi teman pangeran?"

"Karena kau sudah menolongku."

Kedua alis Raquela hampir menyatu. Cuku terkejut. "Hanya karena itu?"

Suara Raquela yang bersarat tidak percaya mengerutkan kening Calvino. "Hanya?" Entah kenapa, ia sedikit tidak senang menyadari bahwa Raquela tidak menganggap pertolongan yang pernah gadis itu berikan untuknya, adalah sesuatu yang berarti. Padahal, setelah hari itu, wujud Raquela tidak pernah berhenti terbersit dalam pikiran Calvino. Selalu. Bahkan ketika ia berlatih senjata dengan anak buahnya di markas Les Titans, untuk pertama kalinya Calvino lengah dan hampir mendapat cedera karena peluru yang dilesakkan oleh bawahan yang menjadi partner latihannya mengenai sedikit bahu Calvino hingga berdarah. Untung tidak parah.

Sekarang reaksi Raquela jauh lebih parah dari apa yang Calvino harapkan. Calvino pikir, ia dan Raquela bisa menjadi teman. Teman perempuan pertamanya.

"Padahal...,"

Kening Raquela berkerut samar mendengar lirihnya suara Calvino. Kemudian, serasa ada sebongkah batu besar yang mengganjal di kerongkongan Raquela hingga ia merasa sulit bernapas ketika Calvino kini menatapinya lekat-lekat.

Masalahnya... iris lelaki itu mencerminkan satu hal yang sama dengan sorot mata raquela bertahun-tahun lama. Sebelum ia menjadi rakyat Sceybia. Ketika, Raquela selalu berharap ada yang bersedia berteman tulus dengannya. Tidak mengacuhkannya karena ia hanyalah seorang anak yatim piatu yang hidup di pinggiran kota kecil di Askor. Pancaran pengharapan yang bercampur padu dengan jiwa kesepian dan ingin direngkuh.

"padahal selama aku hidup, tidak pernah ada seorang pun yang menanyakan kesanggupanku melakukan sesuatu." ujar Calvino pelan. Raquela menelan ludah. Cemas. Wajahnya sedikit menunduk, tidak berani memandangi Calvino.

"Mak—Maksudnya?" tanya Raquela.

"Saat aku terluka hari itu, kau sempat bertanya apa aku sanggup berjalan, kan?"

Raquela menengadah cepat. Sampai ia meringis kecil mendengar bunyi sendi lehernya sendiri karena terlalu semangat menggerakkan kepala.

Tapi, sumpah, Raquela benar-benar tidak mengerti dengan pemikiran Calvino. Seorang anggota militer seperti Calvino seharusnya sudah terbiasa dilatih keras agar tidak mudah sedih sekalipun perang merenggut nyawa ratusan orang di hadapannya, tapi kenapa sekarang sikap lelaki itu jadi mendadak dramatis begini.

"Mungkin akan terdengar aneh. Tapi pertanyaan itu selalu terngiang di benakku. Kalimatmu..., berdampak besar untukku. Kau orang pertama yang menanyakan kesanggupanku. Bukannya memaksaku untuk melakukan sesuatu sesuai maumu. Sampai aku yakin, bahwa aku ingin kau menjadi temanku."

Tidak ada jawaban. Hanya embusan angin sore yang menerpa kulit sedikit membisiki indera pendengar mereka. Raquela kehilangan kata-kata. Dia tidak tahu ucapannya yang begitu sederhana ditanggapi seberarti itu oleh Calvino, pria yang pernah merenggut nyawa Raquela.

"Nona Raquela Agatha, aku mohon. Tolong izinkan aku menjadi temanmu. Aku ingin membantumu saat kau membutuhkan sesuatu, seperti kau yang pernah membantuku." Calvino lanjut bicara. Tapi, Raquela merasa seluruh kosakata yang ia kuasai tiba-tiba hilang dalam kamus otaknya.

"Ta—tapi, saya hanya seorang tawanan..." Raquela masih berusaha menawar agar Calvino membatalkan niatnya.

"Jika Nacio bisa berteman dengan seorang tawanan, mengapa aku tidak bisa?"

Ucapan Calvino yang menyela perkataannya, membuat Raquela membeliak. Jangan-jangan, Calvino sedang berlomba melakukan sesuatu yang sudah Nacio lakukan? Kedua kakak beradik itu memang selalu bersaing di kehidupan dulu.

"Pangeran ingin melakukan sesuatu yang Pangeran Nacio sudah lakukan? Dan objeknya adalah saya?"

Seolah tersadar, Calvino terkesiap sebelum menggeleng cepat. Kedua tangannya bahkan bergerak-geleng di depan dada. "Ti—tidak, bukan itu maksudku."

Raquela memicingkan mata. Sebenarnya ia berpura-pura terus menatap Calvino dengan ekspresi curiga. Tindakan lelaki itu polos sekali, bagaimana bisa seorang pangeran kerajaan, bahkan jenderal di sebuah angkatan militer negara, bersikap semenggemaskan ini?

Tunggu dulu! Menggemaskan?

Raquela sedang sibuk mengetuk dahinya sendiri saat Calvino—yang meski merasa heran melihat tindakan aneh Raquela—melanjutkan ucapannya dengan penuh keyakinan.

"Aku hanya ingin memberitahumu bahwa seorang pangeran di Sceybia pun bisa berteman dengan rakyat biasa. Lagipula, menjadi tawanan perang bukanlah sebuah dosa, kan?"

"Tetap saja.. Pangeran pasti tidak akan betah berteman denganku."

"Aku tidak keberatan dengan semua kekuranganmu."

'Oh, Tuhan!' Raquela berseru dalam hati. Ia tertawa miris. Setidaknya Calvino tidak perlu menjelaskan sefrontal itu juga, kan, bahwa Raquela pasti memiliki kekurangan? Bagaimana kalau ada yang lewat dan mendengar percakapan mereka?

Raquela menggigit bibir. Bingung. Dia tidak tahu harus bertindak bagaimana. Sesungguhnya, ia kasihan dengan Calvino yang sampai memohon seperti barusan. Tapi, jika mereka berteman, itu artinya intensitas pertemuan mereka akan lebih banyak. Sungguh itu bukan keputusan yang tepat mengingat lelaki itu lah yang membunuhnya dulu atas perintah Nacio.

Tapi, kalau dipikir-pikir.. apa yang terjadi hari ini benar-benar membingungkan. Calvino yang jarang memandangi Laura, hanya berkomunikasi biasa saja pada teman Raquela itu, dan sekarang Calvino tak berhenti memintai Raquela agar bersedia berteman dengannya?!

Raquela mengurut pelipis, denyutan di kepalanya mulai merambah semakin parah. Hingga ketika Calvino memanggili namanya lebih dari sekali, Raquela tidak kuasa menolak lagi.

"Baiklah." Jawab Raquela yang langsung menerbitkan senyum lebar Calvino.

Apa keputusan Raquela salah?

Tapi.. rasanya tidak adil jika Raquela hanya menganggap Calvino tetap memiliki niat yang sama untuk membunuhnya, padahal Raquela memberikan kesempatan bagi Laura untuk memperbaiki diri, kan?

"Kau benar-benar mau berteman denganku, kan?"

Raquela mengangguk lemas. Tapi dengan sekuat tenaga ia mengulurkan tangan kanannya ke arah Calvino. "Mari kita berteman, Pangeran Calvino." ucapnya, memaksa seulas senyum.

"Calvino." Calvino menjabat tangan Raquela dengan wajah girang yang membuat Raquela takjub. Sesederhana itu membuat Calvino tersenyum lebar? Padahal di masa lalu, pria itu hampir tidak pernah menunjukkan senyumnya di hadapan Raquela.

"Biasakan untuk memanggilku begitu, ya. Kecuali saat pertemuan resmi, kau boleh memanggilku Pangeran Calvino. Ah, apa aku juga boleh memanggilmu 'Raquel' saja?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro