Truth hurts
Panggilan semalam membuat Abu tidak bisa tidur. Ia hanya bisa menatap langit-langit kamarnya di dalam kegelapan. Ia merasakan senang dan sedih bersamaan. Suara ayahnya yang sudah lama tidak ia dengar membuat hatinya tenang, tapi pesan terakhir saat ayahnya menutup telepon membuat hatinya teriris.
"Ayah bakal pergi, Bu. Jauh, nggak bakal ganggu kalian lagi."
Bagaimana rasanya mendengar kalimat seperti itu? Apalagi datang dari seorang ayah, lelaki yang pertama kali menyayangi dirinya. Bahkan kata ganggu tidak pantas diucapkan oleh beliau. Abu terus memikirkan kata itu sepanjang malam, sampai kedua matanya tertutup tak sanggup menerima riuh akan kabar kepergian ayahnya.
🌫️🌫️🌫️
A
bu turun ke bawah dengan kemeja kotak yang tidak dikancing dan kaos putih. Kalung di lehernya menambah kesan Abu akan bertemu seseorang yang penting hari ini.
"Looking sharp and dapper, bro. Mau ke mana lu?"
Abu berhenti sejenak sebelum mengeluarkan kata yang harus ia keluarkan. Ia tahu bahwa adiknya tidak akan suka mendengar ide bahwa ia akan bertemu dengan sang ayah.
"Silent treatment, really?" Jingga menaikan nada bicaranya.
"Mau ketemu papah." Abu menatap adiknya. Jingga menggelengkan kepala dan pergi ke dapur tanpa berbicara lagi.
"Papah bilang dia mau ketemu sama ...."
"Nope, not interested. Lu aja yang pergi." Jingga akan memilih berdebat dengan kakaknya sendiri dibandingkan membicarakan hal yang bersangkutan dengan orang tuanya.
"Ing ...."
"Daripada kita ngobrolin seseorang yang gak harus diobrolin mendingan lu kasih tahu perkembangan surat yang lu dapetin kemarin." Jingga menaruh sereal ke meja makan dengan keras. "Gimana?"
Abu menghela napasnya. Ia mengerti adiknya belum siap menerima topik yang membicarakan ayahnya. Ia selalu menjadi penengah. Lebih tepatnya anak yang tidak mau mempunyai masalah dengan orang lain dan ingin semua baik-baik saja.
"Ya, gitu. Kayaknya gua rasa bukan Ningsih yang gua kenal. Kayaknya itu cuman nama pena."
"Bener juga. Terus gimana perasaan lu pas ngebuka suratnya?" Pipi Abu mendadak memerah, seolah kejadian pagi hari itu terulang kembali.
"That good, huh?" ejek Adiknya.
"Oh, shut up." Abu menggelengkan mata. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan senyuman itu dari wajahnya.
Adiknya tersenyum puas. Abu terlihat lega dengan respons itu, tapi ia juga khawatir akan adiknya yang terus menghindar seperti ini.
🌫️🌫️🌫️
Hari Kamis sudah seperti hari libur kedua bagi Abu. Kelas hanya satu kali dan tidak ada tambahan kumpul himpunan atau kegiatan lain. Jikalau ada waktu biasanya Abu menghabiskan dirinya membaca buku atau menonton series di dalam kamar, tapi hari ini ia sudah memiliki rencana.
Setelah kelas dan mendapatkan pujian oleh banyak mahasiswa fakultas sebelah karena style pakaiannya, ia sekarang sedang menunggu seseorang di sebuah cafe. Dengan latte di meja dan separuh kue tiramisu, ia menghabiskan waktu dengan menjelajahi cerita yang belum ia tuntaskan.
"Abu?"
Suara itu langsung ia kenali. Suara serak dan lembut itu kini terdengar lagi. Suara sama yang membesarkan dirinya menjadi Abu yang orang kenali.
"Hi, Pah." Abu tersenyum dan meletakan bukunya.
"You won't give me a hug?" Abu berdiri dan memeluk ayahnya yang mungil itu. Sudah lebih dari dua tahun ia tidak merasakan kehangatan ini. Mereka akhirnya saling bertukar pandangan.
"Look at you! Tinggi, cakep, and even know how to dress neatly! Tawaran jadi model masih terbuka, loh." Ia mencubit pipi anak sulungnya.
"Pah, gak malu dilihatin orang?" Abu sudah malu setengah mati.
"Kamu nih, ya, emang gak bisa dipuji." Ia mengacak-ngacak rambut anaknya.
Keduanya duduk. Ayahnya memanggil pelayan dan memesan makanan. Abu yang cekatan masih ingat dengan menu kesukaan Ayahnya.
"Milkshake vanila dan juga roti bakar Nutella. Rotinya setengah mateng aja. Pops, you are too predictable."
"Oh, sekarang udah berani ya nge-judge Papah. Hebat-hebat." Ayahnya memasang muka masam.
"Nggak, maksud aku---"
Ayahnya langsung tertawa melihat respon anaknya yang seperti itu. "Abu, jangan terlalu serius. Let loose."
Bukannya ikut tertawa Abu malah teringat dengan kejadian dua tahun lalu. Kata let loose yang keluar dari mulut ayahnya waktu itu yang menjadi awal mula keluarganya menjadi rusak hingga sekarang.
"Pah, Papah mau ke mana?" Atmosfer keduanya berubah seketika.
Ayahnya tampak susah mengatakan apa yang ingin ia katakan. Ia tahu ini akan membuat anaknya terluka lagi.
"Papah mau ke London."
"L-london?"
"Papah akhirnya ditarik ke cabang sana, Bu. Mereka pengin Papah jadi designer full-time."
Hati Abu sedang ditarik sana-sini. Satu sisi ia bangga dengan pencapaian ayahnya dan sisi satu lagi ia sedih, jarak dengan ayahnya kini akan semakin jauh.
"Jadi selama ini ayah gak ada kabar, tuh, kenapa?"
"Ayah terlalu sibuk ngebuat koleksi baju sampai Ayah pernah dirawat di rumah sakit." Ayahnya terkekeh.
"Dan Papah nggak ngabarin aku sama Jingga?"
"Kamu pasti juga sibuk, kan?" tanya Ayahnya. Abu diam sejenak seolah Ayahnya tahu tentang kesehariannya.
Sibuk bukan menjadi sebuah alasan untuk tidak mengabari. Sibuk bukan menjadi sebuah tameng persembunyian jika tidak ingin meluangkan waktu. Sibuk bukan kata yang tepat jika memang tidak ingin bertemu.
Ia pun tersenyum sambil memegang kepalanya. "Iya, Pah. Abu sama Jingga juga sibuk." Ada jeda di antara keduanya. Entah Abu merasa tidak enak hati oleh jawaban ayahnya, atau sang ayah yang merasa bersalah atas apa yang ia lakukan.
"Papah ke London tanggal berapa?" tanya Abu setelah meneguk latte.
"Bulan Juni."
Tepat di bulan ulang tahun Jingga. Abu bahkan sudah tidak yakin ayahnya ingat dengan ulang tahun Jingga.
Abu kemudian mengambil tangan ayahnya dan menatap wajah yang sudah keriput itu. "Pah, Abu seneng Papah bisa wujudin mimpi Papah, Papah jangan lupain Abu, Jingga, sama Mamah kalau udah di sana."
Ayahnya tertawa. "Sebenernya Papah mau minta tolong ke kamu, Bu."
"Minta tolong apa?"
"Papah minta kamu ajak Mamah sama Jingga anterin ke bandara nanti, bisa?"
"Abu usahain, ya, Pah."
Abu tahu itu adalah hal yang sangat tidak mungkin dilakukan. Mungkin ada secercah harapan, tapi Abu sendiri tidak percaya jika harus menaruh hal itu kepada manusia.
Dari situ ayahnya mengajak Abu untuk membicarakan kuliah dan kesibukannya saat ini. Keduanya mengobrol sampai akhirnya matahari mulai membenamkan diri. Mereka beranjak dari kursi dan berpamitan. Sebelum ayahnya menghilang dari pandangan Abu pun melontarkan satu pertanyaan terakhir.
"Pah." Sang ayah menoleh. "Are you happy now?"
Ayahnya menghela napas. "I don't know, tapi setelah Papah ketemu kamu. Papah ngerasa seneng banget. Kalau kamu?"
Abu hanya menyeringai. "Pah, nama aku Abu. Pastinya papah tahu gimana perasaan aku."
Ayahnya menelan kata-kata itu. "Bu, I'm very sorry for what I---"
"Papah gak usah minta maaf. Papah gak pernah punya salah sama aku, tapi Papah harusnya minta maaf sama diri papah sendiri. Aku duluan ya, Pah."
Entah apa yang dipikirkan Abu. Ia belum pernah membiarkan emosinya meluap seperti tadi. Itu adalah perpisahan yang buruk.
🌫️🌫️🌫️
Abu kembali rumah dengan membawa dua kotak es krim kesukaan Jingga. Ia agak terkejut ketika yang membukakan garasi adalah temannya dekat Jingga, Ari.
"Malem, Bang. Jingganya lagi sibuk apalin koreografi aku jadinya yang buka pintu," ucap bocah lelaki itu dengan seragam yang sudah kusut.
"Ri, jangan mau dibabuin Jingga. Nanti dia keenakan." Bocah itu hanya tersenyum dan menggaruk kepalanya yang gatal.
"Nih, buat kamu sama Jingga." Abu memberikan dua kotak es krim itu kepada Ari. Ari membalasnya dengan jempol dan berlari ke arah ruang tengah.
"Ari, the magic word please." Suara Abu menggelegar dari garasi.
"Makasih Bang Abu!" Suara Ari pun tidak mau kalah kerasnya.
Abu akhirnya melewati ruang tengah. Ia melihat adiknya dan Ari sedang intens menghapalkan gerakan yang entah akan ditampilkan untuk apa. Biasanya akhir bulan Jingga akan memberikan Abu tiket untuk lihat pertunjukannya di Mall. Namun, semenjak ada Aiesec ia sudah jarang memberikan Kakaknya tiket. Dan Jingga juga terlihat pengertian soal Kakaknya yang selalu sibuk.
Abu melewati mereka berdua dan langsung berjalan ke kamarnya. Ia membebaskan diri ke kasur dan menatap langit-langit. Biasanya ia akan tertidur dan bangun tengah malam, tapi ketika ia melihat ke meja, dirinya bangun dan membuka kotak yang berisikan surat.
Ia pun mencari dengan seksama surat bernomor dua. Ia mendapatkannya lalu membaca tulisan yang berada di surat itu.
"Truth may hurts, but lies can kill."
"Dokter bilang aku harus pergi ke rumah sakit seminggu dua kali mulai dari sekarang. Menjadi perempuan penyakitan itu memang menyusahkan banyak orang. Kamu tahu? Aku baru aja dibilang seperti itu oleh teman dekatku dan entah kenapa dia yang nangis. Dia cuman khawatir, tapi tetep aja itu sakit. "Kamu tuh sadar gak sih kamu penyakitan?" Oof. Mengingatnya saja bikin aku sakit kepala.
Tapi kamu tahu, nggak? Dokter bilang kalau aku gak di-cek secepatnya penyakit ini malah bisa nambah parah. I'm grateful that my friend tell me that. Walaupun sakit awalnya, kejujuran atau fakta yang nyata itu bisa jadi penyelamat akhirnya.
Have you ever tell the truth to someone? Or you just pretend behind the lies?"
[Note: Aku lihat kamu kecewa sama temen sekelompok kamu pas tadi presentasi, kamu tahu kan, kamu bisa bilang jujur soal apa yang kamu rasain?]
Abu merasa lega setelah selesai membaca surat tersebut. Ia merasa memiliki teman yang sedang berbicara memberikan dirinya sebuah saran.
🌫️TBC🌫️
Hello fwieeeends! Anjai udah masuk chapter tiga. Gak kerasa banget kan, ya? Anw, how was it? Nulis chapter ini agak dapet perasaan lega dan bersalah, sih wkwk. Semoga kalian suka dan tetep ikutin kisah Abu!
Jangan lupa klik tombol bintang di kiri dan juga komen kalau kalian suka! Makasih semuanya.
- With love, Koko
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro