Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Panitia #RAWSBestfriend - Waiting You in Heaven oleh hunpeach

Cerita pendek berjudul Waiting You in Heaven karya hunpeach dipublikasikan sebagai salah satu cerita persembahan pantia Lomba Cerpen #RAWSBestfriend yang diselenggarakan oleh RAWSCommunity.

***

When the world is so complicated, the simple gift of friendship is within all of our hands.

Gadis itu tersenyum membaca quote dari Maria Shriver yang ia lihat di akun media sosialnya. Friendship bagi gadis itu memang lebih penting daripada jatuh cinta. Itu hanya menurutnya, tak peduli menurut orang lain. Karena bagi seorang Zeeya Balqist An-Noura, memiliki seorang sahabat sudah lebih dari cukup di hidupnya yang tak sempurna.

Sejak kecil hingga remaja, Zee hanya memiliki satu sahabat baik. Caliana Mahvash namanya. Atau biasa orang panggil dia, Cal. Dan bagi Zee, Cal adalah definisi sahabat yang sesungguhnya. Cal merupakan partner terbaik Zee dalam hal apa saja.

"Jangan makan nanas! Lo tuh minum susu aja udah. Nanti sesak napas lagi!" teguran itu membuatnya mendongak. Cal mendelik kearahnya.

"Gue pengen tau. Udah lama gak makan nanas," rengeknya seraya akan mengambil kembali buah kuning itu dari tangan Cal.

Tapi belum juga dapat, Cal sudah lebih dulu menoyor kepalanya. "Susu aja!" perintah kembaran Eunha Girlfriend –julukan dari Zeeya.

Bibir Zeeya mengerucut sebal, "Bosen. Masa tiap hari minumnya susu. Macem bocah!"

"Elu, 'kan, emang bocah dudul!"

"Coba di spasi atau di kasih titik gitu ngomongnya. Lo ngatain gue bocah dudul?"

Dan bahasan mereka pun berubah arah. Bukan lagi soal nanas melainkan sampai apa saja yang terjamah netra. Karena seperti itulah fungsi sahabat yang sebenarnya. Tak cukup membicarakan satu topik bersama mereka. Akan selalu ada topik-topik tak penting lainnya yang menemani pembicaraan kita.

"Eh Zee!" Cal menepuk pipinya lagi.

Zee yang sedang mengunyah sosis bakar mengerjap kaget, "Apasih!" sentaknya.

"Masih gak mau kasih tahu Gee?" kali ini Cal bertanya.

Kepala Zeeya menggeleng, "Kasian dia. Gue gak mau nambahin beban masalah dia lagi, Cal. Biarin semuanya gue tanggung sendiri." Gadis itu menjawab seraya kembali mengunyah sosis bakarnya.

Mendengar itu, Cal tak banyak bicara. Ikut melakukan apa yang Zeeya lakukan. Menghabiskan makanan yang telah mereka pesan sebelumnya.

"Ya tapi gue kasian, Zee. Kalau dia baru tau nanti-nanti. Mau gimana pun, Gemintang itu kembaran lo. Dia berhak tahu tentang kondisi lo." Cal kembali bersuara, menatap lekat sahabat karibnya.

"Buat apa? Sehat atau enggaknya gue, lebih baik dia gak tahu. Bokap sama nyokap udah terlalu ngebebanin dia, Cal. Jadi cukup lo aja yang tahu masalah ini, udah cukup buat gue."

Cal kembali menghela napas, "Terserah deh. Gue tetep akan pasang badan kalau Gee menodong gue dengan beribu pertanyaan nantinya," ucapnya.

"Lagian Gee bakal ke Mesir kok. Kalau dia berangkat kesana, gue aman."

"Gak akan aman selamanya!"

"Ya setidaknya gue gak akan ketahuan dia. Gee berhak bahagia."

"Memangnya lo gak berhak bahagia?" Cal menaikkan sebelah alisnya.

Sedangkan sahabatnya itu terkikik geli mendengar nada sewot dari Cal. "Gue bakal bahagia. Di tempat ... yang lebih indah," balasnya.

Yang bersamaan dengan ketukan di dahinya. Satu jitakan berhasil mendarat di dahi gadis bernetra cokelat terang itu. Membuatnya memanyunkan bibir bawahnya sebal, apalagi ketika sang pelaku mendelik tak suka.

"Stop it! Lo masih harus nemenin gue sampai seribu tahun lagi!" Begitulah Calia berkata.

"Kak Revan gak mau gabung?" Suara Zee mengalihkan ucapan terakhir Calia. Menyebut satu nama yang mampu membuat gadis berambut sebahu itu terdiam tanpa kata.

Good!

"Gak ganggu?" Revan yang berada tepat di sebelah Zeeya bertanya.

Zee menggeleng cepat, "Engga dong! Ya 'kan, Cal?" ujarnya.

Cal tak menoleh, mengangguk saja sebagai jawaban agar semuanya tak terlalu lama. Karena demi apa pun saat ini rasanya dia mau menceburkan Zeeya ke Samudera Hindia.

"Gak deh buat kali ini, Zee. Gue sama temen-temen gue rame. Gak akan cukup di sini. Gak papa, 'kan?" tanya Revan.

Zeeya mencebik tapi mengiyakan, "Ah! Kak Revan pehape! Sedih akutuh," candanya.

Pemuda tergelak, menggeleng pelan lalu kembali bergabung bersama teman-temannya. Membuat Calia menggeram seakan akan menerkam Zeeya detik itu juga.

"Sebel ih! Padahal 'kan, seru bisa ceng-in Cal," dumel Zee membuat sang korban menoyor dahinya.

"Lo tuh ngomong ... seolah-olah gue gak ada di depan lo ya!" kesal Cal.

Zeeya menopangkan dagunya di atas meja. Menatap lurus Cal yang seolah sudah mengeluarkan asap di kepala.

"Gue itu sahabat yang baik. Pantang ngomongin temen di belakang! Ntar jadi fitnah. Apalagi kalau nuduh orang tanpa bukti. Karena teman, ingatlah, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan," jawabnya dengan wajah polos tanpa dosa.

Membuat Cal hanya bisa mengelus dada. Berucap istighfar dan sabar mempunyai teman se-absurd Zeeya. Tak ambil pusing dengan ucapan sahabatnya, yang entah apa maksudnya.

"Awas aja kalau lo ngejelekin gue di belakang!" ancam Calia.

Zee mendengkus kecil, kembali menikmati bakso yang tadi sudah dipesannya selain sosis. "Kalau gue begitu, lo gak akan mau temenan sama gue sampai hari ini, Cal," katanya santai dan Cal menyetujui ucapan sahabatnya.

Keesokan harinya, Zeeya drop lagi. Selalu seperti ini jika gadis itu kelelahan. Membuat Cal berusaha mencari alasan, untuk membawa Zee ke rumah sakit tanpa ada satu pun teman mereka yang curiga. Meminta izin pada guru piket lalu bergegas mengambil tas miliknya dan Zee di kelas. Walau sedikit terhambat ketika satu netra tajam seolah menusuk punggungnya meminta penjelasan.

"Zeeya mana?" tanya Athar membuatnya menoleh.

Cal menaikkan sebelah alisnya lalu mengibaskan ujung rambut bob sebahunya. Ia berhasil membuat remaja tampan itu berdecak.

"Gue serius nanya, Cal." Athar kembali bersuara.

Cal menatap Athar kemudian bersedekap, "Zee harus izin. Dia punya jadwal lomba di sekolah lain," jawabnya seraya bergegas meninggalkan kelas.

Selalu seperti itu. Cal tidak memiliki alasan lain untuk menyelamatkan Zee atas semua bolos yang gadis itu lakukan. Zeeya bukan bolos karena gadis itu pemalas. Percayalah, segila apa pun Zee dan Cal. Mereka tidak memasukkan daftar alfa sebagai absen favorit mereka.

Berapa banyak coba stok dosa gue gegara lo, Zee!

"Titip salam untuk Zee. Semoga lekas sembuh." Sampai suara itu menghentikan langkahnya. Menoleh ke belakang dan menemukan seorang pemuda lain tersenyum tipis ke arahnya.

"Kak Revan? Lo ... tahu?"

Revan memasukkan tangannya ke saku celana. Berjalan menuju Cal yang berhenti tepat di antara selasar kelas XII dan ruang kesehatan. Pemuda itu menunjuk UKS dengan dagunya.

"Lo mau kesana, 'kan? Berarti Zeeya sakit. Benar?" tebaknya.

Hufh ... selamat.

Dengan kaku Cal mengangguk, "I ... iya. Dia ... cuma ... sakit perut aja kok," jawabnya.

Mendengar itu Revan mengerti. Lalu berpamitan menuju kelasnya tanpa tahu jika gadis tadi menghela napas lega. Setidaknya Cal menepati janjinya pada Zee. Bahwa tidak boleh ada satu orang pun yang mengetahui tentang penyakit Zeeya. Leukemia stadium II. Terakhir mengecek kondisinya, bahkan hampir masuk stadium III. Tapi gadis itu tidak mau dirawat, Zee si keras kepala masih sok kuat menjadi gadis tangguh. Padahal dia butuh semua perawatan rutin itu.

Membuat Cal lagi-lagi hanya bisa menghela napasnya panjang. Menatap iba sahabatnya yang kini telah pucat pasi di atas ranjang pesakitan. Meminta penjaga ruang kesehatan untuk membantu membawa Zee menuju parkiran. Karena sudah tugas Cal, untuk mengembalikan Zeeya ke rumah sakit tetap sahabatnya.

Cal mengerutkan dahinya dalam. Baru saja ia masuk ke dalam mobilnya, hujan deras datang tiba-tiba. Membuatnya menatap cairan yang tumpah dari langit itu dengan sedikit cemberut.

"Kok hujan, sih," dumelnya.

Tapi jemarinya tetap lanjut men-stater mobil. Menyalakan mesin untuk kemudian melanjutkan perjalanannya menuju rumah sakit. Bahkan agak sedikit panik ketika Zee mengerang sambil memegang kepalanya. Membuat gadis itu mencoba menaikkan sedikit kecepatan mobilnya.

Tiga belokan dari sekolah mereka. Putaran ban mobil yang mengencang akibat penambahan kecepatan dari pengendaranya. Mengakibatkan elakan tak terbantahkan ketika sebuah mobil lain melaju dari arah berlawanan dengannya.

Hingga suara decitan memekakkan telinga. Bantingan stir menjadi solusi paling utama. Selanjutnya, suara dentumanlah yang memasuki indera.

Sebelum semuanya senyap, sepi, dan gulita yang menyapa.

Tuhan, jika ini akhir dari hidupku. Maka kutitipkan sahabatku padaMu. Tolong ... bahagiakan dia selalu.

Do'a Cal, sebelum netra kelamnya menutup dengan sempurna.

Zeeya pikir, dirinyalah orang pertama yang akan meninggalkan dunia. Zeeya pikir, dirinyalah yang akan membuat Cal menyendiri di bentala yang fana. Zeeya tak pernah menyangka semua akan menjadi seperti ini. Menatap gundukan di depannya dengan meneguk saliva lamat-lamat.

Tenggorokannya terasa kaku, lidahnya terasa kelu. Tak pernah sanggup berkata apa pun ketika ia harus menginjakkan kakinya ke tempat ini. Entah untuk keberapa kalinya, Zeeya masih belum bisa terima. Menyalahkan dirinya sendiri karena telah membuat semuanya menjadi seperti ini. Sebelum perkataan seseorang membuatnya mengerti. Tak ada yang mengetahui takdir dari Tuhan mereka. Karena kehidupan ini tak abadi.

"Gue dateng lagi. Bawa kabar bahagia. Gue udah selesai UN. Walaupun gue gak yakin, kalau gue bisa lanjut kuliah. Gue pesimis, Cal. Karena lo gak ada lagi di sini," ucapnya pelan, "dan ternyata donor sumsum belakang dari lo gak terlalu berhasil. Walau gue tetap berterima kasih, lo sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Bersedia jadi donor gue, memberikan itu secara percuma, di saat yang menurut lo tepat. Tapi seminggu yang lalu, dokter bilang gue harus lanjut kemoterapi. Penyakit itu sudah terlalu mendarah daging di tubuh gue. Tapi ... gue gak sedih, gue bahagia." Zeeya menebarkan helaian bunga melati dan mawar putih di atas gundukan hijau di depannya.

Netranya menyipit ketika ia mendongak. Senyum tak luntur menatap cakrawala yang membentang luas di atas sana. Seolah menyapa seseorang yang kini menunggunya. Hingga dalam diam, dua sudut netranya telah dibasahi air mata.

Terima kasih Tuhan, telah menghadirkan dia yang membuatku sadar, bahwa cinta masa remaja tak selamanya jadi topik utama.

Terima kasih Tuhan, telah menghadirkan dia yang membuatku ikhlas atas semuanya. Aku pernah menemaninya ketika maut itu berada di ambang batas hidupnya. Dan kini, aku mengikhlaskan dia kembali kepadaMu yang berhak atasnya.

Terima kasih Tuhan, telah menghadirkan dia yang kuharap akan bertemu lagi dengannya, di tempat terbaik yang Engkau beri pada hamba.

Lalu dalam tunduknya, Zeeya kembali berkata, "Lo bener, Cal. Gue memang harus nemenin lo sampai seribu tahun lagi. Gue akan ketemu sama lo. Dan kita bakalan selalu bersama, selamanya. Di tempat terindah dariNya."

🍁🍁🍁


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro