[13] Karya Ilmiah Rasa Modus
Hello!
So, it's been a month (prob lebih sih) sejak aku update cerita ini, maupun cerita lain di Wattpad. Bulan lalu aku harus handle beberapa hal yang membutuhkan fokus lebih, jadi aku ambil jeda dulu dari sini. Thank you karena sudah mau menunggu. Since it's already August, jadi mari kita lanjut lagi perjalanan ini (yang jauh dekat nggak cuman 3000)~
Selamat membaca! 💕
---
Vero
Nggak butuh waktu lama untuk kembali ke kebiasaan sehari-hari setelah kembali dari Pangandaran.
Begitu balik ke Bandung, besoknya aku langsung ngampus. Hanya karena aku sudah menemukan bahan yang tepat untuk penelitian, bukan berarti semuanya lebih mudah. Pada akhirnya aku harus mencari sumber informasi yang lain, menambah kajian pustaka, dan berkonsultasi ulang terkait arah tesisku nanti. Seringnya, karena adanya beberapa perbedaan dari ekspektasi data dan hasilnya di lapangan, draft pun sedikit berubah. Syukurnya nggak banyak sih, tapi tetap saja, aku perlu bekerja. Nggak ada istilah ongkang-ongkang kaki di rumah saja.
Contohnya saja, ya, hari ini. Aku jadi ke gedung sapek S1, dikarenakan aku ada janji untuk bertemu dengan salah satu dosenku dulu. Beliau pernah melakukan penelitian untuk pembangunan tambang, dan aku diarahkan untuk berdiskusi dengannya. Niatnya sebelum beliau masuk kelas pukul delapan pagi ini. Karena beliau belum datang, jadilah aku menunggu di ruang depan ruang akademik sapek di lantai satu.
"Pagi, Vero."
Aku menoleh, mendapati sesosok pria jangkung dengan kemeja navy bermotif siluet Mickey Mouse warna putih. Lucu, tapi pada saat yang sama membuat orang yang mengenakannya terlihat lebih keren.
Kata Yayang, baju itu punya dua kategori: yang cocok sama orang tertentu, dan yang cocok untuk orang yang memang keren mau pakai baju apa pun—or even nggak pakai sama sekali. Sepertinya Pak Theo jadi ke kategori ke dua. Kalau hal itu memang ada sih.
"Selamat pagi, Pak," aku membalas sapaannya. Pria itu langsung tersenyum. Gerakan bibir kecil yang entah bagaimana bukan membuatku berpikir dia sombong, melainkan manis.
"Tumben ke tempat anak S1," ujarnya, kemudian duduk di sampingku sembari menggulung lengan kemejanya. "Kirain masih di Pangandaran."
"Udah balik dari kemarin lusa, Pak," jawabku sambil tersenyum seadanya. "Pak Theo ada perlu juga ke sini?"
"Ada perlu sama bagian akademik. Belum buka, ya?"
"Tadi saya lihat Bu Dinar sih, tapi hanya mampir sebentar, terus pintunya dikunci."
Pak Theo manggut-manggut. "Terus kamu ke sini untuk apa?"
"Mau ketemu Pak Genta buat keperluan tesis, Pak."
"Pembimbing kamu bukannya Bu Kiara?"
Aku mengangguk. Memang begitu. "Saya diarahkan sama Bu Kiara untuk ketemu langsung sama Pak Genta, karena tesisnya dulu temanya mirip sama saya. Nggak spesifik pertambangan laut sih, tapi barangkali saya bisa dapat gambaran lebih soal kelanjutan tulisan saya. Agak buntu."
Butuh beberapa saat sampai aku menyadari ucapanku barusan sepertinya terlalu panjang, lebih mirip mengoceh. Akan tetapi Pak Theo benar-benar menyimak. Sebelum aku sempat minta maaf, dia sudah lebih dulu membalas, "Dua tahun lalu saya pernah submit artikel temanya pertambangan laut. Studi kasus saja sih, tapi in case kamu mau baca, siapa tahu bisa jadi referensi."
"Boleh, Pak?" Responsku tadi begitu spontan, sampai-sampai suaraku lebih besar dari yang kuinginkan. Namun, Pak Theo tampak nggak terganggu, malah ikut tertawa.
"Sure. Lumayan buat saya juga, kan, kalau kamu jadikan referensi," katanya lagi. "Saya kirim ke Whatsapp saja, ya?" Pak Theo langsung merogoh saku di ponselnya. Kurang dari satu menit, dia sudah berkata, "Sudah saya kirim."
Aku memeriksa ponselku. Benar saja, ada notifikasi baru dari kontak Pak Theo. "Terima kasih banyak, Pak."
"Your welcome."
Sejujurnya, aku merasa sungkan. Bukannya tanpa alasan. Pak Theo jelas nggak punya tanggung jawab apa pun untuk membantuku. Tapi lihat apa yang sudah dia lakukan. Dan ini bukan bantuan pertamanya.
Aneh nggak, ya, kalau di ucapan terima kasih tesisku nanti akan ada namanya? Bahkan pencantuman nama juga terasa belum cukup sebagai balasan.
Pak Theo tiba-tiba beranjak, dan aku mendongak. "Saya balik saja kalau gitu. Nanti agak siang baru ke sini lagi."
Aku hanya bisa menggangguk, nggak lupa mengucapkan terima kasih sekali lagi. Nggak kuduga dosen FTTM itu akan tersenyum—kali ini deretan gigi rapinya terlihat—dan menepuk pundakku.
"Duluan, Ver. Lancar buat tesisnya."
"Makasih banyak, Pak."
Begitu Pak Theo pergi, aku mencoba mengintip artikel yang dikirim. Hanya saja baru membuka halaman pertama, perhatianku terpancing siulan di samping. Aku menoleh, mendapati tempat Pak Theo sudah diisi lagi oleh orang lain.
"Asyik banget kayaknya pagi-pagi udah dimodusin doi, ya?"
Itu Jordan.
*
Jordan
Gue nggak tahu harus iri atau nggak sama Vero.
Seumur-umur, belum pernah gue lihat Pak Theo seramah itu pagi-pagi, apalagi kalau sama gue waktu bimbingan. Gue bahkan perlu mengembangkan kekuatan supernatural untuk menebak suasana hati seorang Theodore Tjakraprawira supaya gue nggak kena getahnya.
Kemungkinan pertama, tentu saja, mungkin karena gue cowok dan Vero cewek. Tapi, kayaknya mahasiswi di kelas gue juga nggak diperlakukan sampai segitunya: disapa duluan, disenyum pagi-pagi, dan dengan sukarela memberikan artikel penelitiannya. Biasanya saja cuma dikasih judul saja, sementara kami harus cari sendiri.
Jadi, kemungkinannya dipersempit lagi, mengingatkan gue pada informasi berkedok gosip dari Surya. Pak Theo naksir Vero. Masa iya gue harus ditaksir Pak Theo supaya skripsi gue dilancarkan?
"Kok kamu bisa di sini, Jo?" Suara Vero terdengar, diikuti tatapan kagetnya.
"Emang nggak boleh?" tanya gue balik. "Pak Theo aja boleh tuh."
"Ya kan, saya nanya aja, Jo. Bukan bilang nggak boleh," balasnya defensif.
"Canda elah. Mbaknya serius amat."
Vero langsung menatap gue sengit. "Humor pagi kamu nggak banget kayaknya, Jo."
"Berarti kalau udah siang humor gue bagus dong?" Sengaja gue membalas dengan nada tengil. Dia langsung geleng-geleng, tapi nggak lanjut protes juga. Perhatiannya teralih ke pintu ruangan akademik yang masih tertutup. "Nungguin siapa sih, Ver?"
"Pak Genta."
"Udah janjian?"
Dia mengangguk. "Kamu sendiri ngapain?"
"Tadi cuma ketemuan aja sama adeknya Mora. Gue habis minjam bukunya dia buat dafpus."
"Nyari referensi? Kenapa nggak ke saya aja?"
Sebenarnya gue sempat kepikiran begitu. Materinya juga dasar. Hanya saja, lama-lama tengsin juga sih. Bukannya gue nggak mau dibantu. Gue pengin berusaha lebih dulu. Biar, yah ... kelihatan niat dikit gitu. Awalnya gue sempat mencari di perpustakaan, sayangnya di bagian sirkulasi habis terpinjam. Mora yang menawarkan supaya gue meminjam dari adiknya langsung.
"Nggak kepikiran." Akhirnya gue menjawab asal saja sambil nyengir. "Lagian cuman buku doang. Lo sama Pak Theo tadi berduaan gitu ngapain aja tuh? Nggak mungkin minjam buku, kan?"
"Nggak sengaja ketemu. Terus tadi Pak Theo nawarin tulisannya buat dijadiin referensi, sekalian dikirim lewat Whatsapp."
Hal seperti itu lumrah sih di kalangan dosen. Beberapa dosen di jurusan gue juga nggak jarang menyarankan karya tulis mereka sebagai bahan bacaan dan referensi—malah ada juga yang wajib. Tapi, ada yang membuat gue heran. Ini Pak Theo, kan? Pak Theo yang itu? Sebagai bimbingannya, jujur aja, gue cemburu.
Tolong jangan disalahartikan. Gue nggak punya perasaan apa-apa ke dosen jelmaan singa satu itu.
"Serius?" tanya gue kepada Vero, kemudian mendengus. "Gue kalau nanya referensi aja banyak yang disuruh nyari sendiri."
"Masa sih?" Vero malah tampak meragukan ucapan gue. Apa harus muka gue merana banget biar dia sadar seberapa kerasnya Pak Theo?
"Soalnya Pak Theo nggak naksir gue, jadi gitulah."
"Kok jadi soal naksir-naksiran?" tegur Vero. "Bercandaannya nggak lucu. Nggak enak juga kalau didengar orang lain. Kan nggak enak kalau Pak Theo ikut dengar."
Kayaknya gue perlu mengasihani Pak Theo deh. Poor him.
Mungkin lebih baik mengubah topik. Masalah urusan percintaan dosen gue biarlah dia urus sendiri. Gue tinggal bagian "pukpukin" aja. Itu juga kalau gue dapat jaminan kemudahan skripsi. Yah, nggak ada yang gratis di dunia ini, kan?
"By the way, habis ini lo mau ngapain?" tanya gue. "Ngerjain tesis?"
Vero sempat bergumam sebentar, tampak berpikir. "Habis nungguin Pak Genta sekalian ke perpus, kayaknya bakal balik deh. Mau istirahat bentar sebelum ngerjain tesis lagi."
Tadinya gue hanya mau mangut-mangut dan pamit, tapi sebuah ide terlintas. "Hari ini makan bareng lagi, yuk."
"Makan?"
"Atau mau nonton? Gue yang traktir deh, sans."
"Nonton? Kok tiba-tiba?"
"Lo kebanyakan bantuin gue. Let me pay you back. Sekalian lo mau istirahat, kan? Cari hiburan dulu gitu."
"Santai aja, Jo. Kayak sama siapa aja."
"Emangnya siapa?"
"Kamu partner saya, kan?"
Cara Vero menjawab memang santai. Banget malah. Anehnya, efeknya kok berbeda buat gue, ya? Parahnya lagi, otak gue yang karatan ini mencernanya sebagai "partner" dalam artian lain. Daripada kepedean, ini lebih pas disebut "nggak tahu diri". Gue sadar diri banget kok. Tapi, sekadar berandai boleh kali, ya?
Alih-alih menjawab, gue menatap dia sebentar, dan dia balik melakukan hal yang sama. Awalnya sorot mata Vero santai saja, tapi nggak lama dia mengerjap cepat, dan telinganya memerah.
"Eh ... maksud saya .... Yah, partner ngerjain karya tulis. Kamu bilang begitu, kan, dulu?"
Seketika gue menyengir lebar gara-gara tingkahnya ini. Vero yang salah tingkah ternyata menghibur juga. Gue menepuk pundaknya. "I insist. Sekalian biar bisa santai juga bareng lo. Atau lo prefer buat—"
"Vero, hape saya kayaknya ketinggalan. Ada di situ nggak?"
Spontan gue berbalik, mendapati ada orang ketiga dalam percakapan kami. Pipi gue yang terangkat langsung loyo begitu melihat sepasang mata dan alis bertaut memandangi gue dan Vero bergantian.
"Maaf saya ganggu," kata Pak Theo lagi, dan gue menarik tangan dari pundak Vero.
"O-oh, Pak Theo." Vero segera berdiri. "Hape Bapak ketinggalan? Saya nggak lihat—oh, ini bukan?"
Ternyata ada sebuah ponsel silver berlogo apel di samping Vero. Dia menyodorkannya langsung pada Pak Theo.
Pak Theo mengangguk sambil menghela napas lega. "Untung saya nyadarnya sebelum ke parkiran."
And now, people, di sinilah gue merasa cinta memang bisa bikin beast jadi prince. Contoh hidupnya, yah, siapa lagi kalau bukan dosen pembimbing gue ini. Untuk pertama kalinya, gue melihat orang yang biasanya kejam justru tertawa manis dan sopan. Tawa yang kalau lo lihat sendiri, lo pasti bakal langsung tahu si pembuat tawa pasti naksir sama orang yang dia ajak bicara.
Terlalu detail, ya? Karena memang begitu. Saking terbacanya, gue sampai diam sendiri di tempat. Apa gue sebaiknya cosplay jadi tembok dan menyamarkan keberadaan gue?
"Makasih banyak, Ver. Saya pamit kalau gitu. Silakan dilanjut lagi obrolannya sama Jordan," tutur Pak Theo, lantas menoleh ke arah gue sebelum otak gue sempat beraksi dengan jutsu-jutsunya. "Revisiannya saya tunggu secepatnya, Jordan. Jangan banyak kelayapan."
Dengan kalimat ajaib itu, Pak Theo pergi.
Walaupun gue pura-pura nggak sadar, gue nggak bisa mengabaikan kalau dari tadi ada sesuatu yang sepertinya siap menusuk gue. Now you might wonder, masa iya senjata tajam bisa masuk ke kampus?
Kenyataannya, yang satu ini nggak terlihat berbahaya dari luar. Karena, siapa yang nyangka, kalau dosen pembimbing lo sendiri bisa kelihatan siap membunuh lo hanya karena lo dekat seorang Jean Veronica. Well, gue baru tahu. Apa ini semacam ancaman dari Pak Theo supaya gue mundur?
"Kamu ada revisian?" Suara Vero membuat gue kembali ke kenyataan. "Gimana kalau kita kerjain bareng? Setelahnya baru nonton."
Otak gue yang semula loading dengan bayangan-bayangan Pak Theo akhirnya kembali ke fungsi normalnya. "So it's a yes? Kita jadi nonton bareng?"
"Sesekali istirahat kayaknya nggak apa-apa. Ada saran enaknya nonton apa?"
Kali ini senyum gue kembali mengembang. "Gue ada beberapa sih. Lo sukanya film yang kayak gimana?"
Sekalipun jika yang tadi betulan ancaman dari Pak Theo, gue nggak berniat pengin menjauh. Terutama dari Vero. []
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro