Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Make-up call

Kejadian semalam menjadi pelajaran untuk Abu. Tidak, dia tidak akan mengucilkan diri dan membenci semua manusia pastinya. Ia sudah lama tidak mendapatkan tamparan keras untuk sepenuhnya percaya pada manusia dan juga omongannya. Tentu, ini bukan pertama kali Abu diingkari janji oleh temannya sendiri, tapi kenapa semua orang suka memaksakan sesuatu walaupun pada buktinya mereka tidak bisa? Ah, mungkin Abu saja yang terlalu terpatok dengan jadwal dan ia merasa berat hati harus melewatkan sesi 020 bersama Ilran.

Pemuda sembilan belas tahun ini mentransferkan energi negatifnya ke buku yang ia baca, karena lebih mudah memaki seorang tokoh fiksi dibandingkan manusia asli, bukan?

"Well as expected, Mr.Darcy is a living tsundere. They both have spark when they first meet yet they still bickering over each other personality."

Nada abu ketus mengucapkan komentar tentang apa yang ia baca. Membaca buku yang direkomendasikan si pengirim surat sangat membantu Abu mengobati rasa kesal kepada teman-teman satu kelompoknya. Konflik antara Elizabeth dengan dirinya sendiri mungkin tidak apa yang ia rasakan saat ini walaupun konteksnya bukan soal percintaan.

"Tapi apakah iya keluarga Bennet juga segakpunya itu? Kenapa semua harus menikah dengan seseorang yang berstatus tinggi? Sure, it will raise their status, but what if, you doesnt love that person at all? Or their personalities is far from your expectations? Marry is a sacred thing, why everyone want to rush it?"

Seolah komentator pertandingan olahraga. Abu sangat piawai mengoceh dan memberikan opini terhadap apa yang ia baca. Mengkritik setiap karakter jika melakukan sesuatu yang bodoh atau akan melakukan hal tersebut, bahkan mengeluarkan sumpah serapah dan berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan berbuat seperti itu jika kejadian di novel terjadi padanya. Jika Jingga merupakan debater handal yang bisa menjatuhkan orang nyata, kakanya lebih memilih memaki tokoh fiksi atas apa yang mereka perbuat.

Tak lama sebelum Abu angkat bicara lagi teleponnya berdering. Ia beranjak dari kasur dan melihat notifikasi layar memperlihatkan salah satu nama yang mengecewakannya malam kemarin. Ada keraguan dari dalam diri Abu untuk menjawab telepon itu, tapi ia tahu ia tidak akan kemana-mana bila tidak membicarakan hal ini.

"Halo?" tanya Abu mengangkat telepon itu.

"Halo, Bu. Pagi. Aku ganggu gak?" Suara perempuan di seberang membuat Abu mengeluarkan napas yang cukup panjang.

"Nggak, Ning. Ada apa?" jawab Abu dengan nada yang datar.

"Bu, maafin temen-temen gue, yak. Udah gua ingetin tapi mereka lupa."

Abu tidak ingin menumpahkan semua kesalnya kepada Ningsih karena memang bukan salah dirinya sepenuhnya. Abu hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka yang tidak bisa hadir di meeting kemarin mempunyai keberanian memposting kegiatan mereka di tempat lain padahal mereka masih memiliki tanggung jawab.

"Kenapa mereka bisa ngeyakinin gue buat nggak bikin janji sama Ilran, tapi mereka sendiri gak bisa nepatin omongan mereka? Dan dengan alasan lupa mereka lolos aja gitu?" ucal Abu mencoba untuk tidak menaikan suaranya.

"Gua gak tahu mereka bakal gitu. Maafin gu-"

"Jangan minta maaf. Lu nggak salah. Kenapa deh, lu ngebela mereka udah tahu itu kesalahan temen-temen lu. Lu disuruh mereka buat ngobrol sama gue?" Ada jeda di seberang telepon. Dugaan Abu sepertinya benar.

"Ning. Gua gak marah sama lu atau pun temen-temen lu. Gua kecewa, karena gua udah mindahin schedule lain buat bisa ngerjain ini sama kalian. Kalau ngerasa gak bisa ya, gak bisa bilang. Jangan maksain gitu. I dont need your apologies, I want you and your friend honesty thats all." Abu akhirnya bisa mengeluarkan apa yang ingin ia keluarkan. Walaupun ia seharusnya mengatakan ini ketika bertemu dengan mereka langsung, tapi Abu merasa sekarang waktu yang tepat.

"Jadi gini, Bu. Mereka tadinya mau ngajak elu ke tempat yang ada di sg-nya Cesa, bukan buat meet zoom. Mereka udah punya empat tiket. Tapi, pas tahu lo penginnya meeting, yaudah mereka gak mau tiket yang mereka beli hangus."

"Kenapa mereka gak bilang itu dari awal?" tanya Abu penasaran.

"Mereka udah tahu lu gak bakal mau diajak ke tempat kayak gitu."

"Ke museum seni maksudnya? Kenapa mereka mikir gitu? I love arts. I like to appreciate them. Jangan bilang karena gua yang kelihatan serius gini I don't like to do something fun. To hanging out. Beside I-"

"Gua yang bilang lu gak bakal mau diajak ke sana karena lu sibuk."

"Hah?" Abu mendadak bingung. Yang tadinya ia akan memborbardir Ningsih dengan banyak penjelasan hal itu lenyap ketika ia mendengar jawaban dari Ningsih.

"Iya, gua yang bilang. Gua juga gak mau lu nanti malah diajak ke club sama mereka karena udah dari museum mereka pasti ke sana. I know we are adults, but you don't seem like the type to do that. Gua harusnya gak sok tahu soal diri lu. For that I'm sorry. So so sorry. I can take the blame for this."

Abu tidak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar penjelasan Ningsih. Kekecawaanya pudar dan terjawab setelah mendengar penjelasan tersebut. Bahkan pertama kalinya juga ia mendengar Ningsih dengan aksen britishnya. Ia mungkin agak sedikit salah fokus karena itu.

"Bu? Are you there?"

"Iya-iya gua masih di sini. Thank you for your explanation, Ning. I know you just looking out for me, thanks for that, but next time biarin aja mereka ngomong langsung ke gua. Biar jadinya gak asal janji dan ngomong. For your information juga gua suka ke museum. Kita bisa lebih deket juga, kan, jadinya?."

"Deket satu sama lain?"

"Iya. Biar ada bonding satu kelompok. Kita juga bisa ngomongin tugas sambil rekreasi. Iya, kan?"

"Hmm ... iya juga, sih. Maaf ya, Bu." Jika senyum Abu bisa membuat satu kota mati listrik, maka suara Ningsih bisa membuat yang mendengarnya seperti ada di tempat sejuk yang menenangkan hati dan Abu baru saja merasakan itu.

"Gak usah minta maaf, lu gak ada salah Ning."

"Oke, Bu. Kalau gitu gua matiin dulu, ya. Maaf sekali lagi kalau gua ganggu. Duluan, Bu."

Telepon pun dimatikan. Abu tak menyangka ia bisa menangani hal ini dengan cukup tenang. Dan mendengar alasan Ningsih yang "melindunginya" membuat lelaki ini merasa agak sedikit percaya dengan ide Ningsih ini yang mengirim surat yang ia terima.

🌫️TBC🌫

Hi semua! Kembali lagi bersama Koko dan juga Abu di chapter yang cukup panjang. Kalian sendiri udah pada bisa operasiin spreadsheet belum? Kalau belum kayaknya bisa langsung telepon Abu aja, sih, biar self-tutoring. Asik~

Anw, jangan lupa buat tekan tombol bintang di pojok kiri dan juga komen sebanyak-banyaknya, ya! Terima kasih!

- With love, Koko

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro