Hal yang selalu didambakan
Suara ayak berkokok terlah berlalu dan matahari pun sudah memunculkan cahayanya sedari tadi. Ini hari Senin, hari yang membuat jiwa Abu menari-nari di atas taman bunga karena tidak ada kelas pagi. Dengan kaos hitam dan celana boxer putih, ia menggerakan kaki dan tangannya mengepel lantai dengan penuh gairah.
Lagu bohemian rhapsody membuat ruang tengah hidup dengan nadanya yang unik. Abu pun ikut bernyanyi walaupun suaranya lebih cocok untuk dipendam rapat-rapat. Masalahnya ia tidak tahu nada, jika ada Jingga di sini ia akan dicaci maki terus-menerus.
"MAmAaaa oOoOh ... didn't mean to make you cryyy ... if I'm not back again this time tomorrow, carry on, carry on ...."
Kadang terpikirkan oleh Abu jika teman kuliahnya melihat dirinya yang seperti ini, pastinya julukan-julukan menyebalkan yang beredar itu tidak akan ada. Namun, ia langsung menarik pikiran tadi. Bukannya menghilang, tetapi julukannya akan bertambah menjadi Abu the bipolar man.
Malam tadi Abu mengejarkan semua tugas kuliah yang belum sempat ia kerjakan dan mengulas materi yang belum ia pahami. Ia pun membaca jurnal dan juga beberapa halaman dari buku referensi yang ia miliki. Hari Minggu kemarin Abu seperti kerasukan Maudy Ayunda.
Jingga pun bersaksi bahwa kakaknya ini terlihat seperti dibantu energi lain yang membuat kakaknya jadi lebih bersemangat. Gadis tujuh belas itu pun akhirnya tahu kenapa Abu seperti itu ketika mengintip chat Line milik sang Kakak. Di paling atas ada seseorang bernama "Tiana" dan di chat room-nya ia mengirimkan beberapa foto Kakaknya yang sedang memakai baju Pokemon.
Maka pagi tadi sebelum ia berangkat sekolah, Jingga memberi tahu Abu bahwa dirinya cocok memakai baju warna kuning. Kakaknya sudah pasti tidak peka soal hal yang dimaksud Jingga. Abu baru pagi ini ketika ia melihat kembali ruang chat-nya dengan Tiana dan melihat ia mengirimkan stiker beruang bertuliskan "thank you" yang sedang berkedip. Ia yakin itu ulah Jingga karena ia hanya menjawab terima kasih saja sebelumnya.
Ketika lagu akan mencapai bagian gitar listrik, ponsel Abu berbunyi. Ia menaruh pel dan melihat ada sebuah notifikasi dari Line. Ia membukanya dan melihat ternyata itu adalah pesan dari Tiana. Ia membalas pesan Abu yang tadi dengan stiker baby yoda yang sedang duduk dan di atasnya ada empat emoji love. Tubuh Abu seperti diisi kembali oleh enegi gaib dan ia pun melihat sekeliling.
"Kok jadi pengen beresin kaca juga, ya ...."
🌫️🌫️🌫️
Di luar jendela awan sudah berubah warna menjadi warna jingga, angin sejuk pun melintasi ventilasi dan memberikan suasana asri di dalam ruangan. Laki-laki pemilik rumah itu sedang melakukan latihan fisik setelah membereskan seisi rumah. Semua jendela, semua kamar, dan semua lantai terlihat rapih, bersih, dan tertata. Abu menghabiskan jam kuliah kosongnya dengan melakukan pekerjaan rumah, ia bahkan tidak mengambil kesempatan untuk tidur siang.
"Dua puluh sembilan, tiga puluh!" Pria itu berteriak dengan sekuat tenaga. Kedua tangannya terasa pegal dan kencang. Ia melihat jam dan tidak sadar waktu sudah menujukan pukul enam. Matrasnya sudah dipenuhi dengan piluh yang bertebaran dan napanya tidak karuan. Rasanya Abu ingin langsung menidurkan diri saat itu juga.
Tiba-tiba suara bel pun terdengar dari luar. Ia berlari ke jendela dan mengintip dari sana. Seorang laki-laki menggunakan kemeja hitam sudah berada di depan pintu masuk. Ia membawa sebuah bingkisan di tangan kanannya. Abu menggulung matras dan mengganti bajunya yang sudah dipenuhi keringat dengan yang baru. Bel terus berbunyi, lelaki itu lun bergegas membukakan pintu.
"Selamat sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Sore. Apakah benar ini alamat rumah Bu Liliana?" tanya orang itu.
Abu tersentak dengan pertanyaan sang pria, ialupa bahwa ibunya akan berkunjung hari ini. "Iya, Pak, benar. Ibu saya lagi gaada di rumah tapi, beliau pulang agak malam kayaknya, ada apa ya, Pak?"
"Oh, kalau gitu ini saya nitip bingkisan dari Pak Ed. Bu Liliana pasti tahu. Kalau boleh tahu jam berapa ya biasanya Bu Liliana udah di rumah?"
Abu menerima bingkisan dari sang pria. Hatinya entah kenapa merasa was-was dengan pertanyaan yang baru saja pria itu lontarkan. "Gak menentu, Pak. Kadang suka malam banget atau paling cepet udah isya." Bohong. Ibunya selalu tepat waktu datang ke rumah. Pukul sembilan dan tak pernah telat. Sekalipun akan terlambat ia akan memilih untuk tidak jadi datang.
"Oke kalau gitu, makasih, Dek." Orang itu melangkahkan kakinya menjauh dari rumah Abu. Ia pun tiba-tiba berhenti sejenak di depan salah satu jendela. "Hm. Bersih juga rumahnya."
Abu yang mendengar itu merasa senang tapi hanya sesaat, ia lebih khawatir dengan keselamatan rumahnya nanti. Perkaranya pun masih ada dari sang Ibu yang selalu membawa orang tidak kenal dan memberi tahu alamat rumahnya dengan semena-mena. Ia pun masuk ke dalam rumah dan bersiap-siap untuk menyambut orang yang dicari.
🌫️🌫️🌫️
Jam sembilan tinggal beberapa menit lagi. Abu sudah menyiapkan makan malam di meja makan dan juga pop corn untuk movie night nanti. Sudah menjadi kebiasaan keluarga Abu untuk menonton film di hari Senin malam. Walaupun memang sudah seperti dulu, ia ingin kebiasaan ini terus berjalan. Abu memang selalu bertindak sebagai jembatan di keluarganya.
Menjadi satu-satunya orang yang ingin kembali melihat keluarganya yang pecah menjadi seperti dulu. Ketika sang ibu butuh teman untuk berbincang, Abu selalu ada untuk mendengarkan. Ketika ayahnya membutuhkan saran, Abu selalu ada dengan ide-idenya yang cemerlang. Ketika adiknya sedang sendiri, Abu siap menemani. Namun, ketika Abu sedang mengalami kesulitan kepada siapa ia akan mengadu?
Beberapa detik sebelum jam sembilan suara bel dari depan memenuhi ruangan. Abu dengan dada yang berdebar-debar kegirangan membuka pintu dengan penuh semangat. Tanpa mengatakan apapun ia memeluk perempuan di depannya.
"Ya ampun, Bu. Kangen banget ya sama Mamah?" Abu tidak menjawab. Ia terlalu malu untuk mengatakan itu. Tangan Abu pun bergerak cepat membawa barang ibunya dan menaruh di atas sofa.
"Mamah pasti capek, kan? Ini Abu udah siapin teh hijau." Ia menuntun mamahnya untuk duduk. Di meja makan sudah penuh dengan santapan-santapan lezat. Dari mulai teh hijau, chiken katsu, hingga banana pillow rasa matcha. Semua ini adalah kesukaannya ibunya.
Sang ibu menatap anaknya yang tinggi menjulang. Ia bahkan tidak bisa berkata apa-apa. Kadang ia pun heran mengapa anaknya diberi nama Abu, wajahnya yang mulus, kulitnya yang cerah, dan hatinya yang tulus sama sekali tidak melambangkan warna itu.
Abu menuangkan teh hijau ke gelas. Matanya yang hitam seolah berkilau ketika menatap ibunya. "Mamah cantik, ayo minum dong. Nanti keburu dingin, loh ...."
Ibunya pun tertawa melihat tingkah putra sulungnya yang seperti itu, ia mengambil gelas yang sudah dituangkan teh. Tangan kanannya langsung mencubit pipi Abu dengan kencang. "Makasih, ya, masih mau nerima mamah dengan baik."
Abu merasa sesak ketika mendengar kata itu keluar dari mulut sang Ibu. Ia hanya membalas perkataan itu dengan senyum. Ia bertanya pada dirinya sendiri.
Apa semua bisa kembali kayak dulu lagi, ya?
Namun, ia pun tahu itu hanya angan-angan semata.
🌫️TBC🌫️
Hello! Asik kembali lagi dengan Koko dan juga Abu! Oh, iya! Selamat menajalankan puasa bagi yang menjalankan, ya! Jangan sampe buka di tengah jalan, awas lho! Jujur part ini bikin Koko ngerasain gimana jadi Abu. Duh, salah emang Koko bikin cerita kayak gini T-T
Semoga kalian suka dan tetep dukung cerita dengan mencet tombol bintang di kiri dan komen sebanyak-banyaknya, ya!!! Makasih guys
With love, Koko
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro