21. "omong-omong, tadi aku melihat gambarmu."
[hangout]
Chee-Luck
meminta senyum, dikasih tawa.
.
Aku tersenyum-senyum menghadap hasil gambarku di atas pensil dan kertas. Aku tahu ini akan kedengaran gila jika Luck sampai melihatnya, tapi tidak seorang pun bisa menghentikan aku!
Luck mengunyel-ngunyel pipiku.
Luck mencium keningku.
Di sana.
Di sana.
Di gambar itu.
Huh....
Segala sesuatunya sangat gampang terjadi di atas kertas. Tapi bukan berarti aku ingin digituin sama Luck loh, ya.
Ah, terlalu jelas ya berbohongnya?
Sudahlah. Asal Luck tidak melihat ini. Nanti aku akan malu habis-habisan.
"Kalian tuh masih kecil, Kak."
Kelamaan melamun, tahu-tahu saja lembar-lembar kertas gambaranku yang semula berada di meja, kini melayang-layang di tengah genggaman jail adik laki-lakiku.
"Hey, siniin!"
Aduh. Kenapa aku harus mengalami adegan klise seperti ini dengan adikku?
Mau berusaha seberapa keras pun jika lawan bertarungmu lebih tinggi darimu, harapan kemenanganmu nol. Dan jika kamu memaksakan kehendak, tidak, aku tidak mau membayangkannya!
Maka aku langsung menyerah dan kontan membuat adikku cemberut. Mengalah malah membuatku menang. Aku tersenyum mengejeknya.
"Masih kecil gimana. Kami udah 18 tahun!"
"Oh, Luck seumuran Kakak?" Wajah tercengangnya terkesan natural. "Tapi kok kayak bocah umur 15 tahun."
"Diem." Aku tidak terima temanku dihina adik sendiri.
Teman?
Yah. Teman.
"Aku kasih ini ke dia, ya."
"JANGAN."
Dalam satu lompatan cepat, aku mencoba meraih kertas gambaranku dari tangan teracung adikku. Tapi itu membuatnya terkejut sehingga kertas yang kini sama-sama kami genggam tersebut robek menjadi dua bagian sebab pijakan adikku pun goyah.
Robek.
Kertas bergambar diriku dan Luck yang kubuat semalaman kemarin robek di tanganku dan adikku.
Tidak. Kalau saja dia tidak jail begitu, aku masih bisa menikmati gambar itu kapan pun aku merasa butuh tersenyum.
Dan hari ini aku benar-benar butuh tersenyum.
"Maaf.... Kak."
Di tengah keterdiamanku, adikku menaruh sepasang kertas robek tersebut kembali ke meja kerjaku. Melangkah keluar, lalu menutup pintu.
Satu menit berada dalam keheningan, sesuatu meluncur ke pipiku berbarengan dengan terbukanya jendela kamarku.
"Chee, ayo kita bermain...."
Mengikuti asal suara, aku menolehkan kepala ke titik Luck muncul. Dan tidak ada dalam rencanaku menunjukkan tangisan ke teman bermainku itu.
"Chee."
Aku memandanginya yang melompat melewati jendela untuk masuk ke dalam sini. Aku tidak bisa berpikir apa-apa, tidak terlintas dalam benakku bahwa tindakan Luck ini sedikitnya tidak diperbolehkan karena diam-diam masuk ke kamar perempuan.
Setelah berdiri di hadapanku, ditatapnya diriku yang terus menangis dan tidak berniat menghentikan tangisan. Seluruh beban kesedihanku tumpah dalam wujud tangisan yang orang-orang kira mungkin penyebab terbesarnya adalah kertas gambaranku yang robek barusan. Padahal lebih dari itu.
"Luck...." Aku maju satu langkah untuk menyembunyikan muka di dadanya, menangis di sana.
Luck tak bergerak juga tak bicara apa-apa.
Dia membiarkanku berada di pelukannya (meski secara harfiah dia tidak memeluk) dan menumpahkan apa yang dia pikir harus kutumpahkan.
Aku tidak pernah ingin jika harus ke Luck. Biar dia teman yang selalu ada untukku, aku tidak mau melunturkan senyumannya karena masalahku. Masalah yang kupikir hanya olehku saja itu dianggap sebagai masalah.
"Aku ingin membiarkanmu terus menangis. Tapi kurasa tangisan tidak cocok tersemat terus di wajah imutmu ini."
Luck tiba-tiba membalikkan badanku. Pipiku yang semula didiami tangisan kini terganti oleh jari-jarinya yang memainkan pipiku.
"Kau boleh bersedih dan menangis di depanku kapan pun kau mau. Tapi hari ini cukup ya, Chee. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan."
Kupegang lengan Luck guna menghentikan pergerakan tangannya di pipiku, kemudian menengadah. Pada saat itu, Luck balas menatapku melalui pandangannya yang sedikit ditundukkan.
"Wah. Aku hampir bisa mencium keningmu, nih."
Segera aku melepaskan diri darinya, menyadari sekujur wajah memerah padam. Jantungku pun terpompa gila-gilaan.
Luck hanya tertawa saja. "Aku membuatmu gugup, ya?"
"Pokoknya jangan pernah lakukan itu!"
Kau pembohong besar, Chee.
Kau sangat tahu dirimu sangat menginginkannya.
Kuatur napas di tengah tatapannya yang terus tertuju ke arahku. "Tadi aku bilang aku ingin mengajakmu jalan-jalan, Chee. Tapi jika kau menginginkan sesuatu untuk melupakan tangisanmu tadi, katakanlah. Aku akan berusaha mengabulkannya demi mendapat senyumanmu kembali."
Astaga....
Aku tak pernah mengira entitas yang tercipta dari sihirku mampu membuatku merasakan kebahagiaan seperti melayang ke surga. Aku tak pernah mengira Luck akan memperlakukanku sebaik ini.
Dan hari ini aku benar-benar butuh tersenyum.
"Aku butuh tersenyum."
"Aku pun butuh melihatmu tersenyum."
Lalu beberapa lama kemudian, aku dan Luck makan es krim bersama. Es krim mahal yang sangat ingin kubeli tetapi tak bisa karena target tabunganku adalah bulu pena.
Bulu pena yang menciptakan Luck.
Itu sangat setara dengan perjuangan kerasku mendapatkan pundi-pundi uang.
"Ayo makan lagi, Luck! Kau makan sangat sedikit." Aku memarahinya sebab lambat sekali dia mencicipi krim itu dalam mulutnya. Kami berbagi cone yang sama, Luck yang memegangi.
"Kan biar Chee makannya banyak."
Aku pura-pura merengut sebal. "Ini kan kau yang membayarnya. Dan lagi pula, kau mendapatkan uang dari mana, sih?"
Aneh sekali melihat manusia fiksi mampu menghasilkan uang di dunia yang bukan miliknya ini.
"Menjadi pelayan kedai."
Sendokku berhenti di tengah-tengah udara. "Hah?"
Luck memperlihatkan raut berserinya. "Pelayan Kedai Banteng Hitam kebetulan sedang ada urusan saat aku berjalan melewati situ. Manajernya langsung menanyaiku mengenai beberapa hal. Dan karena wajahku katanya menarik, aku langsung lolos kriteria."
Hah. Cerita yang sangat aneh.
"Kau pasti setidaknya menghancurkan lima buah piring dan berisik karena kebanyakan tertawa."
Dan saat itu pun Luck langsung tertawa. "Kau benar-benar mengenalku ya, Chee. Untung saja kau yang menciptakanku ke dunia ini, bukan gadis lain."
"Apa maksudnya gadis lain?"
"Ada banyak kakak-kakak cantik yang mengajakku berkenalan sewaktu di kedai."
Berisik.
"Tapi aku tertariknya dengan gadis imut yang pintar menggambar saja." Luck menatapku lurus dan lekat. Senyumannya kala itu tidak terkesan jail. "Dan keinginanku hanya membersamainya seumur hidupku."
Tiga detik.
Tiga detik.
Tiga detik.
Tangan Luck yang memegang corong es krim tak sengaja kusenggol hingga kena sebagiannya ke wajah Luck.
Tiga detik.
Tiga detik.
Tiga detik.
Tawaku menyembur.
"Hee. Jadi aku harus mengorbankan wajahku dulu untuk membuatmu tertawa?"
Tawaku belum reda.
"Tak apa. Sungguh tak apa. Tawamu memang hal yang paling ingin kudengar hari ini."
Kemudian, di kedai es krim yang sepi itu, aku membersihkan wajah Luck dengan kain yang pelayan sana beri. Aku menggosok-gosok wajahnya keras sampai membuat hidungnya kemerahan.
Aku tertawa lagi. "Ups, maaf."
"Bukan. Bukan karena gosokan kainmu."
"Terus?"
Luck hanya memalingkan muka. Dan baru kusadari yang memerah bukan hanya hidungnya. Tetapi keseluruhan wajahnya.
Hari itu pun aku berhasil tersenyum.
dedicated to Clouchi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro