Bab 4: Kelereng Gumiho
"Lihat ini, aku menemukan mayat."
"Mayat?"
"Ayo, cepat-cepat! Ada mayat."
Suara gaduh orang-orang memasuki alam bawah sadar Minho, meski begitu ia belum mau membuka matanya. Mungkin saja dia tengah mimpi buruk saat ini.
"Lihat, tubuhnya penuh darah. Jangan-jangan dia korban tabrak lari," ujar seorang wanita paruh baya berpakaian bernuansa merah jambu.
"Tidak, aku tidak melihat tanda bekas tabrak lari di sini." Wanita paruh baya lainnya melihat jalan besar sepi di sekitar mereka.
Kini matahari belum terbit sempurna. Keadaannya masih setengah terang. Namun, wanita-wanita paruh baya yang tadi tengah berolahraga pagi itu digegerkan dengan penemuan tubuh manusia penuh darah.
Sebuah sepeda dengan pengendara pria paruh baya melintas. Mereka spontan menghentikan sepedah tersebut.
"Jeogiyo, tolong ada mayat," ujar salah satu dari mereka seraya mencegat sang pengendara.
"Mayat?"
Pria paruh baya itu memarkirkan sepedahnya dan menghampiri mereka. Dia berjongkok untuk memastikan bahwa orang yang kini penuh luka di depannya benar-benar mayat atau masih hidup.
Dari fisiknya, dugaan mayat ini berjenis kelamin laki-laki, mengenakan hoodie kuning dan celana training hitam yang hampir seluruh pakaiannya kotor dengan darah bercampur tanah. Wajahnya dipenuhi bercak darah terutama pada bagian mulutnya, tampak pucat tapi tidak sepucat mayat pada umumnya.
Oleh karena itu, pria paruh baya itu menempelkan dua jarnya di pergelangan tangan si mayat dan dia merasakan denyut nadinya, kemudian beralih pada denyut nadi bagian leher dan hasilnya sama. Belum sempat memeriksa napas. Samar-samar ia mendengar deru napas kasar dari tubuh di depannya itu.
Ia menghembuskan napas lega. "Dia masih hidup," ujarnya.
"Benarkah? Tapi dia terluka parah," ujar salah satu dari mereka.
"Benar, sepertinya dia terluka parah tapi dia masih hidup."
"Ayo hubungi 119!"
Salah satu dari mereka pun mengeluarkan ponsel untuk segera menghubungi ambulans.
"Anak muda, bangun! Kau bisa mendengar suaraku?" Sang pria paruh baya mencoba untuk menyadarkannya.
Minho merasakan tepukkan di pahanya, sehingga ia perlahan membuka mata dan menemukan berapa orang tengah mengerumuninya.
Bahkan ada yang berteriak histeris.
"Kau baik-baik saja?" Seorang wanita berjongkok di sisinya.
Minho mencoba mencerna dengan apa yang tengah terjadi. Pandangannya yang sempat kabur perlahan-lahan kembali jelas dan baru sadar bahwa saat ini dia tidak sedang di kamarnya melainkan di alam terbuka. Tubuhnya menyandar ke pembatas jalan dan dibelakangnya tampak pepohonan tinggi.
Menghiraukan kata-kata orang yang mengerumuninya, sebuah ingatan melesat cepat di kepalanya. Minho ingat dirinya sempat berlari di dalam hutan yang gelap, ia juga ingat hantu wanita yang melayang dan mengejarnya sampai ia jatuh ke dalam jurang.
Minho kembali mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ia menerawang dari balik celah-celah tubuh orang yang hampir menutupi pandangannya. Nyatanya dia terdampar di sebuah jalanan besar tak jauh dari tempat tinggalnya. Dari kondisi penerangannya yang masih setengah gelap dapat dipastikan bahwa ini masih subuh hari.
Minho yang masih merasa pening di kepalanya berusaha berdiri. Dia beranjak dibantu dua wanita paruh baya di kedua sisinya.
"Kau baik-baik saja? Ada tubuhmu yang terasanya nyeri?" orang-orang di sekitarnya ini terus menanyainya dengan nada khawatir. Pertanyaan barusan seakan Minho tengah terluka.
Minho kembali teringat kejadian ia yang terguling-guling ke jurang gunung. Namun, sejujurnya dia tidak merasakan nyeri apapun di badannya selain kepalanya yang cukup pusing.
Tak ingin membuat orang-orang itu semakin khawatir Minho pun menjawab, "Aku baik-baik saja, Ajumma."
"Tapi kau terluka parah," ujar salah satu Ajumma seraya menunjuk tubuh Minho.
Minho mengulurkan kedua lengannya. Banyak noda merah kecokelatan yang mengering pada bajunya dilapisi serbuk-serbuk tanah. Sontak saja Minho memundurkan tubuhnya melihat noda-noda pada pakaiannya.
Salah satu dari mereka mengulurkan cermin saku pada Minho yang langsung diterimanya. Mata Minho membulat saat melihat wajahnnya dari pantulan cermin.
Meski cahaya hari itu masih redup. Minho dapat melihat begitu jelas keadaan wajahnya yang berantakan penuh dengan bercak darah, terutama pada bagian mulutnya. Namun, Minho tidak ingat dia sampai memuntahkan darah selamam.
Minho masih ingat tubuhnya berguling-guling di tanah sampai kesadarannya hilang, tetapi ia benar-benar tidak ingat sampai seperti ini.
Minho pun mengamati bagian rambutnya yang berantakan penuh dengan serbuk tanah. Ia meraba bagian belakang kepalanya yang ternyata sangat lengket dan beberapa rambutnya mengeras.
Dalam kepalanya Minho kembali berusaha mengingat kejadian semalam. Sebuah kalimat terlintas dalam ingatannya. 'Aku di sini, Tuan. Aku sudah menolong Tuan dari kematian.'
"Hantu itu," ceplos Minho spontan.
"Hantu?"
Minho baru sadar masih ada beberapa orang yang mengelilinginya. Ia meraba kembali belakang kepalanya yang ternyata tidak terasa apa-apa saat di sentuh. Minho juga mencoba menghapus noda darah pada mulutnya yang hampir mengering. Orang-orang di sekitarnya menatapnya dengan dahi berkerut. Sudah pasti mereka terheran-heran dengan perilaku Minho.
Namun sepertinya Minho bisa memanfaatkan kesempatan itu. Dia mendapat ide cemerlang.
Minho menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum lebar. Ia juga membungkuk ke arah orang-orang di hadapannya.
"Mohon maaf telah membuat Ajumma dan Ahjussi khawatir, tapi sesungguhnya aku baik-baik saja. Aku tidak terluka, ini hanya make up." Minho memerhatikan oerang-orang itu saling tatap dengan raut wajah bingung.
Minho masih tersenyum lebar saat salah satu dari mereka siap bicara padanya, "Apa maksudmu anak muda? Kami tidak mengerti," ungkap salah satu dari mereka.
Minho kembali membungkukkan punggungnya. "Mohon maaf sekali lagi, meski aku belum ingat bagaimana bisa tertidur di jalanan dan bukannya di kamarku. Namun, yang pasti aku baik-baik saja. Kemarin malam aku baru selesai syuting drama dan memerankan orang terluka. Aku lupa menghapus make up dan langsung pulang," penjelasan Minho panjang lebar yang merupakan kebohongan. Namun ini adalah satu-satunya jalan yang terpikir olehnya agar perkara ini tidak semakin rumit.
Mereka sepertinya masih mencerna penjelasan Minho barusan, dan Ahjussi yang tadi sempat membangunkannya membuka suara.
"Benar. Sepertinya kau baik-baik saja. Saat kucek denyut nadimu tadi tampak normal." Minho mengangguk-ngangguk mengiyakan.
"Aku benar-benar baik saja," ungkapnya lagi.
Salah satu wanita paruh baya mengangkat jarinya, dahinya berkerut terlipat-lipat dalam, dan bola matanya turun menatap aspal. "Aku mencoba untuk memahami. Jadi apakah kau seorang aktor?" tanya-nya membuat bola mata Minho melebar sempurna.
Sudah pasti, penjelasan Minho tadi dapat menyimpulkan dirinya merupakan seorang aktor, tetapi mendengar pertanyaan itu membuatnya terkejut dan harus menambah kebohongannya. Ia mengangguk dengan senyum lebar yang sebenarnya sedikit kaku.
Seolah tak puas, wanita itu kembali bertanya drama apa yang sedang Minho bintangi dan di mana dia bisa menontonnya.
Minho menarik napas. Lagi-lagi dia perlu melapisi kebohongannya dengan kebohongan lain, tetapi karena mengarang cerita adalah minatnya ia pun menjawab pertanyaan itu dengan baik sampai orang-orang itu mengangguk seolah paham.
"Aku masih menjadi aktor untuk pendatang baru Ajumma dan hanya memerankan beberapa peran kecil di drama. Kemarin aku memerankan menjadi salah satu korban serangan hantu di drama yang belum tayang. Aku tidak bisa membocorkan judul serta tanggal tayangnya karena itu masih belum dirilis. Mohon untuk pengertiannya." Minho kembali membungkuk hormat pada mereka.
Membuat mereka juga mulai salah tingkah dengan perlakuan sopan Minho yang terus menerus.
"Aigoo, bukan hanya tampan kau juga sangat sopan. Aku yakin kau akan menjadi aktor besar suatu hari nanti. Jangan lupa Ajumma, oke?"
"Pantas saja kau meneriakan kata hantu tadi, aku jadi paham," ujar salah satu dari mereka.
Akhirnya mereka mulai tenang. Tidak ada lagi raut kehawatiran di wajah mereka. Bahkan mereka meminta foto bersama Minho untuk kenang-kenangan, tetapi Minho menolak dengan alasan penampilannya yang kurang cocok untuk berfoto.
Saat Minho hendak pamit pergi, salah satu dari mereka seakan tersadar sesuatu. Ajumma itu membulat matanya dengan tangan teracung.
"Aigoo, bagaimana ini, aku tadi sempat memanggil ambulans ke sini. Mungkin masih dalam perjalanan." Satu persatu dari mereka teringat akan hal itu.
Minho membulatkan mata. Ternyata kejadian ini belum berakhir. Di lain sisi ia merasakan bulu kuduknya mulai berdiri.
Awalnya Minho mengira itu karena udara pagi yang sudah memasuki musim panas. Tetapi ia rasa itu bukan karena udara pagi melainkan dirinya yang merasa tengah diawasi. Sosok hantu itu kembali terlintas dipikirannya membuat Minho diam-diam bergidig ngeri.
Tanpa Minho sadari sebuah mata tajam memang tengah menatap ke arahnya dari balik salah satu pohon tak jauh dari tepi jalan.
"Bagaimana caranya aku mendapatkan kelerengku lagi?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro