28. aku lupa kami sedang berpura-pura
[bukan LDR]
Kizuku-Eleena
aku mau kamu sekarang
.
Sekarang aku baru mengerti mengapa profesor yang pernah mengambil double degree pun tidak sanggup meraih gelar sarjana ilmu memahami perempuan. Karena memang sesulit itu!
Aku tidak bicara berlebihan. Pacarku yang sekarang (ralat, pacar pertama dan terakhirku) membuktikan hal itu.
My Darling?
Jangan hubungi aku dulu, aku lagi sibuk
Itu jawaban yang dia lontarkan melalui chat setelah menolak panggilanku dalam satu deringan. Tega sekali. Tapi karena dia pacarku, tentu akan selalu kumaafkan.
Aku
Baiklah, maafkan aku. Bilang aja kapan aja aku boleh menghubungimu
My Darling?
Ih
Aku
Ih?
My Darling?
Ya pas aku lagi nggak sibuk
Aku
Kapan?
My Darling?
Ih!
Kenapa dia jadi seolah sebal begitu? Salahku di mana? Aku kan hanya bertanya.
Tapi mungkin dia memang sedang benar-benar sibuk, sehingga tidak sempat memikirkan pertanyaanku dengan benar.
Tapi kan, Eleena. Kalau kamu lagi sibuk, kamu boleh loh membagi kesibukanmu denganku.
Biar kesibukanmu jadi kesibukanku juga.
Itu adalah hari pertama. Meski sempat bingung dan bertanya-tanya, aku masih berpikiran positif. Mungkin aku mengambil waktu yang salah.
Aku memang tidak peka. Kurang memahami Eleena. Tapi kupastikan aku akan menjadi satu-satunya laki-laki yang meraih gelar Sarjana Eleena.
Maka dari itu, aku mengambil inisiatif pergi ke kantor lebih pagi darinya, berdiam di dekat kubikelnya.
Tetapi gadis pujaanku itu tidak muncul. Ingin menghubungi takut salah lagi. Jadi aku bertanya pada karyawan kantor yang satu departemen dengannya.
"Eleena sedang pergi menemui klien. Kamu sebagai pacarnya kok nggak tahu?"
Astaga, oke, Kizuku.
Jangan memperpanjang masalah.
Aku pergi meninggalkan si jutek itu tanpa mengucapkan terima kasih.
Karena terlalu lama berdiam di departemen pacarku itu, aku jadi terlambat menghadiri rapat. Dimarahi atasan. Ingin berbagi keluh kesah dengannya, tapi lalu ingat bahwa Eleena sedang sibuk.
Sudahlah! Ini kan salahku sendiri yang terlalu memedulikan Eleena.
Eh, tidak. Memedulikan Eleena tidak salah. Aku hanya kurang mengambil timing yang tepat kapan harus memikirkannya, dan kapan harus memikirkan diriku sendiri.
Malamnya lagi di unit apartemenku, tepat dua puluh empat jam kami tak saling berbalas pesan. Aku merasa ada yang kurang.
Aku tahu ini karena frekuensi berkirim pesan kami yang terlalu sering jadinya sekarang saat Eleena sibuk aku merasa kesepian.
Tapi baru satu hari, lho.
Ah, aku ini bucin sekali.
Coba jangan pikirkan Eleena dulu.
Coba mengerti Eleena dulu.
Aku mengambil minuman kaleng di kulkas, duduk di sofa, menyaksikan siaran malam. Biasanya di saat-saat seperti ini dia selalu duduk di sebelahku, sama-sama menggenggam kaleng minuman yang dingin dan aku yang akan menghabiskan minumannya karena dia selalu sok jago bilang mampu meminum setengah kaleng minuman berkarbonasi.
Sekarang si sok jago itu sedang tidak merasa jago dulu.
Ah.
Tidur saja deh.
Malam itu untuk pertama kalinya aku menyisakan minumanku di atas meja. Sendirian, tanpa kaleng soda lain.
Aku sudah merindukannya saja.
.
Jika satu hari ditinggalkan gadis tersayang sudah berdampak begitu, bagaimana jika lima hari?
Sebagai karyawan kantor yang profesional dan pernah melakukan sekali kesalahan, tentu aku tetap bekerja seperti biasa, seolah selama ini Eleena memasakkanku bekal setiap hari.
Tetapi ketika pulang ke apartemen, seluruh tenagaku serasa langsung turun ke jurang, tak bersisa dan hanya mampu berdiam di tempat tidur.
Jika dipikir, aku tak mempunyai hobi dan kesukaan apa pun untuk mengisi waktu. Semenjak berpacaran dengan Eleena dua tahun lalu, aku selalu menghabiskan waktu dengannya, membuatnya menjadi sesuatu yang kini menjadi hobiku.
Aneh ya, jika kubilang Eleena adalah hobiku?
Maksudku berada di sampingnya.
Aku memandangi layar ponsel lamat-lamat tanpa berniat membuka apa pun selain aplikasi perpesanan. Tempatku biasa bertukar kata dengannya jika tak saling berada di dekat satu sama lain.
Kini bahkan aku tak tahu dia di mana. Sudah lima hari dia tidak kulihat di kantor.
Ini mengesalkan.
Aku sudah tak tahan lagi.
My Darling?
Sudah kubilang jangan hubungi aku dulu!
Iya. Dia menolak panggilanku dalam satu deringan lagi seakan setiap harinya selama 24 jam penuh dia memang selalu memandangi ponselnya untuk menolak panggilanku.
Aku
Aku tidak tahu kapan kamu sudah tidak sibuk lagi, Eleena
My Darling?
Sebentar lagi
Aku
Aku maunya sekarang
My Darling?
Apa?
Aku
Kamu
My Darling?
Hah?
Aku
Aku mau kamu sekarang
My Darling tidak membalas pesanku untuk beberapa lama. Membikinku malah berpikiran yang tidak-tidak.
Perkataanku salah, ya? Eleena merasa tersinggung?
Aku
Maafkan aku jika aku terlalu memaksa
Aku
Jangan pikirin aku. Kamu fokus lagi aja sama kerjaanmu itu
My Darling?
I hate you
Aku bangun dari tiduran, hampir terkena serangan jantung membaca kalimatnya yang tidak biasa.
Eleena?
Tiba-tiba aku merasa luar biasa bersalah. Hendak melakukan apa saja untuk menebus kesalahan. Lalu cara yang kupikirkan adalah mengirim pesan suara.
"Eleena. Maafkan aku. Sekali lagi maafkan aku. Aku benar-benar tidak mengerti kamu dan malah bersikap egois. Maafkan aku... ya... Eleena... Sayang?"
Terkirim.
"Tapi sungguh, aku rindu kamu."
Tak tersampaikan.
My Darling?
Bisa bilang hal lain nggak selain maaf. Aku muak dengernya
Aku mengirim pesan suara lagi.
Terdiam sebentar.
"I love you."
Eleena hanya membacanya saja.
Sebagai sepasang kekasih dan sebagai seorang manusia, tentu aku ingin 'menerima' juga selain 'memberi'. Hubungan kekasih adalah tentang timbal balik. Aku ingin dan butuh mendengarnya berkata apa saja untukku di saat seperti ini.
Tapi aku tidak boleh menekannya untuk apa pun, kan?
Nanti perasaanku akan menjadi tidak tulus.
Padahal aku tulus mencintai Eleena.
Aku yakin Eleena memang sedang berada di kondisi yang tidak memungkinkannya untuk menyampaikan perasaan itu. Aku tidak boleh egois.
Tetapi pada pagi harinya saat aku malas sekali pergi ke kantor, aku melihat satu pesan tak terbaca dari kolom percakapan kami.
Eh, tidak. Satu pesan suara.
"Kizuku. Maaf ya, semalam aku marah-marah. Dan salahku juga jika sampai Kizuku bilang maaf terus gitu. Soalnya Kizuku kan orangnya suka mengalah. Terus aku bilang jangan hubungi aku dulu karena aku emang lagi sibuk-sibuknya dan jadi suka gampang marah. Aku takut jadi ngelampiasin marahku ke Kizuku yang nggak salah apa-apa. Dan bener kan, aku jadi sempet marahin Kizuku. Aku jadi ngerasa nggak enak. Tapi gapapa, Kizuku jadi bilang i love you ke aku, haha. Dan btw, aku nggak mungkin benci kamu."
Aku mengulang itu sebanyak sepuluh kali sebelum beranjak mandi.
Dan yang kupikirkan saat itu adalah aku tidak akan pernah melepas gadis ini sampai kapan pun. Aku beruntung memiliki dia.
Aku
Marahi saja aku sepuasmu. Asal masih bertukar pesan ya, Eleena?
Dia membalasnya dengan 'bucin!'.
.
Sekarang aku mengerti. Eleena ternyata mengertiku juga dengan berusaha menghindariku agar aku tidak terkena amarahnya. Tapi sungguh, sejujurnya yang kuinginkan hanyalah terus mempertahankan komunikasi sejelek apa pun mood-nya saat itu. Aku tidak apa-apa dijadikan samsak olehnya.
Asal oleh Eleena.
Kami hanya bertengkar lima hari, dan berdamai lagi dengan satu dua buah pesan suara. Ah, tidak. Sempat diam-diaman juga selama empat hari di antaranya. Sekarang aku boleh rutin menghubungi Eleena lagi, kan?
My Darling?
Nanti dulu, aku masih sibuk
Aku
Cuma bicara satu menit aja nggak bisa?
My Darling?
Kamu kan udah denger suara aku kemaren
Aku
Kurang
Aku
Kita udah seminggu nggak ketemu, Eleena
My Darling?
Biasain dulu tanpa aku coba
Aku
Tidak mau
Bisa tapi tidak mau. Itulah prinsipku tanpa Eleena sekarang.
Selagi bisa banyak mengisi waktu dengannya, kenapa aku harus memilih opsi tanpa dirinya? Hanya laki-laki yang sedang jatuh cinta tapi bodoh yang melakukannya.
Dan aku tidak bodoh.
Aku mengembuskan napas.
Aku
Ya sudah, kegiatan apa yang bisa dilakukan berdua dengan kondisi jarak jauh begini?
My Darling?
Kita nggak lagi berjauhan, Kizuku. Masih di kota yang sama
Aku
Aku di apartemenku, kamu di apartemenmu. Itu jauh, bagiku
My Darling?
Terserah kamu deh. Tapi menurutku nggak ada yg bisa dilakuin dalam kondisi berjauhan gini selain telepon, chat, dan video call
Aku
Kalau gitu ayo
My Darling?
G
Aku
Astaga. Kamu bener-bener bikin aku greget
My Darling?
😘
Aku
Stop. Aku bisa jantungan
Iya, kondisi jantungku selalu lemah jika berdekatan dengannya. Tapi tak apa, aku tetap menginginkannya.
My Darling?
Hei, aku malu loh ngirim emot kayak gitu
Aku
Kenapa? Aku tetap suka
My Darling?
😍😘🥰😚😙😗☺️
Aku
/terkena serangan jantung
My Darling?
Hahahahaahaha
Aku
Aku akan kirimkan emot itu juga, kalau kita ketemu
My Darling?
Heh! Jangan berani-beraninya, ya!
Tentu saja berani. Tapi aku tahu Eleena tidak akan suka. Jadi aku tidak akan melakukannya.
.
Lalu, di suatu hari yang cerah dan panas di jam makan siang kantor, pacarku mengirimi sebuah pesan.
My Darling?
Ayo kita teleponan. Tapi dengan satu syarat
Aku
Apa?
My Darling?
Kamu bisa kayang?
Aku
Tidak! Aku mohon jangan itu
My Darling?
Cuma nanya aja kok. Syaratnya kamu harus melamarku via status whatsapp
Aku
Hah?
Itu pertama kalinya aku berpikir Eleena gila.
My Darling?
Iya, aku tahu kamu mau menikahiku
Aku
Iya mau. Tapi....
My Darling?
Foto aja cincin yg kamu mau kasih ke aku, sambil kasih caption will you marry me eleena atau sejenisnya
Aku
Eleena. Begini. Tidak usah ditanya apa aku mau menikahimu atau tidak. Karena jawabannya pasti iya. Aku juga selalu berusaha mewujudkan apa pun inginmu dariku. Tapi kalau hal itu yang saat ini kamu mau, meski dengan begitu aku bisa ketemu dan peluk kamu sekarang juga, maaf Eleena. Jangan, ya?
Aku
Aku mau melamar kamu di momen yang sesungguhnya kamu inginkan
Aku
Bukan di status WhatsApp, Sayang
Aku
Ya udah aku nggak bakal maksa kamu terima teleponku lagi
Aku
Kayaknya kamu perlu istirahat. Kamu lagi capek, ya?
Kejutannya adalah.
Eleena meneleponku.
Aku mengangkatnya di deringan pertama.
Terdengar suara tangisan Eleena yang ingin segera kutenangkan.
"El...."
"Ayo nikah, sekarang juga, Kizuku."
Aku terkesiap luar biasa. Tidak menyangka akan mendapat serangan itu di kalimat pertama panggilan telepon kami.
"Eleena," aku tidak bisa menahan letupan perasaanku, "harusnya aku-"
"Ayo nikah sekarang juga, Kizuku!"
"Ayo."
"Eh."
Aku tertawa di sela-sela Eleena yang terkejut. Lalu kutegaskan lagi konfirmasiku barusan. "Ayo nikah sekarang, Eleena."
Suara menangisnya masih terdengar. "Iya, ayo."
Tapi sialnya itu cuma bercanda. Tepatnya Eleena yang menganggap itu bercanda karena dikatakan pada momen yang kurang pas. Masa di dalam panggilan telepon? Kurang mengharukan.
Tidak apa, sih. Aku juga ingin mengatakannya pada momen paling-paling spesial. Tapi tidak ada salahnya juga kan jika aku terus mengulang ajakan suci itu?
Hari itu pun aku bahagia sekali karena untuk pertama kalinya setelah sepuluh hari, aku bisa mendengar suaranya lagi lewat telepon. Itu termasuk lama untuk ukuran sepasang kekasih, lho. Apalagi jika laki-lakinya aku. Dan perempuannya Eleena.
Sekarang tinggal bertemu.
Aku juga heran kenapa kami tidak pernah berpapasan meskipun sama-sama berada di kantor. Aku pun mencoba berpikir Eleena tidak sedang menghindariku.
Aku tidak mau geer, tapi aku tahu gadisku itu selalu membutuhkanku. Hanya saat ini saja dia sedang sibuk sekali. Projek sialan.
"Sudah dua minggu," kataku, tanpa mengucap 'halo' dan mematikan televisi. Aku mulai membenci keheningan apartemenku sejak gadis itu sering mampir ke sini.
"Apanya yang dua minggu?"
"Kamu pura-pura tidak peka, ya?"
"Oh, iya. Udah dua minggu aku sibuk."
"Itu artinya apa?"
"Hng? Udah dua minggu aku nggak pergi ke apartemenmu?"
Aku meluruskan bibir. "Iya, tidak salah. Tapi coba ingat apa lagi yang lebih penting dari itu?"
"Ulang tahun kamu masih lama, Kizuku."
....
"Atau mau dipercepat aja?"
"Hah?"
Seketika mati lampu. Dan mataku dirayapi semacam serangga halus sampai membuat geli.
Tidak, itu tangan Eleena yang menutupi mataku.
"Happy birthday, Kizuku."
"Aku tidak ulang tahun."
Segera aku melepas tangannya dari mataku, kemudian langsung mendapati wajah manisnya yang sudah sangat lama tidak kutatap langsung.
Astaga, rasanya seperti ribuan tahun telah berlalu tanpa bisa kusaksikan langsung matanya yang indah itu.
"Eh, eh." Eleena menutup wajahku dengan telapak tangannya. "Tahan dulu. Kamu kenapa, sih?"
"Rindu. Setengah mati."
"Astaga, cuma dua minggu."
"Itu tidak cuma. Bagiku."
"Baiklah, ayo mundur dulu, Kizuku."
Aku menurutinya, hanya sedikit saja memundurkan tubuh di sofa. Sedikit saja, mungkin nol koma satu sentimeter. Aku perlu dekat-dekat dengan Eleena.
Eleena mengembuskan napas panjang, menempelkan tengkuk ke sofa. Menatap televisi. Lalu melirikku sekejap. Lalu ke televisi lagi.
"Ja-jangan menatapku terus begitu dong." Eleena salah tingkah.
Tapi aku terus setia menatapnya.
Tak tahan lagi, Eleena pun menolehkan kepala ke sini, berbarengan dengan aku yang mencium pipinya.
"Sepertinya kamu melupakan sesuatu."
Dia terlihat bingung.
"Masih mau berakting?"
"Oh iya."
"Katamu kita harus berakting menjadi sepasang kekasih dulu biar aku tidak terlalu menderita ditinggal kerja selama dua minggu olehmu."
"Nyatanya apa?"
"Nyatanya aku sama-sama menderita."
Eleena tertawa. "Lagian aktingmu juga bagus, Kizuku. Menasehatiku soal melamar."
"Kamu mau aku lamar lagi?"
Bahuku dipukulnya. "Nggak perlu! Kita kan sudah jadi suami istri."
Aku mengusap-ngusap pucuk rambutnya. "Iya, iya."
Sejujurnya aku sempat melupakannya juga.
Bahwa aku dan Eleena telah menikah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro