27. (what if) jupiter to saturn.
[red flag]
Rayu-Negan
Hijau yang aslinya merah.
.
saturn
Brigitta terus menyamai langkahku seperti seorang SPG yang menawarkan produknya. Dia begini karena satu hal. Aku sebagai murid pindahan di hari pertamanya masuk ini kedapatan membawa mobil ke sekolah. Menimbulkan kehebohan, dan sematan siswi sombong pada namaku.
Bodo amat.
Aku tahu orang yang akan menjadi temanku adalah cewek seperti Brigitta. Tak apa karena aku pun seperti itu.
Lorong belum dipenuhi murid-murid sebab jam istirahat belum berbunyi. Brigitta mengantarku mengelilingi sekolah ini bak tourguide. Walau kuyakin tak banyak hal yang diketahuinya.
"Lo pindah ke rumah baru juga?" tanyanya, entah kenapa malah hal itu yang dia tanyakan. Apa setelah ini dia berniat langsung main ke rumahku?
"Iya," kujawab singkat sambil melihat lurus ke depan, "katanya bokap gue mau nikah lagi. Tapi gue dan bokap pindah duluan, nyesuain sama lingkungan sini dulu."
"Terus, lo udah ketemu sama calon nyokap tiri lo itu?"
"Tahu orangnya aja kagak," aku membalas kesal. "Bokap masih main rahasia-rahasian. Dan katanya saudara tiri gue nanti sekelas sama kita. Nggak tahu deh yang mana orangnya."
Brigitta berhenti melangkah. "Serius lo?"
Kenapa dia yang terkejut? Aku saja biasa saja. Itu hal yang tidak seharusnya terlalu dipikirkan. Yang mana pun orangnya asal dia baik hati padaku maka masalahnya selesai. Lagi pula aku sudah terlalu lama hidup berdua dengan Papa; kesepian dan membosankan.
Aku hampir bertabrakan dengan seorang cowok saat dia baru keluar dari suatu kelas. Aku ke kiri, dia ke kiri. Dia ke kanan, aku ke kanan. Aku kesal, lalu melotot menatapnya. "Minggir!"
"Lo kali yang minggir."
Kuperhatikan wajahnya yang sama galaknya denganku dan kain hitam bertuliskan 'Bidsus' di lengan atasnya. Oh, panitia MOS yang suka marah-marah itu? Menarik juga.
Aku lalu tersenyum padanya. Hanya tersenyum padanya seolah terpikat.
Kemudian aku mengalah, membiarkan dia lewat duluan. Aku penasaran apa di sekolah ini pun aku dapat langsung menggaet hati seorang cowok keren? Tapi apa sih yang tidak bisa Rayu lakukan.
Namun aku kena karma.
Cowok itu memang berhasil memandangku. Tapi dia sangat menyebalkan dalam artian negatif. Alias dia cowok pick me.
"Gue sih lebih suka naik motor. Adem," katanya di dekat mobilku di parkiran. Hari sudah sangat sore. Aku tidak langsung pulang karena habis mengobrol banyak dengan Brigitta.
"Oh. Gitu, ya." Aku pura-pura tertarik lantas berderap ke pintu mobilku, membukanya.
Navy mengikuti. "Lo murid baru, ya?"
"Menurut lo?"
Dia tergelak. "Judes amat sih, Rayu. Kayak gue tertarik ke lo aja."
Apa sih, anjir?
Kalau tidak tertarik kenapa tampangnya gembira begitu?
"Syukur deh. Gue juga nggak tertarik ke lo soalnya." Pintu mobil kututup keras di depan wajahnya. Aku menyesal sekali sempat menganggapnya cowok keren.
Lalu besoknya di jam pulang sekolah, Navy kembali muncul di samping pintu kelasku.
"Mau lo apa, sih?" Aku tak bisa menahan emosiku. Cowok seperti ini harus segera kusingkirkan.
Tapi kali itu raut mukanya sangat datar. Tidak seperti ekspresi sok galaknya kemarin dan cowok pemuja cewek cantik.
Dia pun hanya memandangiku saja dari atas ke bawah. Kemudian berhenti di wajahku. "Maksudnya?"
"Lo mau ngajak gue pulang bareng?" terkaku amat yakin. "Tapi masalahnya gue nggak suka naik motor."
"Terus?"
"Ya," aku kesulitan membalas, "gue nggak mau...."
Pada saat itu aku melirik nametag seragamnya. Jika kemarin kutemukan nama Granavy di sana, sekarang tulisan itu berbentuk huruf G, R, A, B, I, R, dan U.
Tunggu sebentar....
"Sori gue piket dulu, Bir."
Seseorang bicara di samping kiriku, membuat kami bertatapan. Dia cowok dari kelasku.
Oh.
Memalukan sekali.
saturn.
Aku ingin pindah sekolah lagi.
saturn.
Ketika kamu sedang menghindari seseorang, anehnya dia akan selalu muncul persis di depan batang hidungmu. Dan segalanya terasa lebih memalukan saat orang itu menangkapmu sedang menatapnya.
Kenapa Navy harus punya kembaran?
Dan kenapa kembarannya itu harus lebih ganteng?
Namanya Biru, ya?
Kuduga dia orangnya kalem dan cuek tidak seperti kembarannya yang annoying; aku salah menautkan target, harusnya Biru saja yang sedari awal aku incar.
Tapi menghadapi cowok seperti itu pun tampaknya tidak akan mudah. Mempunyai pengalaman dua kali berpacaran dan dua-duanya ditembak dan dua-duanya berakhir buruk, entah mengapa kini aku penasaran rasanya menjadi yang pertama menyatakan.
Aku tersenyum di meja kelasku.
Boleh kan jika aku langsung terpikat pada seorang cowok ganteng di sekolah baruku ini? Bukannya aku ingin langsung menjalin hubungan, tapi aku hanya penasaran saja. Aku tidak berniat berpacaran lagi dalam waktu dekat.
"Gue duduk di sini, ya." Aku menyimpan mangkuk mi ayamku di meja yang ditempati Biru dan cowok kelasku itu. Keduanya tidak menjawab dan masih anteng saja menyantap makanannya masing-masing.
Aku pun makan dengan biasa saja, tidak berusaha mengajak siapa pun mengobrol; masih jaga image. Namun kusadari tatapan cowok di sebelah Biru terus tertuju padaku.
Aku membiarkannya.
"Nggak makan sama Brigitta?"
Aku mendongak pada yang bersuara. Kaget mendapati temannya Biru bicara padaku. Ngajak ngobrol?
"Lagi pengen sendiri aja," jawabku setengah-setengah.
"Oh. Kirain lagi jauhan."
Apaan, sih?
Satu minggu sekolah di sini dan sekelas dengannya, aku baru tahu namanya Negan. Tidak penting.
Aku menambahkan sambal ke mi ayamku lima sendok. Negan memerhatikanku tapi tidak bicara apa-apa.
Baru setelah keduanya berdiri, Negan mendorong botol air mineral yang masih tersegel ke dekatku.
"Apa?"
"Buat lo."
"Nggak butuh."
"Lo kepedesan."
Sial. Mana gue lupa beli air lagi.
"Perlu dibukain juga nggak?"
"Pergi sana."
Aneh-aneh saja. Padahal tidak saling kenal selain status teman satu kelas.
Aku sudah bilang dia tidak penting. Namun takdir seolah memberi kami kesempatan untuk menjalin sesuatu yang tak pernah aku duga.
Aku sedang mengamati judul-judul novel di rak besar toko buku yang sepi. Tapi sejujurnya tidak begitu sepi saat aku kesal melihat dan mendengar percakapan sepasang cewek dan cowok yang bicara bisik-bisik. Ngapain nge-date di toko buku? Tidak. Ngapain aku kesal?
Tidak adakah cowok ganteng yang datang ke sini sendirian?
Maaf saja, aku hanya menginginkan cowok ganteng untuk menemaniku yang kini kebetulan sedang sendirian. Bukannya aku kesepian, tapi tampaknya aku memang kesepian, sialan.
Tiba-tiba badmood, mataku kemudian menemukan seorang cowok yang kebetulan sedang sendirian juga; berdiri membaca komik Jepang di rak bagian lain. Dia memakai kacamata bulat Harry Potter dan rambutnya berantakan; ganteng.
Mulutku menyunggingkan senyum. Cepat sekali permintaanku dikabulkan.
Aku berjalan mendekat, pura-puranya melihati buku-buku terdekat.
Kemudian mata kami bertemu di detik yang sama.
Aku tidak tahu apa ini cuma perasaanku saja tapi aku merasa dia seperti membeku. Tatapan kagetnya tak berpaling dariku.
Setelah aku mendekat lagi, giliran jantungku yang berhenti berdetak. Aku seperti kenal dia. Siapa, ya?
Ah, tidak mungkin.
Kemarin dipandangi dia dari jarak yang lumayan dekat sewaktu di kantin, aku merasa dia biasa saja.... Benarkah? Lalu kenapa aku seolah menikmati tatapan itu?
"Negan?"
"Negan?" Dia kembali menunduk membaca komiknya. "Salah orang kali, Mbak."
Kuambil komik itu darinya lalu melepas kacamatanya. Dia seratus persen orang yang makan bersamaku di kantin kemarin. "Maksudnya apa lo pura-pura nggak kenal gue?"
Dia kelihatan sangat resah; terus memandang ke mana pun selain wajahku. "Lo nggak bakalan ngerti."
Karena merasa dianggap bego aku pun naik pitam, hampir saja membanting kacamatanya ke lantai. Tapi memang itu yang akan kulakukan.
Kujatuhkan kacamatanya ke bawah sepatuku kemudian tanpa ragu menginjaknya.
Negan mengerutkan kening dalam-dalam.
"Lo nganggap gue bego?"
"Hah?"
"Maksudnya apa bilang gue nggak bakalan ngerti?"
Seperti tahu situasi, Negan tiba-tiba membawa lenganku menuju pegawai terdekat; berkata maaf karena telah memecahkan kacamata di lantai, kemudian melangkah keluar toko buku.
Cekalan itu segera dilepasnya begitu kami tiba di luar. Dia memerhatikanku dengan berkacak pinggang. "Lo orangnya emosian, ya."
Kuinjak kakinya keras-keras, menyebabkan dia mengaduh keras-keras juga. "Iya tuh, emosian!"
Aku berjalan beberapa langkah meninggalkannya. Diam sebentar, kesal, kemudian berderap lagi ke dekatnya.
"Kenapa?"
Aku melipat lengan sambil menghindari wajahnya, kembali teringat sepasang cewek dan cowok yang berbisik-bisik di rak toko buku. Ada Negan di sini. Aku bisa sedikit memanfaatkannya. "Mau beli novel."
"Ya udah masuk aja."
"Bareng elo."
Aku tak langsung mendapat jawaban. "Terus kenapa tadi lo matahin-"
"Yaelah nanti gue beliin lagi!"
Tak mau menunggu lama, aku segera masuk lagi ke dalam toko buku, berharap Negan mengikutiku. Dan memang mengikutiku walau jalannya agak jauh. Aku tersenyum diam-diam.
Aku kembali ke rak tadi. Mereka masih di sana, hanya berpindah satu rak; si cewek membaca blurb suatu buku. Senyumku berubah miring.
Lihat, gue juga punya cowok!
"Thanks, ya." Kukatakan itu pada Negan yang kini sudah berdiri di sampingku.
"Buat?"
"Nggak." Aku mengambil satu buah novel. "Gue ngerasa nggak sendirian aja."
"Oh," jawabnya, ringan. "Kita satu grup di grup kelas, kan?"
"Terus?"
"Nggak apa-apa."
Dan benar.
Cowok itu bukan Biru.
Aku menceritakannya ke Brigitta dan Agita hari Seninnya di suatu kafe sepulang sekolah. Aku memerlukan pendapat mereka.
"Negan?" Brigitta mengerjap-ngerjapkan mata begitu kutanyakan soal teman sekelas kami itu. Dia seperti terkejut, tersenyum, lalu sekilas melirik Agita. "Lo naksir dia?"
"Nggak." Setidaknya untuk sekarang aku masih kurang yakin. Aku meraih minumanku di meja. "Gini. Sebenernya yang gue incer tuh Biru. Cuman Sabtu kemaren pas gue, Biru, dan Negan semeja di kantin, Negan tiba-tiba merhatiin gue yang padahal kami sama sekali belum pernah interaksi."
Agita mencebik. "Please, Ray. Lo jangan pernah ngira dia suka elo deh." Aku agak tersinggung. Tapi sebelum aku sempat bicara, Agita menambahkan. "Emang nggak ke setiap cewek, sih. Tapi sekalinya dia perhatian ke cewek, alasannya pasti 'gue cuma berbuat baik'. Tipikal cowok terlalu baik yang nggak peka."
Ah. Begitu, ya?
"Dan dia mantannya Agita."
Aku hampir tersedak minuman sodaku. "Mak-maksudnya?"
"Ck. Jangan diungkitlah, Bri." Agita kesal. Sepertinya hubungannya dulu dengan Negan tidak berakhir baik. Tapi pertama aku tidak menyangka cowok seperti Negan ternyata pernah mempunyai pacar. Orangnya Agita lagi.
Brigitta menghadapkan tubuhnya ke Agita. "Nggak usah muna deh yang sekarang masih gagal move on."
Apa? Agita masih menyukai Negan?
Di tengah mukanya yang merengut dan bibir manyunnya, Agita melirikku singkat. Tapi dia tak menampik omongan temannya itu, membuang muka ke samping.
"Dia red flag ya, Git."
Aku diam memikirkan kata-katanya.
Tipe cowok seperti Negan memang banyak; gampang membuat cewek-cewek baper atas sikap 'biasanya'. Biasanya cowok seperti itu jarang sekali menaruh hati pada cewek tertentu atau justru sudah lama menyukai satu cewek yang masih mengabaikannya.
Tapi untuk kasus Negan ini, melihat tatapannya padaku saat di kantin dan toko buku, aku mempunyai feeling dia mungkin... tidak, masih belum.
Terus red flag, ya?
Senyum miringku lagi-lagi terbit.
"Dia ranking satu terus di kelas. Nggak banyak komunikasi sama cewek, anak teater, cowok baik-baik, dan jelaslah dia nggak bakalan cocok sama elo, Ray." Walau ucapannya seakan menyuruhku menyerah pada cowok red flag itu, senyuman Brigitta mengatakan sebaliknya.
Dia menantangku menaklukkan Negan.
saturn.
Aku memang sedang ingin menyukai cowok duluan. Dan kebetulan targetku yang kini telah berubah adalah seorang cowok yang gampang membuat cewek baper. Di situasi normal, aku pasti menginginkan sebaliknya; mempertahankan diri agar tak jatuh hati padanya. Dan jika aku telah menyukai Negan, tantangannya tinggal satu.
Aku akan membuat Negan menyukaiku balik, hal yang tak seorang cewek pun bisa lakukan.
Brigitta memberitahuku Negan menerima ajakan pacaran Agita hanya karena waktu itu dia tidak tahu apa itu konsep pacaran. Negan lalu memutuskan Agita setelah tahu apa yang dilakukannya tersebut salah; dia tidak menyukai Agita sedalam itu untuk dijadikan pacar.
Ini kesempatan emas bagiku.
rayu jolien
kacamata lo minus brp?
negan♡
Rayu?
rayu jolien
iya gw
rayu jolien
ketauan blm save nih
negan♡
Maaf, nggak nyangka bener2 ngechat
rayu jolien
haha
negan♡
Minus nol
rayu jolien
hah?
negan♡
Kacamata gue nggak minus. Itu kacamata gaya
rayu jolien
anjir, HAHAHAHAHAHA
rayu jolien
nggk nyngka asli!
negan♡
Eh nggak perlu lo beliin deh. Gue beli sendiri aja
negan♡
Btw, kenapa lo ngechat gue sementara kita sama2 di kelas?
Walau kalimatnya sedikit mengandung kode, aku mengira Negan memang agak bingung. Di pertengahan jam istirahat pertama ini, kelas dihuni oleh segelintir siswa yang habis membeli jajanan kantin dan memakannya di sini.
Aku sendirian di mejaku, Negan juga. Dia duduk di bagian tengah, aku di depan.
rayu jolien
emng gw boleh nyamperin lo ke sana?
negan♡
Atau gue aja yg ke sana?
Balasan yang tidak kuduga. Dia ternyata agak sulit ditebak.
rayu jolien
siniiii
Tubuhku membelakanginya. Jadi ketika pesan itu sudah dia baca dan mungkin dia sudah beranjak, kurasakan kulitku meremang. Bukan dalam artian negatif, dan rasanya sudah lama aku tidak mengalami ini.
Saat arah mataku masih tertuju ke kolom perpesanan kami, seseorang telah duduk di kursi depanku. Kurasakan lagi ketegangan itu.
Gila aja, apa gue udah suka dia?
Secepet itu? Di saat belum lama ini gue masih ngincer Biru?
Gara-gara apa coba?
Kejadian di kantin? Dia yang nggak marah abis kacamatanya gue ancurin dan malah bantuin gue?
"Kacamatanya nggak perlu lo beliin." Negan menatap lurus ke depan saat aku sudah mengangkat kepala. Tidak ke arahku. Dia duduk menyamping.
"Oh," aku linglung sesaat, "kenapa?"
"Ya gapapa," katanya. "Itu kan barang gue."
Tiba-tiba aku kesulitan bicara. Padahal aku yang menginginkan dia ke sini, tapi malah aku yang banyak diam. Kamu kenapa sih, Rayu?
Negan menoleh ke arahku. "Ray?"
"Hm?"
"Kok kayak yang tegang?"
Ya gara-gara lo!
Tapi kok bisa secepet ini?
"Lo mau beli kacamata di mana? Kapan?" Di luar kendaliku, aku malah mengajukan banyak pertanyaan tak penting.
Negan diam sebentar, memandangku. Mungkin tahu aku berniat menemaninya. "Rahasia."
Semua rasa tegangku seketika luruh. "Hah?"
Dia berdiri lagi, pertemuan yang singkat. Namun jawabannya muncul lewat pesan yang dia kirim berikutnya.
negan♡
Udah dibilangin gue aja yg beli
rayu jolien
👎
Dibaca saja. Aku kesal.
Hari itu aku menyerah. Aku tidak mau kelihatan seperti cewek yang terlalu agresif. Setidaknya tidak terlalu.
Kemudian di hari yang baru, kutemukan diriku ingin kembali merasakan sensasi itu. Negan yang menghampiriku dan memerhatikanku. Aku ingin diperhatikan Negan. Lebih-lebih lagi.
Pagi hampir pukul tujuh itu aku tidak sempat sarapan karena telat bangun. Pelajaran pertama pun olahraga, ini akan buruk.
Pada akhirnya aku izin ke UKS dengan alasan dan kondisi yang tidak dibuat-buat. Aku membawa serta ponselku ke sana agar tidak bosan dan sekaligus bisa menghubungi Negan. Namun baru aku sadari setelah beberapa menit lamanya Negan tidak akan membalas pesanku karena ponselnya pasti dia simpan di kelas.
Aku meringis merasakan lemasnya tubuh akibat perut yang belum diisi. Mana tadi aku agak mengebutkan mobil lagi saat melaju ke sekolah. Seragam olahragaku pun terasa sia-sia kukenakan.
Seharusnya aku ke kantin saja, bukan UKS.
Meski percuma, jariku otomatis melangkah menuju kontaknya Negan. Sudah mengetikkan namanya untuk memanggil. Tapi sebelum satu pesan tersebut benar-benar terkirim, mataku fokus ke nama itu, gorden depan ranjangku ada yang menyibak.
Kami bertatapan cukup lama, dan aku merasa seperti baru saja mengalami keajaiban.
"Bawa bekal nggak?"
Aku menggeleng.
Dia maju. Menaruh roti dan air mineral ke meja putih samping ranjang. "Makan. Biar nggak lemes banget."
Nggak heran gue langsung suka dia.
"Perlu gue ambilin minyak angin?"
Aku mengangguk.
Negan mengambilkannya. Kemudian kembali lagi ke ranjangku dalam beberapa sekon.
Dia masih berdiri di sana entah sedang ngapain. Aku pun masih diam.
"Ya udah, gue balik ke lapangan, ya?"
Aku memegang seragam olahraganya di saat dia belum bergerak sedikit pun, mengangkat pandangan. Kutatap wajah dia yang berkeringat. "Kenapa lo lakuin ini ke gue?"
'Gue cuma berbuat baik'.
"Kita baru kenal."
Dia diam. Rautku menuntut penjelasan.
"Lo suka gue, ya?"
Tidak ada pengharapan apa pun dalam pertanyaan yang spontan kusampaikan tersebut. Aku hanya... ingin cepat mendapat kesimpulan. Ini momen keempat kami ngomong-ngomong.
Diam lagi. Diam yang cukup lama untukku menyangka dia mungkin memang memiliki perasaan itu.
"Nama kontak gue kenapa ada tanda hatinya?" Tiba-tiba dia membalikkan keadaan.
Jadi, aku yang salah?
Aku masih memegangi bajunya, berpaling. "Orang paling tolol pun tahu itu maksudnya apa."
"Nggak."
Hah?
Dia pergi, tanpa kata-kata selanjutnya.
Tunggu, aku tak bisa menempatkan ucapannya barusan sebagai jawaban pertanyaanku sebelumnya. Dia menjawab terlalu cepat. Dan gelagat perginya tadi....
Sial, gue bakal kepikiran terus.
saturn.
rayu jolien
lo gini ke brp cewe?
negan♡
Maksudnya?
rayu jolien
nggk ush pura2 bego
negan♡
Kenapa sih?
rayu jolien
lo baik k brp cwe?
negan♡
Gue nggak bisa jawablah
rayu jolien
why????????
negan♡
Pokoknya lo gak perlu tau
rayu jolien
lo bingungin tau nggk
rayu jolien
gue butuh kejelasan
Dibaca saja.
rayu jolien
intinya, gue semacam mau deket sama elo
negan♡
Serius?
rayu jolien
😡
negan♡
👍
"Kenapa muka lo bete gitu, Ray?" Brigitta bertanya sambil mengunyah burger keju.
Aku meliriknya dari ponselku, dan sekaligus menemukan punggung seorang cowok yang sedang berkirim pesan denganku. Dia duduk tepat membelakangi Brigitta.
"Negan."
Tiga orang mendongak dan menoleh. Yang satunya lebih terkejut lagi.
"Kenapa si Negan? Lo udah berhasil naklukin dia?"
Aku tersenyum. Brigitta pandai memancing dan memulai keributan. "Dikit lagi," timpalku, percaya diri. "Dia bawain gue makanan ke UKS pas olahraga tadi."
Bahunya berguncang. Anak teater kok tidak bisa akting.
"Serius?" Brigitta tampak sumringah. Padahal aku yang menerima perbuatan baik cowok itu. "Itu udah beda level sih, Ray, sama cewek-cewek lain yang sempet dia mainin." Bola matanya mengarah ke Agita.
Agita berdecak tersinggung. "Bukan dimainin. Lo jangan salah persepsi, Bri."
"Beda level, Ray." Brigitta mengabaikan perkataan Agita, menatapku tertarik. "Gue jamin sih, Negan udah suka elo."
"Nggak, Bri." Aku menyangkalnya di tengah senyum miringku, bersikap rendah diri. "Belum."
Brigitta turut melebarkan senyum nakalnya. Aduh, kami cocok sekali. Sementara Agita geleng-geleng kepala saja.
negan♡
Udah
rayu jolien
hah???
negan♡
Kita udah deket
rayu jolien
WOY GW SEMPET GEER
negan♡
:p
Aku membatin astaga panjang-panjang.
Ini cowok amat sangat di luar prediksi BMKG.
"Lo-nya sendiri udah suka sama Negan belum?" Alis Brigitta yang terangkat seolah menantangku.
Sambil melihati punggung dan bagian belakang rambut cowok itu, aku sudah tahu jawaban pertanyaan ini sejak lama. "Nggak mungkin gue nggak suka dia."
Aku yakin dia dapat mendengarnya.
Tapi Negan tidak merespons apa-apa sampai lusanya. Tidak mengirimiku chat apalagi menelepon, tidak membalas tatapan jauhku, seolah kalimat pernyataan itu bukan apa-apa baginya.
Aku adalah cewek yang mudah kesal. Ditambah diabaikan oleh cowok yang ditaksir, ingin sekali kuhancurkan seluruh isi dunia ini beserta semua orang yang bernama Negan di dalamnya.
Aku tidak terima. Padahal sebelumnya dia sangat meresponsnya dengan baik; berkata kami sudah dekat.
Jadi apa sih maunya?
Butuh waktu, ya?
Tapi sampai kapan? Aku tidak mau menunggu lama-lama.
Namun aku tidak perlu berusaha. Pada pelajaran ketiga setelah istirahat, kelas dibagi menjadi tiga belas kelompok, tiga orang tiga orang. Aku kebagian kelompok terakhir, bersama Negan dan satu orang lagi yang tidak masuk.
Setelah kami disuruh duduk dengan kelompok masing-masing, aku tidak tahu tugasnya apa. Yang kuperhatikan terus adalah raut gelisah Negan yang tidak sedetik pun matanya berhenti padaku.
Aku memajukan jempol dari ujung mejaku ke ujung mejanya. "Segini udah bisa dikatain deket belum, ya."
Dia membuka layar ponselnya yang sedari tadi dia genggam. Namun pesanku tiba duluan.
rayu jolien
grogi ya hadep-hadepan sama cewe yg baru aja nembak lo secara g lngsung??
"Tolak aja." Aku berkata lurus. Dagu ditopang tangan.
Kalimat itu membuahkan perhatian Negan. Tapi tidak dengan suaranya.
"Tolak aja, kalau lo nggak suka gue."
Apa aku boleh geer menganggap aku satu-satunya cewek yang tidak bisa dia tatap lama-lama? Tentu saja dalam artian positif.
"Tapi setahu gue ke orang yang kita nggak suka tuh nggak harusnya ngasih air mineral pas dia lagi kepedesan, beliin roti, dan jengukin dia di UKS pas pelajaran olahraga belum kelar. Bener gitu kan, Neg?"
"Ray."
Aku benci dadaku berdesir dengan sangat mudahnya di saat sudah berkali-kali dia membuatku bingung.
Tatapannya terus tertuju ke samping, "Nggak serius, kan?"
"Maksudnya?" Suaraku terlalu kencang, menyebabkan sepersekian detik aku menjadi pusat perhatian kelas.
Dia masih memandangi jendela di ujung sana. "Lo bohong, kan?"
"Bohong apa? Yang mana?" Aku tahu persisnya yang mana. Aku hanya ingin mendengarnya berkata sebaliknya. Hatiku sudah akan remuk.
Cowok itu menggaruk rambutnya sejenak. Aku mengira-ngira apa yang akan dia katakan selanjutnya. Tapi jelas bukan kalimat ini. "Nanti malem mau jalan nggak?"
Kurang dari sepuluh persen kemungkinan cowok seperti Negan mengajak kencan cewek yang sedang ditaksirnya. Apa aku memang sememesona itu? Geli, Ray.
"Gue mau nyeritain sesuatu."
Sial. Dibanding bahagia, aku lebih dibuat penasaran. Tampangnya saat itu benar-benar terlihat serius.
Semoga saja bukan sesuatu yang membuatku harus menyerah padanya.
Kami makan di lantai atas Burger King setelah dia menanyakan apa ada sesuatu yang sedang ingin kumakan atau tidak. Burger, jawabku. Dan meja paling pinggir yang menghadap luar. Yah, sikapnya itu lagi-lagi membuatku berpikir Negan pasti menyukaiku.
Dia tampil dengan kacamata bulat lagi, yang baru dibelinya dengan uang sendiri. Rambutnya juga kusadari dibuat sengaja berantakan. Itu membuat penampilannya lumayan kontras dengan dia saat di kelas dan makin keren.
Kupandangi dia lekat-lekat di tengah kunyahan lambatku. "Lo pengen bikin image yang beda dari Negan-si-anak-rajin?"
Dia terkejut. Itu berarti iya.
"Kenapa? Lo punya masalah apa?" Jangan-jangan yang ingin dia ceritakan itu tentang ini?
Negan membuat jeda dengan mencolekkan daging ayam ke saus, lalu memakannya berbarengan dengan nasi. Namun ada noda saus tertinggal di atas bibirnya. Aku berdecak, mengambil tisu di nampan lalu mengelap noda itu dengan tanganku sendiri.
"Buruan, gue nggak suka nunggu lama-lama."
Dia terperangah dengan mulut sedikit terbuka. Berdeham, mengusap mulut dengan tisu, memalingkan pandang, dan dia masih terlihat seperti Negan segimana pun penampilannya berbeda.
"Bunda nggak bakalan suka ini."
"Hah?"
"Aku yang sebenarnya."
Sial.
Dia ngomong pake 'aku'.
Dia melahap ayamnya lagi sebelum melanjutkan. "Aku nggak suka belajar."
Itu mengejutkanku. Sangat. Tapi tak sampai membuatku bungkam selama semenit. "Terus?"
"Aku pernah bikin Bunda nangis."
Negan pernah membuat bundanya menangis karena ulahnya di masa SD. Dia memukuli beberapa anak lelaki sampai masuk rumah sakit akibat telah mengejek-ngejeknya yang bolos berhari-hari dan difitnah bergaul dengan preman jalanan. Bundanya kecewa padanya dan akibatnya Negan menjadi sangat terpukul.
Kejadian itu adalah saat terburuk di hidupnya terutama setelah ayahnya yang dirawat di rumah sakit dinyatakan meninggal saat Negan mengurung diri di kamar.
"Sampai situ aja."
"Santai aja, sih."
Aku menyentuh punggung tangan kirinya, senyum sejenak. "Abisin dulu makannya. Gue bisa nunggu kok."
Negan menatapku, bola matanya sedikit membesar. Dan sedikit memerah. Lalu tanpa mengatakan apa-apa, dia menghabiskan ayamnya yang tersisa sedikit.
Hening beberapa saat. Kami fokus menyantap makanan masing-masing.
Selepas Negan cuci tangan dan burgerku pun habis, aku buru-buru bicara sebelum dia melanjutkan cerita sedihnya. "Jadi lo berusaha jadi pribadi yang bunda lo harepin? Tapi kenapa harus rajin belajar atau ranking satu terus? Bukannya salah lo itu di mukulin orang-orang?"
Reaksi wajahnya berubah. Dia seperti menyembunyikan sesuatu. Dan tertangkap basah.
Aku memicing curiga. "Lo nggak naik kelas, ya?"
"Apa sih, Ray." Dia membuka ponselnya. "Nggak usah dibahas."
Lah, dia sendiri yang bahas topik ini duluan.
"Lo lahir tahun berapa?" tanyaku.
"Nggak ada hubungannya sama nggak naik kelas."
"Buruan jawab."
"Nggak."
Aku membuat senyum jail. "Sama gebetan sendiri harus jaga image ya, Mas?"
"Nah, itu tahu."
....
Kenapa jadi deg-degan?
"Ray."
Astaga, gue gila.
"I need you."
"For?"
"Being me."
"Why me?"
"Katanya kita bakal jadi diri sendiri, sama orang yang disuka."
Ya Tuhan. Gue salting.
Malam itu berakhir dengan aku yang tidur pukul tiga pagi karena terus memikirkan pembicaraanku dan Negan di Burger King.
Fix, I am in love.
saturn.
Kami kerja kelompok di rumahku. Aku, Negan, dan satu cowok lagi bernama Aros. Aku berharap dia tidak masuk saja agar aku bisa berduaan dengan Negan.
"Helm-nya mana?" Aku tidak melihat ada dua helm di skuternya Negan. Apa dia tidak mempersiapkannya? Atau dia belum pernah bonceng cewek?
Negan sendiri terkejut melihatku mengikutinya. "Bukannya lo bawa mobil?"
"Nggak. Pengen bareng lo."
"Nggak ada helm."
"Ya cariin!"
"Nggak mau."
Kok dia jadi menyebalkan?
Aros sudah siap dengan motornya dan hendak melaju. "Buruan."
Ya ampun, aku terlihat sangat menyedihkan.
Aku lalu membuka ponsel dan menelepon Papa. "Pa. Jemput Rayu di sekolah pake supir."
Aros mendecakkan lidah. "Lama amat. Pake grab sana."
Apa haknya menyuruh-nyuruhku? Kenal saja tidak.
Aku melipir ke tempat duduk yang tersedia di sana, menunggu dengan anteng. Kemudian kudengar dua cowok itu bercakap-cakap.
"Di rumah lo ajalah, Neg."
"Woy." Aku berteriak dari tempatku. Cowok satu itu sangat kurang ajar.
"Sabar, Ros." Negan duduk di jok skuternya, bergelagat menunggu. Aku tersenyum ke arahnya.
Tiba di rumah dan membuka pintu, Papa tahu-tahu saja muncul. Aku kaget. Kupikir Papa di kantor.
Tapi Papa lebih kaget lagi melihatku datang dengan dua orang cowok di belakangku. Ah, situasi yang sangat menyebalkan.
"Ray?"
Pernah sih, ada cowok yang main ke rumahku dulu. Tapi itu banyakan. Tidak dalam posisi aku satu-satunya cewek di situ.
Negan dan Aros pun diam saja, tidak maju untuk menyalami Papa. Akhirnya aku berdeham. Mereka berdua pun melakukan sikap sopan santun ketika berkunjung ke rumah teman tersebut.
"Mau dibuatin minum apa?" Alih-alih memasang tampang galak, Papa malah kelihatan gugup. Aku memutar bola mata, melangkah ke dalam.
Aku menyuruh kedua cowok itu menunggu di ruang tengah. Setelah menyisir sebentar dan memakai bedak, aku keluar, duduk di sebelah Negan.
Itu adalah mata pelajaran prakarya. Kami diharuskan membuat suatu produk dari barang-barang bekas. Dan kelompok kami akan membuat tas selendang dari jins.
Di pertengahan pengerjaan, aku pergi ke kulkas untuk mengambil jus kemasan. Tiba-tiba Papa menghampiriku. Katanya, "Itu orangnya, Ray."
"Orangnya apa?" aku tidak peduli, membuka kulkas, mencari keberadaan jusku.
"Calon saudara tiri kamu."
Dinginnya udara kulkas melaju menghantam pori-pori kulitku. Aku memastikan, "Y-yang mana, Pa?"
"Itu, yang tadi duduk di sebelah kamu."
Yang duduk di sebelah aku?
Aku yakin sekali tadi aku duduk di sebelah Aros. Iya, kan?
Tunggu. Sepertinya aku melupakan banyak hal.
Pindah rumah, pindah sekolah, Papa menikah lagi, keluarga baru, ibu tiri, saudara tiri....
Tuhan sangatlah tidak adil.
saturn.
Aku meminta Negan bertemu. Masih di hari yang sama. Di jalanan malam. Seperti hari di mana dia bilang dia suka padaku.
Aku menunggunya sambil bersandar ke pintu mobilku.
"Ray."
Aku langsung memeluknya. Menumpahkan sedikit basah ke kaosnya, berdiam sebentar, menikmati detak jantungnya yang berdebar cepat.
Negan tidak membalas pelukku.
Aku mundur beberapa langkah, mengusap mata. "Gue kangen."
"Sama."
Aku menoleh, terkejut, tak percaya dia mengucapkan itu. Bukankah kami baru saja bertemu di rumahku?
Tapi kemudian aku tersenyum.
Pertemuan ini, malam-malam itu, kacamatanya, semuanya milik kami berdua.
Negan maju selangkah, menunduk menatapku, tersenyum. "Malam ini mau ke mana?"
Senyumku melebar. "Ke mana aja. Asal bareng lo." Aku mengambil kacamatanya lalu memakainya di wajahku.
"Jangan dipake dong, Ray."
"Gue makin cantik, ya?"
"Iya."
Saudara tiri.
Kami berkendara memutari kota. Tempat ternyamanku kini adalah jok belakang skuternya.
Skuter lalu berhenti di tugu kota. Kami berdua duduk di anak tangga yang mengelilingi sebuah patung di tengah-tengah. Ada beberapa pasangan yang juga berhenti dan mengobrol di sini. Padahal bukan malam Minggu.
Aku mengecek ponselku.
"Neg."
"Hng?"
"Kita ketangkep tuh."
"Maksudnya?"
"Di grup."
Salah satu murid kelas mengirim fotoku dan Negan yang sedang duduk berdua di sebuah tugu kota, dua menit lalu dan grup langsung ramai.
Kebanyakan bilang cie-cie, dan selamat couple baru. Aku tersenyum saja, sementara Negan lumayan lama memandangi ponselnya dengan alis agak berkerut. Kemudian, "Biarin ajalah."
Iya. Biarin aja.
"Lo tahu." Aku masih asyik membaca respons orang-orang kelas. "Awalnya gue tertariknya ke Biru."
Dia diam, mendengarkan.
"Tapi malah lo yang ngasih gue feedback," kataku. "Maksud gue, bahkan di saat gue nggak peduli lo ada atau nggak, lo malah kasih gue sesuatu."
"Kasih apa?"
"Air mineral?"
Kami tertawa.
"Kamu-nya aja Ray, yang waktu itu kepedesan."
"Iya, untung gue kepedesan."
"Dan lupa beli minum."
"Dan ketemu lo di toko buku."
"Dan ngerusakin kacamata aku."
"Kok bisa sih lo suka sama cewek galak kek gue?" Kupikir dia bukan cowok yang peduli terhadap cewek cantik. Tahulah maksudku apa.
Negan diam sebentar. Aku sedikit berdebar menunggunya bersuara. "Iya, itu."
"Itu apa?"
"Karena kamu galak."
Aku memukulnya sekuat tenaga.
Sebelum naik skuter untuk pulang, aku mendapat chat dari Papa. Katanya besok kami akan bertemu calon keluarga baru kami; ibu tiri dan saudara tiri. Aku melihat Negan yang sudah duduk di skuternya dan sedang memakai helm.
Tidak.
Aku tidak membalas pesan Papa.
"And it's new, the shape of your body.
It's blue, the feeling I've got.
And it's ooh, whoa, oh.
It's a cruel summer.
"It's cool, that's what I tell 'em.
No rules in breakable heaven.
But ooh, whoa oh.
It's a cruel summer.
With you."
"Nyanyi apa, Ray?"
"Gue suka elo."
Skuter berhenti.
Saudara tiri sialan.
Aku tidak ingin malam itu berakhir.
saturn.
Aku berpikir untuk tidak datang ke malam pertemuan itu dan bahkan tidak menyetujui pernikahan Papa. Kukira semuanya tidak akan menjadi seperti ini.
Jika Negan dan aku bersaudara tiri, aku tidak mungkin bisa bersamanya, kan?
"Ray, kok belum siap-siap?" Papa yang sudah sangat wangi dan rapi memakai kemeja lengan panjang dan celana kain, membuka pintu kamarku dan serta-merta bingung melihatku belum berganti pakaian.
Aku mendelik di tempat tidur. "Papa kok nggak ngasih tahu Negan bakal jadi saudara tiri Rayu?"
Kalau gitu kan aku tidak akan jatuh cinta padanya!
Maksudku jika tahu dia adalah saudara tiriku sejak pertemuan pertama, aku tidak akan memandangnya sebagai lawan jenis yang bisa kutaksir. Karena mana mungkin aku sudi jatuh cinta pada saudara sendiri? Aku masih waras dan normal.
"Negan?" Papa diam beberapa lama. "Kamu siap-siap dulu deh. Udah hampir jam tujuh, loh."
Nggak mau.
Aku mempertahankan keras kepalaku sampai seluruh lampu di rumah ini tiba-tiba padam dan aku menjerit.
"Kalau kamu nggak pergi, Papa tinggalin kamu sendirian dalam keadaan kayak gini."
Tega banget!
Mau tidak mau aku meluncur turun dari posisi berbaringku lalu mengambil gaun yang pertama kusentuh dari lemari. Aku memakai riasan seadanya; cushion dan lip tint warna nude.
Aku tidak perlu tampil luar biasa cantik untuk memberi kesan yang bagus pada seorang cowok yang sudah jatuh hati padaku. Dia akan menerimaku apa adanya, tapi tidak dengan status yang mungkin akan kami jalani nanti.
Sebaiknya aku tetap menolak pernikahan itu, kan?
Dan yang kutemui bersama calon ibu tiriku itu bukan Negan. Tapi Aros.
Aku menatap bingung Papa, menuntut penjelasan.
Wajah Papa sama sekali tidak menampilkan rasa bersalah. "Waktu itu Papa lihatnya kamu duduk di sebelah Aros."
Memang iya. Tapi cuma semenit. Saat itu Aros meminta bantuanku untuk memegangi jins yang akan diguntingnya.
"Bukan Negan?"
"Apanya?"
Aku merasa sangat bodoh.
Di seberang meja, Aros melihati percakapan kami berdua. Lalu tatapannya mengarah padaku. "Nanti kita ngomong, abis ini," bisiknya ke arahku.
Aku tidak memedulikan omongannya. Aku sibuk dengan senyumanku yang terus-terusan mampir dan pikiranku yang melayang ke hubunganku dan Negan yang ternyata tidak terhalang status saudara tiri.
Tuhan Maha Adil.
Hatiku terus berdebar-debar gembira setidaknya sampai Aros melontarkan kalimat itu. "Nyerah aja sama Negan, dia nggak mungkin bisa bareng lo."
Spontan aku menatapnya tajam. "Siapa lo-"
"Step-brother, right?"
Sialan.
Kukira dia orangnya apatis.
"Maksud lo apa ngomong gitu?"
"Dia red flag parah."
Terus?
"Segimana pun dia suka lo, dia nggak bakalan nembak elo."
Hm?
"Negan pernah bilang." Aros memandangku serius. "Dia nggak akan pernah mau pacaran."
.
jupiter
Gue memandang Rayu cukup beda karena entah gimana dia adalah murid pindahan pertama yang masuk ke kelas gue sepanjang sebelas tahun gue sekolah. Maksud gue, sebelumnya kelas gue belum pernah kedatangan murid pindahan. Jadi secara nggak sadar gue jadi memerhatikan dia. Gimana caranya dia adaptasi di lingkungan baru ini?
Sebenarnya Rayu itu tipikal perempuan yang ingin gue hindari dan nggak mungkin cocok sama gue. Apalagi pas lihat dia dengan mudahnya gabung dengan geng Brigitta. Dari luar pun mukanya kelihatan judes banget, seolah menyuruh siapa saja untuk jangan mendekat.
Kemudian tiba-tiba gue dapati dia bicara sama Biru. Yang kemudian tahu-tahu saja gadis itu duduk di meja yang sama dengan gue dan Biru. Rayu memang cantik. Tapi gue nggak mengira kali ini dia yang mendekati laki-laki duluan; dia tampak tertarik ke Biru. Padahal Rayu kelihatan seperti perempuan yang dikejar banyak laki-laki.
Namun siapa sangka malah gue yang jadinya dekat sama Rayu. Dan di kali ke sekian kami menghabiskan malam bersama di jalanan, di jok belakang skuter gue, Rayu mengatakan semuanya.
"Gue suka elo."
Shit.
Itu kalimat terakhir yang pengen gue dengar darinya.
Gue nggak suka ada cewek yang menyatakan suka ke gue. Karena gue pasti menolaknya. Dan gue bakal menyakitinya.
Termasuk jika cewek itu Rayu.
Gue ingin menolaknya. Tapi gue nggak tega. Karena seperti yang mungkin semua orang kelas tahu, gue menyukai Rayu.
Gue menghentikan skuter tanpa sadar. Tanpa memikirkan risiko setelah ini gue harus merespons omongan sialan itu. Meski datang dari mulut gadis yang gue suka, gue tetap nggak mengharapkan dia merasakan hal yang sama karena ajakan itu pasti dia layangkan.
Skuter berhenti di pinggir jalan besar. Gue mengatur napas sesaat, meredakan detak jantung yang menggila habis Rayu tembak.
Sialan, padahal gue nggak menginginkan ini.
Kemudian, walau pendengaran gue sedikit tertutup helm, gue masih dapat mendengar suara tangisnya yang tiba-tiba keluar.
"Ray?" Gue panik, segera turun dari skuter sambil membuka helm.
Rayu beneran nangis. Air matanya turun ke kedua pipinya. Gue melihat keadaan sekitar, melepas kacamata dan helm yang Rayu pakai, menaruhnya di spion satunya, tetapi Rayu malah langsung berjongkok di pinggiran trotoar itu dan menangis lebih keras.
What happened the hell?
"Ray." Gue memegang bahu Rayu, tapi langsung ditepisnya dengan kedikkan.
Gue salah apa?
"Jangan di sini, Ray."
Kami sudah menjadi pusat perhatian para pejalan kaki. Beberapanya menggeleng-gelengkan kepala dan gue hanya bisa pasrah saja, kembali mengamati Rayu.
"Duduk dulu, yuk." Gue menuntunnya menuju bangku taman terdekat, membantu dia duduk kemudian gue juga.
Tak lama setelah itu, seorang tukang parkir ber-rompi hijau muda mendekat. "Parkirnya jangan di situ, Mas. Masukin ke parkiran sana."
Gue tersentak sesaat. "Oh maaf, Pak. Nanti saya masukin ke parkiran."
Bapak itu pergi, gue meminta Rayu jangan ke mana-mana. Cepat-cepat gue kembali ke skuter, masuk ke parkiran, memarkir di tempat kosong terdekat, lalu berjalan ke bangku tadi. Tapi Rayu nggak ada.
Gue panik lagi.
Kok mudah banget panik, sih.
Gue masuk ke taman kota yang berupa tempat duduk-tempat duduk keramik dari pinggiran alas tanaman. Suasananya cukup gelap sebab tertutup rimbunnya pepohonan dan kurangnya sinar lampu taman.
Gue mencari keberadaan Rayu sampai sosoknya akhirnya terlihat di bagian ujung taman. Bahunya tampak lemas dan sepertinya dia belum selesai menangis. Gue segera menghampiri.
Tiba di sana, gue duduk di sampingnya. Kemudian gue langsung memeluknya dan Rayu kembali menangis keras.
Gue membiarkan Rayu tenang dan meredakan tangisnya dulu. "Gue suka bau lo."
Mohon maaf, Nona. Tolong jangan bersikap agresif. Saya takut saya tidak bisa melepas Nona.
Sialnya gue semakin mengeratkan pelukan seolah sangat senang mendengar perkataan itu. Seneng lo, Negan.
"Saudara tiri sialan."
....
Saudara tiri?
Rayu mendorong gue pelan, menghapus air matanya sendiri, menunduk menatap ubin taman. Dia diam untuk beberapa lama. Gue melihatinya dari samping.
"Padahal gue pengen pacaran sama lo."
Tak ayal gue deg-degan. Lalu segera merutukinya.
Rayu menoleh melihat gue. "Gue cewek mainstream, ya?"
"Gimana?"
"Gue cewek ke berapa yang nembak lo?"
Gue diam, meneguk ludah, memalingkan pandang.
"Jawab aja kenapa, sih. Nggak usah pura-pura nggak laku."
Gue mengerutkan kening, tersinggung. "Apa sih, Ray."
Rayu menyadari suara gue yang meninggi. Bola matanya membulat, kemudian menunduk lagi. "Sori. Kelepasan," gumamnya. "Lo nggak salah apa-apa. Gue cuma kesel sama keadaan."
Keadaan apa? Apa dia tahu soal gue yang....
"Maaf, Ray."
"Iya. Gue tahu kita nggak bisa sama-sama."
Oh. Beneran tahu?
Dari mana? Dari siapa?
Hm. Gue rasa gue harus sedikit menghiburnya.
"Ray. Apa yang paling kamu suka di dunia ini?"
Dia melirik gue dari samping. Diam sebentar. "Saturnus."
Gue menampilkan senyum. "Kalau gitu, aku bakal jadi Jupiter-nya."
jupiter.
Besoknya di kelas, Rayu tampak murung seharian. Gue harap bukan karena kejadian semalam, sesuatu yang kemarin membuatnya menangis, atau ada hubungannya sama gue.
Tetapi besoknya lagi Rayu kelihatan sangat ceria lebih-lebih dari yang selama ini gue lihat. Dia terus-terusan tersenyum, menyapa semua orang yang baru masuk kelas, dan tertawa untuk hal-hal remeh. Gue tersenyum melihatnya.
Apa yang membuat Rayu menjadi sesenang itu?
Pada saat gue masih menatapnya dari meja belakang, Rayu menoleh ke sini, seketika melunturkan senyum gue. Dua detik berlalu, langkahnya membawa senyumnya lebih dekat menuju gue.
Dia duduk di kursi depan, menyimpan siku di meja, melihati gue dengan senyum lebih manis. "Lo merhatiin gue, ya?"
Iya.
"Nggak."
Sejak kapan gue jadi tsundere?
"Terus kenapa senyum?" tanyanya.
Karena lihat kamu senyum.
"Iseng aja."
Anjir, akting gue parah banget.
Rayu tertawa. Lihat, kan? Alasan remeh.
"Kenapa lo kelihatan seneng banget gitu?" Gue bertanya seolah sangat penasaran. Padahal iya.
Rayu menopang dagu, melihat gue dengan tatapan yang nggak pengen gue sadari apa artinya. "Karena gue tahu."
"Apa?"
"Gue sama dia, boleh happy end."
Gue deg-degan parah.
"M-maksudnya?"
"Lo tahu siapa 'dia' yang gue maksud."
Rayu berjalan pergi. Membawa serta senyumnya yang masih ingin gue lihat.
Kenapa jadi gini?
Bukannya kemaren dia udah gue tolak?
Dan ada apa dengan rasa senang ini?
Serangan pertama langsung muncul saat istirahat.
"Neg. Rayu pengen ke kantin bareng elo tuh."
Karena kemarin Rayu murung seharian, isu gue dan Rayu yang dekat pun belum benar-benar mereka bahas di kelas. Namun sebab hari ini gadis itu tampak seperti orang paling bahagia di Bumi, orang-orang mulai menggoda kami.
Rayu cengengesan. Kemudian wajah sampingnya terhalang oleh rambut cokelatnya yang menjuntai. Gue pengen menyelipkan helainya ke balik telinganya.
Negan Alvinzo
Mau ke kantin bareng?
Cewek Galak
yuu
Negan Alvinzo
Tapi aku gak lapar
Cewek Galak
gw laperrr
Negan Alvinzo
Aku beliin makanan aja?
Cewek Galak
ck. gw pengennya makan di kantin bareng elo!
Negan Alvinzo
Wkwk. Yaudah iya
"Senyum-senyum sendiri aja lo." Biru berdiri di dekat meja gue seperti biasa, masuk ke kelas orang lain tanpa rasa malu sedikit pun.
Dan saat itu Rayu menoleh ke tempat gue berada. Dan melihat kehadiran Biru. Wajahnya langsung ngambek.
"Sori, Bir. Gue—"
"Apaan sori-sori. Gue cuma mau minjem kalkulator ilmiah."
Tahu nggak segimana malunya elo ketika salah kirim pesan ke grup alumni yang isinya ratusan anggota? Mirip-mirip kayak gitulah harga diri gue sekarang.
"Gan, gelandangan di Senegal aja tahu lo lagi naksir cewek."
B-benar begitu?
"Samperin tuh. Dia nungguin elo."
Si curut itu pun pergi setelah mendapatkan barang yang diinginkannya tanpa bilang thanks atau makasih. Gue nunggu saat-saat dia naksir cewek untuk gue kata-katain balik dan ledek habis-habisan.
Akhirnya gue dan Rayu ke kantin bareng, untuk pertama kalinya. Dia bertanya di tengah jalan. "Kata Biru tadi, lo lagi naksir cewek. Siapa?"
Aduh. "Coba lo senyum."
Dia senyum. Gue pun senyum.
"Nah. Cewek yang lagi senyum sekarang."
Siku gue dipukulnya, kemudian dia jalan lebih cepat.
Pulangnya ada kerja kelompok prakarya lagi. Kali ini di rumah gue. Dan Aros tiba-tiba bilang dia nggak bisa ikut karena suatu alasan yang nggak bisa dia jelaskan.
"Besok-besokkan aja deh, Ray," kata gue, memunggungi Rayu di parkiran sekolah.
"Kalau gitu ngapain lo bawa helm dua?"
"Itu kan punya lo kemaren, belum gue pindahin."
"Punya gue?"
"Iya."
"Cuma gue yang boleh pake?"
"Iya."
Rayu tampak puas. "Ya udah sekalian kita ke rumah lo buat kerkom." Dia mengambil helm kepunyaannya di pengait motor, memakainya, lalu duduk di jok belakang, melihat gue yang diam saja melihatinya. "Ayo."
Apa laki-laki seperti gue boleh mendapatkan senyum manis itu setiap hari?
"Besok aja, Ray. Bunda pulang jam lima. Di apartemen gue nggak ada siapa-siapa." Benar, ini tidak baik untuk kami berdua.
Rayu cemberut. "Ya udah jam lima nanti gue ke apart lo."
Gue melotot tak percaya.
Tapi sebelum gue bicara lagi, Rayu memotong. "Lebih cepet dikerjain lebih baik, kan? Lagian gue nggak enak kalau harus di rumah gue terus. Dikerjain di sekolah juga ribet." Rayu belum turun dari skuter gue.
"Kenapa nggak turun?"
"Anterin pulang."
"Nggak bawa mobil?"
"Ya kalau gue bawa gue nggak bakal ada di sini." Wajahnya berubah bete. "Nggak usah pura-pura nggak suka gitu deh, Negan. Cepetan naik."
Seandainya gue nggak menyukai Rayu, gue pasti sudah luar biasa kesal. Tapi jika itu gadis yang gue suka, gue malah dibuat agak kerepotan.
Kerepotan meluruskan niat nggak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun termasuk dengan dia yang senyumnya ingin gue lihat terus.
"Lo bawa helm gue, kan? Apa itu artinya nggak sama dengan lo pengen ngajak gue pulang bareng?"
Gue kesulitan menahan senyum. "Iya, Ray, iya." Gue naik ke skuter.
"Gue seneng deh tiap denger lo manggil gue 'Ray'."
"Kenapa?"
"Candu aja dengernya."
Gue yakin dia sedang senyum.
"Sering-sering ya, manggil gue gitu."
"Nggak perlu lo suruh."
Heran banget. Kok bisa gue bahagia abis karena hal ginian?
Rayu tiba di apartemen gue lima belas menit lebih lama dari waktu janjian. Bunda yang membukakan pintu di saat gue lupa bilang ke Bunda kalau hari ini gue ada kerja kelompok.
"Siapa, ya?"
"R-Rayu, Tante."
Gue yang lagi cuci piring langsung nggak bisa gerak.
"Temennya Negan?"
"Iya."
Buru-buru gue membasuh sisa busa di tangan sebelum menghampiri pintu yang masih terbuka. "Masuk, Ray."
"Oh iya, masuk, Nak Rayu."
Rayu menyalami Bunda. Kemudian mengucapkan permisi sambil melangkah pelan ke dalam dengan sedikit sungkan. Gerakannya kaku. Tumben dia terlihat tidak percaya diri begitu.
Bunda nggak bilang apa-apa. Beliau cuma senyum penuh arti ke gue, menggulung jas kerjanya yang belum diganti sembari melangkah ke dapur. "Duduk di mana aja, Rayu. Maaf rumahnya berantakan."
"Iya. Nggak kok, Tante."
Rayu masih berdiri melihati isi apartemen gue seakan bingung harus melakukan apa selain melihat-lihat.
Lekas gue mendekatinya. "Duduk, Ray."
Gue memandunya ke ruang keluarga, tempat gue dan Bunda biasa makan dan nonton televisi. Rayu duduk, menyimpan tas di bawah, memandang ke sekitar lagi.
Bunda datang membawakan dua gelas jus jeruk dingin, setoples egg roll, dan astor. "Maaf ya Rayu, nggak ada apa-apa."
"Eh, nggak, Tante. Makasih."
Gue menahan senyum melihat Rayu gelagapan begitu. Benar-benar Rayu yang berbeda dari yang selama ini gue kenal.
"Makasih, Bun."
Bunda mengacak rambut gue yang masih agak basah sehabis mandi.
Setelah Bunda pergi ke kamar, Rayu memandang gue. "Lo deket banget ya, sama bunda lo?"
Gue mengangguk. "Yaa Bunda satu-satunya yang aku punya sekarang. Makanya Bunda segala-galanya buat aku."
Rayu terkekeh.
"Kenapa?"
"Lo gemes banget."
"...."
"Salting, ya?"
"Nggak."
Rayu cekikikan. Dia mengambil peralatan dan bahan-bahan yang kami butuhkan ke atas meja. "Ini yakin bakal lancar ngerjainnya?"
Gue menaikkan alis.
"Bisa, sih. Asal nggak usah flirting-flirting dulu."
"Ya kamu, barusan."
"Lo juga," Rayu seenaknya menuduh gue. "Gue nggak percaya si ranking satu di kelas ternyata jago nge-flirting cewek."
"Astaga, nggak," sangkal gue, merapikan barang-barang yang Rayu keluarkan di meja. "Itu kelepasan."
"Berapa kali tuh kelepasannya?"
"Semuanya."
Rayu tergelak. "Iya deh, Negan. Percaya, percaya."
Dan proses pengerjaan tugas pun berjalan sangat lambat sebab gue dan Rayu terus-terusan tertawa karena percakapan kami berdua. Gue nggak menyangka gue bisa sefrekuensi sama cewek teman Brigitta ini. Gue kira kami orang yang sangat berbeda.
Pukul tujuh malam, Bunda mengajak makan malam. Rayu terlonjak. Dia mengecek arlojinya, bilang ingin pulang takut dicariin papanya yang padahal dia selalu keluar rumah hampir tiap malam, dan lantas membuat gue gereget. Gue lalu mengajak dia untuk makan malam di sini saja yang akhirnya disetujuinya juga.
"Negan di kelas kayak gimana, Rayu?"
Gue tersedak.
"Saya murid pindahan, Tante. Belum lama banget kenal Negan."
Padahal dia yang paling mengenal gue di kelas.
"Tapi kalian asyik banget ngobrolnya tadi sampai kedengeran ke kamar Tante."
Rayu seperti sangat menyesal. "Aduh, berisik ya, Tante? Maaf, lain waktu saya bakal lebih menjaga omongan saya lagi."
"Bukan gitu maksudnya, Rayu." Bunda terkekeh. "Tante senang lihat Negan bawa temennya ke sini selain Biru sama Navid. Nggak tahu kenapa, dia jarang banget ngajak temennya main ke sini."
Karena Negan nggak mau ngeberantakin rumahlah, Bun.
"Jadi saya yang pertama, Tante?"
"Iya. Lebih tepatnya perempuan pertama."
Mereka tertawa bersama. Gue merasa seperti sedang dibicarakan di depan muka sendiri.
Rayu pulang pukul setengah delapan lebih tanpa gue antar ke rumahnya karena katanya dia bawa mobil.
"Negan. Bunda suka."
Gue menutup pintu depan dengan grogi. "Ngomong apa sih, Bun."
Bunda tertawa di meja sana. "Rayu cantik, ya. Cocok sama anak Bunda yang ganteng."
Ya mana mungkin ke anak sendiri dibilang jelek? Bunda cuma menghibur.
Gue berusaha mengabaikan perkataan Bunda dengan langsung masuk ke kamar. Tapi nampaknya ibu-ibu satu ini terlewat girang melihat anak lelakinya membawa teman perempuannya ke rumah. Padahal masih remaja.
"Bunda restuin."
"Negan mau belajar."
"Nggak usah malu-malu gitu, Negan. Muka kamu sampai merah, tuh."
Loh, iya?
Bunda berderap ke sisi ranjang kamar gue lalu duduk di sana, mengusap-usap kaki gue yang selonjoran. "Bunda nggak mau membatasi pergaulan kamu, Negan. Kalau kamu mau pacaran, asal kamu bahagia, Bunda pasti dukung."
Tapi tahu nggak Bun, alasan Negan nggak mau pacaran?
Karena Negan nggak mau ngeduain Bunda.
Negan mau terus prioritasin Bunda selama yang Negan bisa.
Jadi tolong jangan suruh Negan pacaran lagi karena Negan takut Negan bakal ngelakuinnya.
Karena tahu nggak, Bun?
Rayu itu cantik banget. Senyumnya pengen Negan lihat terus, pengen Negan perhatiin terus, dan Negan pengen bareng dia terus.
Anehnya Rayu juga suka Negan.
Maka dari itu Bun....
Negan takut.
Negan takut berakhir pacaran sama Rayu dan ngelupain Bunda. Ngelupain kewajiban Negan untuk selalu mendahulukan Bunda.
Tolong Negan, Bun.
Gimana Negan harus menyikapi perasaan ini?
jupiter.
"Jadi, berkali-kali hangout malem-malem sama cewek yang lo suka a.k.a. gue dan berpenampilan 'urakan' gitu, lo ngerasa udah jadi diri sendiri belum?" Rayu memutar-mutar tusuk oden dalam wadah cup mengepul, menunggu pesanan mocha latte jadi.
Gue senyum sesaat, menatap sepatu gue di bawah. "Aneh banget nanya gitu."
"Loh," Rayu memutar bahu, tampak heran sekaligus agak menertawakan gue, "lo kan yang bilang sendiri waktu itu. You need me for—"
"Malu ah, Ray. Nggak usah dibahas." Gue menyembunyikan wajah gue dari jarak pandangnya; menengok ke sisi kanan.
Tertawaan tertahannya gue dengar. "Iya, iya, lo kan nggak jago flirting."
Astaga, diingatkan lagi.
"Eh, tapi lo di kelas dan lo di sini tuh beda, Neg." Rayu memerhatikan kopinya yang baru sampai, kemudian meraihnya berbarengan dengan oden di satu tangan lain.
Gue segera menurunkan kantung kresek ke siku. "Aku aja, Ray."
"Oh." Dia senyum, memberi kedua pesanannya itu ke gue.
Kami berjalan mencari dua kursi kosong yang menempel ke dinding kaca. Tetapi semuanya sudah penuh. Di luar pun terisi semua. Kenapa malam ini mendadak ramai?
Gue dan Rayu kembali ke dalam, dan beruntung setelah mengitari tempat tersebut sekali lagi, dua cewek remaja baru saja keluar dari masing-masing kursinya.
Tapi.
"Hey, Andina and Yura."
"Oh my god, Rayuuuuu."
Mereka bertiga berpelukan bergantian, tampak riang atas pertemuan tak terduga itu. Mungkin teman SMA-nya di sekolah yang dulu.
"Astaga, you look so pretty, babe," ucap si cewek yang bilang oh my god tadi. "Gaya amat nih pake kacamata segala."
Rayu tersenyum saja. "Kalian sendiri apa kabs? Kelas sepi ya, tanpa gue."
"Iyalah, anjir. Kosong banget meja kantin cuma diisi bertiga doang."
Kemudian keberadaan gue mereka sadari. Si yang terus bicara tadi melirik Rayu sambil mesam-mesem. "Cowok lo? Udah taken berapa lama?"
Di saat gue ingin menggaruk rambut, gue baru menyadari kedua tangan gue masih memegangi cup. Yang panas. Yang bikin telapak tangan gue serasa habis mampir ke neraka.
"Maaf, gue izin naroh, ya."
Tanpa menunggu sahutan iya dari kedua atau salah satunya, gue lekas menyimpan dua benda panas itu ke meja beserta kantung kreseknya, kemudian menggaruk rambut.
Kedua teman Rayu tersenyum ke gue. Sekilas, lalu salah satunya berbisik yang masih bisa gue dengar, "Lebih oke dibanding yang sebelumnya."
Apa maksud lo lebih oke?
"Bye. Ngobrol lagi kita nanti. Dan semoga langgeng."
Teman Rayu yang pendiam tersenyum sekali lagi sebelum pamit, meninggalkan dua wadah oden yang mereka biarkan pegawai mini market yang membersihkannya.
Rayu melihat gue, mengangkat bahu dan alis. "I really miss them." Dia duduk di kursi tinggi kayu. "Sebulan lebih pindah sekolah dan gaul bareng lo, gue ngerasa hidup gue beda."
"Beda gimana?"
"Yaa," ucapannya panjang, "tbh, gue baru kali ini deket sama cowok yang you can say he's goodboy."
Gue merasa otot-otot bibir gue lebih mudah senyum ketika gue sedang bersama Rayu. Dia memuji gue. "Jadi bedanya aku di sekolah dan I am the only you know tuh, apa, Ray?"
Rayu tergelak sejenak, tapi pipinya merah. Diraihnya mocha latte-nya dan diseruputnya sedikit, memutar-mutar sedotan, kemudian menjawab, "Gue punya persepsi lain deh, Neg."
"Apa tuh?" Gue menatapnya penasaran.
"Lo bukannya nggak jadi diri sendiri, tapi kepribadian lo berubah semenjak insiden di masa lalu lo itu." Rayu menjelaskan. "Gue lihat di sini atau pun di sekolah, lo sama-sama agak pemalu dan kaku. Paling kalau sama gue, lo kelihatan lebih pede. Sering ngomong, sering bertindak. Kayak, lo berusaha nge-treat gue sebaik mungkin dengan effort yang gede, tapi apa adanya juga."
Hati gue menghangat. Dan bukannya malu, gue jadi semakin ingin menatap wajahnya lama-lama.
"Penampilan lo beda bukan berarti diri lo ikut beda," lanjutnya. "Kalau nanti lo ketemu bunda lo di jalan, dia pasti ngenalin lo, kan? Paling aneh aja lihat lo pake kacamata. Tapi once again itu cuma Negan yang 'pake kacamata'. Pake aksesoris. Bukan 'Negan yang nggak siapa pun kenal'. It's just a 'thing', tambahan, bukan penentu sifat lo."
Gue ingin menghabiskan waktu lebih lama bersamanya.
"Tapi sih, buat beberapa orang itu ada impact-nya." Dahinya berlipat. "Atau anggap aja gini. Setiap lo pake kacamata, lo ngerasa lebih percaya diri. Jadi walau it's just a thing, sesuatu itu yang nambah nilai plus dalam diri lo."
Bunda. Negan nemu cewek yang Negan suka.
"Lo cuma nggak nyaman belajar, kan? Bukan nggak nyaman atau ngerasa repot ngasih perhatian ke orang lain? Karena apa, karena itu lo lakuin dengan otomatis, udah susah lagi lo kontrol. Dan lo nganggap itu buat bantu orang lain, bikin dia seneng, kayak lo seneng lihat bunda lo seneng."
"Ray."
"H—"
"I love you."
Satu menit setelah ucapan yang di luar kendali tersebut, gue ingin menghindari Rayu selama setidaknya seminggu.
Gue malu abis.
jupiter.
Malam itu muka Rayu merah banget. Cewek yang duduk di belakangnya sampai menoleh dan cengengesan. Berkali-kali Rayu hendak bicara pun, ucapannya selalu terhenti di tengah kalimat sambil terus bilang, 'Tadi gue mau bilang apa, ya?'. Alhasil suasana menjadi canggung.
Kacau.
Kenapa sih gue orangnya terlalu spontanitas?
Harusnya gue pendem aja kalau malah bikin Rayu jadi gitu.
Di kelas, kami tak saling sapa. Tidak tersenyum ke arah masing-masing, tidak pernah menoleh, dan tidak pergi ke kantin bareng. Ada rasa bersalah di hati gue. Mau minta maaf tapi jika dipikir lagi ungkapan itu sebenarnya mengibaratkan sesuatu yang positif. Maka salahnya di mana?
Lalu pelajaran prakarya dimulai, yang membuat gue bingung harus senang atau nggak karena saat itu juga gue dan Rayu harus duduk bareng.
Dua meja disatukan, seorang gadis yang semalam baru saja gue akui perasaan cinta di seberang gue, serta saudara tirinya di tengah-tengah kami. Rayu sudah bercerita ke gue papanya menikah dengan ibunya Aros; mereka berdua menjadi saudara tiri. Dan mau nggak mau situasi ini terlihat seperti penghakiman.
Kami melanjutkan pengerjaan tas jins ketika tiba-tiba Brigitta yang duduk tak jauh dari meja kami bicara. "Kalian udah jadian berapa lama?"
Kenapa semua orang selalu nanya gituan, sih? Apa pentingnya coba?
Karena kali ini itu bukan basa-basi yang diucapkan sambil lalu, gue memandang Rayu resah, masih bercampur rasa bersalah tadi. Kemudian, gue nggak menyangka yang dia katakan adalah, "Baru juga sehari, Bri."
Gue bingung.
"Ray."
Dia menoleh. Semua orang menoleh.
"Semalem, gue nggak nembak lo."
Itu terjadi sangat lambat.
Proses pemahaman ucapannya. Saling liriknya. Bingungnya. Dan air matanya.
Semua orang melihatnya.
Rayu menangis.
Karena Negan.
Karena ucapan spontannya.
Setelah disaksikan oleh dua saksi lainnya, gadis itu berlari meninggalkan kelas, tugas prakarya yang belum selesai, dan gue yang belum menyadari situasi.
Kemudian.
"Ray!"
Itu pertama kalinya gue teriak di kelas. Beruntung sedang nggak ada guru; gue nggak perlu khawatir terlihat nggak sopan karena lari kenceng banget keluar kelas.
Rayu ke mana? Rayu ke mana? Rayu ke mana?
Semalam adalah hari di mana untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue merasa disayang oleh orang lain selain Bunda dan Ayah. Gue memang berteman dekat sama Biru dan Navid, tapi lo tahu kan gimana pertemanan laki-laki itu? Mereka nggak mengungkapkan apa pun dalam bentuk kata-kata.
Gue nggak pernah memikirkan gue ingin mendengar afirmasi positif dari siapa pun untuk gue. Gue melakukan semua hal dengan tulus tanpa butuh balasan apa-apa. Nggak penting gue bahagia atau nggak. Itu urusan gue, lo nggak perlu ikut campur.
Tapi semalam, perkataan Rayu memberitahu gue seolah sebelumnya dia sangat memerhatikan gue. Berkata seadanya dan jujur, tidak dirangkai sedemikian rupa untuk membuat gue senang, gue lebih butuh omongan seperti itu untuk mengevaluasi diri dan bukannya mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tidak ada gunanya. Dan setelahnya, Rayu tetap mendukung gue dengan bilang gue bisa lebih merasa percaya diri jika gue kukuh ingin berpenampilan seperti itu.
Gue... suka Rayu. Gue ingin dia.
Tapi tidak dengan status pacaran yang mungkin dia inginkan dari kami.
Apa gue laki-laki brengsek?
"Bangsat lo!"
Gue berhasil menemukan Rayu; berdiri bersandar di dinding luar perpus. Dan tangisnya belum surut saat gue dengar suaranya dibarengi isakan.
"R—"
"Apa maksud lo bilang i love you i love you segala kalau bukan buat nembak? Mau mainin gue?"
"Ray. Aku—"
"Perkataan lo semalem itu bohong, kan?"
"Nggak. Aku beneran suka kamu. Tapi... aku nggak mau pacaran."
"Kenapa?"
"Aku nggak mau ngeduain Bunda. Aku nggak mau perhatian aku buat Bunda kebagi-bagi."
"Lo selama ini ke gue udah perhatian. Udah kebagi-bagi, kan?"
"Aku ngelakuinnya karena pengen. Dan kalau nanti kita pacaran, aku takut aku jadi punya kewajiban buat selalu ngasih perhatian ke kamu. Aku pengen ngelakuinnya karena aku emang pengen, bukan karena status di antara kita, Ray."
"Terus Agita? Kenapa lo pacaran sama dia?"
"Waktu itu aku nggak tahu apa-apa soal pacaran. Agita yang ngajak, terus aku bilang iya. Tapi seminggu udah putus lagi abis Biru dan Navid ngasih tahu pacaran itu berarti aku suka dia melebihi cewek mana pun."
"Lo suka gue melebihi cewek mana pun?"
"Iya."
"Terus lo maunya gimana?"
"Rayu maunya gimana?"
"Kita pacaran."
"Selain itu."
"Lo nggak boleh deket sama cewek mana pun selain gue."
"Oke."
"Lo harus selalu ngelihat gue."
"Aku emang selalu ngelihat kamu, Ray."
"Lo harus.... Sori, tinggalin gue sendiri."
Gue mendekatinya dan berhenti di depannya. Gue tatap matanya dalam-dalam, lalu berbisik, "Aku takut aku nggak bisa ngomong ini pas nanti kamu punya cowok. Tapi," gue menyiapkan diri, "I love you... from Jupiter to Saturn."
jupiter.
Rayu sama Negan putus.
Pacaran aja nggak.
Hanya Aros dan Brigitta saja yang tahu kejadian sebenarnya. Tapi siapa peduli, sih.
Rayu menjauhi gue. Sangat wajar. Mungkin dia nggak suka keputusan gue yang nggak pengen kami pacaran. Gue harus menerimanya.
Tapi sampai akhir semester, kami tak pernah saling bicara lagi. Semua obrolan kami berubah formal dan tanpa basa-basi seakan gue baru bertemu dengannya kemarin sore. Yah, Negan yang hanya Rayu saja yang tahu pun, masih Rayu saja yang tahu.
Gue belum membiarkan seorang pun menggantikan posisinya.
17 Januari, hari ulang tahunnya. Satu pesan itu berhasil masuk ke notifikasinya setelah sejam penuh gue bertarung habis-habisan dengan rasa gengsi gue.
Negan Alvinzo
Selamat ulang tahun, Rayu
Dan chat itu terbaca di hari ulang tahun gue.
26 Februari. Pintu kamar gue diketuk-ketuk, entah pukul berapa.
"Happy birthday, Negan. Happy birthday, Negan. Happy birthday, My Relationship Without Status. Happy birthday, for you."
Lampu dinyalakan. Mata gue terbuka dan langsung silau oleh cahaya lampu itu.
Bentar, pusing.
Dengan penglihatan masih kurang jelas karena belum sadar sepenuhnya, gue menemukan sosok dua manusia masuk ke kamar gue dengan kue ulang tahun di antara mereka, entah siapa yang megang. Gue mengucek-ngucek mata.
"Gue balik, ya."
"Woy, Bir."
Biru? Satu lagi siapa?
Satu orang pergi, menyisakan satu orang lagi bersama gue.
Dia memegangi kue yang agak besar tersebut dengan gemetar.
Perlahan, gue kenali wajahnya.
Rayu.
Gue lagi mimpi, ya?
"M-Make a wish, Neg."
Harapan? Satu-satunya harapan gue adalah semua ini bukan mimpi.
"Ray?" gumam gue, nyawa belum juga kekumpul.
"Iya?"
"Kamu ngapain ke sini? Sekarang jam berapa?"
"Jam dua belas. Ulang tahun lo."
"Cubit aku."
"Hee?"
"Eh, jangan. Aku nggak mau bangun."
"Lo udah bangun."
"Nggak."
"Why?"
"Kamu belum maafin aku."
"Lo nggak bikin salah."
"Maafin aku, Ray."
Air matanya yang turun membuat mimpi itu luntur. Luntur dalam persepsi gue. Dia beneran di sini.
"Tiup dulu dong. Gue pegel nih."
Gue meniup api lilinnya. Angka satu dan delapan. Wajahnya semakin terlihat.
Tapi dia masih menangis.
"Maafin gue."
Tak ada lagi kue ulang tahun di antara kami. Dan satu hal yang terulang, dia selalu memeluk gue di saat dia bilang dia kangen gue.
Kangen 'Negan yang hanya Rayu saja yang tahu', atau Negan yang semua orang kenal?
Yang mana pun itu, dua-duanya sama-sama suka Rayu.
Kami berdiri di balkon kamar gue setelah gue memberinya jaket. Pukul setengah satu malam.
"Aros udah ngasih tahu gue. Lo nggak mau pacaran. Tapi gue tetep penasaran dan malah ngira confess lo itu sebagai tanda kita jadian. Yang sebenernya salah tuh gue, Neg."
"Aku juga, Ray. Aku deketin kamu, flirting terus-terusan, bahkan sampai nyatain suka tapi nggak ada niat pacaran, aku—"
"Red flag. Gue udah tahu. Cuman ya, gue masih penasaran sama elo."
"Kenapa? Aku nggak menarik."
"Bullshit."
"Serius."
"Tahu nggak, gue ketemu dua cowok mirip lo di Netflix. Pertama drama china. Pinter, pendiem, act of service, tapi gengsian. Nama panggilannya Rangrang. Terus drama korea. Super baik hati, super perhatian, lucu, diam-diam banyak cewek yang naksir. Nama marganya Lee. Mereka terus ngingetin gue sama elo."
"Masa, ah."
"Sama-sama ganteng juga."
"Ray."
"Gue mandang fisik juga dong, Neg. Gue nggak sembarang deketin cowok yang menurut gue tampangnya nggak oke."
"Ciptaan Tuhan nggak boleh kamu ejek-ejek."
"Bener kata Agita, sih. Move on dari lo itu susah. Apalagi abis lo ngucapin ultah ke gue dan gue mati-matian nggak buka, gue mutusin buat... balik ke elo."
Gue diam.
"Tapi Brigitta bilang, kita nggak cocok." Rayu menyimpan dagu di lipatan tangannya, melihat gue sambil tersenyum. "Katanya kita nggak cocok, Neg. Gimana dong?"
Rambut gue garuk. "Emang omongan dia harus kita dengerin?"
Lalu Rayu tertawa.
Gue juga.
"Btw wish lo apa?"
"Udah terkabul."
"Apa?"
"Ini bukan mimpi."
jupiter.
Gue nggak tahu apa Rayu cinta monyet gue, cinta semasa remaja gue, teman istimewa yang tahu sisi gue yang lain, atau nantinya dia akan gue perjuangkan hingga akhir.
Rayu itu... semua laki-laki waras seumur gue pasti akan bilang dia cantik. Tetapi dirinya ketika memakai kacamata bulat itu, hanya gue saja yang bisa memujinya.
Rayu itu... temannya Brigitta. Temannya Agita juga, mantan gue. Mereka tipe cewek yang paling ingin gue hindari karena memang sangat nggak cocok dengan orang seperti gue. Tapi tawa dia selalu menular kepada laki-laki yang sangat jarang tertawa ini.
Rayu itu... dia tipe cewek gue seandainya gue ditanya apa tipe cewek gue. Galak. Biar asyik diajak obrol. Dan Rayu itu galak banget.
Gue nggak tahu kenapa kami bisa dekat. Entah gue yang memang mendekatinya, atau... ternyata gue bisa deketin cewek, ya? Hebat lo, Negan.
Meski gue suka Rayu, gue nggak mau menjadikan dia pacar. Gimana kalau putus? Apa kami bakal canggung terus seperti gue dan Agita? Dan berarti dia nggak boleh dekat sama laki-laki lain? Janganlah. Bukan gue saja yang boleh bebas berbincang dengannya. Dia perlu bergaul dengan semua orang.
Tapi Bunda, meski sekali lagi Negan suka Rayu dan ingin terus memberinya perhatian, Negan harap Negan nggak ngelupain Bunda. Makanya Bunda harus sering ada di rumah biar Negan nggak kepingin ke luar buat ketemu Rayu. Jangan lembur terus, Bun. Negan kesepian. Nggak usah kebanyakan kerja juga. Negan udah cukup bahagia kok dengan Bunda ada di rumah.
Oh ya, tahu nggak, Bun? Negan pernah mikir Negan punya adik. Jangan kakak. Negan pengen Negan yang bimbing dia, bukan Negan yang dia bimbing. Seru ya, kalau punya adik. Tapi perempuan deh. Biar nggak resek.
"Nih, kado dari gue."
Rayu menjulurkan sebuah kotak berwarna biru dongker ke hadapan gue. Dilihat dari luar, terlihat sekali itu barang yang mahal.
"Boleh aku buka?"
"Buka aja."
Sebuah jam tangan hitam. Dari mana dia tahu gue ingin benda ini tapi selalu nggak sempat beli?
"Dipake, ya."
"Tunggu bentar."
Gue masuk ke dalam, mengambil hadiah terbalut bungkus kado yang gue kira gue nggak akan pernah bisa kasih ke Rayu.
"Buat kamu."
"Kado ulang tahun?"
"Iya."
"Kenapa ngasihnya sekarang?"
"Kamu sendiri yang bilang aku orangnya gengsian."
Rayu tertawa lagi.
"Gue udah dapet kadonya kok."
"Hah?"
"Wajah bantal lo."
Sialan. Pasti jelek banget!
Rayu pun membuka hadiah tersebut.
"Kacamata? Lo lebih suka gue pake kacamata, ya?"
"Senyamannya kamu aja, sih."
"Elah. Tinggal bilang iya aja apa susahnya, sih."
"Ya udah, iya."
"Iya apa?"
"Iya itu."
"Itu apa?"
"Nggak bisa jawab, aku orangnya gengsian."
Tapi sebenarnya bukan gengsi, sih. Cuma malu.
"Neg. Semisal bokap gue nikahnya sama nyokap lo, kita bakal jadi saudara tiri, loh. Lo bakal tetep suka gue nggak?"
"Harusnya kan nggak boleh."
"Iya harusnya. Tapi kenyataannya?"
"Susah sih, Ray."
"Apanya?"
"Nggak suka cewek secantik kamu."
"Tuh kan, flirting lagi."
"Kelepasan."
"Oke, kayaknya gue juga bakal tetep suka lo."
"Yakin nggak bakal benci?"
"Kenapa ngomong gitu?"
"Nggak tahu, ngerasa aja."
"Yah tapi, syukur deh Aros yang jadi saudara tiri gue."
"Iya, syukur."
"Gue nggak bisa bayangin kalau kita saudara tirian."
"Aku bakal jagain kamu, sih."
"Dengan perasaan terlarang itu?"
Gue tertawa.
Ada-ada saja.
Mana mungkin hal itu terjadi.
.
Note dari Rayu untuk Negan.
Ini musim panas yang kejam karena cowok yang suka ke gue nggak mau pacaran!
.
a.n.
halo ini adalah (what if) dari ceritaku berjudul take her to the saturn. one-shot, stand alone, nggak berhubungan sama cerita asli tp info-info di dalamnya tetap valid seperti nama panjang biru dan navy, dan agita yang seorang mantan pacar negan.
baca cerita aslinya untuk menyaksikan patah hati negan dan rayu karena nyatanya mereka berdua memang bersaudara tiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro