Awal dari tragedi
Wangi kertas tebal yang diisi tinta melayang-layang di sebuah ruangan besar bertabrakan dengan dinginnya AC. Bisik-bisik dari beberapa jiwa yang berada di sana seharusnya ditindak karena mulai menganggu pendengaran lelaki yang berada di rak ujung. Bukankah sudah seharusnya menjaga alat bicara tertutup rapat saat di dalam perpustakaan? monolog pria yang memakai beanie putih dan juga celana panjangnya yang kelebaran.
Selalu saja tempat ini, selalu saja dengan benda mati dirinya bebas bisa berekspresi dan dapat berinteraksi. Pelajaran-pelajarandi kelas sungguh membosankan, entah karena ia mudah memahami atau karena ia selalu menyendiri? Ah, siapa juga yang punya waktu untuk bercengkrama dan bertemu manusia lain, toh, menjaga hubungan keluarganya tetap harmonis saja belum bisa, mengapa memaksakan hal yang lain?
Buku denga latar hitam dengan seorang perempuan tinggi mengenakan gaun panjang menjadi sampul depan buku tersebut. Tubuh kecil itu ditutupi mantel berbulu dan dari mata hingga kepalanya ditutupi garis coklat yang seolah menutup identitas sang perempuan. Buku ini sudah setengahnya laki-laki itu baca, ia terus kembali ke tempat ini melahap habis buku klasik yang ia temukan. Memang banyaknya fiksi dan isinya juga tentang cerita dua insan yang saling jatuh satu sama lain pada akhirnya. Setelah mendapatkan buku, lelaki itu pun pergi ke sebuah pintu yang dipasangi sebuah larangan untuk tidak masuk selain karyawan.
Namun, dengan penuh percaya diri ia masuk dan menaiki sebuah tangga yang memutar ke atas. Ia seolah sudah menjadi langganan ke sini. Di ujung tangga terdapat sebuah pintu. Pintu pun ia buka dan langit pun berubah menjadi gelap dengan sinar rembulan memancarkan sinarnya dengan indah. Gugusan bintang berkelap-kelip ada sebuah kursi yang menunggu untuk duduki di tepi gedung ini. Laki-laki ini menggambil singgasana dan mulai melanjutkan bacaanya.
Jika setiap membaca buku imajinasinya langsung melambung tinggi memenuhi kepala, kini hal lain yang memenuhi hal tersebut. Suara dari dua figur yang sedang memenuhi kepalanya tidak bisa diam dari jam pelajaran tadi. Bahkan buku yang sedang ia pegang sekarang merepitisi apa yang tertulis di pembukaan cerita.
"Happy families are all alike; every unhappy family is unhappy in its own way."
Terus ia buka halaman baru, tetapi hanya kalimat itu yang ia temukan seolah bukunya tahu tentang apa yang sedang ia pikirkan dan apa kenyataan yang ingin ia lupakan. Satu kata yang menjadi kata keributan semua ini. Keluarga.
Seketika angin kencang melewati gumpalan daging yang sedang gundah gulana. Besarnya angin membuat halaman-halaman di buku seolah diacak-acak dengan tidak karuan. Pembatas bukunya jatuh ke lantai, tepat dengan kedatangan seorang perempuan yang mata dan kepalanya ditutup oleh sebuah garis hitam sama seperti perempuan yang berada di sampul buku yang ia baca. Bedanya perempuan ini memakai baju seragam sama seperti dirinya. Senyuman hangat pun terlontar dari wajah sang gadis, ia pun mendekatkan diri dan kakinya berhenti tepat di depan sang laki-laki.
Tangan kanan perempuan itu memegang pembatas buku dan menjulurkan kepada sang lelaki. Senyumannya belum pudar, benar-benar bisa mengalihkan dunia. Setelah pembatas buku itu diambil, angin kencang pun berhenti dan semuanya kembali seperti semula. Perempuan itu berjalan semakin mendekat dan tiba-tiba memeluk sang lelaki dengan erat, di sela pelukan ia pun mengarahkan mulutnya ke arah telinga dan di sana ia menyampaikan tugasnya.
"If you look for perfection, you'll never be content, Abu. Everything will be alright. I'll promise.”
🌫️🌫️🌫️
Abu berlari menuju tempat parkir di tengah teriknya matahari. Tanpa beanie putih dan juga tas merahnya, ia bergegas untuk masuk ke dalam mobilnya dan menancapkan gas pergi keluar kampus. Fokusnya buyar ketika mendapatkan telepon dari teman sekelas Jingga.
"Kak Abu ... kakak bisa ke sini, nggak?"
Ucapan Ari di seberang yang terdengar sangat khawatir membuat sang kakak harus izin untuk keluar dari kelas dan berangkat menjemput sang adik. Ia harus ada di sana secepatnya.
Ruangan serba putih dan obat-obat medis tertumpuk rapih di rak berlapis kaca. Wangi pengharum ruangan dan hawa dingin menusuk kulit pria sembilas tahun dengan hati yang gundah dan juga pikiran yang kalut. Di sebelahnya sang adik terbaring lemas belum membuka mata. Rasa takut mengikuti Abu ketika melihat adiknya dalam keadaan seperti itu. Sakit, kesepian, dan juga kehilangan mungkin itu yang dirasakan adiknya sekarang. Tidak bisakah penderitaan Jingga diturunkan kepadanya? Ia tak sanggup melihat setiap hari senyuman sang adik direnggut seperti sekarang.
Pintu ruang itu pun terbuka. Seorang pria yang terlihat lebih tua dari Abu berjalan menghampiri kakak beradik ini. Kedua mata pria ini sangat tajam, memberikan ketakutan tersendiri bagi siapa yang baru saja melihatnya. Namun, Abu tidak berpikiran seperti itu ia hanya melihat sosok telaten yang mencitai pekerajannya.
"Siang Dok, gimana kabarnya" Abu berdiri menyalami sang dokter.
"Baik Abu, terima kasih sudah bertanya." Senyuman hangat terlontar dari wajah sang dokter. Ia ingin bertanya soal keadaan Abu, tapi dari raut wajah pemuda itu, ia tahu Abu sedang tidak baik-baik saja.
"Jingga butuh istirahat sekarang. Kayaknya besok dia baru bisa pulang. Daya tahan tubuhnya menurun drastis. Dia terlihat sangat kecapean. Apa yang terjadi selama seminggu terakhir?"
Jawaban dari pertanyaan itu langsung bisa Abu jawab. "Dia lagi ada masalah sama Ibu, Dok. Terus juga akhir-akhir ini event sekolahnya tambah banyak, Jingga suka pulang malem."
Sang dokter melihat Jingga yang terbaring lemas, ia bisa merasakan kekhawatiran yang Abu rasakan. "Tekanan darahnya tadi naik. Dia stress dan ketika baru sampai sini dia keringat dingin. Apa panic attack-nya kambuh lagi?"
Abu menggangguk pelan. Ia seperti memakan pil pahit dan merasa gagal menjadi seorang Kakak. Hal yang ditakutinya sudah terjadi, ia tak bisa membayangkan hal itu terjadi lagi.
"Terima kasih sudah menjaga Jingga dengan baik. Adikmu pasti senang punya kakak seperti kamu. Kamu harus percaya sama Jingga dia bakal balik lagi kayak srmula. Dia itu orang yang kuat." Sang Dokter memberikan tepukan pelan ke pundak Abu. Ia yakin adiknya adalah seorang petarung yang tangguh, ia juga yakin ia akan kembali seperti semula. Ia hanya tidak yakin kepada dirinya sendiri, apakah ia bisa menjaga adiknya dan hal yang sama tidak terjadi lagi?
"Saya tinggal dulu, ya. Nanti akan ada suster yang check-up ke sini. Kamu jangan lupa makan. Kamu pasti belum sarapan dari pagi, bukan?"
Abu membalasnya dengan senyuman kikuk. Sang dokter akhirnya keluar dari ruangan. Abu melihat kembali adiknya yang masih belum bangun. Ia meraih tangan sang adik dan memegangnya dengan sangat erat.
"Ing, maafin, Kakak ...."
🌫️TBC🌫️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro