Bab 2: Kesempatan Kedua
Pada malam itu warga Joseon berbondong-bondong memasuki hutan. Mereka mendapat kabar bahwa salah satu warganya tengah menjadi incaran seekor Gumiho. Bara api dari obor yang mereka bawa membuat malam itu semakin terang dan terasa panas.
"Ayo tangkap Gumiho itu!" seru salah satu dari mereka.
"Tangkap!" sahut mereka ramai-ramai.
"Ayo bakar Gumiho itu!"
"Bakar!"
Mereka berjalan cepat menuju bagian dalam hutan. Semakin dalam ternyata udaranya semakin dingin membuat obor mereka mati satu persatu, tetapi sebuah cahaya biru di ujung sana menerangi jalan mereka.
Semuanya berjalan cepat menuju sumber cahaya biru tersebut, semakin dekat cahayanya semakin menyilaukan. Samar-samar terdengar tangisan seorang wanita. Mereka bergegas menyibak semak-semak dan masuk ke dalam untuk memastikan apa yang terjadi.
Beberapa orang yang berhasil masuk mematung dengan mata terbuka lebar sampai tak berkedip. Tepat di hadapan mereka ada seorang wanita yang begitu cantik. Wanita itu berpenampilan layaknya gadis Joseon mengenakan hanbok berwarna putih. Wajahnya yang putih bersih terpantul sinar kebiruan. Di dekat wanita itu, terbaring tubuh seorang pria dengan mata terpejam.
Sebenarnya, bukan hanya kecantikan wanita itu yang membuat mereka mematung, melainkan sembilan ekor berbulu putih yang memancarkan sinar kebiruan teracung dari tubuh si wanita. Mereka melihat saat kepala wanita tersebut mendekati tubuh sang pria, membuat mereka tersadar dengan apa yang tengah terjadi.
"GUMIHO!" teriak salah satu dari mereka memecah keheningan.
"GUMIHO! GUMIHO!" sahut yang lainnya, ramai.
Terdengar suara tebasan dari balik semak-semak. Daun-daun itu gugur dan memunculkan banyak manusia dengan mata yang menyala-nyala.
"GUMIHO ITU MEMBUNUH TUAN LEE HWAN." lapor salah seorang di barisan paling depan. Dan seketika terjadi kerusuhan.
Wanita yang diteriaki Gumiho itu tidak bisa berkutik. Perlahan orang-orang itu muncul mengelilinginya. Dia hendak berdiri untuk menjelaskan.
"Tidak! Aku tidak membunuhnya," ucap sang wanita dengan suara parau.
Tepat setelah pembelaan itu terucap, sebuah panah api melesat ke arahnya dan berhasil mengenai tubuh bagian kirinya. Seketika sembilan ekornya lenyap membuat keadaan menjadi lebih gelap. Bulan purnama yang sebelumnya terlihat jelas di atas sana tertutupi awan hitam.
Dan saat bulan itu kembali muncul dan menerangi mereka, sosok wanita itu menghilang, menyisakan jasad pucat sang pria.
***
Empat belas tahanan sebelumnya telah menjalani sidang ulang dan dinyatakan bersalah. Mereka akan dilenyapkan pada waktu yang telah ditetapkan. Kini tersisa satu tahanan lagi, yaitu mahluk yang selama ini menjadi buah bibir seantero negeri. Mereka menyebutnya sebagai mahluk buas dan hina. Seekor siluman rubah ekor sembilan yang memangsa manusia.
Ra---sosok Gumiho yang selama ini menjadi perbincangan hangat para tahanan karena kabar kebebasannya yang tinggal menghitung hari, mungkin kabar itu akan diganti menjadi 'Gumiho tidak jadi dibebaskan. Dia lenyap.'
Mengingat reputasinya yang buruk di kalangan para mahluk saat ini. Kemungkinan besar mereka akan merayakan hari Gumiho dilenyapkan. Membayangkannya saja membuat perasaannya berkecamuk. Dia tidak bisa lenyap sekarang, atau semua harapannya selama 600 tahun akan ikut lenyap.
Harapan untuk memperbaiki nama baikknya.
Ra tidak ingin mahluk bahkan manusia mengingatnya sebagai siluman buas. Ia jadi teringat dengan buku Gumiho yang ditulis Lee Hwan. Kira-kira di mana buku itu sekarang?
Ra menatap para Pihak Agung dengan tatapan datar sampai Haetae mengetukkan palu sebanyak tiga kali.
"Gumiho tersangka dari kasus pembunuhan seorang pria Joseon bernama Lee Hwan. Dengan ini akan menjalani sidang ulang."
"Seharusnya kau dibebaskan dalam beberapa hari ke depan, tapi hukum ini diputuskan sebelum kau resmi keluar. Jadi, persiapkan pembelaanmu." Raut wajah Haetae begitu tegas dengan tatapan tajam mengarah pada Ra, berbeda dengan tatapanya tadi yang diiringi kedua sudut bibir terangkat.
Ra meremas roknya lebih kuat. Dalam matanya seakan terdapat kobaran api yang menyala. Ia harus mengajukan pembelaan. Ini kesempatan terakhirnya.
"Pihak Agung, aku tidak bersalah. Aku tidak membunuh Lee Hwan malam itu, tidak ada bukti dia diserang Gumiho." pembelaan Ra yang pertama.
Eskpresi Pihak Agung tampak datar.. "Tapi juga tidak ada bukti yang menyatakan kau tidak bersalah," seru salah satu Pihak Agung.
Lagi-lagi bayangan sebuah buku terlihat di pikiran Ra. Buku itu adalah barang bukti yang Ra ajukan pada sidang pertamanya dulu. Namun ternyata buku itu hilang dan akhirnya Ra dipenjara atas kesaksian warga Joseon.
Sorot mata Ra belum padam. Bahkan saat Pihak Agung siap memutuskan hasil sidangnya. Haetae mengangkat palu dan siap menjatuhkannya sebelum Ra menyelanya.
"Tunggu, aku mengajukan permintaan," ungkapnya cepat.
Haetae menunda pukulan palunya. "Permintaan apa?" tanyanya dengan tampang seriusnya.
"Aku meminta kesempatan terakhir. Tolong beri aku kesempatan untuk mencari barang bukti yang waktu itu sempat hilang. Aku berjanji dengan mempertaruhkan nyawaku."
Jajaran Pihak Agung saling tatap satu sama lain. Sampai Haetae membuka suara. "Bukti apakah itu?" tanyanya.
"Sebuah buku, Yang Agung. Lee Hwan menulis buku mengenai Gumiho, tapi buku itu hilang."
"Bukankah buku yang sudah hilang selama ratusan tahun, mungkin saja juga hilang pada saat ini?"
Ra menggeleng. Dia yakin bahwa saat ini buku Lee Hwan ada di suatu tempat di Dunia Manusia sana.
"Äku yakin, buku itu ada di Dunia Manusia. Dan aku yakin akan menemukannya." Ra menatap Haetae berusaha meyakinkan.
Semua Pihak Agung kembali saling tatap meminta pendapat satu sama lain. Hasilnya adalah empat mengizinkan dan empat melarangnya. Satu-satunya yang belum memberi keputusan adalah Haetae. Mahluk setengah singa itu menatap Ra tajam seakan mau menerkamnya.
"Aku memberinya kesempatan kedua," ujar Haetae membuat beberapa Pihak Agung kecewa.
Ra merasakan sudut bibirnya siap tertarik ke dua sisi wajahnya. Ia merasakan ikatan belenggu di tubuhnya melonggar. Dan tiba-tiba sebuat gelang dengan manik-manik seperti bulan purnama melingkar di lengan kanannya.
"Waktumu hanya 45 malam," ujar Haetae membuat Ra mengalihkan pandangannya dari gelang pada Pihak Agung tersebut. "Jika kau menemukan buku itu dan dapat membuktikan kau tidak bersalah, maka kau akan dibebaskan. Tapi jika buku itu tidak ada bukti yang kau maksud maka kau akan dilenyapkan saat itu juga."
Tanpa memerdulikan ancaman dilenyapkan. Ra mengangguk setuju. Ra yakin dia akan mendapatkan buku itu di kesempatan terakhirnya. Ra tidak ingin lenyap sia-sia.
"Gelang itu sebagai tanda dan pengingat bahwa kau merupakan tahanan Jiha Gyodoso. Kau tidak bisa kabur dan dilarang melakukan kejahatan kecuali jika kau ingin dilenyapkan segera. Setiap satu malam terlewati manik-maniknya akan menghitam dan jika semua manik menghitam maka waktumu habis."
Ra mengangguk mengerti. Apapun yang terjadi dia akan berusaha keras di kesempatan terahirnya.
***
Setelah melewati Jangseung, yaitu gerbang penghubung antara dunia bawah tanah dan dunia manusia. Hembusan angin malam segera membelai kulitnya. Bahkan roknya bergera-gerak.
Ra menerawang melalui matanya yang bisa melihat dalam gelap. Pohon-pohon menjulang tinggi berjejer tidak beraturan. Dari kondisi tersebut Ra yakin dia ada di dalam sebuah gunung.
Ra mencari jalan mengandalkan beberapa inderanya. Dia memekakan indera pendengarannya mencari tepat manusia terdekat. Namun, suara-suara gerung aneh cukup menganggu konsentrasi.
Tak lama, akhirnya Ra dapat melihat sebuah lautan lampion yang begitu menakjubkan. Dia mematung dengan mulut terbuka lebar.
Apakah ini Hanyang? Atau dia terdampat di wilayah lain?
"Cantik," gumamnya.
Kini dia menggunakan kekuatan bergerak cepatnya. Dia meloncat-loncat ke berbagai sisi untuk menuruni gunung secepatnya. Perasaannya begitu senang.
Ra mendarat di sebuah jalanan besar yang tampak sepi. Dia menoleh ke sana kemari dan tidak mendengar tanda-tanda manusia. Matanya fokus dan menemukan sumber lampion-lampion di ujung sana.
Setelah memastikan tidak ada manusia, Ra kembali meloncat-loncat menuju sumber cahaya tersebut.
Tepat saat ia berhasil menginjakan kaki di wilayah yang lebih bercahaya. Indera pendengarannya menangkap suara benturan benda yang cukup keras. Kemudian indera penciumannya mulai merasakan aroma anyir khas darah.
"Apa ini?"
Ra penasaran dan bergerak mengikuti aroma darah itu. Hingga dia ujung sana. Di sebuah tempat yang terlalu terpapar cahaya, dia dapat melihat sesuatu bergerak-gerak di tanah. Ra pun mendekati benda itu yang ternyata seorang manusia.
Suara erangan lemah menunjukkan bahwa manusia itu seorang pria. Matanya bergerak-gerak meski terpejam. Darah merah menggenang dari balik kepalanya.
Ra kembali melihat sekeliling, tapi tidak menemukan manusia lain di sekitarnya.
"Dia akan mati. Manusia ini akan mati."
Bersambung ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro