Ga Solid, lu!
Sewaktu masa sekolah, katanya tuh ya,
Satu lulus, lulus semua!
Satu untuk semua!
Semua milik bersama!
Kalo tidak ikut patungan, tidak solid!
"Dateng ya, sparing lawan sebelah. Solid lah sama temen."
Kalo ada yang susah, temennya dibantuin tuh.
HOAX, bangsat!
Ogah, gue, dia tidak lulus masa gue ikut tidak lulus juga. Dia tidak naik kelas, terus gue harus ikut gitu? Solidaritas tai anjing! Mengatas-namakan solidaritas untuk kepentingan suatu kelompok, najis.
Solidaritas, ya, hmm ... kenapa yang dibuatin kejutan ulang tahun cuma anak-anak geng terkenal doang?
Solidaritas, ceunah, kalo anak cupu atau yang tidak pernah nongkrong mana pernah disapa dan diperlakukan layaknya teman. Tapi giliran pada mau sparing sana sini, malah minta sumbangan konsumsi ke semua anak kelas. Anjing emang.
"Kita mau sparing nih, keihklasannya dong buat bantu konsumsi kita. Jangan lupa dateng ya buat ngeramein, ya kali sekolah sendiri tanding gak ada yang dukung. Malu lah. Solidnya mana?"
Woy bangsat, yang malu kayanya lu deh. Kan lu-nya yang kegedean gengsi ngajak dan nerima tawaran buat tanding. Kenapa anak orang yang tidak ikut, bahkan tidak pernah kenal dunia tandingan begitu diikutcampurin? Terus kalau ngga mau ikut malah dibilang tidak solid. Cuihhh!
Parah sih, gue tipe yang sangat membenci contoh kejadian seminggu tiga kali di sekolah gue, oleh oknum-oknum tai ini. Yang mau tanding siapa, yang direpotin siapa. Lu menang, gue dapet apa? Selama ini aja gue tidak pernah lu ajak apa-apa. Kalau pun gue ikut, siapa yang mau jemput gue, siapa yang mau nganter gue balik, siapa yang mau duduk sebelahan nemenin manusia jelek, item, kucel, gembrot, nolep kaya gue, siapa?
Selain sparing-an, biasanya istilah solidaritas banyak diucapkan ketika ujian. Biasanya, ada 3 tipe manusia saat ujian.
Pertama, yang emang selalu nyontek. Baik lewat ponsel, catatan kertas, nanya ke teman lain atau lain hal. Contoh manusia terbangsat menyebut kata solidaritas demi mendapat contekan yang modelan gini nih. "Ya, elah, pelit lu. Gak solid amat, ntar lu mati emang ngubur diri sendiri?" et, tidak gitu anjing.
Kedua, tipe manusia yang awalnya belajar, tidak niat nyontek, sampai akhirnya bertemu dengan soal yang tidak mampu dijawab. Akhirnya, bergeraklah kepala miliknya menoleh ke kanan, kiri, depan, dan belakang demi secercah jawaban.
Ketiga, tipe yang selalu menjadi korban sasaran kata solidaritas. Tipe yang anti nyontek, anti nanya, anti nengok, belajar + menghafal materi mati-matian. Terus pas ujian, si bangsat enak banget ngeledek cuma gara-gara baper tidak dikasih jawaban.
Gini ya, buat kamu yang benci banget sama tipe ketiga. Orang dengan tipe ketiga itu sebenernya baik, mau ngajarin, mau berbagi, tapi dia pantang berbagi ketika ujian. Dia sudah merasa cukup berbagi ilmunya ketika KBM biasa. Tapi, kamu yang tidak mau memanfaatkan diri, waktu, dan otak yang kamu miliki untuk memaksimalkan apa yang sudah diajarkan sama teman-teman kamu di kelas.
Dia jadi pinter dan mau mendapat ranking, bukan karena dia mau sombong dan terlihat pintar serta diakui oleh lingkunganya. Tapi dia ingin memuaskan hasrat dia untuk mendapat hasil dan nilai yang sempurna, atau setidaknya sesuai harapan dia. Lalu, kenapa kamu membenci pilihan hidupnya yang memilih jadi orang pandai di akademis? Apa karena kamu iri, tidak cukup pandai untuk menjawab pertanyaan akademis yang ada di hadapan kamu, sampai kamu membenci orang yang seharusnya tidak patut untuk dibenci?
Sering gue mendengar, lontaran kata "Alay lo!" Terhadap curhatan si tipe ketiga yang sudah belajar mati-matian, berusaha keras pagi hingga malam untuk menguasai materi demi materi, lalu si mesin foto kopi tinggal nyalin. Lu kira papan ketik online, tinggal copas?
Andai, kalo lo menemukan kaum yang hobi nanya jawaban, tapi pas ditanya balik sok tidak tau. Nah ... tampol aja yang jenis begitu mah, emang minta dimusnahkan bajingan model satu itu.
Kalau menurut KBBI, solidaritas itu perasaan senasib alias, sifat satu rasa (senasib dsb); perasaan setia kawan: antara sesama anggota sangat diperlukan.
Ahh, tapi ada satu kisah pengalaman gue, yang di mana gue merasa cukup dihargai.
Sekolah gue terletak di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Tidak jauh dari Universitas Pamulang (Unpam). Di bulan kelima saat gue menginjak kelas sebelas, gue pindah rumah ke Cengkareng, Jakarta Barat. Kurang lebih, ±28 kilometer dari rumah menuju sekolah. Perlu menghabiskan dua jam waktu perjalanan menggunakan angkutan umum, dan satu jam perjalanan bila mengendarai kendaraan roda dua.
Gue survive, bangun jam tiga pagi, berangkat jam empat subuh, sampai di sekolah sekita jam enam kurang, kalau supir angkotnya tidak kebanyakan nge-tem. Balik sekolah, gue harus naik turun kereta, dua kali transit dan baru sampai di rumah mendekati maghrib. Satu tahun lebih, gue kurang tidur, kelelahan, dan segala macam rasa sakit dan pusing udah gue alamin. Dan karena ini pula, banyak yang respect dengan kehidupan sekolah gue. Jarak tidak jadi halangan buat gue untuk terus nyelesain sekolah. Gue tidak butuh label atau dilabeli bahkan melabeli seseorang dengan solidaritas. Mendapat empati dari orang lain aja, gue merasa sudah cukup.
Mereka yang terkejut mendengar penuturan perjuangan gue sampai ke sekolah hingga pulang ke rumah menjadi penyemangat gue setiap hari. Rasa simpati dari teman-teman se-kelas gue yang turut prihatin, walau hanya segelintir dan tidak sesering itu selalu gue jadikan motivasi.
Gue ga butuh solidaritas tai anjing dari sekelompok orang yang tidak pernah survive atas hidupnya sendiri. Gue solid, dengan cara gue, membantu dengan cara gue, serta gue menghargai kebaikan orang lain dengan cara gue.
Jangan batasin kebaikan orang lain dengan pandangan solidaritas di kepala lo yang cuma nguntungin lo dan beberapa dayang-dayang di sebelah lo. Nih, orang-orang yang survive tanpa teman, tanpa circle, tanpa tongkrongan, ga butuh bacot solidaritas dari lo semua tuh ga butuh.
Gue tidak berharap disupport banyak orang, gue cuma berharap, jangan pernah bawa kata solidaritas di depan wajah gue dan di telinga gue. Itu kata paling memuakkan dan sangat gue hindarin. Berhenti menyalahkan orang dengan kata tersebut, cuma karena lu tidak mendapatkan apa yang diinginkan.
Usaha sendiri-lah anjing, udah gede, otak ada. Tubuh sempurna, tidak cacat, bukannya bersyukur dan upgrade diri, malah kebanyakan nyalahin orang lain.
Susah, ya, buat kalian berdamai sama diri sendiri? Bersyukur dan menerima apa yang kalian punya, kalian dapatkan, dan sedang kalian alami. Orang lain bisa damai dan tenang aja di pandangan lo yang kebanyakan gelisah, itu karena dia tidak banyak mengeluh kaya' kalian.
Bersyukur sama hal-hal simpel, tidak bisa, ya?
Bersyukur masih bisa menghirup oksigen hingga saat lu membaca tulisan ini.
Bersyukur masih memiliki kasih sayang yang utuh.
Bersyukur memiliki sedikit orang yang mau menerima lu apa adanya.
Bersyukur masih diberi kesempatan hidup untuk berbuat baik, berbagi kepada sesama, dan beramal untuk di akhirat nanti.
Bersyukur banyak cerita di sekita yang bisa jadi motivasi hidup.
Bersyukur masih memiliki anggota tubuh yang lengkap tanpa cacat parah.
Kadang manusia lupa, apa yang dia miliki, selalu saja dirasa kurang. Padahal banyak di luar sana yang mengimpikan hidup seperti dia. Memandang yang di atas tak akan pernah ada habisnya. Maka dari itu, tengoklah ke bawah, agar kau tahu, bagaimana caranya bersyukur.
Buang jauh-jauh temen yang dateng minta sesuatu atas namain kata solidaritas. Kalo solid, tidak perlu bicara juga pasti dibantu. Asal, lu termasuk orang yang sadar diri, apakah lu pantas dibantu atau tidak.
Pantaskan diri lu untuk mendapat sesuatu yang lo inginkan. Seseorang bijak pernah berkata, "Jika alam belum memantaskan kamu untuk mendapatkannya, makan sampai kapanpun, kamu tidak akan pernah mendapatkannya. Maka, pantaskanlah dirimu untuk mendapatkannya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro