Kotak gratis?
Abu.
Warna tidak menarik dan terkesan membosankan. Arti warna itu juga melambangkan emosi yang terisolasi, tertekan, bahkan terlihat acuh tak acuh.
"Pah, kenapa nama aku Abu? Bukannya warna abu nggak disukain banyak orang?"
Lelaki itu tersenyum. Ia kemudian mengangkat sang sulung ke pangkuannya. "Kata siapa? Buktinya papah, mamah, sama adik kamu suka sama Abu, kok, sayang malah." Jawaban itu belum memberikan ketenangan di dalam hati Abu. Sang ayah melihat Bibir anaknya masih digigit. Abu tahu pasti keluarganya akan selalu menyukainya apapun yang terjadi.
"Kenapa nama kamu Abu. Karena Abu itu di tengah-tengah. Dia itu campuran putih sama hitam. Papah pingin kamu bisa milih jalan kamu sendiri. Entah itu ke warna hitam atau warna putih. Warna hitam nggak selamanya jahat, warna putih nggak selamanya baik. Warna abu itu spesial dari warna yang lain, kamu tahu nggak?"
Anaknya menggeleng.
"Karena dia punya pilihan, dia bisa milih sisi mana yang mau dia ambil."
🌫️🌫️🌫️
Semester empat. Semester sibuk untuk banyak orang yang suka ikut organisasi atau kepanitaan. Entah menjadi pengurus inti atau ketua divisi, semester empat adalah waktu di mana skill membagi waktu diuji.
Untuk Abu hal tersebut tidak dipermasalahkan. Google Calendar dan juga kalender fisiknya sudah penuh dengan coretan dan link meeting di setiap bagian. Untuk hari ini jadwalnya hanya kuliah dan rapat himpunan. Tidak ada yang spesial seperti hari-hari biasanya.
Ia sudah siap berangkat kuliah dengan tas Polo hitam dan beanie putih yang menutupi rambut abunya. Ia menuruni tangga dan mendapatkan tepukan dari adiknya.
"Lo emang dapet gen Papah, ya."
"Gua 100% bukan anak pungut berarti." Keduanya tertawa.
"Gak sarapan dulu? Menunya sereal sama susu sapi murni."
Abu menarik kursi meja makan. "Bulan ini jadinya costplay orang Amerika kita?" tanyanya sambil mengambil mangkuk dan menuangkan susu.
"Orang aneh nuangin susu dulu baru sereal." Kakanya hanya mengangkat alis dan mengucap "masalah?" tanpa terdengar suara.
"Anyway, iya, kemarin katanya lo bosen sama naget, telor, sosis. Yaudah pas lagi di Borma sereal lagi pada diskon, beli itu jadinya. Stok satu bulan, gua ngeborong 5 kardus." Kakaknya langsung berhenti mengunyah. Ia membayangkan memakan sereal bola-bola hitam satu bulan penuh.
"Beda-beda, Kak, tenang aja kali."
Abu berdiri dan membawa mangkoknya ke arah wastafel. Beres dari sana ia mengusap kepala sang adik.
"Lu bakal jadi Ibu yang keren." Ucapan itu lepas dengan senyum yang tulus.
"Pasti dan lebih keren dari Mamah."
Kakaknya pun mulai berbisik, "Tapi tetep gak bisa make make-up sama bawa motor." Pukulan dahsyat datang dari arah jam tiga, Abu berhasil menghindar dan ia pun langsung mempraktikan adiknya ketika memakai pensil alis. "Ih, kok malah jadi kayak ulat bulu, sih!"
Aksi kejar-kejaran pun dimulai. Adiknya membawa sodet seperti obor, sang kakak berlindung dengan tas polonya. Ketika sang Kakak terpojok suara "paket' menjadi pahlawan kesiangan.
"Lu mesen novel lagi?" tanya sang Adik.
"Kagak." Itu bohong. Keduanya saling menatap satu sama lain. Kebingungan. "Yaudah, buka aja Ing. Gua mau kuliah, udah agak telat ini."
Tung!
"That's for mocking me." Kepala Abu baru saja dipukul dengan sodet yang adiknya bawa. Tak lama kemudian adiknya mencubit pipi sang Kakak secepat kilat.
"Aw!"
"And that's for being the greatest brother." Adiknya langsung berlari ke arah pintu masuk.
Hati Abu merasa penuh. Hidupnya memang tidak seindah orang-orang kaya di luar sana, tapi memiliki Jingga sebagai adiknya, ia seperti mendapatkan harta karun yang tidak pernah orang lain dapatkan.
Abu kemudian berjalan menuju garasi. Ia memanaskan motor dan sudah memakai helm. Baru saja ia memajukan motornya ke depan garasi suara adiknya terdengar lagi.
"ABU INI COD WOI, BAYAR 100 RIBU!"
Adrenalin merasuki tubuh Abu, pintu garasi langsung ditutup sebelum Jingga memalak uang sakunya.
"HEH, ANANDA GREY ALDRIAN, JANGAN PERGI DULU!"
"Pake uang lu dulu ya, nanti gua beliin es krim. Love you, Ing!" Motor abu melaju cepat dan suara makian adiknya tidak terdengar.
🌫️🌫️🌫️
Lingkaran berisikan jarum itu sudah berputar seratus delapan puluh derajat dari angka sembilan hingga sekarang di angka tiga. Setengah jam lagi waktu kuliah hari ini akan berakhir. Apakah ada yang spesial di kelas? Tidak. Semua terlihat sama dan mononton setiap harinya di mata Abu.
Dosen memberikan materi, beberapa murid bertanya, dan kadang dosen memberikan tugas. Mata kuliah pedagogik sedikit berbeda. Dosennya tidak pernah memberikan tugas selain projek tengah dan akhir semester. Yang mana akan diberikan minggu depan.
Abu fokus mendengarkan materi. Ia duduk di barisan tengah. Tidak di belakang atau pun depan. Ia kadang bertanya dan kadang ia menjawab pertanyaan dari teman sekelasnya. Apakah ia memiliki teman? Tentu. Kadang Abu heran mengapa banyak orang berpikir dirinya tidak mempunyai teman. Entah itu karena wajahnya yang terkenal tidak memancarkan ekspresi atau memang karena ia jarang melakukan interaksi.
"Anak psikologi paling dingin."
"Abu si lone-wolf."
"Emotionless man, Abu."
Julukan-julukan itu yang ia dapatkan selama dua tahun terakhir. Julukan ketiga yang paling ia sukai, walaupun faktanya tidak seperti itu. Ia bukannya jarang memperlihatkan emosi, hanya saja ia bingung kapan harus mengeluarkannya.
"Terima kasih sudah hadir di pertemuan ini. Untuk PJ apakah sudah ada di matkul saya?" Tidak ada respon.
"Oke kalau gitu ... Abu."
Abu meletakan tasnya ke lantai. "Saya jadi PJ, Pak?" Abu telah menduga hal ini karena mata Pak Amsor sudah memerhatikannya dari tadi.
"Iya. Kamu nggak keberatan 'kan?"
"Tidak, Pak."
"Oke, nanti saya set kamu jadi KM. Sekian untuk hari ini. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsallam, terima kasih, Pak." Semua mahasiswa menjawab serentak.
Abu menghela napas panjang. Awal yang cukup mengejutkan untuk dirinya. Ia kemudian memperhatikan teman-temannya keluar sampai tersisa dirinya dan satu orang gadis di ujung. Keduanya saling bertukar pandangan.
"Hi Ven."
"Halo, Bu." Abu bisa mendengar sedikit ketakutan ketika Ivena menyapa namanya. Perempuan itu bahkan membuang pandangannya ketika bertatapan dengan abu.
"Tenang aja gua gak bakal gigit." Abu pun tersenyum simpul.
"E-eh, m-maaf gak maksud. Gak biasanya gua denger lu nyapa orang." Kali ini Ivena menatapnya. Senyuman abu memang senjata yang membuat julukannya menghilang seketika.
"Ven, mau bareng ke sekre? Lu ikut rapat, kan?"
"Eum ... lu duluan aja, Bu. Gua masih nyatet materi tadi. Agak lama kayaknya." Ivena masih takut. Tapi itu adalah percobaan yang bagus dari Abu.
"Oke. Gua duluan, Ven." Abu melambaikan tangannya, tapi tidak dibalas oleh Ivena. Ia pun pergi dari kelas dan melangkahkan kakinya ke sekre.
Menjadi seorang mahasiswa psikologi memberikan dirinya banyak keuntungan. Mulai ia bisa merasakan siapa saja yang merasakan keberadaanya menakutkan sampai orang yang benar-benar ingin berkenalan dengannya. Di mana jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Ia selalu melakukan introspeksi pada dirinya sendiri.
"Apakah gua semenakutkan itu di mata orang-orang?" Itu yang ia pikirkan sebelum tidur ketika baru menjadi mahasiswa. Sampai suatu saat adiknya mengatakan:
"Lo gak usah aneh kalau mereka ngira begitu, you just being yourself. Kalau emang lu ngerasa harus berubah, berubahlah jadi lebih baik tapi jangan kehilangan diri sendiri. You are the sweetest person I ever know. And people didn't know that about you. Walaupun takhta orang ter-nyebelin dipegang lu juga."
Mulai dari situ Abu yakin ia tidak perlu banyak kenalan, beberapa orang yang memang menerimanya seperti itu saja sudah cukup.
"Grey! Sini-sini!" Laki-laki bongsor itu namanya Alex. Salah satu dari sepuluh orang yang benar ingin mengenal Abu. Walaupun Alex sendiri adalah Kakak tingkatnya di himpunan, ia tidak pernah merasa canggung atau pun malu. Bahkan mengejek nama orang tuanya saja ia berani. Alex juga satu-satunya orang yang memanggil Abu dengan nama aslinya.
"Gimana LPJ? Aman?" Alex tahu kebiasaan Abu. Ia selalu menanyakan hal yang penting dibanding basa-basi.
"Coy, jangan bahas LPJ dulu nape, cape gue tiap malem revisi mulu sama Arin. Kemarin sampe jam 1 malem gua ngerjainnya. Bayangin jam satu, coy! Bisa push rank gua."
"Work-life balance, Lex. Tidur jangan lebih dari jam---"
"Sebelas, nanti lu stress baru tahu rasa. Omongan lu udah jadi template, Bu. Apal banget gue." Abu diberi julukan Mr. Work-life balance oleh Jingga dan Alex, karena ia sendiri memang tegas soal waktu tidur. Ketika sudah jam sebelas malam ia akan mematikan lampu dan berhenti melakukan semua aktivitasnya.
"Oke, karena udah banyak yang kumpul kita mulai rapatnya, ya."
Suara itu datang dari atas podium. Sherina sudah memegang spidol di tangannya. Alex pun beranjak ke depan dan menemani sang presiden. Rapat akan dimulai dan seperti biasa, Abu di tengah ruangan tanpa melakukan interaksi dengan yang lain.
🌫️🌫️🌫️
"Mana es krim gue." Itu adalah hal pertama yang diucapkan Jingga ketika kakaknya datang. Ia sudah berkacak pinggang dan memasang muka debt collector-nya.
"Sabar-sabar, ke ruang tengah dulu."
Baru saja melangkahkan kaki adiknya menahan jalan sang kakak dan menggelengkan kepalanya perlahan.
Sang Kakak akhirnya mengeluarkan dua kotak es krim dan Jingga pun mengambilnya dan berlari kegirangan tanpa berterima kasih.
"Jingga, you forget the magic word."
Adiknya perlahan mundur ke belakang dan melihat sang Kakak. "Thank you my lovely brother muaaach!"
Setelah mendengar itu Abu ke ruang tengah dan melemparkan dirinya ke sofa. Ia meneguk air yang masih ada dalam botol minum dan kembali ke posisi duduk. Ia pun memandangi setiap sudut dan tersadar rumahnya terlalu besar untuk dihuni oleh dua orang. Sudah hampir dua tahun keadaan rumahnya seperti itu. Banyak foto yang diturunkan dan setiap hari rumah ini seperti namanya. Abu. Tidak ada kehidupan dan juga membosankan.
Abu beranjak dari sofa dan mulai menyalakan kaset vinyl kesayangannya. Ia memutar lagu 'here comes the sun' oleh The Beatles.
"Setidaknya nggak kayak nama gua atmosfer di sini."
Ia pun beranjak ke kamarnya untuk mengganti baju. Namun, sebelum masuk ke sana. Di luar pintu kamarnya sudah ada dua paket yang menunggu.
"Ing, kok ada dua paket? Perasaan gua beli satu novel aja."
"Nggak tahu. Pokoknya yang satu lagi gratis, bukan paket gua pokoknya. Di situ tulisannya dari Nila Ningsih. Setau gua Ningsih itu temen sekelas lu, kan?"
Abu pun mengambil paket tersebut dan mulai membuka paket tersebut di kamarnya. Ia mencari nama pengirim di setiap sisi kotak tapi nihil. Ada sebuah tulisan di tengah kotaknya.
"Dari Nila Ningsih, seseorang yang kau kenal."
Abu pun membuka kotak tersebut. Isi di dalamnya ternyata tumpukan surat yang bernomor. Abu mengambil surat nomor satu. Di situ ia menemukan sebuah kalimat.
"Introduction."
Tiba-tiba saja dari belakang adiknya muncul dengan sekotak es krim di tangannya. "Kak, lo punya secret admirer?"
🌫️TBC🌫️
Halo semuanya! Kembali dengan cerita baru yang agaknya jauh dari genre yang biasa Koko bikin. (Mau rebranding di panggil Koko sekarang wkwk. How was the first chapter? I hope you guys enjoy it 🙌
Karena ini bagian dari TCC insyaAllah yang ini TUNTAS ceritanya. Semoga Koko bisa dan terus semangat ngelanjutin kisah Abu!
Jangan lupa tekan bintang di bagian kiri kalau kamu suka dan komen jika kalian ada sesuatu yang ingin disampaikan~
Adios dulu buat sekarang 🌫️
- With Love, Koko
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro