Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[9] Namanya Juga Usaha

Selamat hari senin, gaes. Menjelang tumpukan stres yang menunggu. Jadi mari kita tambah asupan Biskuat ;)

---

Vero

Meskipun tidak bisa bilang apa yang aku lakukan benar, tapi bekerja sama dengan Jordan tidak terlalu buruk. Menyenangkan malah. Apalagi saat dia menceritakan tingkah laku Surya yang ... my gosh, ternyata Surya dulu lucunya nggak ketolongan.

Dengan beberapa informasi kecil dari Jordan—terutama bagian "Surya suka cewek yang pintar masak"—sore ini aku membajak dapur untuk membuat kue. Jujur, masak bukan sesuatu yang kukuasai dengan baik. To be honest with, I'm kinda suck. Tapi paling tidak aku bisa buat brownies. Dan, Jordan bilang Surya suka brownies.

Ini hanya sebatas kebetulan atau mungkin ada kecocokan di antara kami? Hah. Berharap terlalu banyak memang bisa bikin sakit hati. Tapi hati sama otak sudah biasa beda jalan, bukan?

Mbak Mey dan Noven sedang membeli bahan atas request Mas Arya yang mau bakar ikan lagi malam ini, sementara Surya tampaknya masih sibuk mendata hasil riset hari ini. Dan di sinilah aku, menunggu brownies matang sementara merasa dada berdebar.

Surya tidak tahu apa yang aku lakukan sekarang. Tapi jika dia tahu, bagaimana reaksinya? Will he tell me that I'm great?

Jika dipikirkan, ini tindakan yang agak memalukan. Aku belum pernah bertindak sampai sini. Tapi segala sesuatu butuh usaha. Dan dengan Jordan sebagai bank informasi, aku tahu bukan lagi waktunya untuk diam. Mencintai dalam diam memang aman, tapi sama sekali nggak menyenangkan. Ada saatnya untuk keluar dari zona aman. Aku mungkin bisa mencobanya sekarang.

Aku akan mencobanya.

Begitu bunyi microwave terdengar, aku langsung mengeluarkan brownies-nya dan meletakkanya di atas meja yang sudah beralas. Masih panas, jelas nggak bisa kubawa langsung ke Surya. Hanya saja membayangkan bagaimana aku harus membawanya membuatku gemetaran sendiri.

Apa begini seharusnya aku mengisi masa-masa SMA? Terlalu telat, ya?

"Baunya kayak enak."

Spontan aku berbalik ke arah pintu, merasa debaran di dada semakin kuat. Konyolnya, aku merasa lega karena yang ada di pintu justru Jordan. Aku menghela napas, meregangkan pundak yang semula seperti tersengat listrik. "Duh, saya kirain siapa."

"Emangnya lo berharap siapa?" tanya Jordan.

"Siapa?" Aku mengernyit.

"Ah, gue tahu. Lo berharap Surya lihat lo masak, kan?" Aku tidak mengerti kenapa Jordan tiba-tiba tersenyum. Dia melangkah mendekat, menundukkan kepala ke arah brownies yang masih berada di tempatnya. "Langsung dibuat ya? Benar-benar mau usaha nih?"

Aku mendelik cepat. "Informasi dari kamu langsung saya olah. Tapi kamu nggak bohong kan?"

Jordan nyengir lagi. "Gue cowok paling jujur di dunia ini, Mbak... Eh, wait." Aku mengerutkan kening karena dia tiba-tiba menghentikan kalimatnya. "Gue lebih tua, kan? Is it okay I call you by name?"

Aku baru saja mau bertanya dari mana dia tahu soal usiaku dan siapa yang lebih tua, tapi dentingan nyaring terdengar, membuat perhatianku teralih. Bahkan perhatian Jordan juga. Kami sama-sama melangkah keluar dari dapur. Ternyata sudah ada orang yang ada di depan pintu. Ada Surya juga.

Ini mungkin akan konyol, karena aku merasa berdebar. Padahal Surya tidak sedang berhadapan denganku. Perasaan ini membuatku merasa tidak nyaman, sementara di sisi lain aku tahu kenapa alasannya aku begini.

Karena Surya.

Ketika menyukai seseorang, apa orang itu akan terlihat berbeda? Karena bagiku, Surya kelihatan berbeda. Semakin hari semakin berbeda. Padahal dia tetap orang yang sama. Tetap seorang Artha Surya Kartawijaya yang gila dan sembrono. Kenapa dia bisa kelihatan spesial sekarang?

Aku tidak punya banyak pengalaman soal hubungan dan perasaan, tapi begitu aku tetap manusia—dan aku juga perempuan. Semakin lama semua ini terasa semakin konyol.

Aku bisa melihat Surya dari sini. Aku bisa melihat sosok yang entah siapa muncul di depan pintu, tersenyum dan Surya pun balik tersenyum. Surya kelihatan berbeda. Lagi. Tapi kali ini aku tahu itu bukan hanya perasaanku saja.

Gadis yang kini berhadapan dengan Surya kelihatan berbeda. Dan Surya tersenyum dengan cara yang berbeda. Aku tidak tahu apa, aku tidak tahu kenapa. Hanya saja aku spontan berbalik ke dapur dan kembali pada kueku begitu melihat gadis itu menyodorkan sesutau pada Surya.

Brownies dalam kotak plastik.

Kalau begitu, kurasa usahaku kali ini tidak berguna, bukan?

*

Jordan

"Ver."

"Ver."

"Vero!"

Sudah tiga kali gue memanggil dia, tapi dia sama sekali nggak menoleh. Dia justru berbalik ke arah dapur, ke meja makan tempat dia menaruh brownies. Bakal dia apakan kue buatannya itu?

Jujur, gue pun merasa terkejut. Entah sejak kapan Surya ada di depan pintu itu, dia justru kelihatan seperti makhluk gaib. Tapi lebih dari itu, gue lebih kaget dengan siapa yang tiba-tiba datang.

Reva datang. Entah atas alasan apa. Dan jelas saja Surya akan menerimanya dengan senyuman dan sikap yang menyebalkan itu. memendam perasaan pada mantan pasangan memang nggak sehat.

Ada keinginan untuk mendatangi Surya dan marah, kalau perlu gue bisa mengusir Reva. Tapi dibanding semua itu, gue rasa ada orang lain yang kena dampaknya.

Lo tahulah siapa. Yah, yang dari tadi gue panggilin, tapi sok-sokan cosplay jadi tembok.

Meskipun gue bercerita banyak hal soal Surya, yang satu ini belum gue ceritakan. Terlalu rumit buat gue ceritakan ke Vero. Karena yang gue pikir, sosok Reva bukan sesuatu yang perlu ditambahkan dalam cerita. Tapi sekarang dia tiba-tiba muncul, dan Vero mungkin merasa ada yang aneh.

Semua orang juga jelas tahu begitu melihat Surya dan Reva.

Patah hati itu memang nggak enak, Ver. Tapi gue nggak bisa bilang ini gitu aja, kan?

Gue berbalik untuk melihat Vero. Mungkin gue harus cerita sesuatu, paling nggak sedikit gambaran soal Reva. Yang gue pikirkan, seharusnya Vero punya peluang. Surya juga terlalu bego, sih.

Sadly, hati itu memang nggak pernah pakai logika sih.

Begitu melihat Vero mengangkat nampan berisi brownies buatannya, gue buru-buru berlari mendekat, merampas nampan itu dan menempatkannya kembali ke meja. Dan jelas saja, dia terkejut.

"Jo, kenapa sih?" Dia protes.

"Browniesnya buat gue aja. Bukan hanya Surya yang suka brownies, gue juga," celetuk gue. Vero memandangi gue dengan tatapan heran, hanya saja pelupuknya kelihatan siap basah. Gue langsung mengambil pisau, memotong brownies yang masih semi-panas itu dan memakannya.

"Lo boleh marah kok, Ver. Tapi hasil usaha lo nggak boleh lo buang gitu aja."

Vero terdiam sesaat. Gue tahu dia mau menangis, tapi dia kelihatan bersikeras menahan diri. Tangannya mengepal, dan dia berbalik untuk memunggungi gue.

"Itu siapa, Jo?" tanyanya pelan. Dia mau nangis nih?

Gue memotong brownies lagi kemudian berjalan mendekati Vero, dan dugaan gue benar. Dia menangis. Gue sodokorkan satu potong brownies tadi. Cara payah buat menenangkan cewek, I know. Tapi seenggaknya, gue usaha, kan?

"Brownies lo enak. Mending kita keluar terus habisin bareng. Sekalian gue cerita deh."

Entah keberanian dari mana—atau mungkin gue yang terlalu nekat—tapi tangan gue mengacak puncak kepalanya sebelum merangkul Vero. Untungnya, dia nggak menendang selangkangan gue atau menampar gue. Yang ada dia justru menganggukkan kepala.

Anehnya, kenapa gue merasa senang dalam kondisi kayak gini padahal Vero jelas patah hati? []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro