[13] Pemintaan Raquela
"Raa.. kau senang, kan?" Suara lembut Laura membuat Raquela yang sedang memikirkan Bibi Ruth terkesiap hingga menoleh kaget.
"Kau harus berterima kasih padaku karena akulah yang meminta pada Nacio agar kau bisa dipekerjakan di dapur roti istana." Laura bicara dengan raut penuh gembira. Dia sudah bereaksi seperti itu sejak menemui Raquela satu jam lalu.
"Aku bilang padanya kau punya bakat terpendam, lho!" ujar Laura lagi, mengenyampingkan wajah untuk menatap semangat pada Raquela yang sedang galau.
Bagaimana tidak galau? Sejak beberapa menit lalu, Raquela sudah mengatur segala macam cara untuk membebaskan Bibi Ruth dari penetapan status 'budak' untuk salah satu bangsawan Sceybia. Kebahagiaan Raquela karena bisa bertemu Bibi Ruth lagi setelah sekian lama pisah akibat insiden penembakan, terkikis begitu saja saat Nacio menyebutkan nama bibi asuhnya itu dalam daftar budak.
Sungguh, Raquela tidak mengerti. Bibi Ruth punya kehandalan besar dalam memasak. Seharusnya dia bisa saja dipekerjakan di industri jasa boga atau di dapur istana. Apakah Bibi Ruth masih memberontak terhadap perang? Ah, andai saja mereka punya kesempatan bicara berdua, Raquela pasti akan meyakinkan Bibi Ruth untuk menerima kekalahan Askor dan mulai menjalani hidup tenang di Sceybia.
"Ya, terima kasih." Raquela akhirnya menjawab lirih, setelah sebelumnya menghela napas dengan fokus mata terarah datar pada Laura.
"Tapi, tidak apa-apa, kan, kau harus melewati kompetisi ujian masuknya lebih dulu agar bisa bekerja di sana?"
Sekali lagi, Raquela memandangi Laura dengan garis mata dan bibir yang tidak saling tertarik sama sekali-datar. Sahabatnya itu baru saja muncul kembali setelah satu hari kemarin pergi entah ke mana bersama Nacio. Kedekatan mereka semakin marak terdengar, menjadi bahan obrolan bisik-bisik setiap orang. Tidak hanya para tawanan yang kini sudah mempunyai status masing-masing, tetapi juga para prajurit serta para dayang istana yang bertugas di gedung tawanan.
Sampai saat ini, Laura selalu melabeli status 'teman' untuk hubungannya dan Nacio. Begitulah jawabannya atas pertanyaan orang-orang yang sungguh tidak sanggup lagi hanya menduga-duga saja jalinan kedekatannya dan calon pewaris Kerajaan Sceybia itu.
Tampaknya Laura juga sudah menerima kenyataan untuk tetap meneruskan hidup sebagai rakyat Sceybia. Terbukti dari bagaimana riangnya gadis itu tiap kali menceritakan keindahan negeri ini pada Raquela. Meski tetap saja, rasanya sulit bagi Raquela mempercayai Laura sepenuhnya.
Raquela takut, Laura hanya terlalu pintar menyembunyikan dendam. Dendam yang hingga sekarang pun, Raquela tidak tahu apa alasannya. Satu yang pasti, perubahan sikap gembira Laura kali ini jauh lebih besar bila dibanding sikap gembiranya di kehidupan lalu saat awal-awal ia dekat dengan Nacio.
"Tidak." Raquela menggeleng. Tersenyum. "Aku justru senang, karena aku bisa masuk tanpa harus menggunakan orang dalam." ujarnya lagi dengan wajah sok bijak yang memancing decakan kecil Laura.
"Kau persis Nacio, Raa. Tidak mau menyalahgunakan jabatan sama sekali untuk mencapai kesuksesan."
Raquela tertawa hambar. Dia Ingin sekali menyudahi percakapan di taman belakang bersama Laura sekarang.
"Pokoknya kau harus bersiap, ya!" Lamunan Raquela buyar total saat tepukan cukup keras mampir di bahu kanannya. Ditatapnya si pemilik tangan yang sudah meninggalkan sedikit rasa nyeri di kulit bahunya itu. Laura, yang kini hanya mengulas senyum cerah.
"Ujiannya lusa. Nacio bilang, nanti dia akan mengirimkan prajuritnya untuk mengantarmu ke lokasi ujian."
"Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri." Tolak Raquela cepat.
"Memang kau tau di mana lokasinya?" Nada kaget yang tersirat dalam suara Laura menghentikan langkah Raquela. Jika terus begini, mereka bisa semakin lama menyibukkan diri dengan kegiatan berjalan-jalan di taman belakang.
"Te-tentu saja... aku bisa bertanya pada orang di jalan, kan? Hehe," Raquela memaki dirinya sendiri dalam hati. Tawa hambarnya kembali diperlihatkan hanya karena kecerobohonnya sendiri.
Tadinya ia begitu percaya diri hendak memberitahu Laura bahwa dirinya memang sudah tau di mana lokasi ujian penyaringan untuk baker istana. Bahkan begitu hafal namanya. The Royal Botanical Gardens. Karena dulu, di sanalah Raquela juga mengikuti ujian hingga akhirnya bisa dipekerjakan sebagai baker istana Kerajaan Sceybia.
"Ooh.." Bibir Laura membentuk huruf 'O' panjang. "Tapi, aku takut kau terlambat jika sampai tersesat. Terima saja bantuan Nacio, ya?"
Wajah memelas Laura akhirnya membuat Raquela menghela napas. "Baiklah." jawabnya kemudian.
"Bagus." Laura bertepuk tangan sekali. Dia ikut berjalan lagi saat melihat Raquela lanjut melangkah, mengitari taman yang dipenuhi ratusan bunga krisan dan mawar.
"Semangat, ya. Aku akan mendukungmu, Raa. Aku yakin kau pasti bisa lolos. Lalu kita berdua akan menetap di Mosca bersama. Wah, membayangkannya saja aku sudah senang sekali!" tutur Laura, raut wajah dan sikap tubuhnya sangat menunjukkan kebahagiaan.
Satu alis Raquela naik, menatap Laura bingung. "Mosca?"
Laura mengangguk. "Ibukota Sceybia. Nacio selalu memberitahuku bahwa daerah itu saaangat indah. Aku juga sudah menyaksikannya sendiri kemarin."
"Woaah," Raquela berdecak dan pura-pura sebal dengan melipat kedua tangannya di dada. "Sepertinya kalian sudah begitu dekat sampai pergi berdua."
Laura tidak menjawab. Tapi, senyuman lebarnya mencerminkan jelas bahwa pernyataan Raquela tepat adanya.
"Ah, aku punya satu informasi lagi, Raa. Aku diterima di perusahaan farmasi terbesar di Sceybia, lho! Nacio membantuku mengirimkan biografiku di Askor dulu ke perusahaan itu, dan ternyata diterima! Aku senang sekali! Kau tau? Aku bahkan masuk di divisi riset dan pengembangan produknya! Impianku sekaliii!"
"Selamat kalau begitu." ujar Raquela tulus. "Jadi itu alasannya kemarin kau menghilang dan pergi bersama si kunyuk-" Saat sadar pengucapannya salah, Raquela segera meralat sembari mengibaskan satu tangannya di depan wajah. Pura-pura tidak menyadari ekspresi bingung Laura.
"maksudku, bersama Pangeran Nacio. Kau pergi bersamanya ke Mosca?"
Melihat senyum malu-malu Laura, Raquela hanya bisa mengarahkan bola mata ke atas beberapa saat.
"Iya."
Jawaban sang teman membuat Raquela mengangguk-angguk paham.
"Aku senang jika kau senang." ungkap Raquela jujur.
Laura tersenyum. "Terima kasih, Raa."
Selama beberapa detik, keduanya saling berdiam dengan gerakan kaki yang terus berjalan. Menikmati semilir angin sore hari yang mungkin hanya tinggal beberapa hari lagi bisa mereka rasakan di gedung ini. Hingga tiba-tiba, Raquela memutuskan untuk mengutarakan sesuatu yang sempat mengganjal di hatinya sejak tadi.
"Laura.."
"Hmm?" Laura menjawab tanpa menolehkan wajah.
"Kau tidak membencinya lagi? Pangeran Nacio."
Laura melambatkan langkah, kaki Raquela juga ikut bergerak pelan.
"Kau benar, Raa. Aku hanya belum mengenal Nacio lebih dekat. Ternyata dia orang yang sangat baik."
Meski sempat tertegun dengan senyuman terlampau lebar yang Laura lakukan saat memuji Nacio barusan, Raquela berusaha bersikap setenang mungkin.
"Aish, sekarang kau bahkan memanggilnya tanpa embel-embel 'Pangeran'." Raquela tertawa menggoda. "Awas, lho, kalau ada yang dengar kau bisa dipenggal."
"Tidak akan." Laura menggeleng. Senyum manisnya terukir. "Nacio sudah sering membiarkanku menyapanya dengan nama saja di hadapan para prajurit."
"Ck, sombong sekali, ya?"
Tawa kecil Laura mengudara. "Aku bercanda. Nacio sendiri yang memintaku memanggilinya begitu. Tapi di hadapan orang lain, sebisa mungkin aku tetap memanggilnya 'Pangeran', sih.."
Raquela mengangguk-angguk sok paham. "Sepertinya kau sangat menyukai dia."
"Terlalu kentara, ya?"
Sialnya, ada satu denyutan tanpa diundang yang menghampiri jantung Raquela. Berusaha keras meyakinkan diri sendiri bahwa ia tidak merasa cemburu sama sekali, Raquela hanya bisa tersenyum menanggapi Laura yang memandanginya malu-malu.
"Apa perasaanku salah, Raa?"
Menekan setitik perih di dada yang benci untuk Raquela akui, Raquela bergeleng tegas dan menjawab dengan suara yang sebisa mungkin terdengar santai. "Kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa, kan? Jadi, ikuti saja kata hatimu. Jika dia menyukaimu juga, kalian harus berjuang bersama bagaimana pun halangannya. Tapi.."
Laura sudah benar-benar menghentikan langkahnya. Dia mengenyampingkan tubuh untuk menghadap Raquela yang berjuang menepis satu rasa yang dulu selalu ia rasakan menggebu-gebu untuk Nacio. Perasaan yang Raquela tahu jelas, harus ia hapus seutuhnya di kehidupan sekarang untuk bisa membuat semua orang tetap bertahan hidup. Termasuk Raquela sendiri.
"Kuharap kau benar-benar menyayanginya, Laura.."
Menyayanginya dengan tulus.
*
"Kucing kawin!" Seruan indah spontan meluncur dari bibir Raquela yang terperanjat berkat tepukan seseorang di bahunya. Dalam hati, ia mengutuki orang-orang beberapa hari ini gemar sekali mengejutkannya dari belakang.
Menggigit bibir, menahan serapah yang sudah hampir melesak menembus kerongkongan, Raquela berbalik badan setelah menutup loker tempatnya menyimpan tas dengan sedikit bantingan. Kesal.
Sayang, kata-kata makian Raquela tertelan kembali saat gadis itu terhenyak melihat wajah Calvino berada setengah meter di hadapannya. Tubuh lelaki itu menjulang tinggi, begitu dekat sampai Raquela refleks mundur satu langkah.
Jantung Raquela berdegup kencang. Bukan seperti orang yang jatuh cinta, tapi bagai seseorang yang terlampau cemas menanti kematian di depan mata.
Raquela sungguh berharap bisa kabur, tapi otot-otot kakinya seolah dipaku keras di rerumputan The Royal Botanical Gardens yang satu jam lalu ia datangi. Sesuai janji, Nacio mengirimkan bawahannya untuk mengantar Raquela menuju lokasi ujian.
"Kawin?" Suara bariton bernada rendah Calvino terdengar, tiap hurufnya seperti puluhan jarum yang menusuk-nusuki telinga Raquela.
"Maksudnya apa?" tanya Calvino lagi.
"H-huh?" Raquela gelagapan. "Ti-tidak.."
"Kucingmu baru saja melakukan proses berkembang biak?" Raquela melotot mendengar pertanyaan Calvino yang diucapkan dengan raut polos itu.
"Ke-kenapa Pangeran Calvino muncul tiba-tiba di belakang saya?" tanya Raquela, mengalihkan pembicaraan.
"Bagaimana kalau tadi saya kaget sampai pingsan? Bagaimana kalau saya tidak sadarkan diri tujuh hari tujuh malam? Satu bulan? Atau satu tahun?" Raquela mendesah berlebihan, menyeka sudut dahinya yang tidak berkeringat sama sekali.
"Malang sekali nasib saya kalau sampai satu tahun saya pingsannya. Saya bahkan belum menikah, tapi sudah merasakan koma berkepanjangan. Astagaah, jantungku. Astagaah! Jangan-jangan jantungku sudah pindah ke perut?!"
Calvino terpana mendengar kosakata beruntun tanpa jeda dari Raquela. Meski bingung, tawa kecilnya tetap tidak bisa ia hindari karena lucu melihat gelagat dramatis Raquela.
Kedua alis Raquela menukik. Suaranya melirih. "Ja-jangan tertawa kalau anda datang menemui saya untuk melakukan sesuatu yang buruk."
"Saya datang dengan niat baik." Protes Calvino cepat.
"Seharusnya kau berterima kasih karena saya sampai mengorbankan waktu latihan di markas Angkatan Darat hari ini."
Raquela spontan mundur saat Calvino tiba-tiba berjalan mendekat, tapi gadis itu terkesiap begitu punggungnya tertubruk lemari loker.
Sementara, Calvino sudah sedikit membungkukkan tubuhnya untuk menatap Raquela dalam jarak lebih dekat. Membuat Raquela menelan ludah.
"Semuanya kulakukan... demi bisa melihatmu mengikuti ujian masuk Chovea."
Kening Raquela mengerut mendengar Calvino menyebut nama dapur istana Kerajaan Sceybia. Dari mana lelaki itu tahu bahwa hari ini, Raquela mengikuti ujian masuk Chovea?
Raquela berdeham pelan, mengusir gugup dan bicara terbata.
"Ke-kenapa? U-untuk apa Pangeran datang melihat saya?"
"Bukankah sudah kukatakan empat hari lalu, aku serius ingin berteman denganmu? Tapi karena kau menolak, kupikir aku harus menunjukkan upaya lebih untuk meyakinkanmu..." Calvino mengukir senyum kelewat lebar yang manisnya mampu meluluh-lantakkan semut-semut di sekitar kaki mereka.
"meyakinkanmu bahwa aku bisa menjadi seorang teman yang bisa kau andalkan, Raquela."
Begitu Calvino menyudahi ucapan, Raquela bisa mendengar petir-petir saling bersahutan di seluruh penjuru langit. Tanpa gadis yang larut dalam ilusinya itu sadari, beberapa meter dari tengah-tengah taman yang sudah diatur berbagai meja dan peralatan memasak, Nacio menajamkan pandangannya menatap Raquela dan sang kakak tiri yang sangat ia benci.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro