[14] Pacaran Ramai Rasanya
Kaget nggak? 🌚
---
Vero
Aku tahu ini telat banget, tapi mendadak aku berpikir kalau seharusnya aku nggak ke bioskop dengan Jordan.
Tentu saja, aku nggak bilang langsung ke orangnya. Mana mungkin aku minta pulang setelah kami sudah berada di dalam bioskop. Tangan sudah memegang cola dan ember popcorn, menunggu film diputar. Terpikir untuk izin saja ke kamar mandi. Masalahnya, orang mana yang buang air sampai dua jam?
"Nyesel?" Jordan menoleh, tangan kanannya sibuk menyuapi mulut dengan popcorn. "Padahal tadi gue udah nawarin buat nonton film lain."
That one was definetely my mistake. Aku memang nggak punya reaksi baik kalau menyangkut film yang banyak jumpscare. Itu sebabnya aku nggak pernah menonton genre horror, thriller, atau sejenisnya.
Nggak pernah, sebelum hari ini.
Setelah mengerjakan karya ilmiah masing-masing, aku dan Jordan akhirnya mampir ke BEC, ada bioskop di atas. Awalnya, Jordan bertanya film apa yang mau aku tonton. Sayang sekali, nggak ada film animasi yang sedang ditayangkan. Aku juga nggak yakin dia mau menonton. Jadi, aku bertanya, "Biasanya Surya suka film yang kayak gimana?"
Dan itulah yang membawa kami menonton Us. Berdasarkan penjelasan Jordan, filmnya bukan soal hantu atau pun makhluk supernatural, tapi punya unsur sci-fi. Mungkin seperti Avatar atau The Matrix. Aku cukup suka keduanya, meskipun nggak terlalu ingat seperti apa jalan ceritanya.
"Nggak seram dong, Jo?"
"Seram tuh subjektif, nggak sih? Kata teman-teman gue sih lumayan."
Masalahnya, dia baru memberitahu itu sewaktu kami mau menempati kursi. Kurang lebih lima menit lalu. Salahku juga sih karena baru bertanya, atau paling nggak mencari informasi mengenai filmnya. Rating-nya di Rotten Tomatoes memang bagus. Kabar buruknya, ini benar-benar film horror. Beberapa review yang kubaca bahkan menyebut ini lebih seram dan menegangkan ketimbang film lainnya.
"Surya emang suka film beginian." Jordan kembali bicara, menyodorkan popcorn ke arahku, tapi aku menggeleng. "Nggak literally horror sih, lebih ke film yang ngajak buat mikir. Kayaknya dia juga udah nonton ini. Kalau nggak yah paling dalam waktu dekat. Lumayan bisa jadi topik obrolan kalian."
"Cowok kebanyakan sukanya film penuh adrenalin gini, ya? Kakak saya juga gitu. Tapi, ujung-ujungnya teriak heboh sih."
"Kakak lo yang mana? Yang cewek?"
"Itu sepupu. Kakak saya ada cowok satu. Sesekali aja sih ada di rumah. Udah kerja soalnya."
Baru saja aku mendengaran gumaman Jordan sebagai balasan, tiba-tiba lampu bioskop dimatikan, kemudian seisi ruangan diisi suara bass super keras, sampai aku terperanjat dari kursiku. Beruntungnya di samping kananku kosong. Tapi, keterkejutanku barusan sukses memancing perhatian Jordan. Nggak heran kalau dia akan mengejekku. Memalukan.
Belum menonton sudah begini. Bagaimana kalau filmnya diputar nanti?
Jujur, aku sama sekali nggak menduga dia malah menarik tanganku dan menggenggamnya, hingga lengan kami bertumpu pada pinggiran kursi yang menyatu.
"Remas tangan gue aja," katanya. "Daripada lo teriak nanti."
Aku mengerjap cepat, bingung.
Apa ini semacam modus? Bukan hal aneh kalau aku waswas sendiri, kan?
Namun, aku nggak merasa Jordan memiliki maksud lain. Karena nggak lama, pandangannya sudah tertuju pada layar yang memampangkan iklan, tangan kirinya sekarang berperan untuk minum dan makan.
"Jo ...."
Sebenarnya, aku nggak tahu kenapa persisnya aku memanggil dia. I just feel like I wanted to. Dia pun menoleh, ekspresinya masih santai.
"Kenapa, Ver?"
Aku bisa melihat beberapa orang memegang tangan orang di sampingnya, beberapa bahkan bersandar di bahu pasangannya. Apa yang terjadi di antara aku dan Jordan bukan hal aneh. Nggak akan ada perhatian khusus bagi kami. Di sisi lain, aku juga yakin hubungan mereka sepenuhnya berbeda dengan kami. To be exact, kami yang berbeda sendiri. Nonton bersama ini bukan kencan, dan kami sama sekali nggak pacaran. Kami hanya partner.
Ada banyak alasan untuk membuatku sadar nggak terlalu menikmati kebersamaan yang entah apa sebutannya ini.
"Kalau nanti sakit, maaf. Saya orangnya memang penakut," kataku.
Karena, bohong jika aku bilang nggak merasa nyaman. Dan anehnya, ketika aku tahu tujuanku adalah Surya, aku nggak bisa membayangkan siapa pun menggenggam tanganku dan menenangkanku selain laki-laki di sampingku saat ini.
This is weird. Aku bahkan nggak yakin pernah merasakan hal serupa pada Surya. Kira-kira, apa Jordan merasakan hal yang sama?
*
Jordan
Kapan terakhir kali gue jalan bareng cewek?
Pertanyaan itu membuat gue sadar seberapa keringnya urusan asmara gue. Kayak kaktus, tapi sayangnya gue nggak punya simpanan. Lagi pula, cuman gara-gara nggak punya pasangan, bukan berarti gue nggak bisa hidup. Analogi kaktus dan pasangan nggak seimbang.
Yang pasti, gue cukup menikmati nonton bareng kali ini. Bukan karena filmnya sih. Malah lebih menarik Vero yang beberapa kali mencengkeram tangan gue, bibirnya merapat supaya nggak berteriak, sementara pandangannya tetap tertuju ke layar di depan. Untung yang diremas baru tangan, ya. Kebayang kalau yang lain?
Maksud gue kalau muka, kan, sayang ketampanan gue ini.
Meski sudah keluar dari bioskop, Vero masih kebanyakan diam. Jadi, gue masih menggenggam tangannya. Well, dia duluan sih. Sempat ngide untuk pura-pura batuk dan melihat reaksinya, tapi niat itu gue urungkan. Soalnya, gue suka ketika tangan kami begini. It feels warm, and if I can comfort her, I don't mind holding her hand all day long.
Sebagai anak Biskuat sejati, jadi singa saja bisa. Apalagi memegang tangan Vero. Pasti ada rasa pegal. Tapi, gue malah lebih dibuat deg-degan, menunggu kapan kira-kira dia akan menarik diri.
"Mau makan nggak, Jo?" tanya Vero setelah kami sampai di lantai bawah. Food court sebenarnya ada di atas, satu lantai di bawah bioskop. Cuman, restoran fast food ada di sini. Atau makan di Lotte Mart juga bisa.
"Lo lapar?" Gue balik bertanya. "Mau di sini apa di atas aja?"
"Di atas tadi lumayan ramai. Mending di sini aja sih," balasnya. "Atau kamu mau makan di atas?"
"Terserah lo aja. Gue ngikut."
"Serius? Kalau kamu mau makan yang lain, nggak apa-apa kok balik ke atas."
Perasaan gue aja atau rasanya kami seperti pacaran? Dari nonton, berdiskusi mau makan di mana, sampai bergandengan tangan begini. Kurang statusnya saja.
Kenapa kesannya gue yang ngebet banget nih?
Gue mengalihkan pandangan untuk memeriksa beberapa restoran di bawah. "Di sini aja kalau gi ...."
Mulut gue langsung terkatup ketika Vero berjinjit, mengikis jarak di antara kami, sementara tangannya menyentuh rambut gue. Gue membelalak, hingga dia kembali ke posisinya. Seakan nggak cukup mengagetkan, dia juga langsung menatap mata gue, dan gue tersadar akan sesuatu.
Dari dekat, matanya ternyata cokelat terang. Cakep.
"E-eh, maaf saya main nyentuh aja. Tadi ada putih-putih gitu di rambut kamu," ucap Vero buru-buru. Dia bahkan menarik tangannya, meninggalkan sesuatu yang kosong.
Otak gue kayaknya kosong melompong sih. Dari tadi gue mikirin apaan coba?
Kecanggungan Vero dengan cepat menular ke gue juga. Cuman berdua sama dia, emosi yang gue rasakan sudah lumayan banyak. Dari gemas, ngakak, nyaman, sampai ... yah, gini. Apakah emosi gue saat ini lagi cosplay jadi Nano-Nano?
"Ya udah yuk, ke KFC aja. Gimana?" tawar gue, berharap pembicaraan ini bisa menangkal situasi kikuk di antara kami.
Vero mengangguk sekilas, seperti siap beranjak, hingga ada suara memanggil namanya. Gue jadi ikut menoleh. Nggak jauh dari kami, ada seorang wanita paruh baya berambut pendek, lengkap dengan tampilan kasualnya. Wanita itu tersenyum sebelum mendekat.
"Mama kira kamu sudah pulang."
Oh, ini nyokapnya? Setelah gue perhatikan, bentuk wajah dan hidungnya sama. Aura pintarnya juga terpancar. Agaknya gue perlu mempertanyakan apakah seluruh keluarganya Vero apakah seperti ini. Kalau memang makannya betulan buku dan karya ilmiah lainnya, gue sepertinya perlu resep dan cara mengolahnya. Mama Vero kira-kira berniat buat tutorial di Youtube nggak?
Semua pemikiran gue itu langsung berhenti begitu wanita tersebut memandangi gue sembari tersenyum. "Oh, ternyata nggak sendiri ke sininya."
"Halo, Tante. Saya Jordan," gue memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan
Canggung? Pasti. Nyatanya, nyokapnya Vero menyambut gue ramah, menjabat tangan gue sambil manggut-manggut. "Jarang banget bisa lihat Vero jalan gini," katanya. Gue tadinya mau tertawa, tapi kalimatnya berlanjut menjadi, "Pacarnya Vero, ya?"
"Mama!" Vero langsung protes, tentu saja. Gue menoleh ke arahnya, mendapati cuping telinganya memerah. Rasanya pengin gue tarik—walaupun setelahnya, nyawa gue mungkin ditarik sama nyokapnya karena menganiaya sang anak.
Itu sih cari mati. Gue kan maunya mencari cinta.
Canda, cinta. Bisanya cari masalah sih.
"Saya teman sekampusnya, Tante," gue menambahkan. Nggak mungkin juga gue ngaku-ngaku.
But for a moment, gue kepikiran. Gimana kalau gue betulan jadi pacarnya Vero? []
*
Catatan Arata:
Hae gaes. Masih ingat? Setelah setengah tahun no update, akhirnya bisa ngasih bab baru. Barangkali yang keburu lupa sama ceritanya, bisa banget baca dari awal sambil cengcengin Duta Biskuat :P
Also, aku diberi kesempatan untuk ngasih kabar baik dan kurang baik. Yang pertama, Thesis Crush tinggal satu bab lagi. Datang-datang main udahan aja, ya? :(
But no worries, versi lengkap plus puas plus kenyang mantulity bisa dibaca nanti, karena ini bakal jadi buku. Jadi, uang jajan ataupun angpaonya boleh disisin nih ges buat beli Biskuat versi ganteng ;)
Aku bakal infoin secara berkala di sini, atau biar lebih cepat bisa cekiceki di Instagram aku @aratakim dan penerbitnya @nexterday.publisher yaaa.
So, sampai ketemu di bab terakhir!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro