Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[4] Perkenalan Yang Baru

Vero

"Jadi, ini Jordan. Adeknya Surya. Sekampus juga sama kita, tapi S1. Anak teknik tambang. Lo udah pernah ketemu belum, Ver?" Begitu Mbak Mei mengenalkan supir kami sore kemarin.

Harusnya sih nggak. Mengingat gedung Sapek dan FTTM jaraknya lumayan jauh. Jangankan bertemu dengan anak fakultas lain, dengan yang satu fakultas saja jarang-jarang. Tapi, kenyataannya aku pernah bertemu cowok dengan jins sobek-sobek dan hoodie hitam ini. Dan kalau mau jujur, aku nggak ingin mengingatnya.

Atau aku harus memberitahu Surya kalau adiknya ini kurang bisa mengontrol tangan sendiri?

Sayangnya, semua aduan yang seharusnya kulayangkan keburu meninggalkan kepala. Aku malah mengerjap. Nyaris lima tahun mengenal Surya, ini kali pertamanya aku tahu dia punya saudara. Selama ini, kukira dia anak tunggal.

Rasanya aku ingin menertawakan diri sendiri. Katanya suka, tapi kok rasanya aku nggak tahu apa-apa?

Pertanyaan Mbak Mei yang satu itu berakhir nggak kujawab, karena jawabanku juga sepertinya nggak berpengaruh banyak. Terlebih, kami juga sibuk memasukkan barang-barang ke rumah yang akan kami tempati selama beberapa hari ke depan. Sampai di hari berikutnya, subuh-subuh aku dan Mbak Mei sempat mampir untuk membeli ikan. Bukan ke pasar, melainkan ke kapal nelayan yang kami temui.

Well, lebih tepatnya Jordan sih yang membawa kami.

Selama 22 tahun hidup, aku hanya pernah tiga kali berkunjung ke pantai. Dalam bayanganku, kunjungan kali ini akan memanjakan mataku, berhubung rumah neneknya Surya berada nggak jauh dari area pantai. Sial saja, selama menyusuri pinggiran pantai sekaligus membeli ikan, yang banyak meraup perhatianku justru Jordan.

Siapa yang mengira kalau Surya punya adik yang ... begini?

Selama pergi bertiga, Mbak Mei yang terus memancing obrolan—lebih seperti mewawancarai Jordan soal Pangandaran, sementara aku memilih diam. Sampai pulang pun, kami nggak ada mengobrol. Tiap melihat wajahnya, yang kuingat justru tamparanku waktu itu. I admit I was aggressive at that moment. Nggak berarti aku mau membiarkan tangannya itu bergerak tanpa tatakrama, ya. Tapi, aku jadi kepikiran. Apa Jordan cerita ke Surya?

"Jelek, ngapain diam-diam terus deh?"

Aku langsung berbalik, mendapati Surya tersenyum jail dan duduk di kursi anyam bambu di sampingku. "Berisik," sahutku cepat.

"Lagi ngapain sih? Chat-an sama doi?"

"Yayang," aku meralat singkat. Cukup itu saja deh yang kukoreksi. Yang bagian doi itu nggak perlu. Too much information. Bisa-bisa nanti aku ....

Oke, Ver. Enough.

"Yayang ini masih sama atau ...?" Kentara betul Surya sengaja menggantungkan kalimatnya untuk menggodaku. Langsung saja aku memutar bola mata malas.

"Pergi aja sana lo."

Dia malah tertawa. "Dih, kan rumah juga rumah gue. Kenapa malah gue yang diusir?"

"Bukan rumah lo, tapi nenek lo."

"Sama aja sih."

"Beda."

Surya malah makin cengegesan, kemudian mengacak puncak kepalaku. Gestur itu sering sekali dia lakukan, dan kelihatannya dia nggak punya masalah. But actually, I do. Sesuatu di dalam dadaku sering nggak tenang karena tangan cowok satu ini.

"Lo nggak marah, kan?" tanya Surya. Kali ini nada bicaranya melembut.

Tanpa perlu bertanya, aku sudah tahu maksudnya. Berbeda dengan aku yang sampai di Pangandaran sekitar pukul 10 malam, Surya baru sampai pukul 3 subuh. Yah, baru dua jam yang lalu. Aku agak takjub sebenarnya menemukannya di sini alih-alih istirahat.

Selama perjalanan, aku sengaja nggak membalas pesan Surya. Atau ... nggak bisa dibilang sengaja juga sih. Aku ketiduran di mobil soalnya. Mas Arya dan Jordan yang gantian menyetir, tapi aku nggak tahu di mana mereka berhenti untuk bertukar tempat.

"Nggak," balasku singkat.

"Serius nih. Gue kan nemanin Nyokap arisan."

Dibilang marah juga, sebenarnya nggak. Aku tahu alasan Surya, dan nggak mungkin menyalahkan ibunya karena perubahan rencana mendadak. Lagi pula, pada akhirnya kami tiba dengan selamat di Pangandaran. That alone is enough.

It should've had enough.

Siapa aku sampai banyak mau begitu?

Hanya saja, sebelum sempat menjelaskan, Surya tiba-tiba meletakkan sesuatu di pangkuanku. Cokelat batang berbungkus pink. Ada tulisan "Valentine Edition" di sana. Padahal, sekarang sudah Maret. Valentine is so yesterday.

"Apa nih?" tanyaku bingung, memandangi cokelat itu dan Surya bergantian.

"Ya buat elo makan. Dibagi-bagi juga nggak apa-apa sih, asal nggak dilempar ke laut," katanya sambil cekikikan, lantas berdiri. "Lo lebih suka cokelat daripada keju, kan? Lagian, nggak lucu juga gue beliin keju kotak buat lo cemilin. Anggap aja sogokan buat menebus dosa. Pas Februari kemarin tadinya pengin ngasih, tapi lupa."

Entah bagaimana persisnya aku harus bereaksi. Terlalu banyak yang perlu dicerna dalam satu momen ini. Surya menyengir, sekali lagi mengacak puncak kepalaku, kemudian pamit dan merogoh ponsel dari saku.

Sementara aku ....

Surya sama sekali bukan Medusa. Tapi kenyataannya, aku membatu di tempat. Butuh beberapa saat sampai akhirnya aku mengangkat kaki ke kursi, memeluk lutut. Debaran gila itu lagi-lagi menyerang. Berdasarkan sains, denyut nadi yang terlalu tinggi merupakan penyakit—dan tentu saja, hal itu bukan pertanda bagus. Sialnya, yang kurasakan sekarang justru membuatku senang nggak karuan.

Apa yang begini disebut progres? Apa dengan semua yang Surya lakukan aku bisa mulai berharap kalau perasaanku—

'Oh, paham gue."

Spontan aku mengubah posisi dudukku, menoleh ke arah pintu dan mendapati Jordan bersandar di kosen pintu. Sejumput rambutnya dikuncir ke belakang, dengan tangan menyilang di dada.

"Lo demen sama abang gue, ya?"

Pertanyaan itu dia lontarkan tiba-tiba. Ekspresinya boleh saja datar, tapi entah kenapa ... kok rasanya aku seperti baru saja mendapat tuduhan, ya?

*

Jordan

Gue dan Surya nggak akan pernah akur.

Mau dari zaman masih sama-sama pakai seragam merah putih, sampai sekarang gue masih S1 dan dia tinggal sebentar lagi memeluk gelar magister, hal itu masih berlaku. Tapi seenggaknya, kami bisa akur kalau sudah menonton tanding bola. Berhubung yang kami dukung tim yang sama.

Seharian ini, aktivitas kami sebenarnya nggak banyak. Hanya berkeliling ke beberapa tempat yang potensial untuk penelitian, makan, beres-beres rumah, kemudian istirahat. Nggak kerasa sih sebenarnya, karena tahu-tahu sekarang sudah malam saja.

"Bang."

"Apa?"

Seharusnya jam segini cewek udah tidur sih. Jam tidur para bangsa ayu. Tapi gue kan bukan bangsa itu, jadi jam 11 juga hajar aja, kan?

Gue dan Surya masih asik di ruang tamu, menunggu pertandingan. Liverpool dan Chelsea mana bisa gue lewatin? Maaf, ya. Tidur hanya untuk orang lemah. Thank you very much.

Surya sibuk dengan ponselnya sesekali kemudian kembali menonton televisi. Gue masih menunggu iklan sesuatu yang agak bikin panas—you know what—supaya bisa mengobrol lebih panjang. Dan ketika iklan itu muncul, gue mulai bicara. Tapi mata tetap di televisi dong.

"Lo udah punya pacar?" tanya gue. Jujur saja gue nggak ada niat untuk mengejek, tapi justru itulah yang Surya tangkap.

Dia langsung menyambar, "Kampret, ya, lo. Ngaca coba."

"Eh, anjir, gues serius ini, Bang. Main nuduh aja lo," gue memutar bola mata, "nanya doang ini elah."

"Mending lo nyari buat diri sendiri daripada nanya gue."

Agak menjengkelkan memang jawabannya. Tapi kalau sudah begini, gue bisa menarik kesimpulan sendiri. Jawabannya, belum. Surya aja yang sok malu, biasanya ngorok di kelas aja nggak malu.

Memang sih, pertanyaan ini random banget. Cuma gue agak kepikiran, apalagi setelah lihat Vero tadi. Awalnya justru gue berasumsi dia ini pacarnya Surya. Tapi dengan jawaban Surya yang begini, sudah pasti bukan.

Iklan you-know-what sudah habis, tapi gue masih pengen ngobrol. Komentator yang muncul lebih dulu di televisi, jadi gue kembali bertanya, "Terus Vero?"

"Teman sekelas. Tadinya dia di bawah gue sih, tapi dia fast track, jadi sekelas sekarang." Surya sudah jawab panjang lebar, tapi sebenarnya bukan ini jawaban yang gue mau. Ternyata kesannya biasa saja. tapi tadi ngelihat Vero kok nggak gitu?

Oh, atau jangan-jangan itu cewek kena sesuatu semacam ....

"Nggak ada niat ngegebet dia, Bang?"

"Oh, lo tertarik?" Surya justru balik bertanya, membuat gue berdecih.

"Gue aja baru tahu." Lebih tepatnya baru tahu setelah kejadian di minimarket waktu itu sih. Tapi Surya nggak perlu tahu. Kemungkinan gue ditertawai, atau mungkin digebuk karena gue dikira mesum. Padahal benar-benar nggak sengaja. Remas aja nggak sempat, elah.

Ya, Gusti. Sumpah deh gue bersih.

Surya mengambil cola di botol besar dan minum begitu saja dari mulut botol. Beruntungnya gue bukan tipikal orang yang percaya omongan kalau minum di bibir botol yang sama kayak lagi ciuman. Geli juga kali ngebayangin gue ciuman sama Surya.

Dih, makasih. Masa depan gue masih cerah.

Dia mengambil satu bantal di sofa kemudian menjadikannya sandaran di punggung, matanya tertuju pada televisi, tapi dia masih menjawab pertanyaan gue.

"Kalau Vero sih, nggak tau deh. Dia asyik, tapi ada beberapa aspek yang bikin gue mikir," kata Surya.

"Karena dia pintar?"

"Salah satunya sih, itu. Kesannya malah dia kayak profesor, gue masih sophomore."

"Segitunya?" Gue masih kelihatan heran, dan Surya mengangguk. Dia menoleh ke arah gue sesaat kemudian kembali memperhatikan layar televisi. Pertandingannya sudah mulai.

"Lagian lo kenapa nanyain dia?" Surya balik bertanya ke gue, sementara tangannya mulai sibuk dengan kacang atom.

Dengan ringan gue menjawab, "Nanya aja. Ron pernah bilang dia pintar juga, tapi nggak nyangka segitunya." Kemudian gue mengambil bungkus kacang atom dari Surya, dijadikan hak milik. Kalau sudah soal kacang atom gue mana mau kalah. Maaf sekali, saudara sekalian.

Hampir sepuluh detik gue dan Surya perang rebutan kacang atom, dan tetap saja gue pemenangnya. Surya hanya bisa mengambil beberapa kacang. Dia mendengkus lebih dulu, kembali bersandar. Kemudian dia bicara lagi. "Lagian kalau Vero, sih, sudah ada yang ngincar."

"Siapa?"

Surya menolehkan kepalanya ke arah gue, tatapannya datar. Tapi buat gue, efeknya cukup mengejutkan.

"Dosen lo. Pak Theo, kan, dari beberapa bulan lalu ngedeketin Vero." []

*

N

otes:

[1] Sapek = SAPPK, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro