01.
Pria itu menyandarkan tubuhnya di pintu mobil. Kedua matanya asyik menatap ke arah ponsel yang tengah ia utak utik. Dengan ogah-ogahan aku melangkahkan kakiku mendekatinya.
“Sedang apa kamu di sini?” tanyaku kesal.
“Menjemputmu.” Ia menjawab singkat, tanpa melihat ke arahku.
“SEDANG APA KAMU DI SINI?!” Aku mengulangi pertanyaanku dengan nada suara yang lebih tinggi berharap agar ia mengalihkan pandangannya dari ponsel di tangan.
Dan cara itu berhasil, karena untuk selanjutnya, pria menoleh dan menatapku. “Menjemputmu.” Ia kembali mengulangi jawabannya dengan nada yang sama. “Dan bicaralah yang sopan padaku. Aku lebih tua lima tahun darimu, jadi panggil aku ‘Mas’,” lanjutnya.
Bibirku mencebik. Mas-Mas-Maspion, keleusss.
“Jadi kenapa kamu harus menjemputku?” tanyaku lagi.
“Mas. Panggil aku ‘Mas’,” koreksinya.
Aku menarik napas kasar. Sabarrrr…
“Jadi kenapa Mas Abi menjemputku?” tanyaku dengan gigi terkatup.
Mas Abi menarik napas kesal. Ia menutup ponselnya, memasukkanya ke dalam saku, lalu menatapku dengan ogah-ogahan.
“Mulai sekarang aku resmi jadi sopirmu. Aku yang akan mengantar kemanapun kamu pengen pergi. Puas?” Matanya menatapku jengkel.
Aku terkekeh. “Oh ya? Atas perintah siapa, nih?” Aku tak kalah sebal.
“Nggak kujawab pun kamu pasti sudah tahu. Yang jelas ini bukan kemauanku. Jadi, jangan ge-er,” jawabnya lagi. Aku tersenyum sinis lalu beranjak meninggalkannya tanpa mengatakan hal apapun.
“Mau kemana? Hellooo, mobilku ada di sebelah sini!” Mas Abi berteriak. Aku menghentikan langkah kakiku lalu berbalik menatapnya. “Aku akan pulang naik bis. Titik,” jawabku.
“Ya sudah, terserah.” Pria itu membuka pintu mobilnya dengan kasar lalu duduk di kursi kemudi dan segera meluncur meninggalkan halaman kampus.
Aku menatap kepergiannya dengan kesal. Aku tak percaya dia benar-benar ... pergi! Begitu saja? Bukankah seharusnya ia membujukku? Itu ‘kan yang dilakukan pria sejati?
Aku bersungut-sungut seraya terus melangkahkan kakiku menuju halte bus.
“Bukannya itu tadi Mas Abi?” Cici menepuk pundakku lalu menyamai langkahku. Aku cuma mengangguk.
“Menjemputmu?”
Aku kembali mengangguk tanpa menghentikan langkahku.
“Kok kamu nggak ikut?”
Aku mengedikkan bahuku seraya berteriak sebal. “Ogah dijemput sama dia.”
Cici tertawa. “Sudahlah, diterima saja takdirmu. Kenyataannya kamu sudah bertunangan dengannya, mau bagaimana lagi? Lagipula, nggak baik menolak rejeki. Mas Abi itu tampan, mapan. Kurang apa lagi, sih?”
“Kurang asem,” sungutku.
Lagi-lagi Cici tergelak. “Cakep gitu dibilang kurang asem?”
Aku melotot ke arah sahabat baikku tersebut. “Jangan-bahas-dia-lagi.” Aku mengatupkan gigiku. Cici hanya terkikik.
Abimana Akhtar, atau yang dipanggil Mas Abi adalah tunanganku.
Aku mengenalnya tiga bulan yang lalu lewat pertemuan keluarga. Sebetulnya orang tuaku dan orang tuanya adalah teman baik sejak SMA. Tapi aku baru bertemu mereka karena selama ini mereka tinggal di luar negeri.
Beberapa bulan yang lalu mereka kembali ke Indonesia dan ... bam! Aku dan Mas Abi langsung dijodohkan. Mereka bilang, rencana perjodohan itu sudah mereka rencanakan sejak kami masih sama-sama piyik. Drama penolakan sudah terjadi, namun gagal. Dan begitulah akhirnya, tiga minggu yang lalu kami tetap resmi ditunangkan.
Aku tak kuasa menolak rencana perjodohan ini karena mamaku mengancam akan memecatku jadi anak. Mas Abi pun mengalami hal yang sama. Ia tak kuasa menolak karena mamanya – juga – mengancam akan mencoretnya dari KK. Orang tua kami benar-benar kekanak-kanakan, ya ‘kan!
Kami menjalani perjodohan itu dengan berat hati, tentu saja. Hari-hari yang kami lewati bersama tak lepas dari pertengkaran dan adu mulut. Jika saja kami anak SD, kami pasti sudah saling serang dan saling menggigit!
Sebenarnya, bukan karena aku tak menyukainya. Jika harus jujur, Cici betul tentang Mas Abi. Di antara semua cowok yang pernah dekat denganku, ia adalah sosok yang paling oke dan nyaris mendekati sempurna. Wajahnya tampan, ia mapan dan sikapnya sangat ramah pada siapapun.
Dan itulah yang membuatku berang. Karena ia menolakku!
Tidak secara langsung, tapi aku bisa melihat dari sikapnya padaku. Bayangkan saja, ia ramah pada semua orang, tapi bersikap ketus padaku.
Bukankah itu sama saja dengan menolakku? Dan seumur hidup, baru kali inilah ada pria yang tidak terpesona dan bertekuk lutut di hadapanku. Oke, terdengar terlalu percaya diri memang, tapi itu betul. Selama ini, seabrek cowok yang jungkir balik ingin mendapatkan cintaku. Serius.
Hei, wajahku tak kalah cantik dengan Amanda Manoppo. Wajar dong jika harga diriku terluka. Kurang cantik apa coba?
“Kamu harus melupakan Satria, Yu. Bisa jadi, Mas Abi dan pertunangan ini, adalah jalan terbaik buatmu.” Cici berujar lirih seraya menggamit tanganku.
Aku tak segera merespon.
Satria, beberapa bulan sebelum pertunanganku terjadi, aku putus dengannya. Bukan karena dia kutinggal bertunangan, tapi karena cowok yang telah kupacari selama hampir dua tahun itu ketahuan selingkuh dengan pegawai cafe depan kampus.
Mereka bahkan sudah menjalin hubungan sejak aku berpacaran dengannya. “Bang Sat, aku sudah melupakannya,” jawabku kemudian.
***
Hari itu, Sean, salah satu temanku berulang tahun. Kami merayakannya bersama teman-teman kami dengan makan bersama di sebuah kafe yang sering didatangi oleh anak-anak muda sebagai tempat nongkrong. Ketika berada di sana, tanpa sengaja aku menyaksikan Mas Abi sedang makan berdua dengan seorang perempuan cantik. Lelaki itu hanya menatapku sekilas tanpa menyapa ataupun berkata sedikitpun padaku. Di antara semua temanku, hanya Cici yang tahu bahwa dia adalah tunanganku. Untungnya hari itu dia tidak ikut, sehingga aku tidak menjadi bahan olok-olokan.
Menatap ke arah Mas Abi yang tengah asyik menikmati hidangan dengan teman perempuannya, aku memaki dalam hati. Bisa-bisanya ia tak tergoda menyapaku, atau paling tidak menatapku gitu.
“Dahayu.” Lamunanku buyar ketika Sean memanggil namaku dengan lembut. Pria itu sudah berada di depanku dan menyodorkan sesendok kue ulang tahun di depan mulutku.
“Hari ini, kamu adalah tamu teristimewa buatku. Jadi, aku ingin memberikan suapan yang pertama untukmu,” ucapnya. Anak-anak yang lain mulai gaduh menggoda kami. Mereka tahu bahwa Sean menaruh hati padaku. Tapi mereka juga tahu bahwa aku sudah menolaknya dengan halus. Ah, cowok ini seperti tak kenal kata menyerah.
“Ayolah, terimalah suapan dariku. Oke?” Ia memohon hingga akhirnya dengan ragu aku menerima suapan tersebut. Teman-temanku bersorak.
“Aku butuh sebuah ciuman selamat ulang tahun darimu. Itu adalah kado terindah buatku. Bisakah?” Sean kembali memohon. Aku merasakan mukaku memerah.
“Aku ‘kan sudah mengucapkan selamat ulang tahun dan memberimu kado,” belaku.
“Iya, tapi itu nggak istimewa. Ayolah, Yu,” Sean memohon dengan lucu. Teman-temanku yang lain pun kembali bersorak menggoda kami.
“Ayolah, Dahayu, berikan saja dia kado yang istimewa. Sekali aja, kok.”
“Iya, hanya ciuman pipi saja, kok.”
“Ya, cium! Cium!”
Mereka mulai ribut. Akhirnya aku bangkit dari kursiku, lalu menjabat tangannya.
“Selamat ulang tahun,” ucapku seraya mencium kedua pipinya. Aku ingin melakukannya dengan cepat dan segera kembali ke tempatku semula, tapi dugaanku meleset. Sean merengkuh tubuhku lalu memelukku dengan erat. Dan teman-teman kami kembali bersorak gaduh.
“Thanks ya,” ucap pria tersebut. Dengan bersusah payah, aku melepaskan diriku dari pelukannya lalu segera beranjak menjauh.
Ketika kembali ke tempat dudukku, tanpa sengaja tatapan mataku singgah ke meja Mas Abi. Dan pria itu masih saja asyik menyantap hidangan di meja, mengobrol dengan teman wanitanya tanpa melihat ke arahku.
Aku menggigit bibir dengan gemas.
Ya Tuhan, semoga ia tersedak duri ikan!
***
Bersambung
Cerpen tahun 2005 yang kurombak ulang ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro