5 - Kepada hati, tolong lebih kuat lagi.
"Cinta yang mustahil adalah....."
Entah sudah kesialan yang ke berapa kalinya untuk hari ini. Hah. Aku lelah terus menerus melakukan kegiatan yang berulang tetapi tidak satupun membuahkan hasil. Bukannya aku tidak bersyukur atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini, tapi rasanya semakin aku disini semakin aku membuang waktuku sia-sia.
"Bengong aja Neng masih siang." Senyum manis dan sapa hangat yang selalu ku dengar setiap kali aku sedang merenung. Selalu. Selalu saja tahu aku berada dimana, seperti aku ini mempunyai radar sinyal.
Ditempat favorit untuk merenungkan segala masalah. Dimana lagi jika bukan rooftop gedung perkantoranku yang terkenal ini. Hanya saja aku memilih spot yang memang sepi dan sangat jarang di kunjungi. Letaknya agak ke samping belakang dari pintu rooftop. Dekat pipa besar yang entah digunakan untuk apa. Tapi cukup nyaman untuk menyendiri.
Kembali pada pria disampingku ini, dulu aku berpikir kalau dia adalah seorang cenayang atau semacamnya karena dimanapun aku bersembunyi dari setiap kejadian apapun yang sedang menimpaku, dia selalu tahu. "Kali ini ketebak lagi ya aku ada dimana. Aku jadi bingung besok-besok aku ngumpet dimana lagi ya biar gak ketauan sama kamu? Hehe." Sengaja ku buang muka agar dia tak lagi membaca raut wajahku.
Apalagi ya yang bisa ku lakukan agar bisa membunuh rasa bosanku ini. Benar, aku sedang mengalami fase dimana aku sudah benar-benar tidak tahu lagi apa yang ku lakukan setiap hari adalah sebuah kesenangan atau hanya sebuah keharusan sebagai rasa tanggung jawabku.
Pria disampingku memandangku lebih lekat lalu berkata "Kamu tahu gak? Kalau wajahmu itu tertulis semua apa yang kamu rasa dan ingin utarakan? Misalnya aku bete rasanya di kejar deadline, padahal aku gak pernah keluar dari zona tepat. Belum lagi hasil pekerjaanku yang tidak seberapa katanya. Atau yang seperti ini kenapa ya enak banget junior sekarang, waktu aku masih baru sampe sekarang udh hampir 5 tahun disini tetap saja terkena bully-ing dalam pekerjaan" matanya yang tajam itu selalu bisa membuatku menciut karena perkatan dan perkiraan yang selau ia lontarkan hampir 90% benar. makanya aku tidak mau lagi matanya membaca raut wajahku, aku sudah katakana bukan kalau dia mirip cenayang?
Aku tidak menjawab pertanyaannya, rasanya malas, sungguh. Kalian tahu? Perkataannya barusan sudah ku pastikan 120% benar, dan aku kesal mendengarnya sebab itu benar. Sambil cemberut ku bilang "Dasar cenayang sok benar." "pfftt" Dia hanya merespon seperti itu.
Aku tidak sadar ternyata jam makan siangku sudah hampir habis tapi aku sama sekali sedikitpun makan. Lagi juga aku sangat tidak nafsu makan hari ini, rasanya hanya ingin cepat pulang dan bermesraan dengan kasur dan teman-temannya.
"Neng, kamu lagi puasa? Kok engga makan?" tanyanya sambil melihat jam ditangan sebelah kirinya. Aku hanya menghela nafas "iya puasa makan siang Bang." Sambil berlalu kemudian aku melangkah menuju kembali ke dalam kantor. Sempat ku lihat dia hanya tersenyum dan membiarkan ku pergi.
Setelah kembali ke dalam, ku sempatkan ke mushola untuk solat zuhur terlebih dahulu sebelum akhirnya ku putuskan ke dapur untuk membuat susu vanila hangat dengan taburan bubuk coklat. Aneh? Mungkin bagi kalian iya, tapi tak apa aku suka kok. Saat ingin membuka pintu dapur aku samar mendengar obrolan orang-orang di dalam. "Kamu tahu gak kak Ridefa kayanya stress banget ya abis keluar dari ruangan si bos, abis itu ngilang gitu aja gatau kemana." Aku sangat tahu suara siapa ini. Diana junior divisi sebelah yang suka bolak-balik ke divisiku. "Yah abis gimana, emang dia kerjanya gak bener kok. Apalagi katanya kak Dinta beuh kuping gue budek denger dia ngeluh soal kak Defa yang ini itu." Balas seorang lagi yang disana. Kalista namanya, anak magang baru 5 bulan. "Hush ah gak boleh kaya gitu, emangnya kalian tahu kerjaan kak Defa kaya apa banyaknya dan selalu disuruh ontime sementara gak ada yang bantu padahal satu divisi, alasannya bukan ranah mereka. Udah gitu yang pegang tanggung jawab kan dia juga. Gimana gak pusing tiap hari itu orang. Kalo gue jadi dia mah mending resign daripada dikerjain mulu kaya gitu, sayang aja gitu sama potensinya dia." Bela Tika, junior yang memang satu divisi ku dan tahu seluk beluk pekerjaanku. Diana tiba-tiba menyela omongan Tika "Ah lo mah karena satu divisi aja kan bela dia, padahal emang dia gak bisa kerja. Lo mau tahu gak kenapa dia bisa bertahan lama disini..."
Brakk!! "Misi, maaf ya kalo keganggu obrolannya, gue kesini mau bikin susu. Silakan dilanjut obrolan tentang gue mumpung ada orangnya." Sengaja aku melewati mereka dan mulai sibuk membuat susu. Dan jreeeng. Atmosfir disini seakan membeku. Hening. Sepi. "Kok pada diem deh? Gak jadi di lanjutin omongan yang tadi alasan kenapa gue bisa kerja lama disini?" ku tatap mereka satu per satu namun mereka hanya diam dan menunduk. Tipikal orang-orang yang suka membicarakan orang lain di belakang tetapi saat kepergok hanya bisa diam seribu bahasa. Bagaimana pun disini aku senior mereka, bahkan mereka belum genap satu tahun bekerja disini tetapi seolah mereka tahu segalanya tentangku.
"Mau gue kasih tahu gak alasannya apa? Tujuannya sih biar lu pada gak ngegosip lagi. Eh tapi kalo gue bilang abis itu di sebar deh jadi gosip lagi dan boom makin di bully gue, haha." Aku bicara sambil menaburkan bubuk coklat di atas susu vanilaku yang sudah jadi. "Jadi ya. Mulai sekarang gue bodo amat sama kalian, mau ngomongin gue atas ke sok-tahu-an kalian tentang gue. Mau benar atau salah gue gak akan peduli lagi sama semua urusan kalian yang menyagkut gue. Apapun. Bukan baper, gue sama cuma ingin kalian ngerti tentang sikap." Ku bawa susu vanilla dan melangkah keluar dapur. Tak ada yang menimpali omonganku. Diambang pintu ku tengok mereka masih diam dan tertunduk "Lista, laporan yang kamu kasih kemarin itu laporan bulan sebelumnya yang cuma kamu edit di beberapa bagian kan?" muka Lista pucat, kedua temannya menatapnya meminta jawaban. "Terus kenapa gak kasih aku laporan yang bulan ini? Kamu kira aku gak tahu? kamu sengaja?" Hah. Jengah aku melihatnya seperti itu. Ketika salah dan tak mau mengakui kesalahannya. Bahkan menjawab pun tidak.
Sambil berbalik dan menutup pintu aku memanggil Tika untuk ikut kembali ke ruangan. "Kak Redifa tadi dengar semua ya?" tanyanya agak gugup karena tidak enak padaku. "Iya aku dengar kok, lain kali kalo kamu gak enak sama aku, kamu pergi aja dari obrolan macam itu." Ku jawab sambil tersenyum.
Tiba di ruangan, mejaku sudah penuh berkas untuk direvisi. Sudah biasa, pasti akan lembur lagi. Padahal aku hanya bagian finishing, tapi ketika revisi datang tetap saja aku yang mengerjakan dari awal lagi. Membosankan. Lalu adanya penambahan junior disini apa? Kalau aku juga yang mengerjakan pekerjaan mereka.
Sebelum mengerjakan revisian, ku tenggak habis susu yang tadi ku buat, yang bahkan sudah berubah menjadi hangat cenderung dingin. Ku buka satu persatu berkas yang akan ku revisi, dan ku pisahkan mana yang akan benar-benar aku revisi dan mana yang akan ku limpahkan pada orang lain karena bukan pekerjaanku. Aku sudah bosan merevisi pekerjaan mereka sendirian. Padahal bukan salah pada dataku, aku hanya menyelaraskan data milik mereka pada dataku sendiri.
Ku dorong ke belakang sedikit kursiku, melihat Tika di sebelah kubikku "Tika, sibuk gak?" tanyaku. "Engga terlalu kak. Kenapa?" jawabnya sambil menengok ke belakang. "Bantu aku revisi data yang ini ya. Udah aku tandain kok, tapi jangan di print dulu, tunggu data dari Mba Meva sama Bang Ijal baru di komper lagi, bisa?" sambil menyerahkan berkas itu padanya. "Bisa Kak. Sini kasih ke aku aja, biar aku yang revisi." "Okedeh kalo gitu aku ke tempat mereka dulu ya. Makasih sebelumnya".
Aku beranjak ke meja Mba Meva. "Mba, sorry ganggu bentar. Data dari Mba kemarin banyak yang keliru ternyata. Aku minta tolong direvisi hari ini ya mba, biar besok udah jadi." Pintaku dengan sopan. "Duh gabisa nih Def, sibuk banget aku. Aku kirim soft file nya aja. Biasa juga kamu yang benerin." Jawabnya agak ketus. "Maaf mba aku juga lagi gak bisa hari ini. Banyak data yang baru masuk dan beberapa revisi bulan ini. Jadi maaf ya gak bisa bantu dulu. Kalo mba gak bisa selesai hari ini, besok aku gak bisa laporan ke Pak Bagus." Masih dengan sopan ku minta perhatiannya.
Tiba-tiba ia mulai meninggikan suaranya. "Ah lo mah De, biasanya juga elu kan yang kerjain kenapa sekarang malah nodong gue kaya gini, emangnya kerjaan gue cuma ngurusin revisi-an lu doang!?" *Sabar Def, dalam hati "Lah mba, kalo dari awal mba udah bener kasih data ke aku, gak mungkin kan aku minta revisi? Lagian juga selama ini aku cuma bantu, bukan berarti lama-lama bikin datanya asal biar aku terus yang revisi. Dikira aku gak tahu? Data yang mba kasih tuh cuma data-data sebelumnya yang di edit di beberapa bagian aja? Aku perhatiin loh mba. Perlu ku tunjukkin gak?" aku sudah tidak tahu lagi harus menanggapi seperti apa. Lelah rasanya.
Mba Meva diam dan melotot kepadaku. "Lu apasih De, orang tuh lagi pada sibuk ya awal bulan gini, malah minta revisi cepet-cepet. Di kasih enak biar bisa revisi langsung malah marah-marah!" aku sudah tidak bisa sabar lagi. "Oh gitu, enak ya jadi senior sekarang mah, apa-apa ngegampangin biar juniornya yang di salahin. Haha. Yaudah tuker posisi deh mba sama aku mau? Mba jadi leader seminggu aja pas awal bulan, biar tahu enaknya jadi leader disini." Mba Meva hanya menunduk dan diam saja.
"Tuh kan diam. Emang dikira enak masih junior udah di jadikan leader plus punya anggota isinya senior semua? Udah ah aku gak mau tahu, pokoknya hari ini jam 5 sore aku tunggu revisinya. Makasih Mba Mevalita Preswari." Ku lihat dia hanya mencebikkan mulutnya tapi tetap mengambil berkas yang ku taruh mejanya dan langsung mengerjakannya.
"Hai Bang Ijal TV!" sambil cengengesan ku hampiri mejanya dan menaruh berkas revisiinya. "Tumben biasanya data dari Bang Ijal paling minus sama revisi, mohon bantuannya ya Bang." Ucapku padanya yang sedari tadi hanya terkikik sejak aku mengomel ke Mba Meva. Iya Bang Ijal melihat semuanya karena mejanya bersebrangan dengan Mba Meva. "Iya Dedek Leader, tar abis ashar abang kasih ya revisinya. Adek duduk anteng saja, jangan marah-marah nanti cepet keriput sama yang di sebrang." Candaan khasnya selalu membuat orang-orang yang sedang kesal seketika melupakan kekesalannya. "Oke Babang Ganteng, makasih ya." Pamitku kembali ke meja kerjaku.
***
Berjam-jam aku berkutat dengan berkas ini, tahu-tahu sudah gelap saja. Bahkan banyak yang sudah meninggalkan meja kerjanya. Tadi aku hanya beristirahat untuk shalat ashar dan sekarang sudah ku dengar sudah adzan magrib saja. Beruntung hasil revisi Mba Meva dan Bang Ijal tiba tepat waktu, ketika ingin berjalan ke mushola, menyempatkan mampir ke mejaku dan memberikan revisinya. Meski Mba Meva masih dengan misuh-misuhnya. Dan ya, tinggal finishing terakhir sebelum besok pagi sudah ke berikan pada Kepala Divisiku untuk di presentasikan.
Kurentangkan tanganku ke atas dan sedikit menguap sembari ku edarkan pandangan di ruang ini, ternyata memang hanya tinggal segelintir orang disini termasuk aku dan "Dia". Saat ku perhatikan tiba-tiba saja dia menengok dan tersenyum. "Jama'ah yuk" katanya dengan gerakan bibir tanpa mengeluarkan suara. Aku hanya mengangguk untuk mengiyakan dan berjalan ke arah mushola.
Setelah selesai berjama'ah kami beriringan kembali ke ruangan. "Gak laper Neng? Makan yuk. Udah selesai kan datanya?" Tanyanya sambil mengotak-atik ponselnya. "Dibilang laper engga, dibilang gak laper tapi kayanya cacing di perut udah pada demo." Jawabku sambil cekikikan. "Belum selesai Bang, finishing sama ppt buat besok presentasi ke Bos." Masih dengan mengotak-atik ponselnya dia berkata "Tinggal itu aja kan? sini Abang yang kerjakan, setengah jam cukup lah ya kira-kira. Abis itu kita makan. Abang daritadi belum ada lihat kamu makan kecuali minum susu tadi siang." "Emang kerjaan abang udah selesai? Lagian tinggal finishing doang kok, hehe." Jawabku sambil tersenyum.
Sesampainya di mejaku, dia langsung duduk di kursiku "Udah sini Abang yang kerjakan, kamu duduk aja disitu. Setengah jam lagi ini selesai." Sambil mulai melihat-lihat pekerjaanku. Ku lihat tangannya sangat cekatan mengerjakan data dan membuat ppt untuk besok. Dan benar saja tidak sampai setengah jam pekerjaanku sudah selesai bahkan sudah di email ke beberapa orang yang terlibat presentasi besok. "Tuh kan abang bilang apa, setengah jam rampung. Yaudah yuk makan. Abang ambil jaket sama tas abang dulu." Ucapnya tanpa menginginkan pernyataan apa-apa dariku. Ku matikan komputerku dan merapikan meja kerjaku untuk bergegas pulang dengan Dia.
***
Jam menunjukkan sudah pukul 19:15 saat ini aku dan dia sedang ada di kedai pinggir jalan yang cukup nyaman untuk bercengkrama dengan makanan yang enak dan harga yang standar. Setelah memesan makanan sambil menunggu, aku memainkan ponselku yang sejak siang tidak ku sentuh. "Ridefa..." Panggilnya. "Iya, kenapa Bang?" Masih ku mainkan ponselku. "Kalau Abang tanya kamu, tentang cinta yang mustahil itu seperti apa?" Pertanyaan yang tak pernah ku dengar dari mulutnya. Ku taruh ponselku dan menjawab "Kenapa tiba-tiba tanya soal itu Bang?" "Ya jawab aja, Abang pengen tahu soalnya." Matanya menatapku dengan intens seakan pertanyaan ini sangat penting baginya.
Ku tatap lagi matanya dan ku jawab "Kalau menurut aku ya Bang, cinta yang mustahil adalah saat kita cinta sama seseorang, tapi orang itu gak bisa kita gapai karena dihatinya ada orang lain. Meskipun kita selalu ada dalam jarak pandangnya tapi kita tetap gak bisa milikin hatinya sampai kapanpun." Jawabku sambil meliriknya. "Kalau menurut abang, gimana?"
Sesaat dia menerawang lalu mengatakan hal yang sulit di terima. "Buat Abang, cinta yang mustahil itu saat kita tahu kita punya perasaan sama dia dan segala pandangan dan tujuan hanya untuk dia tapi ternyata kita tetap gak bisa bersatu karena suatu alasan klasik, yaitu keturunan. Secinta apapun Abang sama orang itu, Abang tetap gak bisa bersatu. Karena menurut Abang, cinta tanpa restu orang tua itu adalah cinta yang mustahil." Ucapnya seraya memamerkan deretan giginya.
Aku terdiam mendengarnya. Aku merasa sudah benar-benar kalah, setelah tahu DIA sudah mempunyai wanita dihatinya ditambah lagi menembus restu orangtuanya yang sudah tidak mungkin ia gapai. Alfareza Gusti Ganendra. Laki-laki yang sejak 5 tahun lalu selalu ada dalam jarak pandangku, mengisi hatiku yang saat itu sedang kalut karena ditinggal seseorang yang berarti bagiku. Laki-laki yang selalu ada disisiku entah bahagia atau sedih. Tapi tidak dengan hatiknya, hatinya sudah milik orang lain. Bahkan saat ini ada lagi alasan yang semakin membuatku sangat minder untuk berdekatan dengannya 'lebih dari sekedar teman'. Dengan berstatus sebagai teman saja sudah membuatku senang setengah mati, meskipun begitu aku tetap tidak bisa membohongi hatiku bahwa ia menyimpan rasa untuk lelaki disampingku.
"Bang Farez, kalau nanti misalnya nih ya, Abang bisa bersatu sama perempuan yang abang sayang, apa kita masih bisa sedeket ini? Maksudku, kita tetap jadi teman kan Bang?" Tanyaku hati-hati karena takut menyinggung Farez. Meskipun begitu, hatiku sangat berdebar menantikan jawaban dari mulut Farez.
Farez terdiam dan tersenyum. "Tentu saja, kenapa tidak? Toh malah Abang ingin pertemanan kita berlanjut sampai kita masing-masing mempunya anak, siapa tahu anak kita bisa di jodohkan tidak seperti orang tuanya yang tidak berjodoh. Semoga."
Tak lama, makanan pun datang. Kami makan dengan lahap. Terlebih aku yang sejak tadi siang belum makan. Aku tak peduli cara makanku seperti apa saat ini, yang terpenting perutku segera terisi.
Aku merasa daritadi Farez memperhatikan diam-diam. Kulirik sebentar dan benar saja, sekarang ia tersenyum melihat kelakuanku. Rasanya malu juga bila diperhatikan seperti itu.
***
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 20:30 malam. Setelah makan, Farez mengantar Defa pulang. Hanya suara penyiar radio yang mengiringi perjalanan mereka. Tidak ada yang bersuara dari mereka. Saat sampai di depan rumah Defa, Farez mencengkeram setir kemudinya. "Hmm Defa, kalau orang yang kamu suka ada di depan kamu apa yang kamu ingin dia ucapkan?" Tanyanya dalam keheningan. "Abang lg kesambet apa gimana deh? Hahaha" Lagi, pertanyaan tiba-tiba yang tak pernah ditanyakan Farez padanya. "Engga, cepet ih coba. Siapa tahu abis ini kamu mimpiin dia, kan lumayan mimpinya indah." Jawabnya dengan tegas.
Defa berpikir sebentar. "Defa cuma ingin dia bilang kalau Defa akan baik-baik saja meskipun dunia jahat sama Defa sambil peluk Defa, hari ini Defa lagi ngerasa rapuh banget." Jawabnya sambil menautkan jemarinya. Tiba-tiba Farez memeluk Defa. "Ridefaria Senja, jangan terlalu larut sama kesedihan hari ini, hari lalu ataupun dimasa depan nanti. Kamu anak yang kuat meskipun dunia jahat sama kamu. Kamu akan baik-baik saja meskipun nanti aku gak bisa peluk kamu lagi. Mungkin ini pelukan pertama dan terakhir aku buat kamu, tapi aku ingin pelukan ini bisa kamu ingat saat kamu lagi terpuruk nanti. Ya, Senja, jadi anak yang lebih kuat menghadapi esok." Farez berkata tepat di telinga Defa, sambil sesekali mengelus punggung Defa yang sedari tadi sudah mendengar isakan kecilnya. Perkataan dan perlakuannya sangat lembut dan penuh penghayatan seperti bukan akting.
Defa yang tiba-tiba mendapat perlakuan seperti itu hanya bisa diam dan balas memeluk Farez. Tanpa disadari air matanya meluruh dan menjadi isakan yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Defa benar-benar merasakan bahwa yang dikatakan Farez untuknya adalah kata dari hatinya untuk Defa. Setelah beberapa saat Defa menangis, ia melepas pelukannya. Masih dengan sesenggukan ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya mencoba menetralkan degub jantungnya yang sudah mau keluar itu sambil mengusap matanya. "Ma- Makasih Bang Farez, Defa sudah lega dan sangat senang bisa dapat perlakuan seperti tadi meski Bang Farez cuma akting. Maaf juga bajunya abang jadi basah." Katanya seraya melirik kemeja Farez yang sudah membentuk pulau-pulau kecil karena lelehan air matanya.
Farez hanya tersenyum menanggapinya. "Gak apa-apa, nanti juga kering kok. Sekarang masuk gih sudah malam. Sudah lewat waktu Senja kembali ke peraduannya. Selamat malam Senja." Ridefa juga tersenyum. "Abang juga pulang ya, jangan lupa istirahat. Terimakasih untuk segalanya dihari lalu, hari ini dan hari berikutnya nanti. Selamat malam juga Alfareza." Defa keluar mobil Farez dan membuka gerbang rumahnya yang hanya sebatas dada. Saat sudah didalam dam mengunci kembali pagarnya, ia melambaikan tangannya ke mobil Farez. Farez yang sedari tadi memperhatikan Defa dari keluar mobilnya sampai melambaikan tangannya saat ini, mengklakson mobilnya dan mulai menjauhi rumah Defa.
Yang tidak Defa ketahui adalah Farez tahu semuanya. Farez tahu Defa menyimpan rasa padanya, Farez tahu laki-laki yang diinginkan Defa untuk memeluk dan menyemangatinya tadi adalah dia. Maka dari itu dia tadi dengan bersungguh-sungguh berkata seperti itu. Ia tulus dari dasar hatinya mengucapkan semua hal tadi untuk Defa. Karena Ridefaria Senja Anggunita adalah gadis yang ada dihatinya. Gadis yang ia sayangi sepenuh hati namun tidak bisa bersatu. Satu fakta lagi yang tidak diketahui Defa. Biarlah Farez menyimpannya sendiri, yang terpenting ia tahu bahwa cintanya berbalas meski tak bersatu. Dan sampai kapanpun ia akan tetap disamping gadis itu, sebagai 'Abang', atau 'Teman' sampai gadis itu benar-benar menemukan pasangan yang tepat dan bisa merawat gadisnya dengan baik. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Farez senang bisa melakukan hal yang membuat Gadisnya bahagia. Ia ingin gadisnya bahagia. Hanya itu, bahkan ia tidak memikirkan hatinya yang mungkin akan hancur ketika Defa nanti menemukan penggantinya. Alasan kenapa sampai saat ini seorang Alfareza tidak ingin memikirkan masa depannya adalah ia ingin gadisnya lebih dulu bahagia dan mendapat pasangan yang tepat.
***
Bisakah dikemudian hari, cinta mereka akan dipertemukan?
Jawabannya hanya ada dalam pikiran kalian.. Imajinasikan sesuai kehendak kalian, aku tak membatasi.
***
Salam dari gadis pecinta senja dan khayalan.
-trpst ( 02 Februari 2019 )
"30 prompt writing challenge"
#trpst #thirty #prompt #writing #challenge #five
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro