[10] Bantuan Telah Tiba
Vero
People said you won't know what brokenhearted means until you feel it by yourself.
Bicara soal mengetahui sesuatu, pada dasarnya memang mengalaminya langsung merupakan cara terbaik—itu sebabnya ada kegiatan "praktikum". Sekalipun nggak berpengalaman dalam urusan cinta, aku bukannya memulai dengan clean slate. Jadi, bisalah aku membayangkan bagaimana rasanya patah hati.
Or so I thought.
Nyatanya ... aku memang nggak tahu apa-apa. Aku hanya tahu sedih, tapi nggak menduga akan ada kesesakan ganjil yang susah dilupakan. Bahkan sekalipun aku tahu semua hal-hal buruk yang terlintas baru asumsi semata, perasaan itu nggak lantas menghilang.
Otakku seolah-olah bilang, "Gue nggak guna kalau lo suruh mikirin perasaan."
Bukannya perasaan juga seharusnya diatur oleh otak? Kok kesannya jadi kontradiktif begini? Atau ada kerusakan di sistem limbik otakku?
"Jadi ...." Suara Jordan membuatku menoleh. Terlalu lama merenung dan duduk di pasir begini sepertinya sukses membuatku lupa kalau aku nggak sendirian. Cowok itu duduk di sampingku, tampak cuek saja selagi menutupi kakinya sendiri dengan tumpukan pasir.
Yah, wajar sih. Yang patah hati kan aku, bukan dia.
"Lo nggak ada mau nanya apa-apa gitu? Yakin?"
Apa dia bermaksud memancingku?
"Kalau nggak mau sih, ya udah," Jordan menambahkan dengan santainya. Punggungnya dimiringkan ke belakang, sementara kedua tangannya menjadi penyangga.
Selama beberapa saat, hanya keheningan yang ada di tengah kami. Jujur saja, aku sendiri bingung bagaimana cara tepat untuk bertanya. Lebih tepatnya, kepalaku masih mencoba bekerja, mencerna fakta kalau yang aku lihat tadi ....
"Saya nggak tahu kalau Surya udah punya pacar," tuturku sambil memeluk lutut. Bukannya mau kelihatan desperate, aku hanya ingin mencari rasa nyaman. "Dia nggak pernah cerita."
Atau mungkin aku saja yang nggak tahu?
"Itu bukan pertanyaan sih, tapi gue perlu ngoreksi," kata Jordan, membuatku menoleh. "Dia girlfriend-free. Jomlo pakai banget."
"Hah? Masa?"
Sebelah alis Jordan terangkat. "Senang ya lo? Semangat amat."
"E-eh, maksud saya ...."
"Wajar aja lo semangat kok," timpalnya. "Abang gue betulan nggak punya pacar."
Aku merasa perlu mengoreksi Jordan, tapi di sisi lain, aku merasa dia ada benarnya. Kelegaan ganjil menyerang batinku. Yakin yang begini wajar?
Tunggu, tunggu. Bahagia yang terlalu cepat patut dicurigai.
"Betulan bukan pacar?" tanyaku sekali lagi, mencoba memastikan.
Jordan mengangguk. Namun, sebelum sempat merasa lega, dia tiba-tiba menyeletuk, "Emang bukan pacarnya sih, tapi ...."
"Tapi apa?"
Kenapa sih pada saat-saat seperti ini justru kalimatnya menggantung begitu? Bikin penasaran membuncah, tahu!
Alih-alih langsung menjawab, Jordan justru memalingkan wajah. Ditariknya kaki yang tertutup pasir, mengubah posisi duduk menjadi bersila. Anehnya, dia juga menghela napas. Sengaja atau nggak, firasatku jadi buruk karena itu.
"Yang tadi bukan pacar, tapi mantan pacarnya." Aku langsung diam mendengarnya. "Dia teman kecil kami. Asli Pangandaran sini, kayaknya lagi pulang juga makanya ke sini."
Aku hanya bisa manggut-manggut, walaupun tenaga seperti terkuras mendadak. Sesaat, aku nggak bisa membalas. Kualihkan perhatian ke laut. Dalam sekejap, kepalaku dipenuhi semua kemungkinan terkait mantan.
Oke, aku tahu pengalamanku zonk. Jangankan mantan, pacar saja nggak punya. Tapi, banyak sumber—yang meskipun validitasnya masih dipertanyakan—yang menyatakan mantan sebagai dua tipe: yang sudah direlakan, dan yang belum menemukan epilog.
Kira-kira Surya dan cewek ini masuk kalangan mana?
"Segitu sukanya lo sama Surya?"
Rasanya aku tersedak ludah sendiri. Aku segera mendelik, dan untuk ke sekian kalinya menemukan Jordan dan ekspresi datarnya. Sulit untuk menebak apakah dia mau mengejek atau sekadar bertanya. Pasalnya, bertanya juga untuk apa? Dia bahkan kelihatan nggak tertarik.
Kubiarkan pertanyaan itu tanpa jawaban, tetapi dia justru mengajukan pertanyaan baru, "Kalau suka, kenapa nggak gerak?"
That exact question keeps repeating in my mind, actually. Sebelum Jordan bertanya, aku juga sudah menanyakannya pada diri sendiri. Pada dasarnya, memang perlu bergerak untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Aku tahu itu. Sangat. Sayangnya ....
"Saya takut." Hanya itu yang bisa kukatakan. Sambil mengeratkan pelukan pada lutut, aku berusaha menarik napas dalam, mengisi tenggorokan yang terasa perih. Nggak lucu banget kalau aku menangis di sini. For some reason I don't know myself, crying in front of this guy seems like a totally bad idea.
Angin laut mulai terasa dingin. Langit juga mulai berubah jingga keunguan. Momen yang pas untuk menyepi dan merenung. Di satu sisi, aku nggak ingin sok mellow, tapi bohong kalau aku bilang baik-baik saja. It feels like someone just turned off my brain, and instead makes my heart work harder.
Apa begini maksud orang cewek seringnya pakai hati, bukan otak?
"Udah sore. Kayaknya kita mending—"
Belum juga menyelesaikan kalimatku, Jordan malah menarik tanganku. Bokongku kembali mendarat ke pasir.
"Sorry, bukan maksudnya kasar," katanya cepat. Dia menggeser posisi duduknya, hingga benar-benar berada di sampingku. Sedikit lagi bergeser, paha kami pasti akan bersinggungan. "Kalau lo mau ke sana dan bersikap sok baik-baik, mending di sini aja."
Aku mengernyit. Entah kenapa, kali ini Jordan tampak lebih ekspresif. Wajahnya menunjukkan dia nggak ingin aku melawan. Tapi, galak juga bukan cara tepat untuk mendeskripsikannya.
"Gue mau nanya deh," ujarnya lagi. Aku bahkan belum mengatakan apa pun. "Kenapa lo takut? Bukannya lo kenal Surya udah lama?"
Pertanyaannya itu membuatku tertampar secara nggak langsung. Ya, aku sudah mengenal kakaknya cukup lama. Awalnya, begitu menurutku. Tapi, kehadiran Jordan sendiri menyatakan bahwa aku nggak tahu banyak soal Surya. Ditambah mantannya yang muncul tadi.
"Karena ....," aku menggigit bibir lebih dulu, "saya nggak yakin Surya tertarik sama saya. Atau cowok mana pun." Jordan langsung menyipit, jadi aku menambahkan, "Bukannya cowok begitu? Nggak suka sama cewek yang terlalu pintar, dan lebih suka cewek yang cantik dan stylish?"
"Kata siapa?"
Percakapan ini mendadak terasa intens. Seperti aku baru saja mengatakan hal yang salah. Dua kata penuh penekanan dan terkesan menghakimi. But isn't that true, though? Aku pun nggak akan munafik, penampilan luar yang menarik pasti mencuri perhatian, seenggaknya untuk pertama kali.
"Bukannya emang gitu?" sahutku balik.
"Lo dapat stereotipe begitu dari mana deh?" Jordan mendengus. "Kalau cowok demen sama yang cantik dan stylish, itu Prince William nikahnya sama Angelina Jolie kali, bukan Kate."
Bukannya Kate cantik ya? I mean ... she is gorgeous, isn't she? Tapi, Jordan sepertinya nggak berniat memberiku kesempatan untuk membalas, karena dia langsung kembali mencecar, "Gue nggak bakal bohong, men loves visual. Malah, manusia itu emang makhluk visual kan? Tapi, penampilan itu nggak punya tolok ukur mutlak. Nggak ada keharusan. Bikin cowok jatuh cinta itu nggak segampang pintar make up aja, Ver. Cowok bukan cuma punya mata, otak juga."
Aku sampai nggak berkedip mendengarnya. Ini kalimat terpanjang yang pernah Jordan berikan padaku. Sama sekali bukan sesuatu yang kuinginkan. But I should say, it hits me. Ocehannya itu membuatku berpikir, dan berhasil mengaktifkan otakku lagi.
"Jo," panggilku. "Saya juga mau percaya sama hal itu. But it isn't that easy, right? Nyatanya, mau sepintar dan seberbakat apa pun orang, appearance tetap jadi raja." Sebelum dia berkomentar, aku melanjutkan setelah mengambil napas, "Teman saya yang cantik bisa gonta-ganti pacar. Alasannya? Dia cantik. Orang-orang jelas tertarik sama dia. Sementara orang seperti saya, mau ngedekatin aja orang udah ...."
Mengatakan semuanya dari mulut sendiri ternyata terasa lebih menyakitkan.
"Memangnya lo nggak cantik? Kata siapa?"
Ya ampun! Dia sengaja menyeletuk sembarang begitu supaya aku tersedak apa gimana sih? Aku langsung memelotot. Namun dia dengan mudahnya menoleh, membuat wajah kami berhadapan. Ekspresinya serius sekali.
"Lo pernah dengar nggak sih kalau cantik itu relatif?" tanya Jordan. "Dan menurut gue, lo menarik kok. Lo cantik. Masalah pacar bukan soal tampilan doang, tapi keputusan lo sendiri. Kalau gonta-ganti pacar, itu manusia apa bola? Dioper mulu."
Celetukan asal itu aneh, tapi juga yang sukses membuatku tergelitik dan tertawa. Jordan sempat memandangiku sesaat seolah aku sudah gila, hanya saja nggak lama dia tersenyum. Dilihat dari sedekat ini, aku baru sadar dia tampan juga. Senyumnya manis.
"Nah, gitu dong. Ketawa kan lebih enak," ujarnya lagi.
Aku geleng-geleng, masih mencoba meredakan tawa. "Kamu cowok kayaknya jadi pelawak, Jo."
"Oh, ya? Karena gue konyol?"
"Kamu lucu."
Sekarang dia terbahak. "Is that supposed to be a sarcasm?"
"Consider that as a compliment."
Dia mendengus—weirdly, yang itu terkesan ramah. "Well, thank you then," balasnya, lantas menjatuhkan punggung ke pasir, cuek saja dengan rambutnya yang pasti akan kotor. "Tapi, Ver."
Aku menunduk agar bisa melihat wajah Jordan. "Kenapa?"
"Lo seriusan belum pernah pacaran?"
Nggak ada jawaban lain yang bisa kuberikan selain anggukan.
"Sekali pun nggak?"
Aku mengangguk lagi. "Never. Ngapain juga saya bohong soal itu?"
"Hm, bener juga sih." Dia manggut-manggut. "Jadi nggak pernah ngerasain pacaran?"
"Yap."
"Kepo nggak?"
Jujur, aku nggak pernah berpikir apa aku penasaran rasanya pacaran atau nggak. Menyebutnya begitu seakan kurang tepat. "Mungkin ini semacam saya yang mau buat penelitian. Penasaran? Sedikit. Tapi daripada memuaskan rasa penasaran, lebih tepatnya saya butuh sih."
Mami pasti setuju untuk yang satu itu. Pasangan. Dan di umur yang segini, seharusnya aku punya satu atau dua pengalaman soal itu.
"Kalau lo penasaran, gue bisa bantu." Tiba-tiba Jordan menyeletuk begitu.
"Bantu gimana?" tanyaku. "Kamu kasih semacam tips gitu?"
Dia kelihatan berpikir sejenak, sebelum meluruskan punggung. Pasir yang sedikit menempelk di kepalanya mengenaiku. "Yah, kayak gitu juga bisa. Hitung-hitung bisa buat dekat sama calon pacar nanti."
Calon. Aneh nggak sih menyebutnya begitu?
"Nanti bisalah lo praktekin sama Surya."
"Hah?"
Dia justru menepuk pundakku. "Yang tadi itu mantannya, remember? Lo masih punya kesempatan."
"Menurut kamu begitu?
Jordan mengangguk. "Atau, buat simulasi. Semacam latihan."
Aku mengernyit, nggak menduga usulan itu. "Latihan apa?"
"Pacaran."
Sungguh, jawaban itu nggak membantu. Dia sama sekali nggak menjelaskan apa pun. Also, I don't think that's a good idea. Memangnya pacaran bisa dibuatkan maket sederhana? Kalau pun bisa, aku yakin hal seperti itu nggak bisa dilakukan sendiri. Mau latihan pedekate ke siapa coba aku?
"Kebiasaan orang pintar begitu ya?" celetuk Jordan tiba-tiba. "Apa-apa dipikirin."
"Lagian, Jo, saran kamu agak ...."
"Agak apa?"
"Gimana caranya latihan pacaran?" tanyaku bingung. "Saya harus dekatin siapa? Diri sendiri?"
Anehnya, Jordan sama sekal nggak bereaksi. Dia justru berhenti melangkah, membuatku ikut melakukan hal yang sama, kemudian berbalik ke arahku.
"Latihan sama gue juga bisa, kan? Pacaran sama gue gitu." []
Catatan
Limbik: Bagian otak yang mengontrol emosi dan perilaku
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro