Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mimpi dan juga memori

Wangi kertas tebal yang diisi tinta melayang-layang di sebuah ruangan besar bertabrakan dengan dinginnya AC. Bisik-bisik dari beberapa jiwa yang berada di sana seharusnya ditindak karena mulai menganggu pendengaran lelaki yang berada di rak ujung. Bukankah sudah seharusnya menjaga alat bicara tertutup rapat saat di dalam perpustakaan? monolog pria yang memakai beanie putih dan juga celana panjangnya yang kelebaran.

Selalu saja tempat ini, selalu saja dengan benda mati dirinya bebas bisa berekspresi dan dapat berinteraksi. Pelajaran-pelajarandi kelas sungguh membosankan, entah karena ia mudah memahami atau karena ia selalu menyendiri? Ah, siapa juga yang punya waktu untuk bercengkrama dan bertemu manusia lain, toh, menjaga hubungan keluarganya tetap harmonis saja belum bisa, mengapa memaksakan hal yang lain?

Buku denga latar hitam dengan seorang perempuan tinggi mengenakan gaun panjang menjadi sampul depan buku tersebut. Tubuh kecil itu ditutupi mantel berbulu dan dari mata hingga kepalanya ditutupi garis coklat yang seolah menutup identitas sang perempuan. Buku ini sudah setengahnya laki-laki itu baca, ia terus kembali ke tempat ini melahap habis buku klasik yang ia temukan. Memang banyaknya fiksi dan isinya juga tentang cerita dua insan yang saling jatuh satu sama lain pada akhirnya. Setelah mendapatkan buku, lelaki itu pun pergi ke sebuah pintu yang dipasangi sebuah larangan untuk tidak masuk selain karyawan.

Namun, dengan penuh percaya diri ia masuk dan menaiki sebuah tangga yang memutar ke atas. Ia seolah sudah menjadi langganan ke sini. Di ujung tangga terdapat sebuah pintu. Pintu pun ia buka dan langit pun berubah menjadi gelap dengan sinar rembulan memancarkan sinarnya dengan indah. Gugusan bintang berkelap-kelip ada sebuah kursi yang menunggu untuk duduki di tepi gedung ini. Laki-laki ini menggambil singgasana dan mulai melanjutkan bacaanya.

Jika setiap membaca buku imajinasinya langsung melambung tinggi memenuhi kepala, kini hal lain yang memenuhi hal tersebut. Suara dari dua figur yang sedang memenuhi kepalanya tidak bisa diam dari jam pelajaran tadi. Bahkan buku yang sedang ia pegang sekarang merepitisi apa yang tertulis di pembukaan cerita.

"Happy families are all alike; every unhappy family is unhappy in its own way."

Terus ia buka halaman baru, tetapi hanya kalimat itu yang ia temukan seolah bukunya tahu tentang apa yang sedang ia pikirkan dan apa kenyataan yang ingin ia lupakan. Satu kata yang menjadi kata keributan semua ini. Keluarga.

Seketika angin kencang melewati gumpalan daging yang sedang gundah gulana. Besarnya angin membuat halaman-halaman di buku seolah diacak-acak dengan tidak karuan. Pembatas bukunya jatuh ke lantai, tepat dengan kedatangan seorang perempuan yang mata dan kepalanya ditutup oleh sebuah garis hitam sama seperti perempuan yang berada di sampul buku yang ia baca. Bedanya perempuan ini memakai baju seragam sama seperti dirinya. Senyuman hangat pun terlontar dari wajah sang gadis, ia pun mendekatkan diri dan kakinya berhenti tepat di depan sang laki-laki.

Tangan kanan perempuan itu memegang pembatas buku dan menjulurkan kepada sang lelaki. Senyumannya belum pudar, benar-benar bisa mengalihkan dunia. Setelah pembatas buku itu diambil, angin kencang pun berhenti dan semuanya kembali seperti semula. Perempuan itu berjalan semakin mendekat dan tiba-tiba memeluk sang lelaki dengan erat, di sela pelukan ia pun mengarahkan mulutnya ke arah telinga dan di sana ia menyampaikan tugasnya.

"If you look for perfection, you'll never be content, Abu. Everything will be alright. I'll promise.”

Abu tidak ingin menumpahkan semua kesalnya kepada Ningsih karena memang bukan salah dirinya sepenuhnya. Abu hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka yang tidak bisa hadir di meeting kemarin mempunyai keberanian memposting kegiatan mereka di tempat lain padahal mereka masih memiliki tanggung jawab.

"Kenapa mereka bisa ngeyakinin gue buat nggak bikin janji sama Ilran, tapi mereka sendiri gak bisa nepatin omongan mereka? Dan dengan alasan lupa mereka lolos aja gitu?" ucal Abu mencoba untuk tidak menaikan suaranya.

"Gua gak tahu mereka bakal gitu. Maafin gu-"

"Jangan minta maaf. Lu nggak salah. Kenapa deh, lu ngebela mereka udah tahu itu kesalahan temen-temen lu. Lu disuruh mereka buat ngobrol sama gue?" Ada jeda di seberang telepon. Dugaan Abu sepertinya benar.

"Ning. Gua gak marah sama lu atau pun temen-temen lu. Gua kecewa, karena gua udah mindahin schedule lain buat bisa ngerjain ini sama kalian. Kalau ngerasa gak bisa ya, gak bisa bilang. Jangan maksain gitu. I dont need your apologies, I want you and your friend honesty thats all." Abu akhirnya bisa mengeluarkan apa yang ingin ia keluarkan. Walaupun ia seharusnya mengatakan ini ketika bertemu dengan mereka langsung, tapi Abu merasa sekarang waktu yang tepat.

"Jadi gini, Bu. Mereka tadinya mau ngajak elu ke tempat yang ada di sg-nya Cesa, bukan buat meet zoom. Mereka udah punya empat tiket. Tapi, pas tahu lo penginnya meeting, yaudah mereka gak mau tiket yang mereka beli hangus."

"Kenapa mereka gak bilang itu dari awal?" tanya Abu penasaran.

"Mereka udah tahu lu gak bakal mau diajak ke tempat kayak gitu."

"Ke museum seni maksudnya? Kenapa mereka mikir gitu? I love arts. I like to appreciate them. Jangan bilang karena gua yang kelihatan serius gini I don't like to do something fun. To hanging out. Beside I-"

"Gua yang bilang lu gak bakal mau diajak ke sana karena lu sibuk."

"Hah?" Abu mendadak bingung. Yang tadinya ia akan memborbardir Ningsih dengan banyak penjelasan hal itu lenyap ketika ia mendengar jawaban dari Ningsih.

"Iya, gua yang bilang. Gua juga gak mau lu nanti malah diajak ke club sama mereka karena udah dari museum mereka pasti ke sana. I know we are adults, but you don't seem like the type to do that. Gua harusnya gak sok tahu soal diri lu. For that I'm sorry. So so sorry. I can take the blame for this."

Abu tidak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar penjelasan Ningsih. Kekecawaanya pudar dan terjawab setelah mendengar penjelasan tersebut. Bahkan pertama kalinya juga ia mendengar Ningsih dengan aksen britishnya. Ia mungkin agak sedikit salah fokus karena itu.

"Bu? Are you there?"

"Iya-iya gua masih di sini. Thank you for your explanation, Ning. I know you just looking out for me, thanks for that, but next time biarin aja mereka ngomong langsung ke gua. Biar jadinya gak asal janji dan ngomong. For your information juga gua suka ke museum. Kita bisa lebih deket juga, kan, jadinya?."

"Deket satu sama lain?"

"Iya. Biar ada bonding satu kelompok. Kita juga bisa ngomongin tugas sambil rekreasi. Iya, kan?"

"Hmm ... iya juga, sih. Maaf ya, Bu." Jika senyum Abu bisa membuat satu kota mati listrik, maka suara Ningsih bisa membuat yang mendengarnya seperti ada di tempat sejuk yang menenangkan hati dan Abu baru saja merasakan itu.

"Gak usah minta maaf, lu gak ada salah Ning."

"Oke, Bu. Kalau gitu gua matiin dulu, ya. Maaf sekali lagi kalau gua ganggu. Duluan, Bu."

Telepon pun dimatikan. Abu tak menyangka ia bisa menangani hal ini dengan cukup tenang. Dan mendengar alasan Ningsih yang "melindunginya" membuat lelaki ini merasa agak sedikit percaya dengan ide Ningsih ini yang mengirim surat yang ia terima.

🌫️TBC🌫️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro