Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[1] Raquela

Eropa, Askor, 1920

"Aku tidak mengerti, Ayah."

Suara lembut perempuan kecil dalam gendongannya, mengalihkan fokus retina Tommy Pearce dari kano-kano sewaan yang sedang dikayuh oleh beberapa pengunjung Shady Lake. Sebelah alis pria tiga puluh empat tahun itu naik, menatap puteri semata wayangnya yang sedang menggembungkan pipi dengan bibir mengerucut.

"Apanya yang tidak kau mengerti, Sayang?" Tommy bertanya, enggan menyurutkan langkah kakinya dan sang istri untuk terus menyusuri jalan setapak di tepi danau kota Isonville yang sejak tiga puluh menit lalu mereka datangi. Setelah merayakan pesta ulang tahun ke tujuh Raquela, mereka membawanya jalan-jalan ke taman ibukota.

Meski Raquela tak berhenti memberondongkan pertanyaan sejak tiba, pasangan suami istri itu tetap sabar menjawab sembari menyaksikan panorama alam yang menampilkan bias jingga di di mana-mana. Semilir angin di hari pertama musim gugur terasa sejuk menerpa kulit.

"Aku tidak mengerti masalah orang dewasa." Celotehan Raquela kembali terdengar. "Ayah bilang, kalau umur seseorang bertambah, masalah yang datang padanya juga akan semakin banyak, kan? Pasti itu sebabnya Ayah sibuk terus seminggu ini, sampai-sampai aku dan Ibu terabaikan. Kalau serumit itu menjadi dewasa, aku tidak mau jadi wanita."

"Wanita?" tawa geli perempuan di samping Tommy mengambil alih perhatian Raquela. Gadis kecil berkucir satu itu mengangguk. Tangan kirinya menyisir poni jarangnya yang menutupi dahi. "Bukankah perempuan kecil akan tumbuh jadi wanita ketika dewasa?" tanyanya lagi.

Tommy ikut berhenti ketika istrinya menghentikan langkah, lalu beranjak menyandarkan tubuh di pagar pembatas danau. Senyum Keira Marshall tak pudar semenjak mendengar penuturan kelewat bijak anak mereka.

"Itu benar.." Keira mengusap kepala Raquela. "Tapi, menjadi wanita itu menyenangkan, Nak. Kau bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa kau lakukan sekarang."

Raquela mengerjap polos. "Seperti?"

Keira memiringkan kepala. "Bisa berpetualang.. atau membuka toko rotimu sendiri. Bukankah itu terdengar menyenangkan?"

Raquela mengangguk ragu. "Menyenangkan, sih. Tapi pasti lebih banyak sulitnya, Ibu. Aku tidak mau melihat pertengkaran di mana-mana seperti yang sering Bibi Valery dan Paman Brave lakukan. Aku juga tidak mau melihat senyum pura-pura baik yang sering Ayah buat ketika ada masalah."

Keira dan Tommy saling berpandangan, tidak menyangka sama sekali Raquela memiliki kosakata semahir orang dewasa.

"Senyum pura-pura baik?" tanya Tommy.

Raquela mengangguk sebelum meronta ingin diturunkan. Dia juga ingin menikmati pemandangan danau yang permukaannya dipenuhi ratusan daun-daun maple berwarna kuning kemerahan yang berguguran.

"Ayah selalu lesu setiap kali Paman Sam mengabarkan ada masalah di perkebunan." Raquela menjawab dengan kedua tangan mungilnya memegangi besi pagar. Menatap takjub sekumpulan angsa di ujung danau.

"Wah! Putri Ayah benar-benar sudah dewasa!" Celetukan ayahnya membuat Raquela menoleh kesal dan bersedekap. "Aku masih tujuh tahun, jika Ayah lupa." protesnya.

"Tapi kata-katamu barusan mencerminkan usiamu bertambah tua." goda ayahnya lagi.

"Ibuuu!"

Keira tertawa saat Raquela menyembunyikan wajah merajuk di perutnya, seolah mengadukan perbuatan Ayahnya. Kekesalan Raquela akhirnya terjeda begitu Tommy mengangkat tubuhnya lagi ke dalam gendongan.

"Dengarkan Ayah, Raquel." Tommy berkata lembut sembari membuang selembar daun maple yang jatuh di kepala Raquela. "Manusia tidak pernah bisa menentang takdir untuk terus tumbuh, Nak. Baik usia, fisik, atau pun pemikirannya. Semua itu akan terus berkembang. Yang bisa manusia lakukan hanya terus memperbaiki diri agar bisa menjadi seseorang yang lebih baik."

"Lebih baik? Contohnya?"

"Contohnya.." Raquela memekik ketika ayahnya menggoyang-goyangkan ujung hidung kebanggaanya. "seperti mulai membiasakan diri berkata jujur, bahwa kau telah menghabiskan setoples cokelat sebelum tidur tadi malam."

Melihat Raquela terhenyak, Tommy menyunggingkan senyum usil.

"Bibi Ruth yang lapor pada Ayah, ya?"

Bukannya menjawab, Tommy justru memasang tampang pura-pura marah.

"Maaf, Ayah. Aku janji tidak akan melanggar larangan Ayah dan Ibu lagi." ujar Raquela cepat.

"Kau bisa menepati janjimu?"

"Akan kucoba... perlahan." Raquela menyengir di ujung kalimat, merasa sedih karena harus berpisah dengan cokelat-cokelat kesayangannya.

"Saat kau berhasil mencobanya, saat itulah kau sudah tumbuh menjadi orang yang berpikiran dewasa, Sayang. Orang dewasa akan belajar dari kesalahan dan menepati janji yang dia buat. Kau harus ingat baik-baik, Raquel. Semakin berat masalahmu, kau akan semakin kuat. Kekuatan itulah yang kelak akan membuatmu jadi lebih baik."

"Benarkah?"

Tommy mengangguk. "Apa pun masalah yang kau hadapi di masa depan, bertahanlah dengan mengingat orang-orang yang kau cintai, ya. Seperti Ayah. Seberat apa pun masalah Ayah, semua itu menjadi mudah ketika Ayah tetap bisa melihatmu dan Ibu tersenyum."

Walau Raquel tidak begitu paham, tapi ia mengangguk.

"Baiklah! Sudah cukup perdebatan mau menjadi dewasa atau tidak ini, Nona Kecil!" Raquela terkekeh ketika sang ibu mencubit pelan pipinya, lalu melayangkan sebuah kecupan singkat di pipi kirinya yang tembam.

"Ayo kita ke rumah Bibi Valery sekarang. Bukankah kau ingin membagi hadiah ulang tahunmu untuk Nicole dan Louise?" Pertanyaan Keira dijawab anggukan kuat-kuat Raquela, sampai Tommy tertawa melihat antusias putrinya.

"Aku sedih melihat mereka tidak bisa dibelikan mainan yang banyak oleh Bibi dan Paman, Ibu." Tersentuh mendengar penjelasan sang putri, Tommy mencium pipi kanan Raquela yang tidak kebagian ciuman dari Keira.

"Putri Ayah benar-benar membuat Ayah bangga!" puji Tommy, menerbitkan senyum lebar di bibir kecil Raquela Agatha Pearce.

===

Eropa, Askor, 1926

"Baguslah! Sejak awal aku memang tidak menginginkan Raquela diperkenalkan sebagai anggota keluarga. Apa salahnya pesta pernikahan di tanggal dua puluh? Hanya karena orang tua dia mati di tanggal itu, sok-sok tidak mau!"

Petir menyambar, menyentak Raquela dari lamunan. Sekelebat percakapan bibi dan pamannya yang tak sengaja ia dengar saat berkunjung ke kediaman mereka di Isonville tadi, lenyap bersama rintik gerimis yang kini menjelma badai hujan. Perempuan tiga belas tahun itu beranjak dari duduknya di pinggir sungai Canal, berlari cepat menuju gazebo kecil dan reyot di tengah-tengah taman.

Dalam riuh rombongan air langit yang teratur menerobos tanah bumi, Raquela terduduk lesu sambil mengusap-usap telapak tangannya sendiri. Berharap hangat sudi menghampiri, tapi hawa dingin justru lebih menusuk hingga ke hati.

"Kalau tau masa dewasaku akan dilalui tanpa Ayah dan Ibu, aku hanya ingin jadi anak-anak saja." Suara Raquela bergetar. Mata cerahnya yang dulu selalu berbinar, memandang lemah cakrawala hitam kelam di atas sana. Langit seolah menyampaikan fakta, inilah kehidupan.

Kehidupan yang harus Raquela jalankan setelah kepergian orang tuanya akibat sebuah kecelakaan kapal empat tahun lalu.

Semenjak hari itu, dunianya runtuh. Paman dan Bibinya yang mendapatkan hak pengasuhan sementara, justru merebut semua harta benda peninggalan sang Ayah. Karena tidak tahan mendapati Raquela diperlakukan kasar, Bibi Ruth, pelayan setia yang menjaga Raquela sejak lahir, membawa Raquela pergi ke Arkaley, kampung halaman Ruth yang letaknya di pinggir barat negeri Askor.

"Bagaimana Paman dan Bibi bisa sejahat itu pada kalian? Mereka sama sekali tidak berduka. Malah berbahagia di hari kalian pergi selama-lamanya." Raquela mengusap sudut mata yang kembali basah.

"Ayah, maaf.. aku benar-benar tidak bisa ikut bahagia di hari pernikahan Kak Nicole. Jika biasanya perlakuan paman dan bibi aku terima, kali ini.." Raquela menggeleng lemah. Sesak di dada merambat ganas hingga rasanya sulit bernapas.

"kali ini aku tidak bisa, Ayah. Aku tidak mau berbahagia di hari kalian merenggang nyawa."

Raquela menutup wajah dengan telapak tangan. Kerinduan yang hebat menghantarkannya pada isak tangis teredam di antara derasnya hujan.

Ketika hujan reda, senyumannya baru terukir kembali saat ia tak sengaja menemukan seekor kelinci yang entah sejak kapan berlindung di bawah gazebo. Meringkuk lemah di dekat kakinya.

Tapi.. punggung kelinci itu berdarah!

===

"Ke mana dia.." Raquela memicingkan mata, berhati-hati dengan langkahnya di tanah yang masih basah. Hujan sudah berhenti sejak lima menit lalu, tapi dirinya kini terjebak dalam lautan ilalang.

Semakin jauh ia menyusuri padang tumbuhan liar ini, semakin Raquela kebingungan bagaimana caranya menemukan kelinci tadi. Dirinya hanya ingin membawa kelinci itu pulang untuk diobati, tapi tadi.. begitu mendengar suara kejut Raquela saat menemukannya, kelinci itu langsung lari menuju hutan dekat taman yang terhubung langsung ke area ilalang.

"Astaga, sudah sejauh apa aku lari?" Raquela menggerutu. Mendadak, dirinya justru menemukan kawasan hutan baru yang tidak pernah ia tahu.

Saat memutuskan ingin berbalik pergi, seperti takdir, matanya menangkap keberadaan kelinci bercorak sama dengan kelinci sebelumnya. Corak yang tidak pernah Raquela lihat pada kelinci-kelinci Askor yang lain. Kelinci itu berbaring menyamping di dekat semak belukar. Tanpa pikir panjang, Raquela melewati pagar kayu sebatas betis dan berlari untuk meraih kelinci itu dalam dekapan.

"Ya Tuhan.. kau kesakitan?" Menahan tangis yang tiba-tiba menyeruak, Raquela meletakkan si kelinci di pangkuan. Merobek cepat ujung rok putihnya sendiri, kemudian menggunakannya untuk menekan lembut luka di punggung hewan berbulu cokelat-putih lebat itu.

"Kenapa kau lari? Aku hanya ingin membalut lukamu." Raquela terus bicara sembari berusaha menghentikan pendarahan, tidak mengendurkan tekanan meski kainnya sudah kuyup oleh darah. Begitu selesai dan memastikan tidak ada darah yang kembali muncrat dari luka, Raquela kembali merobek kain roknya lebih panjang. Membalut cedera si kelinci dengan ikatan yang tidak terlalu kencang.

"Aku tidak mengerti mengapa Pangeran Nacio suka sekali berlatih di sini setiap hari. Padahal tadi baru saja turun hujan, tapi beliau tetap ingin pergi latihan."

Suara laki-laki menyentak Raquela. Yang membuatnya lebih ketakutan bukan hanya karena rasa heran mengapa ada manusia di hutan tersebut, tapi logat bicara lelaki itu. Logatnya terlalu mirip dialek Sceybia. Sebuah kerajaan dari negeri tetangga yang menjadi musuh besar kerajaan Askor bertahun-tahun lamanya.

Raquela mendekap kelinci di pangkuannya lebih erat, berusaha tidak menimbulkan gerakan sekecil apa pun ketika suara lelaki lainnya terdengar.

"Aku juga heran. Padahal Raja sudah menyediakan lapangan berlatih yang fasilitasnya sangat memadai khusus untuk Pangeran."

Belum selesai Raquela mengatur siasat untuk bersembunyi, sebuah tebasan pedang yang membelah semak belukar di sampingnya membuat ia terperanjat kaget. Raquela sempat memekik tertahan, sebelum cepat-cepat menutup mulutnya sendiri dengan tangan kanan.

Hanya dalam hitungan detik..

Tak hanya mendengar derap langkah cepat dari kejauhan..

Jantung Raquela juga serasa copot ketika sepasang kaki berbalut sepatu boots hitam, serta pedang yang tertancap tegak di tanah, tertangkap dalam netranya. Wajah tampan seorang lelaki memenuhi fokus retina Raquela. Tubuh tinggi dan tegapnya berdiri menjulang di depan. Pesonanya.. seakan bersaing dengan keindahan silau senja yang perlahan merambati belahan bumi di mana keduanya berada.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro