[10] Nacio
"Bagaimana bisa?"
Suara dan derap langkah kaki buru-buru itu terdengar jelas di telinga Raquela yang sedang berusaha menguping di daun pintu. Serta merta ia menegapkan kembali tubuhnya yang sempat membungkuk ke arah pintu kayu jati seukuran dua kali tinggi Raquela. Sudah lima belas menit berlalu, tapi Raquela penasaran apa yang terjadi di antara Nacio dan Laura.
Mungkinkah sudah ada cupid cinta yang berhasil menembakkan panah untuk membuat keduanya jatuh cinta? Ah, Raquela penasaran sekali. Tapi suara barusan yang terdengar semakin mendekat itu telah menggagalkan rencananya.
"Sateen tiba-tiba berontak. Ada batu yang dilemparkan ke bokongnya saat ia masih ditunggangi oleh Pangeran Nacio. Tampaknya Sateen sangat terkejut, sampai membuat Pangeran terbanting ke pagar pembatas yang ada di dekatnya."
'Sateen? Itu nama kuda kesayangan Pangeran Nacio.'
Raquela mengingat nama itu dengan jelas. Dulu, ia gemar berbincang dengan sang kuda untuk menyumpah nyerapahi Nacio yang sering dingin padanya. Kala itu, Raquela diberi tugas mengantarkan roti ke para pegawai di peternakan kuda kerajaan. Di sanalah, Sateen di kandangkan. Kuda putih itu seperti sahabat kecil yang berharga bagi Nacio, meski Raquela tidak tahu apa ada alasan khusus mengapa Nacio lebih banyak menghabiskan waktunya dengan kuda daripada dengan keluarganya. Terutama sang ayah, Raja Lucian, yang merupakan pemimpin Sceybia saat ini.
"Batu?" suara itu terdengar lagi, bernada terkejut. Sepertinya orang tersebut sudah berada di balik tembok koridor yang mengarah pada ruang pengobatan Pangeran Nacio di gedung tawanan ini.
"Segerombolan anak-anak usil bermain katapel di luar lapangan pacuan, Tuan Albie."
"Mereka dihukum?"
"Raja memerintahkan demikian, tapi Pangeran Nacio melarang. Jadi anak-anak tersebut hanya diberikan peringatan oleh prajurit kita melalui orang tua mereka."
"Keadaan Nacio bagaimana?"
"Tapak kakinya tertusuk paku berkarat saat jatuh. Sekarang sedang diperiksa salah satu tawanan Askor—"
"Tawanan?" Tepat ketika lelaki yang akhirnya Raquela kenali sebagai Albie Edwards—satu-satunya sahabat dekat Nacio, langkah kaki Albie dan prajurit yang merupakan bawahan terpercaya Nacio, Hector Fernandez, saling terhenti. Keduanya sudah berdiri beberapa meter di depan Raquela, membuat gadis itu tertegun. Ingin melarikan diri karena seingatnya, Albie adalah musuh adu mulutnya di kehidupan lama. Lelaki itu suka usil dan memanas-manasi Raquela yang menurut tebakannya, memendam perasaan pada Nacio. Meski memang benar.
"Ya. Wanita itu pernah bekerja di pusat pelayanan Kesehatan Askor. Reputasinya di bidang medis negara tersebut juga sangat bagus. Kami tidak punya pilihan, Sir Bian sedang memiliki jadwal operasi, Tuan."
Beberapa detik Albie terdiam, mungkin terlalu heran ada tawanan yang bersedia membantu pemimpin perang yang telah membasmi tuntas negara mereka.
Tapi, begitulah takdir. Bahkan meski pun Raquela mengulang waktu, takdir kali ini tetap saja persis seperti kehidupan sebelumnya. Tidak ada yang berbeda. Karena Raquela pun tidak berniat mengubahnya. Ia akan berusaha membuat Laura menggagalkan dendam, kemudian jatuh cinta dengan tulus pada Nacio yang juga mencintainya, serta membuat Calvino tidak memiliki bibit perasaan untuk membunuh Raquela. Setelah ini, Raquela harus berupaya sopan dan ramah pada lelaki itu bila mereka berkesempatan bertemu lagi.
"Kau...," Raquela yang tanpa sadar mengangguk-angguk menyetujui pemikiran di benaknya sendiri terkesiap saat menemukan iris biru Albie tepat semeter di hadapannya. Ternyata lelaki itu sudah mendekat, berdiri bersama Hector.
"kau gadis yang waktu itu menolong Calvino, kan? Sedang apa di sini?"
Raquela membeliak. Bahkan tidak sanggup menelan ludah saking gugupnya.
*
"Sakit?" Laura bertanya sembari menekan-nekan tangan kanan Nacio yang duduk di pinggiran ranjang pesakitan. Berdasar bisik-bisik tawanan lainnya tadi, ruangan ini dulunya adalah ruangan pengobatan sederhana untuk para prajurit yang terluka saat tengah berlatih.
Raquela diam seribu bahasa dengan menepikan diri di sudut pintu, memandangi Nacio yang hanya bergeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Laura. Sebenarnya Raquela bersyukur karena Albie mengizinkannya masuk bersama saat ia mengatakan dirinya adalah sahabat Laura, orang yang menolong Nacio. Tapi melihat bagaimana Laura mencabut paku dari telapak kaki Nacio barusan, hingga mencuatkan darah yang cukup banyak merembes ke sprai kasur, rasanya seluruh badan Raquela terasa ngilu.
Saking bersemangatnya menyatukan Laura dan Nacio, dirinya sampai lupa jika Raquela phobia darah.
"Kau bisa bernapas dengan baik?" pertanyaan Laura terdengar lagi. Kali ini, Nacio mengangguk. Pria itu diam lagi saat Laura kembali memeriksa bagian lehernya. Interaksi canggung mereka sungguh membuat Raquela gemas. Tapi, ia bersyukur Laura mau bersikap professional pada Nacio, meski pun gadis itu sangat membencinya.
"Leher dan punggungmu terasa kaku? Atau nyeri?"
"Tidak sama sekali. Hanya sedikit pusing." Jawab Nacio.
Laura menghela napas. "Syukurlah."
"Apa maksudmu? Kau mensyukuri kecelakaan Pangeran kami?!"
Raquela ikut terhenyak seperti dua prajurit yang tadinya memapah Nacio ke ruangan ini dan sekarang berdiri semeter di samping Raquela. Pertanyaan Hector barusan sarat amarah dan mengundang cemas semua orang dalam ruangan.
"Hector.."
Hector menoleh karena Nacio menegurnya dengan suara tenang, namun mengandung peringatan. Membuat prajurit kepercayaan Nacio itu diam, namun kembali memandang Laura dengan rahang mengeras. Sementara yang ditatap lanjut bicara dengan nada santai. Seolah tak takut, moncong senapan bisa saja diarahkan padanya bila ia sampai salah bicara.
"Menurut perkiraanku, tidak ada cedera fatal pada saraf tulang belakang. Karena jika ada, kemungkinan besar Pangeran kalian akan merasa sulit bernapas. Dia juga akan kesulitan menggerakkan kaki dan tangannya. Tapi untuk memastikan, bisa dilakukan pengujian sinar X-Ray di rumah sakit lagi."
Laura menjelaskan panjang lebar yang membuat semua orang dalam ruangan, termasuk Raquela, mematut kagum.
"Aku mensyukuri gejala sedikit pusing yang dideritanya, karena itu berarti kecil kemungkinan Pangeran Nacio terkena cedera saraf tulang belakang." Raquela menatap Hector dengan wajah datar. "Fungsi saraf tulang belakang adalah menghubungkan antara otak dan bagian tubuh yang lain. Jika cedera saat kecelakaan, kemungkinan fatalnya dapat menyebabkan kelumpuhan. Karena cedera itu mengakibatkan gangguan pada saraf dan fungsi organ." Lanjutnya lagi.
'Woaaah, Laura memang benar-benar keren. Pantas saja Nacio jatuh cinta padanya.' Raquela bergeleng-geleng tidak percaya.
"Maafkan saya, Nona." Raquela lebih terkejut lagi saat mendadak saja Hector seperti ditembakan panah penyesalan hati oleh cupid kebaikan. Tiba-tiba sekali insyafnya.
"Tapi, kau yakin, kan, luka Nacio tidak akan terinfeksi tetanus?" Pertanyaan Albie, pria yang sedari tadi sesekali memerhatikan Raquela dengan kening setengah mengerut—membuat Raquela ingin sekali menepuk jidat lelaki itu dengan daun pisang yang tumbuh di belakang taman—, tiba-tiba tercetus. Ia duduk di kursi dekat ranjang dan baru saja bertanya pada Laura.
Bukannya menatap sang penanya, Laura justru memandang Nacio yang juga menatapnya. "Jika kau kesulitan menelan, otot perut kaku, atau merasa kejang pada tubuh dan rahang selama beberapa menit, kau harus langsung berkonsultasi ke dokter. Karena ciri-ciri tersebut adalah gejala tetanus. Mengerti, kan?"
"Baik."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro