Bab 8
Jam pertama beruntunglah gurunya sedang ada tugas ke Kantor Dinas. Hanya diberi materi dan tugas sedikit, yang tidak sepadan dengan jam pelajaran tiga jam.
Anres minta pindah ke sebelah, karena Echa sudah berangkat sekokah hari ini. Tempat duduk Anres yang berada di belakang Echa membuatnya tidak nyaman. Ia meminta Leo, teman yang duduk di sebelah mejanya.
“Makasih, ya. Lo pindah duduk di situ aja, gue nyaman di sini,” putusnya skabil meliirk ke arah Echa.
Tidak hanya Anres saja yang terkejut karena Echa bebas, tapi seisi kelas pun sama terkejutnya.
“Heh, Cha. Enak banget lo bisa sekolah lagi?”
“Gimana rasanya ngebunuh temen sendiri?”
“Psikopat mana bisa ngerasain pedihnya ditinggal sahabat, sih? Yang ada makin nggak berperasaan.”
Dan masih banyak celotehan temannya yang lain, yang menjurus untuk mengaku dan menuduh Echa. Echa saat ini juga terpukul. Ia merasa tidak melakukan apa pun, namun dituduh melakukannya.
Bagaimana perasaanmu jika hal yang terjadi pada Echa, ternyata terjadi padamu? Marahkah? Atau malu dan tidak sekolah?
Hmmmm....
Itu bukan solusi terbaiknya. Jika Echa mundur dan berhenti sekolah itu menyebabkan prasangka mereka itu benar, dan Echa takut jika ketahuan. Namun, jika Echa makin keras dalam menghadapinya, itu menunjukkan jika ia bukanlah pelakunya. Echa berani bersumpah atas nama penciptanya.
Untuk saat ini, mungkin diam adalah pilihan terbaik yang Echa pilih. Ia tidak mau terlalu memikirkan apa yang teman-temannya ucapkan.
Toh, nanti kebenaran pasti akan terungkap entah dalam waktu dekat atau lama. Echa selalu berdoa, untuk kebenaran atas kasusnya.
“Udah, jangan pada berisik. Sana pergi ke meja kalian masing-masing!” perintah si ketua kelas, Jendra.
Jendra juga risi mendengar salah satu temannya dirundung. Ia tidak akan tahan jika ada perundungan di sekitarnya, terlebih yang dirundung adalah seorang cewek yang ia sukai.
Jendra perlahan berjalan mendekat ke arah Echa. Memberinya sedikit rasa aman agar cewek itu tidak merasa jika semua merundungnya.
“Cha, gue di sini, ada buat lo. Kalo butuh sesuatu bilang, ya! Jangan sungkan.” Jendra mengusap lengan Echa sebentar, sebelum meninggalkannya.
Tempat duduknya berada di ujung sebelah kanan membuat Jendra harus ke tempat duduknya. Ia berjalan melewati Anres, dan kakinya tidak sengaja menendang kaki Anres yang melintang di jalan sehingga menimbulkan suara karena kakinya terbentur pinggir meja. “Sorry, nggak sengaja.”
“Jalan pake mata, dong. Nggak liat dari tadi kaki di sini?” Anres menarik kakinya yang melintang di jalan. Ia duduk tegap sambil tangannya memainkan bopoin di meja.
“Sorry, Res. Jalan itu pake kaki, bukan pake mata,” bisik Jendra ke telinga Anres sambil menepuk bahunya pelan.
Anres meremas bolpoinnya kuat. Ia tidak menyangka jika cowok itu sekarang berani menjawabnya.
Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Jendra adalah cowok pendiam, tapi tegas. Terlihat tidak peduli pada sekitar, apalagi pada ucapan atau candaan yang selalu Anres lontarkan. Namun, saat ini terlihat berbeda. Jendra berani menjawab ucapan Anres.
“Weiiiss ... Sekarang berani, ya, ngejawab,” balas Anres sedikit teriak agar suaranya didengar oleh teman-temannya, terutama Echa.
Semua menoleh pada Anres dan juga Jendra, termasuk Echa. Mereka tidak tahu apa yang yang terjadi. Jendra yang terkenal pendiam dan Anres yang tidak suka ribut membuat teman-temannya saling bertanya. Echa terus menatap kedua cowok itu saat Jendra berlalu.
Anres berdiri, menarik bahu Jendra yang sudah berjalan melewatinya. “Tunggu, Bro! Gue belum selesai ngomong.”
Jendra menatap kaget. Ia berusaha melawan rasa takutnya untuk berhadapan dengan Anres. Sedangkan Anres, ia menatap seolah Jendra sebuah barang murah.
“Dari pendiam tiba-tiba jadi sok pahlawan buat orang lain. hebat banget lo.” Anres menyandarkan dirinya ke tembok, menatap Echa sekilas lalu melihat ke Jendra.
“Lo cemburu? Setidaknya bilang kalo lo emang suka, jangan jadi munafik!”
Echa terkejut dengan ucapan Jendra. Siapa cewek yang dimaksud dia? Apa ada seseorang yang Anres suka? Selama menjadi sahabatnya, Anres tidak pernah cerita apa pun padanya.
Hingga guru Biologi datang membuat Echa menatap ke depan. “Itu kenapa masih berdiri di belakang?” tunjuk BU Niken pada Anres dan Jendra.
“Iya, Bu.” Keduanya membubarkan diri.
Echa masih belum paham dengan ucapan Jendra tadi. Siapa cewek yang sudah berhasil meluluhkan hati Anres? Dia dikenal dengan lembut pada siapapun, sehingga sulit untuk mengetahui siapa yang sudah membuat Anres melabuhkan hatinya.
“Pagi, Bu,” sapa Pak Burhan. Ia berjalan menuju meja Bu Niken setelah menyapanya.
Bu Niken langsung berdiri, menyambut Pak Burhan. “Ada apa, Pak?”
Mereka berbicara pelan, namun masih terdengar oleh murid yang duduk di depan.
“Saya mau membawa Echa ke kantor, Bu.”
Setelah meminta izin pada Bu Niken, Pak Burhan membawa Echa ke kantor. Semua murid saling bertatap dengan teman satu mejanya, saling berprasangka apa yang sedang terjadi.
Termasuk Anres, yang terlihat memperhatikan Echa hingga menghilang dari pandangannya. Ia hanya ingin tahu apa yang terjadi. Bukan berarti perhatian pada Echa.
Dalam kamus dirinya, Echa tidak lebih seorang pembunuh sahabatnya. Dia seharusnya pantas mendapatkan apa yang seharusnya seorang pembunuh dapatkan.
Tiba di kantor, Echa duduk menghadap kursi kebesaran seseorang yang paling disegani di sekolah ini. Seorang yang paling penting, yang bertanggung jawab atas sesuatu yang akan dan sudah terjadi di sekolah ini.
Iya, benar....
Echa duduk di depan Kepala Sekolah. Toro Junaedi, Spd.M.M.Pd., begitu tulisan yang ada di papan atas mejanya. Tangannya saling meremas, berada di sisi tubuhnya. Berkali-kali Echa menggigit bibir dalam bawah, untuk mengurangi rasa cemasnya.
“Selamat pagi, Echa Kosasi,” sapa Pak Larso yang baru saja masuk. Ia lalu mengangguk ke Kepala Sekolah, lalu duduk di sebelah Echa.
“Saya bicara langsung saja, ya? Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya sampaikan ke kamu, Echa, juga Pak Larso sebagai paman almarhumah.” Pak Toro mengaitkan kedua tangannya di atas meja.
Suara berat dan dalam terdengar di telinga Echa. Suara khas Kepala Sekolah yang terkenal bijaksana dan menomorsatukan kejujuran itu kini menghadirkan Echa yang dituduh sebagai pelaku, dan Pak Larso sebagai keluarga korban.
“Saya tidak mengeluarkan kamu dari penjara, Cha. Tapi, saya hanya menginginkan kebenaran. Banyak suara simpang siur yang saya dengar tentang kamu di kejadian itu. Saya hanya ingin tahu dari versi kamu bagaimana?”
Pak Toro terus memandang Echa, sesekali ke Pak Larso dan buku yang ada di atas mejanya. Echa tahu, mungkin ini cara yang dilakukan Pak Toro meskipun beliau tidak mengatakan sejujurnya jika dirinya yang telah menjamin kebebasannya.
“Emmm ... Terima kasih, Pak, setidaknya Bapak mau mendengarkan kejujuran dari diri saya. Dan ini sangat berharga untuk saya. Saat itu saya, kami berdua ingin menonton basket yang saat itu sedang latihan di ruang outdoor, saya berbicara Rindu untuk menunggunya sebentar karena saat itu saya ingin ke toilet. Dan di toilet saya bertemu Nita dan kawan-kawannya, saya masih di dalam toilet saat Nita sudah keluar dan tidak lama, saya mendengar teriakan yang memanggil nama Rindu, Pak. Saya langsung keluar begitu mendengar hal tidak beres. Saat melihat di depan kelas, Rindu sudah tidak ada, dan saya melihat ke bawah, di sana, Rindu sudah tergeletak keluar banyak darah dengan Anres yang berada di kepala Rindu.”
“Jika dilihat dari CCTV sekolah, depan kelasmu kurang jelas karena CCTV berada di sudut tangga.” Pak Toro bergantian melihat Pak Larso. “Kalau dari Pak Larso, bagaimana?”
“Di sini, saya, ‘kan, sebagai korban, Pak. Jadi, saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu, saya sedang di jalan dan telepon terus-menerus berbunyi. Saya angkat karena berpikir jika telepon itu pasti penting karena berulang kali menelepon. Dan ditelepon Pak Burhan mengatakan jika Rindu jatuh dari lantai 3 karena didorong. Saya langsung putar balik dan datang ke sekolah,” jelas Pak Larso setenang mungkin.
Echa kembali meremas kedua tangannya, kali ini ditaruh di atas pahanya. “Apa dari CCTV tidak terlihat apa dia laki-laki atau perempuan, Pak?” Pak Larso langsung melirik Echa.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro