Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A smile that can kill you

Ruang aula psikologi tampak tenang dan damai. Orang yang melewati pintunya saja mungkin tak akan mengira ada kelas di sana. Mata kuliah biopsikologi sedang berlangsung dan profesor Dana yang mengajar materi itu.

Semua mahasiswa tampak tegang dan juga berperilaku dengan baik. Ada yang mencatat dan ada yang mendengarkan dengan serius. Namun, Abu tidak masuk ke dalam dua golongan itu. Ia tersesat dalam lamunannya.

"Dari penjelasan Baker dan Lynne Rudder di dalam buku explaining attitudes, kita bisa menyimpulkan bahwa negativisme terjadi di umur ...." Profesor Dana memberhentikan langkahnya dan melihat ke arah para mahasiswa. Telunjuknya di arahkan tengah kepada seorang laki-laki yang memakai beanie putih. "Ananda Gray Aldrian."

Kosentrasi Abu buyar. Ia tidak terlalu mendengarkan materi dan ini jarang terjadi. Semua mahasiswa membalikan badan menatap dan menunggu jawaban Abu. Di saat itulah ia mendengar suara di belakangnya.

"Dua sampai tiga tahun," ucap entah siapa yang ada di belakangnya. Tidak ada pilihan lain selain menjawab. Benar atau salah jika di kelas ini pasti akan diberikan nasihat pada akhirnya.

"Dua sampai tiga tahun, Pak," jawab Abu dengan penuh percaya diri.

"Kenapa dua sampai tiga tahun?" Profesor Dana kembali bertanya.

Suara di belakang tidak membantunya lagi. Kali ini ia harus mempercayai intuisinya.

"Karena di umur tersebut anak condong melakukan penolakan dan juga tindakan di luar suruhan orang tua agar tahu apa yang boleh ia lakukan dan apa yang tidak, Pak."

"Bukankah itu perilaku saat memasuki masa remaja?" Sang profesor mulai memijit-mijit dagunya.

Abu agak tersentak dikit, tapi ia tahu Profesor Dana hanya ingin mengetes keyakinan atas jawaban yang ia berikan.

"Di fase remaja anak sudah tahu batasan-batasan tersebut. Di fase ini negativisme lebih cenderung ke perilaku mereka mencari jati diri yang bisa disebabkan oleh bawaan lingkungan, Pak."

Pak Dana pun menepuk tangannya pelan. "Jawaban yang di refleksikan dari pengalaman hidup. Terima kasih telah menjawab Gray."

"Sama-sama, Prof." Abu akhirnya bisa bernapas dengan tenang. Tinggal satu yang belum ia lakukan. Berterima kasih kepada orang yang dibelakangnya.

Abu pun membalikan badan dan di sana ia bertatapan dengan orang yang dicurigai sebagai si pengirim surat. Wajah mereka menatap satu sama lain.

"Makasih buat tadi," ucap Abu pelan. Ningsih tidak menjawab, ia kembali menulis.

Abu pun menghela napas, ia tampak sedikit kecewa tidak mendapatkan balasan yang ia inginkan. Namun, sebelum punggungnya menghadap ke arah depan, ia disentuh oleh perempuan itu.

Abu kembali menghadap ke belakang. Ningsih tersenyum dengan sebuah tulisan di kertas.

"Sama-sama lain kali jangan ngelamun ya, gak baik ^^"

Abu memancarkan senyumannya tak mau kalah ia mengangkat jempol. Ia pun kembali fokus ke materi yang dijelaskan dengan jantung berdetak di atas kecepatan normal.

🌫️🌫️🌫️

Setelah dua kelas yang membuat otak penat akhirnya Abu bisa istirahat sejenak. Baru saja ia memikirkan untuk melakukan night ride, tapi ia teringat Google Calendernya bergetar di kelas tadi. Alarm kematian yang dibuat Ilran bahwa hari ini hari di mana anggota baru dimasukan ke grup. Mereka akan melakukan first meeting yang pastinya akan lama.

"Abuuu!"

Suara itu datang dari belakang. Nyaring dan juga membuat siapa yang mendengar suaranya akan pusing. Abu mempercepat langkahnya ke parkiran dan tidak melihat ke belakang.

"Heh, kok malah lari si lu!"

Sang pemilik suara menaikan lagi volumenya. Abu pun tersentak, menyerah, seperti telah disudutkan. Ia membalikan badan sebelum laki-laki itu dikira orang gila.

Laki-laki dengan sweater kuning mempercepat gerakannya. Semakin dekat, gambar pikachu di tengah sweaternya semakin terlihat jelas. Orang itu tersenyum dan Abu hanya memutarkan bola katanya.

"Atas nama Ilran ya, Mas. Ke Gang Panorama sembilan." Abu menatap Ilran dingin dan melanjutkan perjalanannya.

"Bukan Abu kalau gak dingin, sinis, sama senyumannnya bikin satu kota mati listrik," ejek Ilran memancing Abu berbicara.

"Dikira gue gempa bumi apa."

"Kan senyumanmu menggunjang-ganjing duniaku. Aww." Abu berhenti sejenak dan menatap temannya itu.

"Lu berhenti ngomong atau lu gak boleh nebeng sama gua." Tatapan Abu menusuk jiwa Ilran. Lelaki itu langsung diam mengganguk-ngangguk ketakutan. Akhirnya Abu mendapat ketenangan yang ia inginkan.

Baru saja mereka menetapkan jejaknya di palang pintu parkir, Ilran menepuk pundak Abu.

"Apa?"

"Helm gua ketinggalan di kelas ...." Respons Ilran begitu polos. Ia menggaruk-garuk kepala dan melihat ke atas langit.

"Ran ...."

Sebelum Abu mengeluarkan sumpah serapahnya, Ilran menggerakan alat geraknya dengan kekuatan maksimal.

"Bentaaar, jangan un-friend gueee." Sebutan toa berjalan memang cocok untuk teman Abu yang satu ini.

🌫️🌫️🌫️

Setelah drama tadi, motor Abu akhirnya berjalan dan menulusuri jalan Bandung. Pohon-pohon besar juga lampu-lampu jalan sudah menyala. Warna jingga menjadi gradasi langit. Gumpalan awan tidak terdeteksi oleh netra. Sang angin menerpa wajah, sejuk, tak menusuk kulit.

"Bu, lu percaya nggak, Bandung itu tercipta saat Tuhan lagi tersenyum?" tanya Ilran sambil memotret suasana ini di ponselnya.

"Nggak. Gua yakin Tuhan selalu tersenyum ketika membuat sesuatu. Pada dasarnya, seorang pencipta harusnya senang ngelihat karyanya jadi." lran mengangguk, setuju dengan jawaban temannya.

Perjalanan tiga puluh menit pun tidak kerasa kalau membawa Ilran. Ia akan terus bertanya dan juga bersenandung. Abu menyimpulkan jika ada Ilran sama dengan tidak ada ketenangan.

"Kiri, Mas." Ilran menepuk pundak Abu.

Abu memberhentikan motornya di depan sebuah gang. Ada tulisan panorama sembilan menggantung di atas ornamen gapura. Bedanya dengan gang Abu adalah, gang panorama sepuluh lebih besar dan juga rumah-rumah tingkat bisa terlihat.

"Makasih, Pak. Bayarnya udah pake paylater, ya." Ilran turun dari motor Abu sambil menjinjing sendal jepitnya.

"Sama-sama. Oiya, Ran, staff gue itu jadinya tiga, kan?" Abu menanyakan pertanyaan yang salah. Ilran berkacak pinggang dan kedua alisnya bertaut.

"Pas meeting kemarin lu nggak merhatiin gua ngomong apa, ya?" Suara Ilran entah kenapa berubah menjadi lebih berat.

Sekarang giliran Abu yang memberikan tatapan polos dan senyuman penguncang kota. "Hehe."

"Staff lu ada empat."

"Loh, kok banyak banget. Kemarin dua doang perasaan." Abu melihat Ilran menghela napas dan mengedipkan matanya cepat. Ilran pun membalikan badan dan melambaikan tangannya ke Abu.

"Eh, Ran, woi! I'm not good with people and interaction."

Kepala Ilran menghadap ke kanan dan ia pun berhenti. Matahari terbenam menyinari dirinya membuat suasana di depan gang ini seperti di film-film. "Then, be better this term." Ilran pun berjalan tegap layaknya seorang antagonis.

"Anti-klimaks amat nenteng sendal jepit," ucap Abu mengejek VP-nya.

Salah satu sendal jepit itu melesat ke arah Abu. Namun, dengan mudah Abh menangkap sendal itu oleh tangan kirinya.

"Anjrit kok bisa?" Teriak Ilran terkejut.

"Then, be better at throwing next time." Abu mengulang dan memodifikasi ucapan Ilran. Ia pun menancapkan gas dan membawa satu sendal jepit milik temannya itu. Ilran mengeluarkan jurus toanya tapi Abu sudah melesat jauh.

🌫️🌫️🌫️

Doa VP-nya terkabul tidak lama setelah insiden sendal jepit. Ia meneror Abu dan mendoakan temannya akan telat saat first-meet. Betul saja. Jam 20.10 Abu panik mengeluarkan laptop dari tas dan mengganti bajunya. Ia terus mengklik mousenya dan membuka zoom meeting setengah sadar. Ia sedang berada di waiting list.

Ia memberikan pesan di grup dan juga permohonan maaf pada Ilran. Akhirnya ia pun masuk di ruangan meeting. Sudah terlihat banyak wajah baru di depan layarnya. Ia pun bergegas membuka kamera laptop.

"Oke, dua orang terakhir. Yang satu VP yang satu lagi anggotanya. Silakan langsung aja perkenalan diri."

"Sebelumnya maaf telat ...." Keduanya menjawab bersamaan. Ilran pun melihat staff-nya yang telat itu. Seorang perempuan. Dengan mata yang bersinar dan rambut panjang tidak diikat. Melihat pipi tembamnya Abu pun membuang pandangan dan tidak sadar ia tersenyum dengan gigi gingsulnya.

🌫️TBC🌫️

Gak nyangka sekarang udah chapter 4. Seneng banget walaupun kuliah nambah chaos tapi bisa update, hu-hah! Semoga masih jalanin terus streak-nya. Anw, gimana chapter empat? Apakah senyum Abu bener bisa membuat readers tergunjang-ganjing? Hmm kita lihat nanti.

Jangan lupa buat tekan bintang di sebelah kiri dan komen sebanyak-banyaknya, ya!

- With Love, Koko







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro