Anger and redemption
Ingin rasanya untuk teriak dan juga mengatakan kepada dunia bahwa ia sangat kejam. Padahal dunia saja tidak pernah punya pilihan sejak awal. Ia hanya menjadi tempat sementara, tetapi kenapa ia sering disalahkan? Abu tahu bagaimana menjadi rasanya ketika tidak punya pilihan. Selama itu hidupnya seperti itu. Bahkan ketika ada kesempatan untuk memilih pun ia tidak berani untuk memilih. Pengecut? Penakut? Bisa jadi. Peraturan pertama dalam kehidupan. Jika ada kesempatan untuk memilih sesuatu, maka gunakan hal itu sebaik-baiknya, karena banyak orang yang terbelenggu untuk tidak memilih karena takut menyakiti padahal ia tidak tahu bahwa yang ia sakiti itu dirinya sendiri.
Abu masih bersama tamunya di ruang tengah. Mata laki-laki sembilan belas tahun ini sudah sembab dan terlihat sangat kelelahan. Tidak teduh bahkan tidak terlihat tenang seperti biasa. Butuh hal yang lebih selain keberanian ketika ia membuka mulut dan menceritakan tentang kedua orang tuanya. Keikhlasan. Abu sudah bisa ikhlas dan menerima keadaan yang ia alami sekarang, tapi ia kecewa karena ternyata selama ini ikhlas yang ia rasakan hanya ada di pikirannya saja. Hatinya yang kesakitan tidak digubris atau pun didengar. Ketika hatinya mengeluarkan amarah Abu hanya berpikir untuk menahan rasa tersebut karena itulah yang harusnya ia lakukan ketika menjadi seorang Kakak tertua dan anak yang berbakti. Membungkam rasa kecewa kepada orang tuanya yang melukainya dan rasa kesal terhadap adiknya sendiri karena tidak pernah mengerti situasi. Abu selalu seperti itu dan akan tetap seperti itu. Ia terlalu menyayangi mereka, tapi bukankah rasa sayang itu harusnya tidak menyakiti siapapun?
"Bu, selama ini lu cerita sama siapa?" tanya seorang laki-laki yang mengenakan jaket putih. Yang ditanya diam beberapa saat, seakan pertanyaan itu hanyalah pertanyaan retoris.
"Gak ada, Ran. Lagipula ini masalah keluarga gue. Lu semua pastinya ada kan sesuatu yang gak mau lu ceritain ke orang lain? Tapi di lubuk hati lu sendiri lu pengen ceritain hal tersebut?" Jawaban yang membuat sang penanya diam dan tidak bisa berkutik. Ilran hanya bisa menghela napasnya mendegar hal tersebut keluar dari mulut Abu.
Laki-laki yang memakai hoodie hitam pun akhirnya berdiri. Tingkah lakunya tidak bisa ditebak oleh ketiga temannya yang memandanginya dengan aneh. Alex yang paling tua di ruangan ini tiba-tiba saja meregangkan tangan dan mengambil tasnya.
"Lex, lu mau balik?" tanya Ilyas yang agaknya panik melihat tumpangannya mau bersiap-siap pulang, padahal rencana awalnya tidak seperti ini.
"Nggak, lah. Gua mau peregangan aja. Ini dari tadi duduk ngedengerin Abu lu pada gak cape apa?" Ketiga orang temannya tertawa melihat tingkah random sang Kakak tingkat. Alex memang seperti ini, tapi biasanya setelah ini ia akan mulai berbicara mengenai hal yang akan terjadi.
"Lu kalau mau ngomong langsung aja elah, Lex. Mulutlu udah kelihatan gatel, tuh," ucap Abu yang peka dengan perilaku temannya yang satu itu.
"Emang Abu doang yang peka. Lu semua gak ada peka-pekanya." Alex kembali ke posisi duduk, kali ini ia menyuruh Ilyas yang agak jauh juga mendekat. Mereka pun membentuk lingkaran kecil dan Alex meminta ketiga temannya diam dan hening untuk sementara. Ketiganya mengikuti perintah Alex mereka bertukar pandangan.
"Oke, dah. Enak kan kalau hening sebentar? Kayak lu ngerasa tenang sama damai dibanding ketika gua ngomong kayak gini?" Ketiga temannya mengiyakan.
"Bu, sebelumnya maafin gua sebagai salah satu temen lu gak bisa selalu ada atau bahkan jadi teman yang baik. Gua gak nerima bantahan karena gua belum selesai." Abu terlihat sudah membuka mulutnya dan ucapan Alex tepat sasaran.
"Gua tahu lu emang suka sendirian bahkan gak buat orang repot itu udah kelihatan mendarah daging di gen elu, tapi bisa nggak sungkannya dikurangin? Kita yang jadi temen-temen lu khawatir banget. Lu kalau hangout sama kita selalu kelihatan kalau lu risih. Risih sama suara-suara di kepala lu sendiri yang bikin lu diem mulu."
"Oke, gua setuju kalau emang ada beberapa hal yang gak bisa diceritain ke orang. Tapi, apakah semuanya harus ditutup rapat-rapat? Apakah semuanya harus terlihat baik melulu? Nggak, Bu. Kalau lu udah tahu kapan lu harus minta bantuan itu tandanya bukan lu gak bisa bergantung sama diri lu sendiri, tapi lu tandanya bisa memanusiakan diri lu sendiri dan berhasil ngelawan ego lu juga. Jadi manusia itu nggak selamanya harus terlihat kuat dan independen, Bu."
Alex dan kata-katanya. Memang kakak tingkatnya yang satu ini patut diberi penghargaan juara satu merangkai kata. Ia selalu saja bisa membuat suasana menjadi lebih kondusif dan tenang. Abu tersenyum mendengar perkataan yang baru saja Alex katakan, di dalam dirinya pun ikut tenang. Panah-panah yang selama ini menusuknya perlahan menghilang dan luka yang telah dibuatnya pun mulai pudar.
"Lu tuh, ya!" Tiba-tiba saja Ilran berdiri dengan muka yang sudah memerah siap untuk meledak. "Ngebuat orang jadi overthinking juga anjrit! Kita semua, nggak, lebih tepatnya gue. Selalu mikir lu yang dieman atau bicara kalau ada perlu itu karena lu gak nyaman sama gue. Kuliah ketemu, di AIESEC ketemu, bahkan lu juga mau ngebantuin usaha gue. Kenapa lu sebaik itu sama orang dan nggak ke diri lu sendiri, Bu? Lu boleh selfless tapi, pikir juga sama kesenangan lu, lu berhak bahagia bukan karena lihat orang lain bahagia. Lu harus bahagia karena diri lu sendiri juga!" Ilran yang memerah akhirnya kembali ke warna wajahnya semula. Tatapannya tidak pernah lepas dari Abu. Ilran terlihat marah, sangat marah, tapi bukan ke Abu, melainkan ke dirinya sendiri ia tidak mengerti teman yang selama ini ada untuknya.
"Ran ...." Abu mulai angkat suara.
"Gua punya satu pertanyaan, Bu." Suara Ilran menjadi lebih berat daripada sebelumnya. "Ananda Gray Aldrian, lu nganggep kita temen lu gak, sih?"
"Ran, Abu gak bakal ngebolehin kita ke sini kalau dia gak ngganggep kita temennya," ucap Ilyas yang panik mendengar pertanyaan Ilran.
"Lu jangan drama banget deh, Ran," jawab Alex menambahkan.
"Kalian sadar gak, sih? Hampir dua tahun kita temenan, Abu gak pernah, gak pernah ngobrolin soal dirinya sendiri atau ngobrol soal apa yang terjadi sama dirinya. Kita nggak tahu dirinya kayak gimana. Gua ngerasa kita berempat deket, tapi Abu selalu jauh. Ada jarak, tembok tinggi yang belum bisa runtuh, bahkan sama kita. Sedih gak sih, lo Yas, Lex? Apa gua yang ngerasa gini aja?"
Semuanya diam. Atmosfernya berubah menjadi tidak nyaman. Alex dan Ilyas keduanyan menunduk, mereka juga pasti merasakan hal yang sama. Kekhawatiran mereka memang tidak jauh tentang Abu yang terlihat terpaksa berteman dengan mereka bertiga. Walaupun ketiganya tahu Abu tidak mungkin seperti itu. Abu tulus memberikan afeksi kepada tiga temannya bahkan yang paling tulus, tetapi rasa mengganjal selalu ada karena ketiganya mengira mengenal Abu, tapi di saat yang bersamaan mereka terlalu jauh dengan Abu.
🌫️TBC🌫️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro