Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Panitia #RAWSBestfriend - MOTIF oleh MosaicRile

Cerita pendek berjudul MOTIF karya MosaicRile  dipublikasikan sebagai salah satu cerita persembahan pantia Lomba Cerpen #RAWSBestfriend yang diselenggarakan oleh RAWSCommunity.

***

"A real friend is one who walks in when the rest of the world walks out." -Walter Winchell

JAKET kulit yang dikenakan sudah bau keringat. Napas beradu, sisa-sisa perlawanan. Belum  lagi matanya hanya menangkap segaris cahaya yang minim petunjuk ke mana  pria itu menuntun. Sebuah tangan besar di belakang sesekali mendorong punggungnya dengan kasar, ia hampir terjerembap saat menaiki anak tangga yang disemen sekadarnya.

Pantatnya bertemu dengan lantai, ia duduk terpaksa di belakang sebuah tiang. Bunyi suara tarikan selotip ditangkap telinga, kedua tangan menyatu ke belakang pinggang, diikat oleh benda perekat yang kian lama menggulung tebal dan memancarkan hawa panas di kulit, gerah dan sesak. Tak bisa lagi meronta karena kedua pergelangan kakinya menerima nasib sama, sudah diikat, diselotip pula.

Sarung kain hitam yang sedari tadi membungkus kepala akhirnya dibuka. Matanya perlu menyesuaikan cahaya. Hal pertama yang dilihatnya adalah seorang pria  kurus kering dengan ukuran bola mata yang kelewat besar, mulut yang lebih menonjol daripada hidung, serta bekas luka bakar di kepala yang  membuat rambut hitam hanya tumbuh di sebelah kiri. Pria buruk rupa itu  menyulut rokok, sesudah itu ia melepas ikatan kain yang membekap mulut tawanannya.

"Nama!" Suara pria itu tak enak didengar.

"Sial! Lepaskan! Ayahku akan—"

Pria itu meninju pipinya, kemudian memeriksa seluruh tubuh dan menemukan ponsel pintar yang tersimpan di celana seragam abu-abu.

"Orang tuamu akan datang membawa uang yang kuinginkan dan kamu bisa bebas, tapi aku perlu tahu  siapa namamu, Bocah," kata pria itu dengan santai.

"Glenn," jawabnya pasrah.

Ia memperhatikan pria itu duduk sambil menggulir layar ponsel yang baru saja direbut. Bergumam tak jelas, mendengkus singkat, sampai akhirnya pria itu mendekatkan ponsel ke telinga.

"Hu-um. Anakmu  bersamaku, serahkan uang. Tunai." Cara bicara pria itu putus-putus,  matanya berpindah untuk mengawasi Glenn kemudian sepatunya sendiri.

Glenn mengembuskan napas kesal. Dengan kedua kaki dan tangan terikat erat, ia berusaha memutar otak untuk kabur. Pria itu mendekati Glenn, menempelkan ponsel sambil  mengatakan bahwa ibunya ingin berbicara.

"Ma ... Ini Glenn."

"Ya, Tuhan! Glenn! Kamu baik-baik saja, Nak?"  Teriakan histeris ibunya di seberang telepon membuat jantung Glenn  berdegup kencang, ia khawatir trauma yang dialami wanita itu.

"Aku baik-baik saja, tenang, Ma. Aku akan cari cara untuk—"

Belum sempat ia melanjutkan kata-kata, pria itu menendang kakinya dengan kuat hingga  Glenn mengaduh. Suara ibunya di telepon terdengar seperti sedang memohon-mohon.

Lelaki jangkung tersebut menyeringai, mengusap rambut yang tumbuh tak beraturan di sekitar dagu. "Besok pagi, tanpa polisi. Kalau aku belum menerima uangnya, aku akan meledakkan tubuh anakmu." Setelah mengancam, pria itu memutuskan  sambungan.

"B-bagaimana caranya kamu mendapatkan uang itu tanpa bilang kita ada di mana?" Glenn harus  berbicara, mencari tahu di mana dirinya disekap.

"Itu urusanku."

Pria itu mulai serius mengutak-atik tabung bekas di atas meja persegi kecil. Ada kotak berisi perkakas dan paku yang bertebaran di meja, pria itu tampaknya benar-benar sedang merakit bom.

"Kamu ... kamu tahu namaku, jadi, namamu siapa?"

Lawan bicaranya menghentikan gerakan, tetapi menampilkan senyum culas yang terlihat samar. "Orang memanggilku, penculik, perampok, pembunuh, teroris,  pemerkosa, tergantung korbannya kuapakan."

Glenn merutuk dalam hati, ia berhadapan dengan penculik berpengalaman. Si penculik berdiri lagi dari kursi dengan membawa kotak perkakas bersamanya, ia melangkah ke sebuah pintu besi berkarat dan menghilang dari pandangan Glenn.

Ditinggal sendiri, Glenn berusaha melepas gulungan selotip yang membalut pergelangan tangan dengan menggeseknya pada sudut tiang. Glenn nyaris menyesali tindakan  heroiknya menyelamatkan seorang gadis kecil tadi sore. Jika ia pura-pura tak tahu, sekarang ia sudah sampai rumah dengan selamat. Jika ia  berpikir cukup panjang dan tidak menghalangi si penculik membawa pergi  gadis kecil itu, mungkin bukan ia yang menjadi korban. Ibunya juga tidak perlu memberi uang. Tidak akan ada masalah. Namun, jika gadis kecil itu yang diculik, sudah pasti tak bisa bertahan dalam keadaan seperti ini.

Ruangannya pengap, mungkin hanya 3 x 4 meter, tidak ada kipas angin atau ventilasi udara. Dindingnya tidak dicat, lantainya tak berkeramik. Baunya seperti ruang  penyimpanan tua yang tak terurus, banyak jaring laba-laba yang menumpuk di tiap sudut ruangan. Lengannya mulai terasa sakit dan ia kelelahan untuk membebaskan diri.

Penculik itu masuk lagi ke ruangan, Glenn memutar otak lagi. Beberapa detik kemudian Glenn terbatuk-batuk, napasnya terengah-engah seperti kehabisan oksigen.

Glenn memelas. "T-tolong."

Tak ada jawaban, batuknya menjadi semakin parah hingga mengusik si pria penculik. Lelaki  itu mendekati Glenn, membungkuk hanya untuk mengamati.

"Ro ... rosario. Aku b-b-butuh ... di saku celanaku."

Pria itu merogoh saku celana Glenn untuk mendapatkan kalung rosario dengan butir warna abu-abu, kemudian meletakkan di sela-sela jari tangan Glenn yang tidak tertutup selotip. Perlahan, napas Glenn kembali teratur.

"Kamu percaya pada Tuhan?" Glenn cukup terkejut ketika penculik itu memilih untuk berbicara padanya.

"Y-ya. Kamu?"

"Tuhan tidak percaya padaku," begitu jawabannya.

"Aku punya penyakit asma. Tiba-tiba bisa kambuh, kalau dingin, atau kalau panik. Ayahku memberi kalung rosario dan menurutnya, ini membuatku tenang. Sejak itu  aku selalu membawa kalung ini bersamaku."

"Kamu tidak lagi butuh itu nanti, kalau sudah mati."

Jeda.

Diam-diam Glenn meraba kalung dengan jempol, mencari ujung salib yang tajam, mencoba membuka ikatan selotip dari dalam secara perlahan agar tidak menimbulkan curiga.

"Kenapa mengincar anak kecil itu?" tanya Glenn tanpa sadar.

"Aku sudah mengawasinya, anak orang kaya. Aku bisa mendapatkan miliaran uang. Tapi kamu mengacau. Tidak apa. Kelihatannya kamu anak manja yang kaya."

Glenn tertawa kecil, nadanya terdengar seperti sanggahan. "Kamu salah. Mengapa begitu menginginkan uang?"

Pria itu kembali duduk di kursi, tak jauh dari tempat Glenn. Ia kembali menekuni rakitannya di atas meja.

"Ayahku seorang psikiatri forensik, dia bertemu banyak orang jahat—"

"Kamu bertemu salah satunya, aku. Atau mungkin satu-satunya orang jahat yang membuatmu sampai ingin kencing setelah aku menyelesaikan benda ini. Aku juga orang  terakhir yang akan kamu lihat kalau ibumu tidak berhasil membawakanku uang."

"Dan kupikir kamu tidak jahat," tegas Glenn, ia menaikkan volume suara.

Pria itu menertawakannya sampai-sampai urat di kepala botaknya kelihatan. Glenn menunggu sampai si penculik berhenti tertawa. "Tidak ada orang jahat. Hanya otaknya yang terganggu. Trauma? PTSD? Psikopat? Tidak ada yang benar-benar jahat.  Mereka semua melakukan kesalahan dengan menyakiti orang lain. Dengar, itu kesalahan, tapi kamu bisa berubah."

"Otakmu yang terganggu, Bocah."

"Ayahku mengajariku bagaimana caranya melihat yang baik dari yang buruk. Ketika dia  menemukanmu nanti—oh dia bisa membaca jejakmu dan akan kemari sebentar  lagi—tapi aku ingin kamu memiliki pemahaman yang sama denganku. Bekas luka itu, jari-jari panjangmu yang kurus dan kasar, ekspresi wajahmu. Aku tahu kamu tidak—"

Pria itu menutup mulut Glenn dengan selotip, perlakuannya semakin kasar. Glenn tahu bahwa rakitan itu sudah jadi dan kini si penculik memasang tabung-tabung itu pada dadanya, melingkari tubuh Glenn dengan kabel tiga warna, kemudian menghidupkan pengatur waktu yang bergerak mundur. Sudut mata Glenn mengeluarkan air mata karena panik.

"Menangis, karena itu tindakan yang benar. Kamu terlalu berani dan banyak bicara. Bergerak terlalu agresif akan memutuskan salah satu kabel dan meledak sebelum  waktunya. Aku bisa mengincar gadis kecil itu lagi kalau kamu mati—atau—kamu bisa duduk tenang menunggu ibumu membawa uang. Setelah itu akan kupertimbangkan apakah aku akan membiarkanmu hidup. Dan ingat, memegang rosario atau mencoba memotivasiku agar berubah menjadi suci  hanya dapat mempersingkat hidupmu. Kalau kamu peduli padaku, minta ibumu  melipatgandakan uangnya. Anakku sakit. Sakit parah."

Setelah itu ruangan kembali hening. Pria itu kembali bernegosiasi dengan ibu Glenn di  telepon, meminta uang tambahan, kemudian pergi untuk waktu yang cukup lama. Glenn sudah dapat mengendalikan diri meski suara waktu yang  bergerak mundur membuatnya gelisah tiap saat. Area geraknya semakin  sempit, dan yang bisa ia lakukan adalah terus memotong selotip dengan salib, sementara kemungkinan berhasil hanya lima persen.

Asmanya benar-benar kambuh dan udara yang dihirup terasa menyekat kerongkongan. Yang Glenn pikirkan adalah, kalau ia mati, ibunya akan berusaha bunuh diri. Bukan itu yang Glenn inginkan. Pikirannya menerawang, rasanya jaringan di kepala Glenn ikut terbelit. Hingga air menyiram kepala dan membuat matanya kembali fokus. Penculik itu kembali lagi dan sudah melepaskan selotip di mulutnya.

Dengan gaya santai, pria itu duduk di kursi sambil membuka bungkusan makanan.

"Selamat pagi, dua jam lagi. Aku menelepon ibumu dan dia akan segera bertemu denganmu, hidup atau mati, kita lihat nanti."

"Jangan ganggu dia." Adalah kalimat pertama Glenn. Ia tak sadar bahwa mungkin ia pingsan atau  tanpa sengaja tertidur. Menyadari bahwa penculik itu mengucapkan selamat pagi menandakan ia telah disekap sejak semalam. Pria itu tak tahu bahwa Glenn berhasil membuka ikatan tangan dari dalam, tinggal satu hentakan saja tali pengaitnya lepas.

Glenn diberi minum.

"Ayahku sudah meninggal," aku Glenn.

Pria itu memandangnya dengan sebelah alis yang terangkat.

"Ketika bekerja. Salah satu tahanan yang sedang diperiksanya kabur, mendatangi rumah kami. Menghancurkan seluruh barang. Tahanan itu mau memotong tubuhku dengan  parang, tapi Ayah mendorongku. Aku melihat tahanan itu memotong leher Ayahku hingga nyaris putus, berkali-kali. Ibuku trauma, dia tak bicara selama satu tahun penuh. Sebelum tahanan itu membunuh Ayahku dengan  brutal, Ayahku bilang dia adalah tahanan yang bisa sembuh. Ayahku percaya dan ingin mendengarkan masalahnya. Ayahku bilang, semua makhluk hidup membutuhkan orang lain seburuk apa pun rupa dan kelakuannya, untuk bersama-sama memperbaiki yang rusak. Dia berteman dengan siapa saja."

Glenn menarik napas, ia memandang pria yang mengunyah makanan di mulut. "Aku ingin membuktikan kalau Ayahku tidak salah menilai. Kalau kamu pun sebenarnya tidak jahat. Anakmu sakit, kamu menginginkan uang. Aku tahu sekarang."

Pria itu mendengkus kasar. "Aku tidak punya anak. Aku menjualnya demi uang."

Glenn mendesah kecil.

"Aku menjual organnya dulu untuk beli laptop. Kemudian menjual sisanya pada sepasang suami istri yang ingin punya anak. Aku dapat banyak. Tapi kalah berjudi."

"Dia di mana?" tanya Glenn prihatin.

"Jauh. Sudah perjanjian tidak boleh ketemu. Kalau ketemu, mungkin bisa menculiknya sebentar, menjual organ lainnya kemudian dia kukembalikan. Nanti paling-paling menerima transplantasi baru."

"Lalu istrimu?"

"Pembantu brengsek yang selingkuh sama majikan. Aku merampok uang suami barunya. Lalu entah bagaimana ceritanya istri pertama dia melaporkan pembantu brengsek itu  sebagai pelaku. Aku bebas, dapat uang, tapi tidak banyak. Soalnya dalam judi, high risk high gain."

"Kamu benci anakmu karena dia mirip istrimu yang selingkuh?" Glenn bertanya lagi.  Penghitung waktunya sudah hampir mendekati nol, ia harus mendapatkan banyak informasi dan menemukan titik kelemahannya, kemudian memohon dibebaskan.

"Kurang lebih begitu. Aku dulu bekerja sama dengan seorang kawan. Merampok sebuah bank, karena merampok rumah hartanya tak banyak. Tapi kawan itu mengkhianatiku, tak  tahulah bagaimana kerja polisi, intinya dia tidak bersalah. Aku sudah masuk penjara berkali-kali, Bocah," tawanya sinis, "kalau masuk penjara, aku makan teratur sekali, kalau di luar aku harus merampas. Kalau  ibumu membawa cukup uang, ini akan jadi aksi terakhirku."

"Kamu takut mati, kan?" Pertanyaan Glenn tak mendapat jawaban.

Glenn terlalu fokus pada detik-detik yang bergulir. Ketika ia mengangkat wajah, bola mata yang kelewat besar itu terlihat berair. Ia menghela napas, menyandarkan kepalanya pada tiang, tak lagi berusaha melepaskan diri.

"Aku juga takut mati. Aku tidak ingin mati dibom. Aku harus menjaga Ibuku, karena warisan Ayahku tak banyak. Aku bisa memprediksi Ibuku berusaha mengumpulkan  semua uang atau meminjam untuk menebusku. Mengingat itu, aku berpikir lebih baik aku mati saja. Ayahku mati karena melindungiku, Ibuku ... tak harus berkorban untuk hal yang sama." Glenn menangis mengucapkan kalimat terakhirnya.

Ada hela napas berat di seberang sana, Glenn menangkap gerakan tersebut walau ia tak yakin. "Kamu juga tidak punya orang lain untuk berbagi. Sendirian. Nothing to lose," ujar Glenn setelah hidungnya bekerja menyedot ingus.

Begitu pernyataan Glenn tersampaikan, pria itu mendadak mengamuk. Tangannya gemetar hebat saat ia menyapu seluruh barang yang terletak di atas meja hingga jatuh ke lantai. Kalut, si penculik menghajar Glenn hingga sebelah matanya bengkak, darah keluar melalui sudut bibir.

Ditinju berkali-kali.

"Kamu mengejekku, iya? Kamu tak tahu apa-apa! Kamu lahir dari orang tua yang penuh perhatian, tak perlu mengais, tak perlu kehujanan! Tahu apa kamu!"

Glenn menatap mata lawannya dengan pandangan kabur, ia tak bisa berkata-kata karena rasa sakit yang diterima. Glenn juga tidak tahu mengapa ia bersimpati pada pria yang wajahnya saja membuat orang lain lari ketakutan. Namun Glenn merasakan kesedihan dan kelemahan yang jauh lebih kentara ketimbang perangainya yang buruk. Ia tidak takut.

Hingga tiba-tiba pria itu mengangkat sebilah pisau, mendekatkan besinya pada leher Glenn. Mata pria itu melotot ketika mulutnya menyampaikan ancaman, "Kita mati saja."

Tawanya jahat dan memenuhi ruangan.

Glenn sudah bersiap untuk memberi tinju balasan karena ikatan di tangannya berhasil lepas. Alih-alih bertindak, pisau itu menjauh, ditancapkan ke dinding, menggores daun telinga Glenn. Penculik itu jatuh terduduk, suara tawanya berubah frustasi.

"Mati sajalah kita, berusaha hidup baik-baik pun dicecar orang," ujarnya tiba-tiba lemah.

"Lepaskan aku," pinta Glenn.

"Tidak bisa, bomnya akan meledak. Sepuluh menit lagi. Ibumu juga belum datang. Baiklah, kita mati bersama saja. Kalau bunuh diri namanya sendiri, kalau mati bersama, aku punya kawan."

"Belum terlambat untuk menyerah. Bebaskan aku, aku akan membantumu."

Pria itu mengejek, ia  hendak mengutarakan suatu hal tetapi pasukan polisi bersenjata lengkap, serba hitam, mengepung mereka. Pistol teracung, siap melepaskan tembakan  kalau-kalau target berhasil kabur. Dua orang polisi lain mendekati Glenn, berkutat dengan rakitan bom yang menempel di kemeja putih.

Ketika polisi lainnya membawa paksa si penculik keluar ruangan, Glenn mendengar racauan sepotong-potong, umpatan, minta dilepaskan, katanya akan bertobat. Glenn  mengambil waktu untuk menarik napas.

"Ini gertakan, bukan bom sungguhan."

Glenn dipapah berdiri, menuruni gedung tua yang tak terpakai, seperti bekas kebakaran. Ia tak tahu berapa anak tangga yang dilewati untuk melihat wajah ibunya yang pucat pasi bercampur senyum lega. Harum parfum ibunya dihirup dalam-dalam, Glenn menyukai jenis perasaan seperti ini ratusan kali lipat.

Setelah itu Glenn menoleh, merasa ia mendapat tatapan tajam dari si penculik yang  tertangkap. Glenn meremas tangan ibunya sebelum berjalan tertatih ke arah lelaki itu. Ada jarak yang dipisah oleh dua orang polisi sebagai tindakan preventif. Glenn menatap dalam-dalam bola mata hitam si pemilik.

"Hei ... aku akan mengunjungimu, mendengarkan ceritamu," ujarnya pelan sambil menghela napas. Glenn melanjutkan dengan yakin, "Anggap saja aku ... teman."

Glenn mengangkat bahu, melempar senyum, meski pria itu berbalik dan masuk ke dalam mobil polisi.

***END OF MOTIF***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro