Pria sembilan belas tahun
"We just met, but I'm already fall,
we look each other eyes, but I'm the only one who feel the spark,
your voice is clear, that make me disappear,
I don't know how to desribe this, but I'm sure,
we can have a future together."
Pagi buta. Abu memutuskan untuk membaca surat pertama yang di dapatkan dari kotak yang ia terima dan itu adalah ide buruk.
Lelaki 19 tahun ini tidak pernah mendapatkan surat dari siapapun. Apalagi surat cinta. Ia hanya sering membaca itu di novel yang ia beli. Abu tidak bisa menahan rasa melihat sesuatu yang romantis di depannya. Keadaan Abu sekarang tidak bisa dideskripsikan. Karena sisi ini lah yang tidak pernah ia tunjukan ke orang lain, bahkan adiknya.
Tangannya bergetar hebat. Seolah surat di tangannya itu adalah cek sebesar satu milyar yang ia dapatkan dari lotere. Kedua pipinya merah padam. Senyumnya tidak terkontrol. Ia mengambil bantal, mengubur wajahnya di buntalan kapas itu. Ia kembali ke ranjang dan memukul-mukul kasurnya gemas. Ia adalah Ananda Grey Aldrian. Pria sembilas tahun yang belum merasakan cinta.
"Control yourself Abu!" ia menampar dan meneriaki dirinya sendiri. Ia masih takut membaca semua tulisan di surat pertama. Ingat, ini masih surat pertama. Masih banyak surat lain yang belum dibuka. Ia pun memberanikan diri untuk membaca paragraf kedua.
"Oke, puisi di atas cringe. -1/10." Abu tertawa. Baru kali ini ia melihat penyesalan langsung dari seorang penulis.
"Maaf kamu harus baca itu, tapi, aku harap kamu gak ngira aku orangnya cringe. Faktanya, cringe banget. Dan jujur aku bakal pake helm selama-lamanya kalau surat ini ternyata salah kirim." Ia tertawa lagi.
"Ibu bilang aku terlalu baca banyak buku. Padahal faktanya, betul. Aku terlalu ansos buat interaksi sama orang. Do I need friends though I have a book on my side? Kalau saya sih, yes, gak tahu Mas Anang. Nah, kan, udah cringe lagi. Let's get to the main point why I wrote this letter. Aku kesepian, aku butuh teman, dan aku yakin you are the right person to receive this message."
Alis Abu terangkat. Mengapa harus dirinya? Lelaki biasa saja yang menganggap hari-harinya selalu sama. Adakah yang spesial dari dirinya?
"Kamu bukan orang spesial sebenarnya." Baru saja ia memikirkan itu, langsung dijawab kontan. Agak sakit dan terlalu menusuk.
"Entah karena aku gak jago ngobrol sama orang, atau aku gabut punya banyak stok amplop di kamar jadi akhirnya aku ngirim ini ke kamu. Pokoknya dibaca aja, ya. Tapi gak boleh dibaca tiap hari, nanti mules, aku gak ngasih obat di dalam amplop abisnya. I know this is not a great first letter, but thank you for reading this."
Di bawah paragraf terakhir ada strip dan sebuah nama di ujung kanan. "Nila Ningsih". Ketika dirinya akan menutup surat itu ia melihat ada sebuah tulisan di bawah surat. Ia belum membaca bagian itu.
"Note: Aku gak suka kamu sekarang. Tapi nggak tahu kalau besok."
Kalimat terakhir itu membuat seorang pria yang membacanya mendapat serangan jantung seketika.
🌫️🌫️🌫️
Kegembiraan yang ia rasakan pagi tadi seolah sudah menguap oleh panas matahari ketika kakinya menyentuh lapangan parkir Universitas.
Mahasiswa berlalu-lalang. Melewati Abu dan menatapnya. Ia tidak memakai beanie putihnya hari inI, jadi rambut abunya menjadi bahan tontonan bagi banyak orang.
Jalan menuju gedung fakultas seperti sangat lama dan memakan banyak waktu. Dengan pakaian yang ia pakai sekarang memang semua orang akan terkesima dan mengira dirinya seorang model.
"Eh, itu siapa deh? Kok kayak gak pernah lihat."
"Dia anak fakultas mana?"
"Berani banget ngecat rambut kayak gitu."
Manusia dengan opininya memanglah menjadi ciri khas. Saat ia memasuki aula, semua mata menuju padanya, tapi tidak lama. Mereka sudah biasa melihat Abu dengan rambut abunya.
Masih ada waktu sepuluh menit. Ia pun mengambil novel yang kemarin ia beli dan juga sebuah kacamata. "The Sun is also a Star" adalah judul dari novel tersebut. Pria ini mempunyai banyak koleksi cerita romansa, dari buku lama sampai yang paling baru. Abu seharusnya mendapat gelar sarjana soal cerita cinta, tapi dibanding mempraktikannya secara langsung ia lebih memilih membaca cerita cinta fiksi dan membayangkan jika itu terjadi padanya.
Gebrakan di pintu Aula mengejutkan semua orang yang ada di sana. Ada empat orang perempuan yang masuk bersamaan, mereka tertawa terbahak-bahak. Abu melihat keempat orang itu dan menatap ke salah satu orang. Ningsih. Abu menatapnya sampai ia duduk. Kedua mata pun bertemu. Satu tersenyum manis dan satu lagi tersipu malu.
🌫️🌫️🌫️
"Kayaknya kalau itu Ningsih gak mungkin gak, sih?" ucap dirinya bermonoton. Ningsih orang yang suka berbicara, ia tak terlihat seperti perempuan yang memilih menjerumuskan diri dengan buku.
"Bu, giliran lu, cuy." Suara itu datang dari laptopnya, ia hampir lupa dirinya sedang ada meeting perdana Aiesec. Yang baru saja memanggilnya itu Ilran, vice-president TM sekaligus satu dari sepuluh orang yang benar-benar ingin mengenal dirinya.
"Maaf-maaf. Tadi formatnya gimana, ya?"
"Lu jangan stress dulu napa, belum mulai term udah mikirin materi masterclass aja," ucap Ilran dengan nada yang mengejek.
"Formatnya, nama, univ, prodi, jabatannya apa, sama minta," jawab salah satu orang.
" Minta? Minta apa?" Abu kebingungan.
"Minta no wa-nya dong ganteng. Jiaaakh." Abu langsung mematikan kameranya. Tiga orang lainnya puas tertawa. Yang tadi adalah Lusi, Team Leader dari Talent Engagement and Relations. Dan satu orang lagi Koming, Team Leader Acquisition and Retention.
"Bu maap, ye, sengaja banget gua lakuinnya." Lusi masih tertawa dengan gombalannya sendiri.
Abu kemudian ikut tertawa, ia memang suka menjadi incaran Lusi sebagai target gombalan terbarunya. Ia pun meneguk air untuk membuat dirinya lebih tenang. Kamera laptopnya pun dinyalakan kembali.
"Halo semua, kenalin gua Abu, dari UPI. Gua mahasiswa psikologi semester 4. Jabatan sekarang, team leader dari talent development and analytics. Salam kenal."
Ini adalah tahun kedua dirinya berada di Aiesec. Abu memutuskan untuk kembali ikut karena ia ingin menggali lebih dalam interestnya di bidang human resource. Functional Talent Management sangat cocok dengan hal itu, walaupun ia kadang merasakan dirinya kurang "hidup" seperti anak TM yang lain.
Sekarang dirinya menjadi seorang team leader. Tanggung jawab yang ia emban lebih besar dan ia harus bisa menuntun staff-staffnya nanti. Progres Abu dari awal masuk hingga sekarang memang tidak sesignifikan Ilran yang di tahun kedua sudah menjadi vice president, tetapi skill menggunakan spreadsheet dan menentukan rumus bisa dibilang di atas anak TM yang lain.
"Oke, karena semuanya udah perkenalan. Gua mau ngobrolin soal pembagian tugas dan juga staff. Tapi, kita ke staff dulu aja. Buat Koming staff lu bakal ada tiga orang, Lusi dua orang, dan Abu empat orang."
"Buset Abu banyak banget, Ran? Kemarin TDA cuman dua perasaan," jawab Koming.
"Ini di IGv staff-nya dikurangin dan emang banyak yang diurus buat TDA, jadi ditambah. Bu, lu gapapa, kan?"
Abu belum menjawab. Ia sekarang sibuk menebak siapa pengirim asli kotak tersebut. Ia yakin nama Nila Ningsih hanya nama pena tidak mungkin itu Ningsih yang ia kenal. Tapi tebakannya itu terbantahkan oleh fakta bahwa pesan pertama di kotak itu menyebutkan "Dari Nila Ningsih seseorang yang kau kenal". Abu dibuat pusing oleh tebakannya sendiri.
"Kayaknya dia tertekan duluan deh, Ran," timbal Lusi.
"Earth to Abu?" Ilran menaikan suaranya.
"Eh, iya. Maaf-maaf. Gimana jadinya?"
Ilran hanya tersenyum melihat temannya kikuk seperti itu. "Kieunya Mr. Gray." Aksen Sunda Ilran sudah keluar tandanya ia tidak ingin ada pertanyaan lagi. "Nanti TDA staff-nya empat orang. Lu keberatan, nggak?"
Pikiran Abu masih fokus dengan hal lain."Oke, siap."
Koming dan Lusi yang mendengar Abu menjawab seperti itu sudah tidak heran. Ia memang terkenal tidak pernah membantah atau pun mengeluh dengan tugas yang diberikan. Jika Abu dibayangkan oleh teman-teman Aiesec-nya pria itu dilambangkan sebuah mobil yang ada di jalan tol dan tak pernah keluar dari sana.
"Bu, beneran?" Ilran bertanya sekali lagi.
"Is okay." Abu bahkan tidak menyimak apa pertanyaan yang dilontarkan Ilran.
"Oke, cool. Kita lanjut ke program yang bakal kita jalanin." Ketika Ilran membuka PPT di layar ponsel Abu pun berdering.
"Ran, izin offcam bentar ada telepon."
Di layar ponselnya kini ada nama dari orang yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Dirinya sendiri terkejut, karena jika nama itu menelponnya maka ada sesuatu yang penting akan terjadi.
"Halo?" jawab Abu.
Suara itu menghela napas. "Halo, Bu. Kangen papah, nggak?"
🌫️TBC🌫️
Halo meet again dengan Koko guys! Chapter dua beres deket dengan deadline. Hadu kebiasaan emang ini ya. Di part ini kita tahu bahwa Abu anak Aiesec nih guys, ada yang tahu Aiesec itu organsasi apa? Kalau tahu boleh kasih jawabannya di komen, ya!
Jangan lupa klik tombol bintang di kiri dan juga komen! Terima kasih semuanya ✨
- With love, Koko
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro