19. nagi yang tiba-tiba masuk dalam lamunku
[klub sastra]
Izanagi-Fuyu
Kenapa kami selalu saling?
.
Klub paling tidak populer, paling membosankan, paling serius, paling hening, mungkin jawabannya adalah Klub Sastra. Aku yakin di sekolah mana pun, klub satu ini selalu berada di luar jangkauan daftar klub yang harus kau ikuti. Yah, saking tidak menonjolnya. Anggotanya saja pasti sedikit. Isinya cuma orang-orang kutu buku, introvert, dan berbagai obrolan kaku yang bahkan olehku sendiri tak mungkin diikuti.
Intinya, tidak menarik.
Oh, aku hanya bicara realistis. Apa adanya. Maaf saja kalau terkesan menyindir atau ada yang tersakiti.
Tapi ... di sinilah sekarang aku berada.
"Ayo perkenalkan diri Senpai!"
Di suatu ruang sepi yang sangat kecil untuk ukuran tempat berkumpul klub, di temaram sinar matahari yang menyorot dari jendela, berdirilah aku di situ sedikit tanpa minat. Di hadapan empat orang yang tidak kukenal dan di samping kanan seorang adik kelas perempuan kecil yang terlampau bersemangat begitu tahu ada seorang kakak kelas yang ingin bergabung dengan Klub Sastra di tahun terakhir sekolahnya. Betul, aku sudah kelas 3. Tapi malah baru bergabung klub.
Senyumku kukeluarkan sedikit. "Izanagi. Dari kelas 3-3."
Gema tepuk tangan ringan bercampur dengan udara hangat sore hari. Kulihat, ada satu orang perempuan yang terlihat luar biasa bahagia di sana, tapi berusaha dia tampilkan dengan tidak mencolok.
"Kenapa Izanagi-senpai tiba-tiba ingin bergabung dengan klub sastra?"
"Tidak apa. Aku hanya ingin bergabung."
"Asyik. Kalau begini, Fuyu-senpai jadi ada teman seangkatan!"
Aku melirik ke seseorang yang bereaksi atas kalimat itu. Dia tersenyum lebar, menampilkan dua lesung pipit yang ... aku tak mau mengakuinya.
Kegiatan klub pun dimulai. Kursi tambahan telah diletakkan di salah satu sudut meja sana, tepat di depan yang bernama Fuyu itu. Dia lalu tiba-tiba mengajakku bicara, "Kamu suka baca yang genre-nya apa?"
"Hm?" sedikit kaget. "Non-fiksi."
"Hee."
Tidak bohong. Untuk ukuran buku yang membahas perihal tips mempertahankan mental saat hidup, aku memang terkadang membacanya. Terkadang.
Di hari pertama itu, semuanya tampak lumayan. Masih bisa kuikuti arah pembicaraannya meski sesekali aku dan Fuyu selalu tak sengaja saling menancapkan pandangan pada bola mata masing-masing. Aku sampai harus menyembunyikan mulut dengan dagu yang ditopang oleh tangan untuk meredam sesuatu.
Perempuan di hadapanku ini, aku tak tahu siapa dia. Padahal seangkatan, tapi tak sering aku menjumpainya di waktu-waktu santai luar jam pelajaran. Pasangan seangkatan. Hm.
Waktu bercakap berakhir, keadaan pun berubah menjadi hanya ada aku dan Fuyu yang tersisa di ruang klub gegara posisi kami yang paling jauh dari pintu, dan entah kenapa aku merasa itu agak disengaja.
"Nagi pulang naik apa?"
Tanganku berhenti menutup risleting tas, menatapnya. "Nagi?"
Wajahnya berseri. "Iya. Aku suka nama Nagi. Aku manggil kamu gitu aja, ya?"
Mengerjap, kenapa di hari pertama pertemuan kami ini, dia kelihatan begitu ingin bercengkerama dekat denganku?
"Sebelumnya, belum pernah ada yang manggil Nagi." Agak kikuk aku menjawabnya.
"Oh, bagus dong. Jadi aku satu-satunya yang manggil kamu dengan nama itu."
Apa-apaan.
"Pulang naik apa?" dia bertanya sekali lagi.
Aku tiba-tiba sulit bereaksi. "Kamu sendiri naik apa?"
Fuyu terlonjak dengan masih tersenyum. "Kok nanya balik, sih."
"Ya udah, kalau jalan dulu ke depan gimana?"
Begitulah jadinya. Karena tak ada jawaban mengenai 'pulang naik apa' dari pihak mana pun, hasilnya aku dan perempuan itu jadi berjalan bersebelahan menuju gerbang, di tengah koridor hening yang hanya terdengar dua langkah kaki bersahutan. Dan sekali lagi, aksi curi-curi pandang itu terjadi lagi di antara kami berdua.
"Nagi, kenapa gabung sama klub sastra?" tingkah percaya dirinya beberapa saat lalu di ruang klub memudar dan tergantikan oleh sikap malu yang terlalu jelas tergambar. "Aku lihat, kamu kayak yang bukan penggelut isi dan makna buku."
"Hm, emang."
"Terus kenapa?"
"Perlu banget jawabannya?"
"Pengen tau aja."
Oke, mari sedikit uji. "Kalau misal, laki-laki kelas 3 lain yang ikut klub sastra-"
"Em, aku lebih suka kalau itu Nagi, sih."
Aku menatap pipi merahnya secara sepihak, tak kuasa lagi untuk menahan senyum. Sebelah tangan kumasukkan ke dalam saku celana seragam musim panas, sebelahnya lagi ke jari-jarinya yang sedari dulu selalu ingin kugenggam.
"Yah, niatnya emang buat nemenin kamu, sih."
.
request by Fururun
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro