Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Panitia #RAWSBestfriend - Amica oleh radustumn

Cerita pendek berjudul Amica karya radustumn dipublikasikan sebagai salah satu cerita persembahan pantia Lomba Cerpen #RAWSBestfriend yang diselenggarakan oleh RAWSCommunity.

***

Growing apart doesn't change the fact that for a long time we grew side by side;
our roots will always be tangled.
I'm glad for that.

—Ally Condie—


Keluarga Althafandra mendapat serangan tiba-tiba di kediamannya di Connemara.

Serangan itu menewaskan pasangan suami-istri—Luta dan Vitaly—keluarga Althafandra, penduduk-penduduk yang berada di dalam daerah elfin, juga penjaga-penjaga yang berada di sana. Naka, anak semata wayang pasangan suami-istri Althafandra itu selamat. Dengan luka yang cukup parah, tulang rusuk yang patah, juga kaki yang terkilir, Naka kembali ke Aiszargats. Ia pun mempercepat langkah sesampainya di depan Mokykla—gedung pusat pelatihan untuk para elfin muda. Ia menuju kantor Thora Adibrata. Bermaksud meminta penjelasan akan apa yang terjadi pada keluarganya. Ayah dan ibunya meninggal dunia, dan ia harus terseok-seok sendiri kembali ke Aiszargats tanpa bantuan.

Obor-obor perapian yang menempel di dinding, bergoyang terembus angin. Menemani setiap langkah Naka yang tertatih-tatih, hingga mencapai pintu berukir yang tingginya beberapa kali lipat dari dirinya.

"Naka!" seru seseorang di sana dengan raut terkejut, ketika Naka membuka pintu itu begitu saja.

"Apa yang terjadi?" teriak Naka lepas kendali. "Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi!"

Kedua mata Naka tampak memerah, berlinang. Menunjukkan segala emosi yang kini tertahan dalam dadanya. Jejak air mata pun masih tampak di pipi, seperti baru saja diusapnya beberapa saat lalu.

"Naka, tenangkan dirimu."

"Apa katamu? Tenang? Bagaimana bisa aku tenang, sedangkan orang tuaku tak lagi bernapas di luar sana, Adibrata!"

Pria paruh baya bernama Thora Adibrata itu hanya diam.

Hampir seluruh wilayah elfin di Connemara telah dibumihanguskan. Penduduk sekitar dibunuh secara massal oleh ratusan-bahkan ribuan-vergas dan revenant yang tiba-tiba menyerang. Naka tak mengerti, bagaimana bisa ada sebegitu banyak vergas dan revenant yang bisa menembus dinding pertahanan semalam.

Vergas merupakan makhluk yang terkenal keji. Mereka tak berpikir, dan hanya menuruti setiap perkataan tuannya—seseorang yang telah mengubahnya menjadi makhluk seperti itu. Vergas juga salah satu makhluk yang tergolong memiliki kekuatan tanpa kendali. Ceroboh namun mematikan. Sedangkan revenant adalah mayat-mayat yang dihidupkan kembali, dengan perjanjian pengabdian, dan imbalan berupa darah yang akan didapatkannya agar ia dapat hidup lebih lama.

Makhluk-makhluk itu berhasil menghancurkan dinding barikade, yang setelahnya baru diketahui, kalau ternyata mereka dibantu oleh seseorang yang paham mengenai poilsis. Mereka menancapkan sebuah pedang penyihir—yang telah dimantrai dengan sihir gelap—ke jantung poilsis. Mereka jelas tahu, bahwa pohon itu telah diubah menjadi pusat pengamanan di sana.

"Penyerangan telah dimulai, Naka. Sama seperti dua ribu tahun lalu pada keluarga Ravindra. Mereka belum menyerah."

Mendengar kata-kata itu, Naka semakin mengepalkan kedua tangannya erat di samping tubuh.

"Apa maksud dari serangan-serangan ini? Perebutan status sosial, harta kekayaan, atau apa sebenarnya?" Naka mencoba menahan intonasi bicaranya yang kembali meninggi. Menyembunyikan geram yang semakin menjadi dalam dirinya.

"Gyvenimas," jawab Thora. "Pohon itulah kunci dari semua pertikaian ini."

"Gyvenimas hanyalah dongeng yang tak benar adanya," tepis Naka tak percaya.

"Sama seperti keberadaan kita di mata manusia," ucap Thora sarkastik. "Kau akan percaya saat melihatnya sendiri."

"Bagaimana kalau aku tak akan pernah melihatnya?" tanya Naka menantang.

"Pasti kau akan melihatnya nanti. Aku bisa jamin itu."

Naka diam sesaat. "Jadi, apa yang kaurencanakan?"

"Mencari Elora Nesmara."

"Elora Nesmara? Omong kosong!" Naka mendecih. "Ia hanyalah salah satu tokoh dari dongeng picisan tentang cinta, dan keluargaku bukanlah hal remeh yang bisa kau permainkan, Adibrata!"

"Aku tidak bicara omong kosong."

Naka kini tertawa sumbang. Kedua tangannya terkepal erat di samping tubuhnya. Memercikan api-api yang mengabu di udara.

"Kau bisa ikut aku menemui Arya," lanjut Thora. "Ia akan menjelaskan apa yang seharusnya kaulakukan."

Naka hanya diam. Amarah tampaknya masih menguasai dirinya.

"Arya Kameswara. Ia ada saat kejadian dua ribu tahun yang lalu terjadi," ungkapnya lagi pada Naka yang masih bergeming penuh emosi.

Naka tak tahu harus menuruti hasrat hatinya untuk bergerak sendiri dan membalaskan dendamnya, atau menuruti kata-kata yang menentang hasrat hatinya saat ini.

"Kau adalah satu-satunya yang tersisa dari keluarga Althafandra. Pilihan ada di tanganmu. Balaskan amarahmu tanpa rencana dan mati di tangan mereka, atau mengikuti rencanaku dan mengakhiri semua perselisihan tanpa batas ini."

"Apa yang sebenarnya kaurencanakan, Thora Adibrata?"

"Bertemu Arya ... dan membantumu."

"Kau tidak sedang memperalatku untuk bertemu teman lamamu itu, bukan? Kau akan menyesal jika melakukan itu."

Thora tersenyum tipis. "Terserah kau saja." Ia menuruni podium di mana mejanya berada. "Aku yakin kalau kau masih percaya tentang persahabatan, Naka. Kau adalah sosok yang selalu meyakini itu sebagai hal sakral. Tali yang tak akan kau putuskan meski harus mengorbankan dirimu sendiri."

"Apa maksudmu?" tanya Naka tak mengerti.

"Kau tahu? Sebagian orang menjaga tali persahabatan seperti ia menjaga tali persaudaraan. Begitu kuat, begitu sakral. Seolah tali itu adalah satu-satunya tali penyambung hidupnya. Kau pasti ingat itu, kan?"

Naka tetap diam. Tak berniat membuka suara untuk menjawab kata-kata Thora. Namun entah bagaimana, pelipisnya kini mulai berdenyut cukup kuat. Membuat pandangan di sekitarnya menjadi kabur.

"Seseorang berkata padaku," lanjut Thora. "Mengorbankan seseorang yang tak terikat untuk memperjuangkan ikatan itu, sama saja seperti menodainya. Karena itu hanyalah keegoisan, yang mengatasnamakan pengorbanan. Padahal, ia hanya ingin lari dari kesulitan." Suara Thora kini terdengar seperti gaungan dalam ruangan kosong yang berulang-ulang. Naka mengerjap, memijat pelipisnya yang berdenyut lebih kuat. "Pengorbanan harusnya dilakukan oleh seseorang yang terikat, bukan? Karena ia memang yang seharusnya melakukan. Aku tahu kau pasti paham maksudku."

"Lantas apa yang akan kita lakukan setelah bertemu Arya?" tanya Naka.

"Kau akan mendengarnya sendiri nanti. Arya akan menjelaskan semuanya padamu."

Naka menarik napas dalam sebelum menjawab, "Baiklah."

"Kau tentu juga tidak lupa, kalau Ayahmu memiliki ikatan yang sama denganku dan Arya."

Naka berbalik menuju pintu tanpa memedulikan pernyataan Thora.

"Kita berangkat dalam dua hari," ucap Thora lagi. "Istirahatlah. Benar-benar pulihkan kondisimu dengan tidak melakukan hal-hal aneh."

Seperti saran yang diucapkan Thora, Naka hanya berdiam diri di kamar selama dua hari ini. Tak melakukan apapun. Kini Naka tengah mengibas-ngibaskan mantel yang tergantung di hadapannya. Seolah-olah, mantel itu adalah mantel lama yang berdebu. Dengan raut tak puas, Naka mengenakannya sebelum melangkah keluar untuk menemui Thora yang telah menunggu di halaman depan.

"Haruskah kita mengambil jalan manusia?" keluh Naka dengan raut masam.

"Tak ada pilihan lain," ujar Thora cepat. "Semalam sudah kujelaskan tentang Arya yang kini menjalani kehidupannya sebagai manusia biasa."

"Kita bisa melakukan perjalanan dengan cara kita, dan berpura-pura menjadi seorang manusia saat sampai di sana. Apa tidak bisa seperti itu?" protes Naka lagi.

"Tidak bisa." Thora menarik napas berat. "Dengarkan aku, Naka. Kita melakukan ini juga untuk menghindari kemungkinan terburuk lainnya. Para vergas dan revenant itu tak akan mengejar kita dalam lingkungan penuh manusia di siang hari. Kita memilih jalur teraman. Kau juga pasti tidak mau terbunuh sebelum sampai di tempat tujuan, bukan?"

Naka tak menjawab. Ia melangkah masuk ke dalam mobil yang telah Thora siapkan.

"Kita pergi ke bandara. Naik pesawat seperti manusia. Jadi jangan sedikitpun bertindak ceroboh, Naka. Kau tahu cara bersikap seperti manusia biasa, bukan?" Thora mengingatkan, sebelum ia melajukan mobil itu menelusuri jalanan menembus hutan.

Naka hanya menanggapi dengan sebuah decakan, sebelum ia melempar pandangan ke luar jendela dan mengabaikan Thora.

Butuh waktu berjam-jam untuk keluar dari pedalaman hutan, menelusuri jalanan manusia yang padat, naik pesawat dari bandara, hingga sampai di perbatasan hutan Compiègne. Namun perjalanan terhitung lancar. Meskipun ada saja kecerobohan-kecerobohan kecil yang dilakukan Naka. Seperti ia yang hampir saja menumpahkan air minum saat di pesawat hingga membasahi celananya, terpeleset di dalam lavatory, dan kecerobohan-kecerobohan kecil lainnya.

Thora berhenti sejenak saat tiba di tepi hutan Compiègne. Hari pun telah menginjak tengah malam.

"Tetap siaga, Naka. Siapa tahu mereka juga ada di sini."

Naka mulai memasuki hutan dengan Thora beriringan, mencari gerbang yang menjadi tanda masuk ke dalam daerah elfin yang tersembunyi dari dunia manusia.

Cahaya bulan tak lagi dapat menembus dedaunan lebat yang menutupi langit malam, sebab mereka kini telah berjalan terlampau jauh masuk ke dalam. Pohon pinus tua dengan dahan bersilang menandai perjalanan mereka yang telah memasuki daerah tersembunyi. Karena sebenarnya, mereka memang hidup berdampingan dengan manusia. Hanya saja mereka menggunakan kemampuan yang mereka miliki, untuk menutup akses masuk manusia ke dalam daerah mereka.

Perasaan Naka tak enak. Sama seperti malam itu, saat kediaman keluarganya diserang. Elfin sebenarnya dapat mendeteksi kedatangan atau keberadaan makhluk lainnya di sekitar mereka. Namun, vergas masih akan terdeteksi sebagai manusia biasa dalam radar mereka sebelum masuk ke daerah kekuasaan elfin. Sehingga, itulah yang menjadikan mereka berbahaya.

"Claritas membiru!" teriak Naka sambil menunjuk pedang yang tersembunyi dibalik mantel Thora. "Aku sudah menduga, pasti kita sedang diikuti."

"Awas!" seru Thora saat salah satu vergas hampir saja menerjang Naka.

Kulit mereka begitu pucat, dengan pembuluh darah yang hampir seluruhnya nampak jelas tersebar di sekujur tubuh. Dengan mata memerah yang haus akan darah, mereka bergerak begitu cepat.

Naka memanah mereka dengan cekatan. Mereka pun satu persatu tumbang.

Vergas akan langsung mati meski tak dipenggal, jika senjata yang digunakan adalah senjata yang dibuat oleh kaum elfin.

Thora terus menghalau dari arah belakang. Kedatangan mereka seperti tak ada habisnya.

"Naka! Cepatlah bergerak ke arah gerbang masuk! Aku akan menghalau mereka!" Thora berteriak memberi arahan. Namun Naka tak dapat berbuat apa-apa. Mereka tak hanya datang dari arah luar perbatasan, melainkan juga dari arah menuju gerbang masuk daerah kekuasaan elfin.

"Aku tak bisa berjalan maju! Mereka datang dari semua arah!" teriak Naka menjawab Thora.

"Argh!" Thora mengerang, saat bahunya terkena gigitan salah satu dari vergas yang tiba-tiba saja menerjang dari atas pohon.

Naka dan Thora kalah jumlah. Vergas-vergas itu terlampau banyak untuk dihadapi dua orang saja. Thora sudah semakin banyak mendapatkan luka gigitan di badannya. Kesadarannya kini mulai berkurang, seiring dengan sakit di kepalanya yang tiba-tiba menerjang kuat. Tak jauh berbeda dengan Naka, ia mulai kehabisan anak panah. Sedangkan, vergas-vergas itu seperti tak ada habisnya terus berdatangan.

Gigitan vergas bekerja layaknya racun bagi para elfin. Yang dapat membunuh dengan cara melumpuhkan kerja jantung dalam diri mereka. Semakin banyak gigitan yang didapat, maka berkurangnya kesadaran dan kelumpuhan akan menjadi gejala pertama, yang menandai bahwa racun itu tengah menyebar dalam tubuh.

Naka terduduk di salah satu pohon yang tak jauh dari tempat di mana Thora kini tergeletak hampir tak sadarkan diri. Saat ia menengadah, ia sadar kalau pohon tempatnya kini bersandar adalah Poilsis yang menjadi pusat dinding barikade wilayah elfin.

"Hei, Pak Tua! Bangunlah!" Naka mencoba berkomunikasi melalui patranya, dengan menggunakan sisa energi yang ia miliki.

Patra itu semacam ruangan yang tercipta di dalam alam bawah sadar para elfin. Seperti halnya otak yang bekerja pada diri manusia, patra mengendalikan segala bentuk aktivitas yang dilakukan. Selain menyimpan memori, dan menjadi cikal bakal yang menggerakkan sistem tubuh. Patra juga menyimpan energi, kemampuan dan kehidupan. Saat seorang elfin terserang hingga jantungnya pun berhenti berdetak, ia masih dapat diselamatkan atas izin sang Pencipta, jika patra yang ia miliki masih menyimpan sedikit kehidupan. Elfin juga dapat berkomunikasi satu sama lain melalui patra yang mereka miliki, jika sosok yang diajak berkomunikasi mengizinkannya atau membuka akses komunikasi patranya.

Thora tak menjawab panggilan Naka. Namun, ia mendengar apa yang Thora ucapkan melalui patranya. Thora nampaknya membuka akses itu untuk semua elfin dalam jarak terdekat dengan lokasi mereka. Sehingga elfin manapun yang berada di dekat sana, akan mendengar apa yang Thora ucapkan.

"Aku datang bersama putra Althafandra. Kalian pasti telah mendengar berita tentang itu. Makhluk-makhluk itu menyerang kami lagi, dan kami kalah jumlah."

Naka tak lagi mendengar suara Thora dengan jelad, kesadarannya kini jug kian berkurang. Ia menoleh ke arah Thora yang kini terbaring dengan dikerumuni para vergas.

"Sial!" umpat Naka dalam hati. "Kalau Thora tak dapat menyelamatkan patranya dari dalam, Thora tak akan tertolong lagi."

Naka tak bisa membiarkan itu. Thora Adibrata adalah teman baik ayahnya. Ia tahu itu. Ayahnya selalu berkata, Thora Adibratalah yang menyelamatkan dirinya saat penyerangan pada keluarga Ravindra terjadi. Thora membiarkan dirinya terluka parah, hanya untuk membiarkan ayahnya lolos dari serangan. Sama seperti hari ini.

Naka memejamkan matanya dengan kuat beberapa saat. Dan saat ia membuka mata, ia mendapati kehadiran Thora yang tengah berjuang mempertahankan patranya dari kelumpuhan.

"Bagaimana bisa kau masuk ke dalam sini?" tanya Thora terkejut, ketika menemui kehadiran Naka dalam patranya.

"Aku pun tidak tahu," jawab Naka. "Aku hanya memikirkan kalau aku harus masuk ke dalam patramu dan menyelamatkanmu."

Thora terdiam sejenak. Menatap lekat ke arah Naka. "Cincin itu—Naka! Dari mana kau mendapatkan itu?"

Naka menatap cincin yang tiba-tiba melingkari jarinya. "Aku ... a-aku juga tidak tahu," ucap Naka bingung.

Perhatian mereka terinterupsi suara gemuruh di sudut kanan Thora. Dinding kokoh yang semula bersinar di sana, kini runtuh begitu saja. Menandakan patra yang dimiliki Thora makin melumpuh.

"Kau telah mencapai Poilsis, bukan? Cepat pergi saja dan selamatkan dirimu! Panggil bantuan dari dalam untuk menyelamatkanku. Kau tidak akan aman berlama-lama di sini."

Naka masih bergeming.

"Cepatlah, Naka! Kau tak mau kita mati di tempat ini berdua, bukan?"

Naka akhirnya mau tak mau menuruti kata-kata Thora. Ia mengerjapkan mata perlahan, dan kembali pada dirinya. Ia baru saja ingin mengerahkan sisa tenaga yang ia miliki untuk bangun dan meminta bantuan. Namun, ia melihat dua orang dari kejauhan yang datang dan mulai membantai seluruh vergas-vergas itu.

Banyak elfin yang berdatangan dari daerah aman untuk membantu. Thora pun telah berhasil ditarik masuk.

"Naka!" panggil salah seorang dari dua elfin yang tadi dilihat Naka datang lebih dahulu dari luar. Ia menggunakan kemampuan telepati antar patra lagi, karena tak memungkinkan untuk Naka mendengar dengan jelas menggunakan telinganya secara langsung dalam keadaan seperti ini. "Bertahanlah untuk tetap sadar. Kesadaran lo akan menghambat efek gigitan-gigitan itu."

Naka mengangguk lemah. "Lo siapa?" tanya Naka.

"Gue Neo. Neo Adinata."

"Neo?" Naka merasakan denyutan yang lebih kuat di kepalanya. Entah bagaimana, nama Neo Adinata terasa familiar untuknya. "Gue ... kenal sama lo?"

Neo mengangguk mengiyakan. "Kita teman. Bahkan sejak lo belum tahu kalau gue ada."

Para elfin lain meminta Neo untuk cepat membawa Naka masuk ke daerah aman, sebelum semakin banyak vergas yang berdatangan dan menyerang. Mereka akan bergantian menjaga Poilsis agar tak terjadi hal yang sama seperti di Connemara.

Tepat saat Neo hampir sampai di depan pintu kastil dengan memapah Naka, Arya Kameswara nampak berpaling untuk mengikuti arah di mana Thora dibawa. Ia sempat menoleh ke arah Neo, yang lantas dibalas dengan anggukan singkat oleh Neo. Naka yang masih melihat samar hal itu, diterpa rasa penasaran.

"Enggak usah penasaran," ucap Neo tiba-tiba. "Bahkan di saat seperti ini, lo masih enggak bisa melepaskan hal kecil seperti itu. Lo memang enggak pernah berubah, Naka."

Naka mengernyit. Ia melihat dengan samar senyum tipis yang Neo sunggingkan.

"Kita akan bertemu satu teman lagi. Lihat di depan sana!"

Naka mencoba mengangkat kepalanya perlahan. Ia melihat sosok yang lain di tempat di mana Arya Kameswara tadi berdiri.

"Ansa!" pekik Neo. "Kita akhirnya berkumpul kembali."

Selama hari-hari berlalu sejak penyerangan itu, Naka tak sadarkan diri. Dan saat ia membuka mata, pemandangan yang tertangkap matanya kini berupa lukisan super luas yang menutupi seluruh langit-langit di atasnya. Naka mencoba menoleh ke samping. Ada beberapa tempat tidur kosong di sana. Salah satunya pasti baru saja ditinggalkan oleh pemiliknya, karena selimut dan seprai yang tak lagi rapi seperti yang lain.

Naka baru saja mencoba untuk bangun, ketika pintu di sisinya terkuak begitu saja.

"Hei, Naka! Lo sudah sadar ternyata."

Naka mencoba mengingat-ingat.

Ah! Dia, pikirnya.

"Lo ... Neo?" tanya Naka ragu-ragu.

Neo mengangguk.

"Dan lo ...," ucap Naka sambil mengingat-ingat. "Ansa."

Ansa mengangguk mengiyakan. Ada sesuatu yang membuat Naka merasa aneh atas semua ini. Pertemuan dengan mereka, membuatnya merasa seperti menemukan kepingan kisah lama yang sempat terlupakan.

Ketiganya masih bergeming dalam diam, ketika Arya Kameswara datang memasuki ruangan itu.

"Kau sudah sadar rupanya. Syukurlah," ucap Arya mengawali. "Aku ingin memberitahukan dua hal padamu, Naka Althafandra."

"Apa itu tentang Thora? Bagaimana keadaannya?" tanya Naka tak sabar.

"Ia baik-baik saja," jawab Arya. "Ia hanya membutuhkan istirahat untuk waktu yang lebih lama."

Naka mengembuskan napas lega mendengar pernyataan Arya.

"Itu adalah hal pertama yang ingin kukatakan padamu," lanjut Arya. "Hal kedua, adalah tentang tujuanmu datang ke sini."

Naka menegakkan duduknya.

"Aku sudah tahu, bahkan sejak kau belum sampai di sini. Thora telah memberitahuku, dan aku sudah memaksanya agar kau dan Thora tak perlu datang kemari. Karena aku bisa memberitahumu dengan pesan yang akan kukirimkan melalui Karvelis." Arya nampak menghela napas sejenak. Seolah mengumpulkan kesiapan untuk mengucapkan setiap kata yang akan dilontarkannya. "Kurasa ... aku tahu mengapa Thora ingin kamu datang sendiri ke sini, dan bertemu denganku. Sekarang aku telah mengambil kesimpulan, tentang apa yang harus kaulakukan selanjutnya."

"Apa itu?" tanya Naka.

"Kembalilah ke Aiszargats bersama Neo dan Ansa."

Naka terperanjat. "Apa? Omong kosong apa itu?" protes Naka tidak terima.

"Kau belum mengerti tentang apa yang terjadi pada keluargamu sebenarnya," jawab Arya. "Kembalilah ke Aiszargats dan cari tahu semua yang berhubungan dengan peristiwa yang menimpa keluargamu. Dari sana, kau akan menemukan jawaban tentang apa yang kini tengah terjadi. Siapa Elora Nesmara yang Thora maksud, dan hal-hal yang seharusnya kamu lakukan."

Naka tak menjawab.

"Jangan gegabah, Naka. Kamu ingat apa yang dikatakan ayahmu?" tanya Arya. Melihat Naka yang nampaknya tak akan menjawab, Arya meneruskan, "Sahabat tak akan benar-benar meninggalkan sahabatnya sendiri."

"Tapi kau dan Thora meninggalkan ayahku," ucap Naka dengan penuh penekanan. "Bahkan di saat kami benar-benar membutuhkan bantuanmu."

"Aku minta maaf tentang hari itu. Aku terlambat kembali."

"Kau memang tak bermaksud untuk kembali tepat waktu!" seru Naka.

"Naka, kau boleh mencari tahu kebenaran tentang semua hal itu. Aku akan memberimu kunci dari ruangan tersembunyi. Tempat di mana ayahmu, aku, dan Thora selalu berkumpul. Kau akan menemukan segalanya di sana. Semua hal yang ingin kauketahui."

"Lalu apa rencanamu dan Thora setelah ini? Melepaskan segalanya begitu saja? Menjalani hidup seolah tak ada yang pernah terjadi?" tanya Naka dengan senyuman miring yang terulas.

"Aku akan membuatmu bertemu dengannya, dan mengakhiri segala pertikaian tanpa akhir ini ... untuk selamanya."

Naka mengernyit. "Siapa dia yang kamu maksud?"

"Kau akan tahu saat waktunya tiba."

Naka pun segera bersiap untuk kembali ke Aiszargats bersama Neo dan Ansa. Ia ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, juga tentang hal yang seharusnya ia lakukan, dan waktu yang tepat untuk melakukannya.

Thora Adibrata sudah sadar kembali dan dapat bangun dari tempat tidurnya. Ia dan Arya kini berada di ruangan yang sama dengan Naka, Neo dan Ansa sebelum melepaskan mereka pergi.

"Naka!" panggil Thora dengan senyum yang terulas di wajahnya. "Berhenti memanggilku Pak Tua! Atau kau akan kuhabisi saat kita bertemu lagi."

Naka mengangkat bahunya. "Aku hanya mengatakan kebenaran."

"Sial!" umpat Thora. Mengundang tawa untuk yang lainnya.

"Pergilah," ucap Arya. "Dan temukan apa yang ingin kauketahui."

Mendengar itu, Neo pun menggenggam erat tangan Naka dan Ansa. Lantas menghilang dari pandangan dalam sekejap mata, meninggalkan ruangan di mana Thora dan Arya berada. Memasuki labirin yang belum pernah Naka lihat sebelumnya.

"Apa ini?" tanya Naka.

"Labirin ruang dan waktu," jawab Neo. "Gue punya kemampuan teleportasi. Kita akan sampai di Aiszargats tanpa halangan."

"Jangan-jangan, hari itu—"

"Iya," potong Neo. "Gue yang bawa Luta dan Vitaly—bokap-nyokap lo—ke Aiszargats saat peristiwa itu terjadi. Sayangnya gue terlambat. Prata mereka sudah tak terselamatkan."

"Gimana lo bisa tahu tentang hal itu?" tanya Naka.

"Lo pikir, bagimana bisa Thora ada di Aiszargats hari itu, setelah—menurut lo—menghilang tanpa kabar?"

"Jadi, Thora selama ini ...."

Neo mengangguk. "Ia enggak pernah meninggalkan sahabatnya begitu saja, Naka. Baik dua ribu tahun lalu, ataupun detik ini. Begitu juga Arya Kameswara," terang Neo. "Ansa tinggal bersama Arya selama ini, dan lo pasti ingat angin besar yang tiba-tiba saja menerjang para vergas-vergas itu hingga bisa menahan mereka untuk tak mendekat selama beberapa lama."

Naka terdiam. Ia menatap Neo dan Ansa lekat.

"Ansa memiliki kekuatan untuk mengendalikan laju udara," lanjut Neo. "Sehingga gue bisa membawa orang tua lo ke Aiszargats, dan memberikan ruang buat lo juga untuk lari dari sana."

Naka merasa lidahnya kelu. Ia tak tahu, kata seperti apa yang harus terucap olehnya kini.

"Sahabat tak akan benar-benar meninggalkan sahabatnya, Naka. Apapun keadaannya." Neo mengulang sekali lagi.

—FIN.

Terima kasih sudah membaca Amica

Tschüß,

Münster, 11 Maret 2019
Chrysfa Linella © 2019. All right reserved.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro