12. Meranyah
Akalanka Aleno Ryzard
☢☡☢☡☢☡☢☡
Sekarang giliran Bertram Bercerita
Jika ada kesalahan penulisan silakan tinggalkan komentar
☠☠☠☠☠☠☠☠☠
Badanku masih bau keringat karena latihan basket hari ini. Pelatih cukup menguras tenaga kami bahkan setelah kami berhasil merebut piala porkab. Suaranya pelatih masih terngingang di otakku karena teriakannya dengan kalimat yang sama.
"Ayo, musuh kita kini tingkat nasional dan pastinya lebih terampil. Yang kita raih di porkab kemarin bukanlah apa-apa."
Kuperiksa waktu di ponselku. Pukul 17.04. Magrib akan tiba tapi rasanya melangkahkan kaki ke kamar mandi seperti harus berjalan puluhan kilometer padahal hanya tiga langkah dari kasur. Kucoba memejamkan mata sambil mengumpulkan niat.
Suara ketukan pintu membuat mataku terbuka. Siapa lagi yang mengetuk pintu kalau bukan Aleno. Karena Erza akan masuk tanpa di suruh. Aku mencoba memejamkan mata lagi. Tapi suara ketukan itu tidak berhenti.
"Okka?" Suara perempuan. Mataku kembali tebuka. Sial, siapa dia?
Aku berteriak. "Gak di kunci masuk saja."
"Kamu kira aku apaan masuk kamar cowok begitu saja?" Itu suara Airish. Bagaimana dia bisa tahu indekosku yang baru. Aku juga baru pindah beberapa hari ini pasca kemenangan tim basket kami di porkab.
Erza pasti kalau bukan pasti Aleno. Payah mereka semua satu kelas.
Aku bergegas untuk membuka pintu. Sesuatu memukul dadaku. Airish memukulkan tasnya. Dia meringis dan air matanya membanjir di pipi. Beberapa kali aku melirih dia tidak menghiraukan dan terus menyerangku.
"Hei, ada apa?" tanyaku berusaha menghentikan aksi Airish. Kupengang tangannya kuat-kuat.
"Aku ini pacar kamu atau bukan sih?" Drama apa lagi ini. Ya Tuhan. "Kamu sakit dan aku tidak tahu."
"Aku sehat, Airish." Aku berusaha menunjukkan dengan sorot mataku mengarahkan kebugaranku. "Lihat aku, aku baik-baik saja."
"Ceritakan soal bekas luka itu?"
"Ha?" Aku bingung. Tapi tanganku segera memegang bekas luka di belakang telinga kiriku. Yang tahu tentang ini hanya Aleno dan budeku. "Apa yang sudah diceritakan Aleno?"
"Aleno?" Airish tampak terkejut. "Jadi Aleno sudah tahu banyak tentang kamu? Sedangkan aku enggak?"
Aleno masih menyimpannya. Tapi, dari mana pertanyaan itu muncul. Aku terdiam. Otakku membeku. Apa yang sebenarnya terjadi.
"Setiap aku tanya soal luka itu kamu mesti diam!" Airish berontak hingga genggamanku terlepas. "Dan setelah aku menemukan ini di tasmu." Dia menunjukkan satu botol tabung. Di dalamnya terdapat beberapa obat. "Okka... Kamu melupakan tasmu latihan sore ini." Aku baru menyadari ternyata yang dia pukulkan padaku adalah tas kecil milikku pantas saja sesuatu yang keras menyakiti dadaku.
"Aku mencarinya di google." Airish menghela napas. Dia tampak frustasi. "Okka, mau berapa lama kamu menyimpan ini dariku?"
"Aku sudah lama tidak meminumnya. Itu hanya obat darurat." Lampu ancaman menyala. Aku tidak bisa lagi menutupi ini. Tapi aku harus terus berusaha. "Aku tidak menyembunyikan dari kamu."
"Aku sudah curiga kedekatan kamu sama Alek. Aku masih ingat mendengar suara minta tolong di kamar mandi masjid. Aku yakin itu suara Alek tapi aku tidak berani masuk. Aku menunggu seseorang lewat tapi nyatanya kalian keluar bersama." Airish melangkah mundur. "Aku kira Alek yang sakit."
"Aku bisa jelasin."
Sungguh aku terdiam. Aku menghargai pembelaan atas dirinya. Aku tidak berani menatap mata Airish. Aku merasa penuh sesal. Tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Memang dari awal aku tidak ingin dia tahu siapa aku. Karena aku yakin aku bisa atasi ini. Tapi nyatanya aku melewatkan kesempatan itu. Airish lebih mengetahuinya sebelum aku benar-benar sembuh.
Sejak kabar keluarnya Ayah dari penjara dadaku terasa penuh sesak. Aku belum bisa atasi itu. Obat darurat dari dokter tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Reaksinya hanya bertahan 12 jam. Kemudian perasaan tidak mengenakkan muncul kembali. Aku juga sudah mencoba berpindah tempat. Nyatanya itu tidak mempengaruhi apapun.
"Okka, jika kamu butuh bantuan, Aku ada di sini. Apapun yang kamu butuhkan. Apapun itu. Karena aku pacar kamu. bagaimana bisa menerima ini kalau selama ini pacar aku berusaha baik-baik saja di depanku?" Airish mengusap air matanya. "Semoga memang baik-baik saja sekarang."
Airish melemparkan tasku ke depan dan aku segera meraihnya. Saat itulah Airish pergi menjauh. Saat tiba akhirnya aku mempertanyakan akankaubini bisa diperbaiki sama halnya dengab ayahku.
Kepergian Airish tiba-tiba tergantikan oleh mobil putih milik Bude. Mobil itu berhenti di halaman delan indekosku. Memang indekos yang aku sewa mirip dengan area perkontrakan tapi di sini lebih banyak pelajar dan mahasiswa. Saat seseorang dari mobil itu keluar saat itulah kepalaku meledak. Pandanganku berubah menjadi putih berlahan kabur gelap. Gelap.
Seseoarang menariku dengan keras. Aku tersentak dan terlempar. Kepalaku terbentur sudut, aku tidak. Aliran panas memenuhi leherku aroma anyir. Aku mendengar suara anak kecil menangis keras. Sangat keras sampai meraung-meraung. Aku tidak tahu itu suara siapa karena mataku terpejam. Di samping itu aku mendengar suara gaduh seperti balok kayu yang jatuh.
Tagisan anak kecil itu terus menggema ditambah suara tangis seorang wanita. Aku mencoba membuka mata, ibuku tengah merangkulku, matanya basah, darah di sudut bibir, serta rambutnya berantakan. Dia berteriak minta tolong bersahutan dengan suara anak kecil menangis. Dan aku baru menyadari bahwa itu adalah suaraku.
Berlahan semua seperti kabut tertiup angin. Mataku terbuka. Lampu menyala terang di atas tempat tidur. Aroma disinfektan menyeruak. Tangan kiriku terasa nyeri. Sial, aku di rumah sakit dan aku infus. Siapa yang membawaku ke sini. Kenapa aku di sini.
Aku langsung mencabut jarum infus di taganku. Aku harus pergi dari sini. Tidak peduli berapa banyak orang akan mecegahku. Menit berikutnya aku mendengar suara percakapan berjalan mendekat. Aku segera pergi bersembunyi di balik tirai. Dengan melalui banyak tirai aku akhirnya berhasil keluar dari IGD.
Aku terus berlari. Sampai di trotoar aku mencegah taksi dan memintanya mengantarkan aku ke indekos. Supir menurut. Aku berusaha mengingat kilas balik kenapa aku bisa sampai di rumah sakit. Hingga pada ujung aku bertemu Ayahku. Setelah enam tahun.
Tanganku terasa bergetar. Aku tidak bisa menenangkan diri aku sendiri. Sesak di dadaku semakin parah. Bagaimana bisa aku menahan ini. Rasa tidak nyaman dan tidak aman menghantuiku. Kilas balik diotaku berputar. Ibuku menangis. Ayahku marah. Kepalaku terbentur sudut dipan tempat tidur. Suara teriakan minta tolong dan tangisan.
Aku mencoba menutup mata dan menutup telingaku. Tidak ada hasil apapun. Dadaku benar-benar tertekan sekarang. Aleno? Airish? Tolong aku.
BERSAMBUNG
🎵🎵Garden In The Air - Baekhyun (Our Beloved BoA #1) 🎵🎵
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro