02.
"Wuih, cakep. Mau ke mana, Mi?" tanyaku ketika pagi-pagi sekali Mami tampak berdandan.
"Nggak kemana-mana. Cuma mau arisan ke Jeng Tatik," balasnya. Ia duduk tenang di sofa sambil menenteng tas cantik.
"Sama siapa, Mi?" Aku menoleh sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Papi keluar kota selama beberapa hari, lusa baru kembali.
Sementara hari ini Pak Sopir libur.
"Ya sama anak lelaki Mami, dong. Punya anak lelaki tuh enaknya gini. Kalau mau apa-apa, atau mau dianterin ke mana gitu, langsung set set set, selalu siap sedia." Ia berujar bangga.
Aku tercenung. Anak lelaki? Sudah bertahun lamanya, Mami dan Papi cuma punya anak aku doang. Apa ada anak yang lain?
Hah, jangan-jangan ...
"Anak lelaki?" desisnya.
"Si Abi." Mami menjawab.
Aku ternganga. "Sejak kapan dia jadi anak mami?"
"Lah, kan dia calon suamimu, Yu. Bentar lagi kan jadi anak mantu. Anak mantu itu sama kayak anak sendiri." Mami kembali berujar dengan wajah semringah.
Bibirku mencebik. Oalah.
Merasa ogah membicarakan tentang sosok yang ditunggu Mami, aku memilih diam dan kembali asyik menatap layar laptop. Tugas kuliah harus dikebut hari ini.
Hingga akhirnya ponsel Mami berbunyi nyaring.
"Halo? Oh ... Ya? Hah? Gimana? Tapi kamu gak kenapa-napa kan, Nak? Iya, langsung ke dokter aja. Gak papa. Mami bisa naik taksi aja...."
Beberapa saat kemudian pembicaraan mereka terhenti. Mami menghampiriku dengan tergopoh-gopoh.
"Si Abi ...."
"Kenapa, Mi?"
"Kesedak duri ikan."
Hah?
Aku terbelalak.
"Tapi udah langsung ke dokter, kok. Duh, semoga aja gak apa-apa."
Aku menelan ludah.
"Mami mau arisan dulu. Naik taksi aja." Beliau beranjak.
Aku mematung. Perasaan galau segera menyerang. Kepikiran dengan keadaan Mas Abi.
Hingga malam, perasaan cemas masih tak kunjung hilang. Sempat terpikir untuk mengirimkan pesan singkat dan menanyakan keadaannya, tapi kok ... gengsi.
Selama ini kan kami ketus satu sama lain. Kalau tiba-tiba aku berubah perhatian, pasti dikira kesurupan.
"Mi ...." Aku menghampiri Mami yang asyik bersantai di depan televisi. Sinetron kesayangannya tengah mengudara di saluran burung emprit.
"Hm?" Beliau menjawab pendek.
"Anu ... yang kesedak duri ikan tadi gimana? Udah baikan?"
Mami buru-buru berbalik dan menatapku. "Cieee cieeee, khawatir ya?"
Aku merengut. "Mami, ih."
"Tuh, kan? Apa Mami bilang. Lama-lama kamu pasti bakal demen kok sama Abi. Mami ini tahu yang terbaik buat kamu."
Menghentakkan kaki, aku memilih beranjak meninggalkan Mami dengan bersungut-sungut.
"Nggak usah khawatir. Si Abi-mu itu baik-baik aja kok. Malah tadi katanya gak jadi ke dokter. Udah diminuni banyak air, terus beres, deh." Mami setengah berteriak.
Sambil mengayun langkah untuk kembali ke kamar, entah kenapa aku merasa lega dengan jawaban Mami.
°°°
Tatapan mataku menyapu seluruh halaman kampus dan tempat parkir, tak ada sosoknya di sana. Apa tenggorokannya masih sakit?
Karena merasa dia tak datang, aku memutuskan melangkahkah ke halte bus.
Belum sempat sampai di sana, langkahku terhenti oleh sosok lain. Satria.
"Bisa kita bicara sebentar?" pintanya. Aku tak menggubris dan kembali melangkah. "Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan," jawabku.
"Hayu, kumohon maafkan aku. Aku tahu aku salah." Ia berjalan dan menyamai langkahku.
"Aku sudah lama memaafkanmu. Tapi jangan harap aku akan kembali padamu."
"Tapi, aku masih sangat mencintaimu, Yu."
"Itu masalahmu, bukan masalahku," desisku.
"Beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku, kumohon. Aku janji aku nggak akan mengulanginya lagi. Cewek itu sudah kuputusin, Yu."
Aku menghentikan langkah dan menatap lelaki itu dengan tajam.
"Jika kamu mencintaiku, kamu nggak akan berani mengkhianatiku," tukasku.
"Aku khilaf."
"Khilaf? Kamu berselingkuh dengan cewek lain selama menjadi pacarku dan sekarang kamu bilang khilaf? Kamu pikir aku cewek apaan?!"
"Aku sudah putus dengannya."
"Dan sekarang kamu ingin kembali padaku? Bedebah." Aku berbalik pergi. Satria mengekor dan berusaha menghentikanku. Beberapa kali ia menarik tangan dan aku senantiasa menepis. Tak ayal, terjadi tarik menarik dan keributan mulai terjadi. Ia berteriak, aku balas berteriak.
Keributan di antara kami terhenti ketika tiba-tiba sebuah mobil menepi dan berhenti tak jauh dari kami. Aku menyipitkan kedua mata. Tak lama kemudian Mas Abi keluar dari mobil lalu menutup pintunya dengan kasar.
Wow, aku terpesona sesaat. Penampilannya agak berbeda. Biasanya ia mengenakan baju kasual, tapi kali ini, ia terlihat maskulin dengan setelan kemeja. Mungkin ia baru saja menghadiri pertemuan bisnis. Ah, siapa peduli.
"Ada apa ini?" Ia beranjak mendekati kami sambil menatap ke arahku dan ke arah Satria secara bergantian.
"Dan singkirkan tanganmu darinya!" Ia berteriak seraya menarik lengan tanganku lalu mendorong tubuh Satria dengan kasar. Aku sempat terhenyak heran dengan tindakannya.
"Siapa kamu?" Satria bertanya dengan tak ramah. Mas Abi menoleh dan menatap mantan pacarku itu dengan tajam.
"Dan kamu sendiri siapa?" Ia balik bertanya dengan nada tak ramah pula.
"Aku Satria, pacar Hayu," jawab Satria.
Aku melotot ke arahnya.
"Kita sudah putus!" teriakku.
"Aku nggak bisa berpisah denganmu, Yu. Aku masih mencintaimu." Satria berkilah.
"Mencintaiku? Kamu berkhianat dan berselingkuh dariku, dan sekarang kamu masih berani bilang cinta padaku?!" Aku menjerit.
"Bukankah aku sudah bilang, aku khilaf."
"Hah! Setelah apa yang kamu lakukan padaku, enak sekali kamu bilang khilaf?"
"Yu, aku ___"
"Oh, jadi kamu lelaki yang telah mengkhianatinya dan berselingkuh dengan pegawai kafe di depan kampus itu?" sela Mas Abi.
Aku melongo. Tatapanku kini beralih ke arahnya. Bagaimana dia bisa tahu kalau Satria berselingkuh dengan pegawai kafe di depan kampus? Aku toh tak pernah cerita.
"Diam kamu! Ini bukan urusanmu!" bentak Satria.
Mas Abi terkekeh. Ia melepaskan genggaman tangannya – dan aku baru menyadari bahwa sejak tadi ia terus memegangi lengan tanganku – lalu bergerak beberapa langkah mendekati Satria.
"Tentu saja ini menjadi urusanku karena perempuan ini sekarang adalah tunanganku," jawabnya.
"Apa?" Satria tampak kaget.
"Kamu nggak perlu memberitahunya kalau kita bertunangan!" bisikku kesal.
Mas Abi menatapku.
"Kenapa? Kamu nggak mau dia tahu bahwa kita sudah bertunangan? Apa kamu masih ingin kembali pada lelaki playboy macam dia?" Nada suara Mas Abi seakan mengejekku.
Aku mendesah.
"Playboy? Bagaimana dengan dirimu? Bukankah kamu juga sama dengan dirinya?" tanganku bersedekap angkuh.
Mas Abi menaikkan kedua alisnya.
"What?" desisnya. "Apa maksudmu?" Pertanyaannya terdengar tak terima.
Aku tertawa sinis.
"Kamu bilang kamu tunanganku, tapi kamu makan siang dengan perempuan lain sembari menatapnya dengan mesra. Apa itu bukan playboy?" balasku.
"Kapan aku melakukannya?" Mas Abi tampak bingung.
"Kemarin," jawabku tegas.
"Oh, yang di kafe itu. Dia sahabatku lamaku."
"Sahabat?" Aku tertawa sinis. "Kamu menatapnya dengan mesra selama makan seolah-olah kamu ingin menelannya hidup-hidup. Kamu bahkan juga memegang tangannya dengan lembut. Apa itu yang namanya sahabat? Kamu pikir aku anak kecil?"
"Kamu cemburu ya?"
Kata-kata Mas Abi nyaris membuatku tersedak.
"Cemburu kepalamu!" teriakku.
"Bukankah kamu juga melakukan hal yang sama?" Kali ini Mas Abi bersedekap dan menatapku dengan angkuh.
Aku mengernyitkan dahiku. "Melakukan apa?" tanyaku bingung.
"Kamu tahu aku berada di sana, tapi kamu malah berpelukan dan berciuman mesra denga lelaki lain."
"Lelaki yang mana?" Aku makin bingung.
"Yang berulang tahun kemarin."
"Dia juga sahabatku," bantahku.
"Oh ya? Dan haruskah kamu menciumnya dengan begitu mesra?"
"Itu ciuman selamat ulang tahun."
"Dan haruskah dia juga memelukmu dengan begitu erat? Lama lagi." Mas Abi berdecih.
Aku tergelak. "Nah, apa sekarang kamu yang cemburu?" tanyaku kesal.
Mas Abi hendak kembali mengatakan sesuatu tapi tiba-tiba saja Satria melayangkan sebuah pukulan ke arahnya hingga membuatnya terhuyung.
Aku menjerit.
"Menyingkirlah darinya! Kamu juga bukan lelaki yang baik untuk Hayu!" teriak Satria.
Mas Abi meraba wajahnya yang baru saja terkena pukulan.
"Sialan! Kamu nggak lihat kami sedang berdiskusi?" Ia berteriak kemudian bergerak, lalu melayangkan pukulan ke arah Satria.
Dan dalam waktu singkat, mereka terlihat baku hantam. Aku menjerit dan meneriakkan nama mereka bergantian, berharap keributan ini usai. Nyatanya nihil. Dua orang ini terus saja saling dorong dan saling gebuk.
Kesal karena teriakkanku tak digubris, aku beranjak, dan berusaha melerai mereka.
Dan hasilnya ... bukkk!
Aku merasakan sebuah pukulan mendarat di wajahku hingga membuatku sempoyongan. Aku menjerit kesakitan. Dan ajaib, teriakan ini akhirnya membuat mereka berhenti saling serang.
Sambil memegangi pipiku yang nyeri, aku menatap kedua lelaki itu dengan tajam. Jika saja tatapan bisa melukai, aku yakin mereka berdua sudah tercabik-cabik.
Mas Abi dan Satria berdiri mematung seraya menatapku dengan ekspresi ketakutan.
"Dia yang memukulmu. Bukan aku." Mas Abi membuka suara seraya menunjuk ke arah Satria.
Satria tampak pucat seketika. Ia mengangkat tangannya. "Maaf, aku nggak bermaksud memukulmu, Yu. Aku tadi berniat memukul dia." Ia ganti menunjuk ke arah Mas Abi.
Menatap mereka bergantian, amarahku meledak.
"ENYAH KALIAN DARI HADAPANKUUUUU....!!" jeritku.
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro