Bab 07 || Perasaan Alex
Bab 07
Perasaan Alex
4 tahun yang lalu.
“Tashima udah punya pacar belum, sih, Lex?”
Tidak ada hujan, tidak ada petir, Gerald berseru ketika keluar dari dapur dan berpapasan dengan Alex yang sepertinya hendak melakukan hal yang sama dengannya, mengambil air es dari kulkas.
“Mendadak banget, Mas? Kenapa nanya? Naksir?” Alex dengan santai balik bertanya. Jika Tahsima mengetahui jika Gerald bertanya seperti ini, ia jamin gadis itu pasti melompat seperti kodok kegirangan.
Gerald menyadarkan tubuhnya di kusen pintu dapur, seraya memperhatikan Alex yang membuka kulkas. Sejujurnya beberapa tahun ini, ia pun bingung dengan perasaannya sendiri kepada Tashima yang kian hari makin cantik, walaupun tidak banyak bergaya, namun untuk sekarang, ia bisa dengan yakin berkata, “Enggak. Soalnya kalian dekat banget, Mas mikirnya kalia—”
“Mulai, deh, ngadi-ngadi, aja.” Alex memutar bola matanya, mendengkus jengkel. Tentu! Tentu Alex memiliki rasa kepada Tahsima. Omong kosong kalau ia tidak bawa-bawa perasaan dalam hubungan persahabatan mereka ketika satu-satunya perempuan yang paling dekat, perhatian, dan selalu ada di saat suka dukanya. Akan tetapi, Alex tahu, ia sadar diri, ada batasan yang tidak boleh ia lewati agar mereka tidak berubah. Lagipula, Tashima mencintai kakaknya. Cowok yang baru menduduki kelas 3 SMP itu kesal.
Gerald mengangguk paham. “Iya, kamu masih kecil, jangan mikir-mikir pacaran.”
“Lagak lo.” Alex berdecak. “Terus gimana sama Tasya?” Alex teringat pacar Gerald, Tasya yang telah berhubungan dengan kakaknya kurang lebih hampir 1 tahun. Jujur, ia tidak suka dengan sikap Tasya yang terlalu berlebihan, manja, dan kadang menjengkelkan.
Mengangkat bahu acuh tak acuh, Gerald menjawab. “Kayaknya kita bakal tunangan di waktu yang dekat ini.”
“Cepat banget, Mas? Aman-aman aja, kan?”
Mengerti maksud dari kata aman yang dilontarkan sang adik, Gerald mendelik tajam. “Amanlah. Mas nggak brengsek.”
Mengangguk asal-asalan, tak peduli, Alex berlalu dari hadapan Gerald sambil berbisik. “Wish you luck.” dan kabar buruk buat cewek-cewek yang suka sama Lo. Lanjut Alex.
Kasian Tashima, Alex jadi tidak berani mengabarkan bahwa gebetannya selama beberapa tahun terakhir ini akan segera bertunangan dan menikah. Lagian, kenapa Tahsima pakai segala acara menyukai kakaknya? Tidak ada yang istimewa dari—perlu Alex akui—tampan maksimal, cerdas, berwibawa, memiliki usaha sendiri, berpenghasilan, dan calon direktur yang akan menggantikan papa di perusahaan manufaktur yang sedang mereka jalankan. Hmm ... Memang tidak ada kelemahan yang begitu besar sehingga Tahsima tidak jatuh cinta kepadanya.
Setibanya di kamar, Alex menatap beberapa foto yang ia panjang, foto dimana ia bersama Tashima ketika bermain bersama, atau iseng-iseng mengganggu gadis itu. Jika dihitung-hitung, lebih banyak foto Tahsima bersamanya yang terpanjang di kamar dibandingkan bersama keluarga. Andai, ia memiliki cukup keberanian untuk menyatakan perasaannya, pasti Tashima tidak perlu sedih karena Gerald.
Sungguh kenangan-kenangan yang tidak akan Alex lupakan. Gadis pertama yang mencuri perhatiannya. Teman pertama yang berlagak biasa saja kepadanya tanpa memperhatikan jabatan Kevin sebagai salah satu donatur di sekolah. Bersama Tashima, Alex bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus memakai embel-embel anak dari direktur utama PT. Goldenarms, yang bergerak di bidang makanan yang terkenal di Indonesia. Namun sayang, gengsi Alex terlalu besar, juga rasa takut.
Matanya tertuju pada satu foto, di mana ia mencium pipi Tashima secara diam-diam, dan akhir dari kejadian itu adalah Tahsima yang marah-marah karena mereka diganggu oleh teman sekolah sebagai pasangan.
Di posisinya, Gerald menghela napas panjang. Entah keputusannya tepat untuk bertunangan dengan Tasya atau tidak, yang jelas, saat ini di matanya hanya ada satu nama dan wajah, gadis itu, Tasya, yang telah merebut sebagian besar pikiran Gerald. Katakan ia bodoh karena diperbudak oleh cinta, namun ia suka, ini jenis perbudakan yang menyenangkan hati.
Gerald melangkah meninggalkan dapur dengan senyum lebar, menantikan kedatangan hari dimana ia dan Tasya akan dipersatukan sebagai sepasang suami istri.
••••
Alex menatap ponsel, sejak tadi tangannya sudah gatal ini menghubungi Tashima, akan tetapi setelah Tashima dan Gerald menikah, seakan ada tembok besar yang menghalangi interaksi mereka. Semua tidak sama seperti dulu, walaupun tampaknya biasa saja di luar.
Inilah yang Alex inginkan. Tashima akan menjauh darinya. Meneguk jus jeruk hingga tandas, cowok itu berpindah ke ranjang, dan berbaring tunkurap seraya menerawang jauh.
Andai saja dulu ia berani menyatakan cinta, andai saja ia tidak berpikir aneh-aneh, andai saja ia lebih keras menghalangi pernikahan mereka terjadi. Semua hanya pengandaian di kepala Alex sekarang. Ia pikir, perasaan ini sudah lama menghilang, padahal ia salah, semua itu masih ada dan terasa semakin nyata dengan nyeri di dada melihat kakak dan seseorang yang ia anggap sebagai sahabat berakhir di pelaminan.
Bodohnya! Alex mengumpat dalam hati. Tidak bisa menahan diri, ia menekan icon vidio call kepada Tashima.
[“Oi! Kagak gue sangka bakal ditelpon sama elu. Malam-malam lagi. Nggak tidur, lo?”]
Wajah cantik Tahsima menghiasi layar ponsel Alex. Setidaknya ini cukup mengobati rasa rindu yang malu ia utarakan secara langsung. Mendengar sederetan kata-kata gadis itu, membuat Alex teringat akan perbedaan waktu di antara mereka, ia melirik jam di dinding menunjukkan pukul 23.33, berarti di Amsterdam sekitar jam 3 subuh.
[“Kangen, ya?”]
Tashima kembali berseru sambil mengedipkan mata genit, hal yang biasa ia lakukan untuk menggoda Alex. Sepertinya Tahsima lupa jika ia telah bersuami dan beranak satu.
menghela napas gusar, Alex bertanya. “Mana suami, anak lo?”
Tahsima menggerakkan layar menunjukkan Raka yang sedang memeluknya, sedangkan Gerald yang ternyata masih terjaga bersama laptopnya. Pria itu selalu saja sibuk, mungkin masih ada beberapa sisa pekerjaan yang harus ia selesaikan dan urusan-urusan kampus lainnya.
“Jangan lupa istirahat, Shim. Lo kan kemarin baru sembuh dari kurang darah.” Alex memeringatkan.
[“Iya, ah, bawel. Lu juga jaga kesehatan di sana, nggak ada gue ntar nggak seru kan? Udah gue bilang, punya teman kayak gue nggak ada lagi, cuma satu.”]
[“Adik ipar.”]
Samar-samar Alex mendengar suara Gerald yang mengoreksi ucapan Tashima menjadi adik ipar. Hal itu kembali menampar perasaan Alex. Memaksakan senyuman, ia pun memutuskan untuk menghentikan panggilan dengan alasan mengantuk.
Terlambat kah Alex sekarang? Apa tidak ada lagi kesempatan baginya untuk berjuang demi cintanya? Iya, Alex memang bodoh karena menyia-nyiakan kesempatan bersama Tahsima selama ini, akan tetapi, sekali saja, ia ingin berjuang untuk pertama dan terakhir kalinya.
“Gue harus kuliah di Amsterdam juga!” gumam Alex sambil mengubah posisi tidurnya. Tekad ini tidak bisa tahan lagi, dan rasa sesal juga ini ia sembuhkan.
Untuk sekarang, ia akan berusaha saja dulu, jika memang tidak ada kesempatan, maka ia akan mundur. Lagi pula, sampai sekarang Alex belum tahu alasan kakaknya tiba-tiba menikahi Tashima? Apa alasan pria itu menikahi gadis yang bahkan jarang ia lirik? Itu sangat tidak masuk akal, terlebih ini Gerald, pria yang masih terkurung dengan masa lalu, dan selama ini tidak berkeinginan menjalin hubungan dengan perempuan lain.
Ada yang tidak beres. Sesuatu yang membuat Gerald menikahi Tahsima.
••••
“Kamu anemia?” Gerald sempat mendengar percakapan Alex tadi, tentang kesehatan Tashima.
Tashima memang sering kali terkena anemia, bahkan tadi, ketika ia bangun tidur, sejujurnya ia sedikit pusing.
“Udah satu bulan yang lalu, Mas. Itu juga nggak papa, kok.”
“Lain kali, kesehatan dijaga,” tegur Gerald seraya menutup laptopnya dan menaruhnya di atas nakas. Menghela napas sebentar sambil merenggangkan kedua tangannya, ia menoleh ke arah Tashima. “Kalau ada sesuatu yang menganggu, kasih tau, Mas. Kamu nggak bisa selamanya bilang baik-baik aja. Kalau sakit, bilang, kalau malas masak? Bilang, kalau lelah? Bilang, aja.”
“Iya, Mas. Makasih, ya.” Tashima tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lebar.
Gerald mematikan lampu kamar, lalu naik kembali ke ranjang. “Ayok, tidur. Besok kamu harus bangun pagi, kan?”
“Iya, Mas.”
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro