Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

JUARA #RAWSBestfriend - The Betrayal oleh Ranelinez

Cerita pendek berjudul The Betrayal karya ranelinez dipublikasikan ulang sebagai salah satu pemenang Lomba Cerpen #RAWSBestfriend yang diselenggarakan oleh RAWS Community.

***

Oldstreet terletak di desa Fogger, sebelah barat daya pulau Mounhill. Lebar jalannya hanya bisa dilewati satu kereta kuda, dan di sepanjang sisinya berdiri rumah-rumah dengan jendela tinggi beratap segitiga. Dari kejauhan, di antara kabut tipis yang turun dari bukit, sebuah kastil terlihat samar. Dan di sanalah, para pengkhianat diberi ganjaran.

*****

Bagi Albern Bayley, Auden Carrington lebih dari sekadar anak lelaki yang lebih muda enam bulan darinya. Mereka kehilangan rumah dan anggota keluarga di saat yang sama; berimpitan di ujung sekoci sewaktu mengungsi dan saling meneguk air dari botol yang sama; saat sampai di pulau Mounhill, mereka ditempatkan di bawah atap dan tempat tidur yang sama. Jadi, selepas musim gugur, melihat dua anak jalan berdampingan di Oldstreet dengan satu mantel besar menutupi tubuh keduanya, bukanlah hal baru.

Bagi Albern Bayley, menjaga Auden Carrington adalah sebuah tanggung jawab. Meski lebih tua enam bulan, tinggi Albern jauh melebihi badan kurus Auden yang hanya mencapai ujung dagunya. Lebih dari seorang kakak pada adik, Albern mencoba untuk mengawasi dengan mata seorang ayah. Tidak seorang pun dia biarkan mengganggu Auden. Tidak satu masalah pun dia biarkan menghantui Auden. Jika perlu memukul, akan dia lakukan. Bila harus berbohong, pasti dia kerjakan.

Namun, apa yang didapat kemudian hari di luar ekspektasinya.

Malam itu, Auden berdiri di seberang meja bundar Nyonya Dalkins. Wajah lonjongnya mengarah ke sepasang sepatu berwarna--yang seharusnya hitam--abu-abu yang melekat di kakinya. Jari-jari tangannya yang pendek saling menggenggam; berkeringat hingga terasa licin dan dingin. Sesekali dia mendongak dan yang didapat adalah ekspresi keras dari wanita yang sudah menampungnya dan Albern di desa Fogger ini.

"Benar apa yang kaukatakan?" Kuku tajam di jemari gemuk Nyonya Dalkins mengetuk sisi meja, beberapa senti dari tempat Auden berdiri; meminta perhatian.

Auden menatap lagi wajah bundar Nyonya Dalkins, kemudian mengangguk.

Nyonya Dalkins mendengkus keras. "Dasar! Ini sudah termasuk pengkhianatan!"

Bahu Auden menjengit ketika Nyonya Dalkins memukul meja. Bocah sembilan tahun itu mundur tiga langkah.

"Mereka akan masuk kastil—"

"Nyonya." Mendengar kata kastil, tubuh Auden langsung bereaksi. Wajahnya semakin menunduk. Getaran pada kedua betisnya bertambah parah, hingga membuat dia terpaksa berlutut. Dan jari-jarinya yang masih terkait, diremas lebih kencang.

Nyonya Dalkins mendesah ketika isak Auden terdengar. "Kau yang mengadukan mereka padaku, tapi kau seperti ini."

Auden menyeka air matanya. Penuh tekad dia membalas tatapan Nyonya Dalkins. "Ja-ja ...." Auden menyerah. Dia malah sesenggukan.

"Keputusan ada di tanganku, Bocah." Nyonya Dalkins berdiri. Menyeret langkah dan berhenti di sisi tubuh Auden yang semakin membungkuk. "Tapi harus kuakui, kalau kau memiliki keberanian yang tidak dimiliki Bayley. Dan sekarang, aku akan melakukan sisanya."

*****

"Bagaimana?"

Albern Bayley tahu, mereka tidak berada di tempat yang baru. Mereka pernah ke sini beberapa hari setelah tinggal di rumah Nyonya Dalkins. Saat itu musim dingin dan Albern harus merangkul Auden agar mantel yang diberikan Nyonya Dalkins mampu melindungi tubuh mereka. Dengan menenteng ember di satu tangan dan berusaha menyesuaikan langkah masing-masing, kaki mereka menapaki Oldstreet yang menurun; memunggungi kastil yang tampak buram. Tidak terdengar obrolan. Hanya kepulan asap dari mulut mereka yang saling mendahului. Juga suara meringis kompak, ketika embusan angin lebih kencang menampar wajah mereka.

"Lumayan." Albern sudah bertelanjang dada. Bahkan lututnya tengah merasakan arus pelan sungai. Dia kembali menghadap Auden. Melambai. "Ayo, sebelum wanita kelebihan lemak itu pulang dan habislah kita."

Auden bergeming, tampak melamun. Sesekali kepalanya bergerak ke kiri atau ke kanan; hanya untuk mempertegas air mukanya yang seolah sedang diintai. Bahunya juga akan menjengit tiap kali angin membuat daun di semua pohon bergesekan; menimbulkan desau secara mendadak.

Albern mendengkus dan kembali menginjak batu-batu di dasar sungai untuk ke tepi; berdiri di depan Auden. Keadaan Auden mengingatkan dia pada kejadian di akhir musim dingin, ketika Auden kembali dari liburan. Dan itu lebih parah dari ini. Auden mendadak tidak ingin sekamar dengannya. Menolak mengerjakan tugas bersama-sama. Makan sendiri tanpa seorang pun boleh mendekat. Merapatkan mulut tiap kali ditanya. Berhari-hari seperti itu, hingga dia merasa harus memaksa lidah Auden untuk bergerak.

Albern tidak marah, jika liburan mendadak itu yang membuat Auden merasa tidak enak. Toh Auden pergi karena dia beruntung. Terpilih sebagai satu-satunya anak dari Fogger yang mendapat kesempatan ikut berlayar. Seharusnya, Auden kembali dengan membawa cerita yang menakjubkan. Tentang sensasi berjalan terhuyung-huyung di geladak kapal, misalnya. Atau mengenai ombak besar yang membuat mual semakin parah. Atau mungkin--jika Auden mampir--menggambarkan sedikit penampakan wilayah rumah mereka yang dulu. Apa sudah dibuat pemukiman lagi? Apa masih berupa puing-puing yang berserakan? Namun, sampai sekarang Auden masih bungkam, dan Albern tidak lagi ingin tahu.

Albern nyaris terjengkang. Tanah di hulu sungai terasa lebih licin dan berlendir di telapak kakinya yang telanjang serta basah. Namun, langkahnya tetap cepat menghampiri Auden yang kini bersandar di pohon. Tanpa basa-basi dan tidak peduli kakinya terimpit di antara akar pohon yang menyembul dari tanah, Albern menunduk; mempertemukan keningnya yang sempit dengan kening lebar Auden.

"Jadi, sekarang karena apa?" Albern bersedekap setelah yakin suhu tubuh Auden tidak berbeda jauh dengannya.

"Ah, kau ingin berlayar lagi? Ini masih awal musim panas--"

"Maaf."

Kedua ujung alis Albern yang tebal mendadak berkerut. "Seingatku, kita tidak sedang bertengkar." Mata cokelatnya berusaha menangkap ekspresi Auden, tetapi Auden menunduk terlalu dalam.

Saat Auden enggan menatap balik; meremas jemari tangan; terlihat gemetar, saat itu Albern paham. Namun, apa? Apa yang membuat Auden merasa bersalah sampai seperti itu?

Kemarin dulu Auden masih mengoceh tanpa henti tentang ... sebenarnya, Albern tidak menyimak. Dan semua berubah setelah Auden masuk ke ruangan Nyonya Dalkins semalam. Tidak mengajaknya. Tanpa berbagi tentang apa yang dibicarakan. Apa mungkin Auden akan berlayar lagi? Jika itu benar, dia akan berusaha untuk bisa mengendalikan diri. Tidak akan berteriak heboh. Menahan pita suara untuk berkoar-koar memamerkan keberuntungan Auden. Mungkin karena itu Auden risi dan memutuskan pergi sebelum dia bangun.

"Sudah kubilang mereka ada di sini. Dan benar, 'kan? Dua butir telor jatah kalian untukku."

Albern mendesah. Dia hapal siapa pemilik suara serak itu.

"Jangan sembarangan! Aku yang lebih dulu mengusulkan untuk ke sini."

Juga pemilik suara yang menyahut. Dugaannya benar ketika menoleh. Tiga remaja menghampiri mereka.

Albern kembali menatap Auden. "Kali ini, kau harus bercerita. Supaya aku paham." Albern mengusap kasar rambut pirang Auden. Dan ketika iris cokelatnya bertemu dengan iris zamrud Auden, bibir tebalnya tersenyum. "Ayo, sekarang waktunya beraksi."

"Kalian mau mandi siang?"

Albern tidak menggubris pertanyaan Leyn--si anak yang bersuara serak--dan tidak mengacuhkan tangan

Derren yang terangkat; menanti tepukan, serta mendiamkan Sath yang protes. Albern memakai kembali bajunya yang tadi tergantung di dahan paling rendah. Dia lantas merangkul Auden.

"Tuan Grimster sudah berangkat dan yang lain juga." Derren memulai.

"Si wanita kelebihan lemak bahkan sudah dari pagi." Albern menimpali, lalu terkikik. "Apa dia pikir akan mendapat tambahan bahan?"

"Sekalipun dapat, jatah kita tetap."

Albern mengangguk atas pernyataan Sath. "Semangkuk kecil yang encer dan hanya dua kali. Ayo, kita lakukan seperti biasa dan berkumpul seperti biasa."

Leyn, Derren, dan Sath memimpin jalan. Namun, bagian belakang baju Albern ada yang menarik. Bocah sembilan tahun itu menoleh dan mendapati mata zamrut Auden yang berkaca-kaca.

Albern mengabaikan lagi seruan protes Sath. Dia nyaris menggandeng tangan Auden yang ditutupi sarung tangan kulit. Auden bilang, sarung tangan itu berharga. Tidak ada yang boleh menyentuh, termasuk Albern. Dan Albern menghargai hal itu. Mungkin itu satu-satunya benda fisik yang bisa didapat Auden dari liburan musim dingin. Jadi, setelah membuang napas keras, Albern merangkul Auden; mengajak berjalan. Namun, Auden tetap tidak mau bergerak.

"Semakin cepat, semakin baik!" Sath berseru lagi.

"Ini tidak benar, Albern," cicit Auden. Kepalanya kembali menunduk. Jemarinya saling meremas lagi.

"Ada apa dengannya?" Leyn bertanya tidak sabar. Langkahnya kembali mempersempit jarak antara dia dan Albern.

"Dia hanya menghambat! Sudah berapa kali kita nyaris tertangkap hanya karena dia tidak mau bergerak!"

Albern ingat kejadian dua minggu lalu. Ketika mereka masuk pekarangan belakang rumah Tuan Roben. Saat itu Leyn yang bertubuh paling besar berjaga di pintu depan; bertugas meniup peluit, jika Tuan Roben datang. Lalu, Derren dan Sath di bagian belakang; juga memegang tanggung jawab sebagai pengawas sekaligus pembuat celah di pagar kayu. Kemudian, Albern dan Auden yang melaksanakan tugas penting; menyelundupkan hampir semua telur di kandang ayam ke karung goni yang mereka bawa.

Seharusnya, Leyn tidak perlu meniup peluit, jika Auden bertingkah seperti biasa. Seolah-olah jiwanya diserap matahari di akhir musim semi, Auden hanya berdiri kaku. Tatapan matanya kosong, entah melamunkan apa. Namun, bibir tipisnya terus bergumam. Menyatakan secara berbisik kalau ini salah. Kegiatan mereka salah. Dan Albern menolak untuk setuju. Alih-alih mengiyakan, dia menarik bagian belakang baju Auden, dan memaksa sahabatnya itu menyelinap di celah pagar yang sudah dibuat Derren dan Sath.

Mungkin memang Auden sekarang menjadi penghambat. Entah karena efek liburan atau apa. Namun, Albern merasa kalau ucapan Sath, Derren, dan Leyn yang masih bersahutan menyudutkan Auden, itu salah. Dibandingkan lusinan telur, tentu Auden lebih penting baginya. Auden yang selalu berada di sisinya ketika pertama kali mereka tinggal di desa ini. Bersama Auden, dia berbagi selimut dan semangkuk sop encer dari Nyonya Dalkins. Maka, ketika dia merasa bahu Auden gemetar, dia mengambil napas dan berteriak, "Kalau kalian mau, berangkat saja!"

Terjadi keheningan dari suara mereka.

"Kita sudah sepakat, ingat?" Sath yang menanggapi pertama kali. "Lagi pula, di antara kami tidak ada yang bisa menyelinap." Itu karena tubuh mereka yang besar dan tinggi. "Dan kalian berdua tidak memiliki peluit." Dia memamerkan peluit merah yang menggantung di leher.

"Ayolah, jangan begini. Kita saling membutuhkan. Ingat, ini awal musim panas, kita butuh banyak asupan makanan supaya kuat menerima perintah nanti." Leyn, yang sudah berdiri di hadapan Albern dan Auden, meremas pundak Auden. Namun, Albern langsung menepis tangannya. Sambil mengusap punggung tangannya yang memerah, dia berkata, "Kalau kau tidak mau ikut, pulang saja. Dasar pecundang!"

"Tidak ada yang berhak mengatakan itu padanya!" Albern tidak takut. Sekalipun Leyn, Derren, dan Sath terpaut lima tahun dari usianya, serta memiliki bobot tubuh yang jauh lebih berisi, dia tidak akan gentar jika harus saling menjotos. "Kalian yang pecundang!" Matanya nyalang menatap Leyn.

"Baik, baik." Leyn mengangkat tangan. "Aku hanya ingin mengingatkan, kesempatan ini akan terjadi dua minggu lagi. Mungkin saat itu, kami akan sekurus kalian, dan kalian tinggal tulang dibalut kulit."

"Kita akan ketahuan."

Albern menatap Auden. Suara Auden yang bergetar dan nyaris berupa bisikan bisa dia dengar dengan baik. Jadi, ini yang membuat Auden tidak mau jalan? Namun, selama ini pekerjaan mereka bersih.

"Tidak akan ada yang menangkap kita, kalau tidak ada yang mengadu," sahut Leyn.

"Sayangnya, Carrington sudah memberi tahuku semua."

Suara itu lantang, tidak berat, tetapi penuh penekanan. Tidak berasal dari salah satu mulut kelimanya. Namun, dari seseorang yang berdiri beberapa jarak dari punggung Derren dan Sath.

Seorang wanita bertubuh gemuk; berwajah bulat; dan memiliki tatapan bengis.

"Jadi, ini kelompokmu, Bayley?"

*****

Auden Carrington masih awas menatap Oldstreet. Dahinya mulai menempel di jendela. Bola matanya bergulir dari kiri ke kanan; menyapu pemandangan suram dan remang di luar sana. Tidak ada apa-apa sejauh matanya melihat. Tidak ada siluet pria pendek-gemuk memakai mantel dan topi panjang. Tidak ada gedoran pintu yang brutal. Namun, kewaspadaan harus tetap ditingkatkan. Seperti kemarin-kemarin hingga semalam, dia akan terjaga sampai derak roda dan ringkik kuda dari arah barat membelah Oldstreet, menuju kastil. Lepas itu, satu jam cukup baginya untuk memejamkan mata.

Auden ingat, ada pembicaraan mengenai penangkapan, dan itu berbeda dari versi lisan ayahnya. Dalam dongeng sebelum tidur atau gertakan lawas itu, tangan para tahanan diikat menggunakan rantai dan mereka berjalan dalam barisan. Dipecut di sepanjang Oldstreet. Dipertontonkan semua kalangan di desa Fogger, hingga merasa tidak lagi memiliki wajah untuk diangkat. Dan mereka diseret dengan kereta kuda menuju kastil. Namun, kenyataannya berbeda jauh. Kereta kuda tidak melintas di bawah terik matahari. Para tahanan tidak diangkut setiap setengah hari. Semua berjalan sekali gerak dan diam-diam. Bahkan, orang terdekat belum tentu tahu apa yang sedang terjadi, siapa yang dikawal untuk dijatuhi vonis. Prosedur dan jadwal penangkapan akurat itu, Auden simak dengan baik sepanjang Oldstreet menuju kastil.

Mengabaikan mata yang mulai berair dan pegal di rahang karena sering menguap, Auden tetap memantau Oldstreet. Tatapannya menjadi terpaku pada jendela tinggi di rumah yang berada di seberang. Rumah Tuan Aders,  tempat  di mana Derren, Leyn, dan Sath diberi makan sekaligus tempat berteduh, sama sepertinya dan Albern.

Auden mengucek mata, kemudian memelototi jalan yang kosong, berharap beban di kelopak mata menghilang. Jadi, dia bisa bebas berkedip tanpa harus berusaha keras agar tidak terlelap. Pandangannya kembali menyisir dan mata sewarna zamrud itu fokus lagi pada jendela tinggi rumah Tuan Aders. Sama seperti rumah Nyonya Dalkins, di sana tidak ada lilin, lampu minyak, apalagi lampu pijar seperti yang digunakan kerajaan untuk menerangi jalan. Hanya cahaya dari rushlight yang memberi penerangan.

Rushlight.

Auden menengadah. Lantai kayu di atasnya tidak lagi berderit. Mungkin Albern sudah dibuai mimpi, dan dia berharap Tuhan memberi Albern kegembiraan dalam lelap, sementara dia akan terus menjaga kesadaran seperti hari-hari lalu. Menjaga yang seharusnya dilindungi. Seandainya, pria pendek-gemuk bermantel dan memakai topi tinggi keluar dari kereta kuda tepat di depan rumah Nyonya Dalkins, dia sudah menyiapkan diri sebagai perisai.

*****

"Menyedihkan."

Awal hari yang biasa. Rutinitas yang selalu diawali dengan semangkuk sup jagung dingin dan sepotong roti keras. Berbeda dengan piring-piring yang tersaji di hadapan Nyonya Dalkins. Ada ayam asap di sana yang masih mengepul dan menguarkan aroma sedap. Pun roti tebalnya yang tersusun cantik dan terlihat empuk. Di piring yang lain terdapat potongan apel. Di piring satunya yang berbentuk cembung, terhidang sup jagung hangat. Yang berbeda di hari ini dan beberapa hari kemarin adalah tidak ada yang duduk di bangku kayu tanpa sandaran, di sebelah Auden.

Auden menatap kursi yang seharusnya ada sosok Albern di sana. Melirik ke arahnya dan dengan isyarat mata meminta dia untuk mengamati makanan Nyonya Dalkins. Makanan milik mereka. Jika saja Nyonya Dalkins atau Tuan Aders bisa berlaku adil, mungkin gagasan untuk mencari tambahan energi bagi tubuh tidak akan tercetus. Auden tidak akan memakai sarung tangan ketika bersama Albern dan cita-citanya masih bisa dikejar. Lalu, Albern tidak harus menempati loteng yang bisa membuatnya kepanasan di musim panas ini.

"Sudah cukup melamunnya. Cepat habiskan!"

Auden menunduk dan menatap jatah sarapannya. Walaupun dia terpisah dengan Albern, tetapi sup itu tetap ditakar sebagaimana mestinya. Dibagi dua dengan jatah Albern.

"Sebenarnya, aku lebih menyukai Bayley. Dia cekatan dan bisa diandalkan. Tanggap membuat dan menjual rushlight." Jemari gemuk Nyonya Dalkins merobek daging ayam dengan ganas. Gigi-giginya mengunyah dengan semangat tinggi. "Sayang, dia sama sepertimu. Pencuri!"

Auden tidak jadi menyelupkan rotinya ke sup. Dia memberanikan diri menatap Nyonya Dalkins yang makan dengan lahap.

"Tapi tidak apa-apa. Mengingat yang kita bicarakan." Nyonya Dalkins mengalihkan pandangannya dari daging ayam yang sedang dia congkel. Seketika Auden merasa tubuhnya seperti tersetrum ketika mereka saling menatap. Mata dan senyum itu tampak bengis. "Kau hanya harus berusaha. Lalu, jadilah anak baik jika tidak ingin mengakhiri hidupmu seperti para pengkhianat itu.

"Aku senang akhirnya pemerintah bisa bersikap tegas tidak hanya untuk orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Lihat sisi positifnya, kini kau bisa menjadi mata-mata yang andal dan kami tidak perlu takut lagi kehilangan telur." Tawanya menggelegar untuk beberapa detik, sebelum suara kunyahan rakus kembali memenuhi dapur.

Auden tepekur. Dia melakukan hal itu bukan untuk menjadi kaki tangan dari para pencuri yang asli. Para pengkhianat yang menyalahgunakan kewajiban mereka. Andai kesaksian anak di bawah dua puluh tahun bisa didengar para penegak hukum, lantai teratas di menara paling tinggi kastil pasti sudah dipenuhi orang macam Nyonya Dalkins. Auden tidak memiliki minat, meski tidak punya keberanian menolak, menjadi pengawas. Dia mengadu pada Nyonya Dalkins bukan karena jatah makan yang akan bertambah, seperti dugaan Sath. Atau dibebaskan dari tugas dan menjadi anak kesayangan, seperti kata Derren. Bukan juga untuk posisi aman dari hukuman, seperti terkaan Leyn. Dia melakukan itu lebih karena Albern.

"Dengar, Bocah. Hari ini aku akan mengambil jatah kita di kota. Jadi, berikan makanan itu pada Bayley, kalau kau tidak mau dia menjadi sangat kurus sepertimu. Oh, aku lupa. Kalian memang sama-sama kurus." Tawa keras dan terdengar seperti orang terserang asma membahana lagi. Kali ini berhenti karena dia bersendawa keras.

Tanpa menoleh apalagi mengangkat piring-piringnya yang sudah kosong, Nyonya Dalkins meninggalkan Auden yang masih belum menyentuh sedikit pun sup jagung yang disediakan.

Auden sudah tahu, hari ini akan terjadi. Ketika Nyonya Dalkins meninggalkan rumah, siapa lagi yang akan menaiki tangga ke loteng dan membuka pintu yang digembok, kalau bukan dia. Apesnya, walaupun sudah berlatih setiap hari di kamar, tetapi lidahnya tetap berat digerakkan. Hanya ingin menyapa dan menanyakan kabar, dia tidak mampu. Namun, mungkin itu keberuntungan pertamanya setelah kejadian di sungai dua minggu lalu. Mungkin memang lebih baik diam merengkuh mereka.

Albern pasti merasa tersinggung, jika dia menanyakan seputar kabar. Tidak ada yang baik dari kamar di loteng, selain jendela segitiga yang menghadap ke Oldstreet. Lain dari itu hanya terasa pengap dan bau apak. Juga banyak debu. Tempat tidur yang disediakan Nyonya Dalkins pun hanya sebuah kasur bulu angsa yang sudah kempis. Dan yang paling gila dari semua itu adalah peraturan yang harus diterapkan, bahwa Albern tidak diperbolehkan keluar kamar. Apa pun yang ingin dia lakukan.

Jadi, setiap menjelang siang, sebelum ke pasar untuk menjual rushlight, Auden akan ke loteng dan mengambil piring serta ember kecil di depan pintu hukuman ini. Ember kecil itu akan dia bersihkan dan diletakkan lagi di depan pintu. Nyonya Dalkins yang akan melakukan sisanya; membuka gembok dan menyuruh Albern untuk mengambil lagi ember kecil itu.

Namun, ini jauh lebih baik ketimbang Albern ikut bersama Derren, Leyn, dan Sath menaiki kereta kuda. Itu sudah dua hari yang lalu, tetapi kejadian ketika sosok Derren, Leyn, dan Sath dikawal dua orang bertubuh tinggi dan seorang pria pendek-gemuk bermantel, masih menggerayangi benak Auden.

"Apa ada air di bawah?"

Auden tersentak. Sudah dua minggu dia tidak mendengar suara Albern. Bibir tipisnya tersenyum, hanya beberapa saat karena Albern tengah menatapnya. Seolah dia adalah musuh.

Auden meremas tangannya yang memakai sarung tangan. "A-ada." Dia berdeham. Suaranya yang keluar sangat kecil dan serak. Apa yang dia harapkan? Albern tidak menerjang dan menjotos wajahnya saja itu suatu keajaiban.

"Si wanita kelebihan lemak itu pasti sudah pergi. Bawakan aku air. Badanku sangat lengket dan gatal. Tapi ...," Albern menggeser mangkuk kosongnya dan mulai berdiri, "aku ingin kau menjawab sesuatu."

Susah payah Auden menelan ludah. Albern tidak pernah menunjukkan air muka seperti itu padanya. Tidak ada senyum. Mata hitam itu terus menatap tajam dengan kening sedikit mengernyit. Albern juga bersedekap. Seketika bulu kuduk Auden meremang, terbayang lagi ruang interogasi di matanya.

"Aku tidak ingin memercayai Derren, atau Sath, atau Leyn. Tapi kata-kata mereka ketika kita berada di ruang kerja Tuan Aders terus menggangguku. Kenapa?"

Auden menunduk dan meremas jemarinya. Jantungnya yang sempat berdetak cepat, kini kembali menggila.

"Aku tidak butuh rasa bersalahmu. Katakan padaku alasannya! Kenapa kau melakukan ini?" Suara Albern meninggi dan Auden tersentak ketika bahunya dicengkeram. Albern memaksanya untuk berdiri. Sebentar, tatapan mereka bertemu.

Auden masih meremas jemarinya. Pandangannya mulai buram karena air mata yang muncul. Ini pertama kali Albern membentaknya.

"Auden!"

Lagi, Auden tersentak. Air matanya keluar, bercampur dengan keringat menuruni lekuk wajahnya. Dia mencoba untuk bernapas tanpa mengeluarkan isak. "Kau tahu soal peraturan untuk murid, 'kan? Musim gugur nanti akan ada seleksi di sini—"

"Dan kau ingin aku tetap tinggal di sini! Kau takut tersaingi karena belum lancar berhitung! Begitu, 'kan?"

Auden menggeleng kuat. "Ju-justru karena itu. Aku tidak ingin kau tertangkap tangan."

Albern melepaskan cengkeramannya. Dia mengerang tertahan. "Tapi ini sama saja, 'kan?"

"Berbeda, Albern. Setidaknya, Nyonya Dalkins tidak akan—"

"Kau tahu dari mana?" Albern kembali berteriak.

Auden mengusap kasar matanya. Sambil sesenggukan dia membuka sarung tangan yang diberikan Nyonya Dalkins ketika dia kembali ke Fogger. Sarung tangan yang melindungi identitas barunya saat ini, termasuk menyimpan rahasianya pada Albern, kini tergeletak di lantai kayu. Dia mengulurkan tangan kiri yang gemetar ke Albern.

Albern mengernyit. Dia tidak paham. Namun, sesuatu membuatnya meraih tangan Auden dan melebarkan jari-jari sahabatnya itu. Napasnya tercekat.

"Tidak ada pelayaran, Albern," bisik Auden dengan suara bergetar. Mengingat bagaimana dia dibangunkan dan duduk di antara orang dewasa di kereta kuda, membuat kedua tungkainya lemas dan tidak mampu menahan beban tubuhnya. Dia terduduk dan Albern berjongkok. "Aku ti-tidak ingin kau juga mengalami ini." Dia memberanikan diri menatap wajah Albern. "Aku sudah mencoba berbicara padamu. Dan kupikir, ini adalah pilihan terakhir yang kupunya."

Seperti yang dikatakan Nyonya Dalkins ketika mereka pertama kali memasuki rumah ini. Dalam pidatonya yang singkat, dia bangga dengan kudeta yang dilakukan pangeran keempat. Usai melenggeserkan raja dan calon putra mahkota, peraturan baru diterapkan. Akan ada upeti untuk siapa saja yang mau menampung anak yatim piatu yang menjadi pengungsi. Selain itu, para penampung berhak mengambil jatah bahan makanan dua minggu sekali. Jatah yang seharusnya 80% untuk si yatim-piatu. Dan mereka tidak perlu memikirkan biaya untuk pendidikan anak-anak yang mereka bawa. Asal si anak tidak pernah terlibat tindak kriminal--paling kecil mencuri--dan lulus tes membaca serta berhitung, mereka akan dibawa ke pulau Cetrath--tempat di mana Albern dan Auden, serta beberapa pengungsi lain berasal. Namun, hukum tetap memiliki kecacatan.

"Seharusnya, si wanita kelebihan lemak itu yang mendapat ini. Kenapa kau tidak bilang dari awal?" Suara Albern merendah. Dia masih memegang kelingking Auden yang tinggal satu ruas.

Auden selalu mengalami mimpi buruk setelah kembali dari kastil. Juga bayangan akan dijauhi. Dia ingat bagaimana Sath memaki Jean yang ingin bergabung, hanya karena kelingking Jean yang buntung. Jean sama sepertinya, terlahir normal tanpa cacat, dan tidak mengalami kecelakaan. Bedanya, Jean mengaku kalau tertangkap sedang mencuri roti.

"Apa Jean yang ... tapi, kenapa hanya kau ...."

Auden juga tidak paham. Kenapa Jean hanya menyebut namanya. Dan kesaksian Tuan Manders--pemilik telur yang terakhir Auden curi--serta diamnya Nyonya Dalkins, membuat dia dijatuhi hukuman. Namun, seperti yang dulu pernah disampaikan ibunya, kalau ada kebaikan yang mengiringi kesengsaraan. Dia sudah kehilangan semua ketika kudeta berlangsung, tetapi dia mendapatkan Albern yang melebihi sosok kakaknya. Albern yang bernasib sama dengannya. Yang memberi perhatian penuh. Yang dengan sabar mengajarinya membuat rushlight. Tidak membentak saat dia salah memilih ilalang dan terlalu sebentar menjemur bahan rushlight tersebut. Albern juga yang menjadi tamengnya.

Ada kebaikan yang mengiringi kesengsaraan. Auden sudah merasakan sakit hingga mengingat kejadian itu membuat tubuhnya gemetar hebat. Kini, dia membagi kebaikan yang dimiliki untuk Albern. Hanya dengan ini dia bisa berguna. Hanya dengan cara ini dia bisa menyeimbangkan langkah dengan Albern; menjadi perisai. Walaupun nanti mereka berpisah, tetapi dia yakin bahwa Albern akan tetap menjadi Albern, sahabatnya yang memiliki impian menjadi guru besar yang bisa membawa keadilan.

Albern tidak perlu tahu apa yang Auden pertaruhkan. Cukup kenyataan bahwa Nyonya Dalkins memberi kesaksian untuk membebaskan Albern dari tuntutan.

"Ini sangat tidak adil." Albern berlutut, mendekat, dan mendekap Auden yang sesenggukan. Dengan erat dia memeluk. Mengusap punggung Auden sesekali.

"Jangan mencuri lagi, Albern. Kau harus bisa menjadi guru yang hebat. Kau harus bisa. Jangan mencuri lagi."

"Kita akan terus bersama. Kita akan menjadi guru yang hebat nanti."

******

Selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro