FAVORIT #RAWSBestfriend - Pal's Incantation oleh E-Jazzy
Cerita pendek berjudul Pal's Incantation karya E-Jazzy dipublikasikan ulang sebagai salah satu favorit Lomba Cerpen #RAWSBestfriend yang diselenggarakan oleh RAWSCommunity.
***
Persahabatan?
Bak perang dihalalkan di tengah kedamaian
Tak ubahnya para jemawa berkelindan
Persis orang-orang melarat berjalinan
Teman makan teman
Lawan jadi kawan
*** Golden Jack ***
Alkisah, suatu malam nan pelik
Apel Emas diperuntukkan 'Bagi yang Tercantik'
Tiga Dewi Olympia berlomba mendapatkannya
Dan pecahlah Perang Troya
"DAN MEREKA pun hidup sengsara selamanya. Tamat."
"Cerita macam apa itu?!"
"Tidak semua cerita berakhir dengan 'mereka bahagia selamanya', Bocah!"
"Semua kisah Barbie tamatnya begitu."
"Kau laki-laki—buat apa nonton Barbie?!"
"Emansisapi pria!"
"Emansipasi!"
"Ya, itulah, pokoknya! Nah, tokoh utama tidak semestinya sengsara! Kisah Barbie selalu diakhiri langit kelap-kelip, dia dan pangerannya tersenyum di atas kereta kuda merah muda, lambai-lambai cantik ke semua orang."
"Kau tahu apa? Bisa saja kuda mereka kena rabies dan keretanya terbalik di tengah jalan lalu pangerannya jadi gila, tapi mereka memutuskan untuk memotong adegannya!"
"Kau adalah penghancur mimpi anak-anak!"
"Ya, ya—baiklah! Kau mau cerita bagus? Biar kukisahkan tentang Golden Jack—trofi emas yang diperebutkan oleh tiga Dewi Olympia."
"Maksudmu Golden Apple?"
"Kau fasih menyebut golden apple, tapi menyelewengkan kata 'emansipasi'? Ah, sudahlah! Nah, cerita Apel Emas itu dari mitologi, Bocah. Yang akan kuceritakan padamu kali ini sama sekali lain. Golden Jack lebih perkasa, melibatkan tiga Barbie favoritmu. Siapkan mentalmu, karena akan banyak pertumpahan sari buah dan tumbuhan yang mengamuk."
:.:.:
Juni, Eva, dan Ven masih 8 tahun saat itu, berpegangan tangan menuju perjamuan di tenda putih-merah yang dihiasi lampu gantung keemasan dan obor-obor kecil. Ketiganya memenuhi jalan setapak dengan badan kecil mereka yang berjajar, menghalangi siapa pun yang hendak mendahului mereka dari belakang. Ven yang berbadan paling kecil mencengkram tangan Eva; Eva menggamit Juni yang paling jangkung.
Meski bukan saudara, mereka merupakan Anak Sihir. Begitu menetapkan lingkungan pertemanannya sesama Penyihir, hubungan ketiganya menjadi seerat saudara kandung.
Karena gaun mereka yang berbeda warna satu sama lain—merah mudah, hijau, dan kuning—Paris, seorang bocah lelaki yang juga tengah berjalan menuju tenda, menghampiri ketiganya dan mengatai mereka serupa kawat gigi warna-warni. Atau lampu lalu lintas yang rubuh ke samping.
"Gaunku merah muda, bukan lampu merah!" Ven menyalak pada bocah lelaki yang bahkan belum dia ketahui namanya saat itu.
Paris mencibir. Matanya menatap rambut Ven, yang semerah nyala api. "Aku tidak bicara tentang bajumu."
"Lihat pakaianmu sendiri!" Eva mendesak maju untuk membela Ven. Matanya yang kelabu serupa batu kuarsa mengamati saksama jubah lusuh Paris. "Apa yang kaupakai itu kain lap?"
"Ya, memang barusan terpaksa kupakai untuk mengelap lantai karena kain pelnya kaugunakan untuk menyeka ingus."
Hidung Eva kembang-kempis mendengar perkataan lelaki di depannya. Pandangan gadis kecil itu jatuh ke gaunnya sendiri, yang warna hijaunya—mau tak mau dia akui—serupa warna cairan hidung.
"Oh, sudahlah," lerai Juni. Ditariknya lengan Eva, lalu dia menepuk-nepuk Ven yang mulai terisak-isak. Dia melempar senyum pada Paris. "Mari, kita sama-sama masuk tenda."
"Dan, menjadi butir tambahan dalam untaian kawat gigi kalian? Oh, tidak, terima kasih."
Senyum Juni turun. Dia baru akan berderap maju untuk mengajak Paris berkelahi saat seorang pria dengan topi tinggi memanggili orang-orang untuk masuk.
Juni memimpin keduanya memasuki tenda seraya memperingatkan Ven agar berhenti menangis, karena gadis itu suka membuat obor terdekat padam sendiri saat sedang sedih.
"Juni benar," kata Eva seraya menepuk punggung Ven. "Sihir apimu belum terkendali."
"Kau juga, Eva," tukas Juni. "Emosimu hampir meledak tadi, dan kita semua tahu banjir sebesar apa yang bakal disebabkan sihir airmu jika itu terjadi."
Eva memutar bola matanya. "Kau juga hampir bertinju dengan cowok tadi, Juni. Kau bisa membunuh Kurin itu kalau sihir cahayamu meledak."
Ven menyeka air mata dan menyedot ingusnya. "Apa itu Kurin?"
"Rakyat jelata yang tidak punya sihir. Anak lelaki tadi salah satunya—oh, astaga! Lihat itu!"
Para gadis telah memasuki tenda dan terperangah melihat meja-meja berjajar dengan lusinan nampan di atasnya yang berisi lauk-pauk segar. Mangkuk sup menguarkan asap beraroma rempah yang menghangatkan udara malam. Di tengah-tengah tenda, ada batu besar yang mengucurkan air kebiruan, nyaris ungu—warna blueberry—ke kolam jus. Beberapa gerobak kecil berisi buah-buahan segar mengelilinginya. Di dekat deretan mangga, terlihat ayah angkat mereka—Tuan Lymia, tengah memberi selamat pada Nyonya Adiv, wanita yang mengadakan perjamuan untuk merayakan pengadopsian Anak Sihir-nya yang pertama.
Ven berhenti menangis, lantas menarik tangan Eva dan Juni menuju pahatan raksasa berbentuk hati, terbuat dari cokelat yang dibekukan. Ketika Eva dan Juni tengah menanyakan kepada seorang pelayan apakah mereka bisa mendapatkan sepotong cokelat, seorang bocah lelaki menghampiri Ven. Melihat sosok itu, Ven jadi siaga.
"Gaunku bukan lampu lalu lintas!" Ven mengibas-ibaskan tangan ke arah Paris seperti mengusir ngengat, bahkan sebelum lelaki itu berkata-kata.
Paris mengangkat kedua tangannya yang penuh dengan permen loli. "Hei! Aku, 'kan, cuma bercanda tadi!"
Ven tampaknya tidak peduli. "Kami bukan kawat gigi—oh, apa itu permen?"
Sepasang mata cokelat Ven berbinar-binar penuh harap, mengunci permen-permen Paris sebagai target.
Paris sendiri tampaknya memutuskan bahwa tidak ada ruginya berbagi. Diberikannya salah satu permennya kepada Ven.
"Cuma satu?" Ven mengerucutkan bibirnya kecewa. Ujung rambutnya menyala hingga menyerupai ekor berapi.
Paris memberinya satu lagi. Dia mengamati Ven yang menerima permen-permennya. "Kau penyihir api, ya?"
Ven membelalak. "Dari mana kau tahu?"
"Rambutmu terbakar."
Sementara Ven menepuk ujung rambutnya yang berkobar, Eva kembali dengan sepelukan permen cokelat, terkemas dalam bungkus berpita. Matanya memelotot saat menangkap kehadiran Paris.
Bocah Kurin itu tampak tidak peduli. Dia menyelipkan tangkai permen-permennya pada sabuk, celana, dan saku jubah seperti menyimpan pedang-pedangan, lalu bertanya, "Apa kalian di sini untuk Golden Jack?"
"Apa Jack?" tanya Ven.
"Golden Jack," beri tahu Eva. "Jack Emas—anugerah dari Nyonya Adiv yang akan diberikan pada salah satu hadirin untuk pengaodpsian Anak Sihir-nya yang pertama. Ayah juga dulu menghadiahi seorang anak tongkat petir saat mengadopsi Juni. Jack Emas yang dijanjikan Nyonya Adiv akan memberi kemasyhuran pada penerimanya seumur hidup."
Ven melahap dua permennya sekaligus. "Siapa yang peduli pada kemancungan?"
"Kemasyhuran," ralat Eva. "Artinya kau bakal terkenal seumur hidup." Eva mendelik dingin pada bocah lelaki di hadapannya. "Kuasumsikan kau mengincar Golden Jack, ya, Kurin sepertimu?"
"Aku tidak butuh." Paris menyombong. "Lagi pula, Jack Emas diperuntukkan bagi perempuan. Dan biar kutegaskan, walau aku Kurin, aku kemari atas undangan Nyonya Adiv sendiri. Namaku Paris, omong-omong."
"Aku Venus," kata Ven. Permennya sudah menghilang secara ajaib, dan kali ini matanya mulai melirik permen di saku jubah Paris. "Yang galak ini semacam kakakku, Minerva, tapi kau bisa panggil dia Eva. Kalau yang masih memandangi pahatan cokelat di sana itu Juni."
"Kita tidak berteman dengan Kurin menyebalkan," cecar Eva. Dia ingin menarik temannya menjauhi Paris, tetapi Ven malah menempeli si Kurin, memalaknya.
"Satu lagi saja!" Ven mencengkram jubah Paris.
"Di tangan kakakmu itu ada banyak cokelat!"
"Ada apa ini?!" Juni berderap marah, menyela di antara Ven dan Paris. "Kau apakan adik-adikku?!"
"Oh, hebat!" Paris mengerang. "Permenku dirampok, dan aku juga yang salah!"
Paris melimbai Ven dan berbalik untuk lari. Dengan cepat dia membelah kerumunan, tetapi Ven mengejarnya.
"Venus!" Eva menjatuhkan semua cokelatnya dan, bersama Juni, mengejar adik bungsu mereka yang meninggalkan jejak api kecil di tanah.
Setiap obor menyala lebih terang saat dilalui oleh Ven, mengagetkan beberapa orang di sekitarnya. Saat mereka menyadari siapa yang berlarian, semua orang hanya bergumam mafhum—tiga Anak Sihir dalam satu keluarga, tentu sudah banyak kekacauan yang dihasilkan oleh mereka melalui pertengkaran paling kecil sekali pun.
Keempatnya bergulat di dekat kolam jus dengan sedikit percikan api, gulungan air mancur blueberry, serta tembakan cahaya kekuningan. Mereka menjadi tontonan seru selama beberapa menit sampai Nyonya Adiv mengumumkan anugerahnya. Tuan Lymia buru-buru mengatur ketiga anak gadisnya agar berhenti membakar jubah Paris.
"Anak-anakmu di luar kendali, Tuan!" geram Paris seraya mengebuti jubahnya yang berasap. Dia mendapat pelototan dari ketiga gadis itu, dan tatapan minta maaf dari Tuan Lymia.
Di samping gerobak buah-buahan, Nyonya Adiv mengumumkan anugerahnya: Jack Emas, diperuntukkan bagi yang tercantik, berdasarkan mitologi lama tentang Apel Emas.
"Yang tercantik?" bisik Eva. Matanya menatap Tuan Lymia penuh harap. "Bukankah Ayah pernah bilang bahwa kecantikan seorang perempuan dilihat dari dalam? Dari kepintarannya?"
"Benar." Tuan Lymia tersenyum. "Kecerdasan, kebaikan hati, kelembutan."
Nyonya Adiv menarik sesuatu dari gerobaknya. Ada tangkai yang menyembul, berwarna keemasan.
"Taruhan, Jack itu pasti kacang," gumam Paris.
"Menurutku itu apel-apel yang dililit ke tumbuhan merambat," sanggah Eva. "Aku pernah membuatkannya untuk Nyonya Adiv sebagai hadiah, untuk menghias tirai rumahnya."
"Atau permen bertangkai," tambah Ven.
Juni mengibaskan tangannya. "Hush, kalian."
Nyonya Adiv mencungkil sesuatu di bawah tangkai emas itu, lalu segera melemparkannya ke para hadirin. Semua orang berseru gembira pada awalnya, berebut untuk mendapatkan Jack Emas yang meluncur di udara, tetapi berubah pucat saat menyadari benda raksasa dengan kulit kasar macam apa yang menuju ke arah mereka.
Antusiasme berubah menjadi pekikan jeri. Paris melompat ke samping dan tiarap seolah kejatuhan bom. Tuan Lymia menarik dua putrinya yang paling dekat, tetapi tidak sempat meraih seseorang. Semuanya menghindar, kecuali satu.
"Juni!"
Juni mengangkat tangannya yang bercahaya, membuat laju jatuh Jack Emas melambat sampai buah gigantis itu mengambang di udara tepat di atas kedua tangannya. Pada permukaan keemasan buah raksasa itu, tertera: Untuk yang tercantik.
"Jackfruit—nangka?!" Paris memekik jeri menyaksikan sebuah nangka utuh seukuran empat kali kepala Tuan Lymia mengambang. Bocah lelaki itu membelalak ke arah Nyonya Adiv. "Nyonya! Kau mau membunuh kami, ya?!"
Nyonya Adiv terkikik canggung. "Oh, anak pandai! Lihat! Tidak ada yang mati, 'kan?"
Ven mengerut ke sisi ayahnya. "Jadi, kalau mau dapat Jack Emas, harus menangkapnya?"
"Ya, itu tidak masuk akal!" bentak Eva. "Tidak ada hubungannya kecantikan dengan keberuntungan menangkap buah nangka raksasa!"
Juni memandang saudarinya tidak senang. "Keberuntungan? Apa kau mau bilang bahwa buah ini salah memilihku, Eva?!"
"Bukan begitu—"
"Aku tahu kau berminat juga pada Jack Emas!" sambar Juni. "Dari caramu menunggu, dan berkata bahwa kecantikan dilihat dari kepintaran—kau mau bilang aku tidak cukup pintar?"
Eva mendecakkan lidahnya. "Tentu saja kau pintar. Maksudku, kau bisa menyelesaikan tugas Sihir Alam level 1 kemarin sebagiannya karena kerja kerasmu sendiri."
"Sebagian?!" Juni menyalak. "Hanya karena kau membantuku menjawab dua pertanyaan, kau mau berlagak bahwa sebagiannya lagi adalah jerih payahmu?!"
"Baiklah, jadi kalian mau ini ditentukan dengan cara apa?" Nyonya Adiv buru-buru mengambil kembali Jack Emas, membuat Juni bergetar bibirnya. Matanya berkilat dan rambut pirangnya menyala benderang, menunjukkan kekecewaannya.
"Putuskan saja dengan adil," cetus Paris yang sudah bangkit berdiri. "Nilai di antara ketiga orang ini yang tercantik. Walau, yah, menurutku tidak ada di antara ketiganya yang—"
"Oh, benar juga!" Nyonya Adiv mendorong nangka besar itu ke pelukan Paris sampai si bocah lelaki tersaruk mundur oleh bebannya. "Kau yang putuskan, Paris."
"Aku?!"
Paris mengerut di antara tatapan orang-orang. Yang paling menekan adalah tiga pasang mata dari para gadis kecil yang menunggunya.
Rambut pirang Juni menyala seperti serabut jagung kena setrum (walau Paris tidak tahu apakah serabut jagung bisa disetrum). Kata gadis itu, "Kau tahu akulah yang semestinya memiliki Golden Jack, 'kan?"
Mata abu-abu Eva tak kalah mengerikan. Namun, yang membuat Paris gugup adalah air mancur di belakangnya yang bergolak, membentuk ombak setinggi dua meter hingga hampir menyentuh atap tenda. "Kau tahu aku sangat memercayai penilaianmu, Kurin. Karena kalau sampai salah, aku akan ...."
Seolah memungkas perkataan Eva, beberapa semangka pecah, diikuti buah-buahan berair lainnya yang ikut meledak. Air mancur blueberry makin bertingkah dengan meliuk turun dan membasahi gaun kuning Juni, membuat warnanya jadi polkadot.
"Eva!" geram Juni.
Paris melakukan kesalahan dengan mendelik ke arah Ven. Gadis terkecil itu rupanya lebih mematikan. Seluruh rambut dan gaunnya berubah menjadi api, dan tatapan Ven terkunci pada permen-permen loli di balik jubahnya.
"Punya dia!" Paris berteriak seraya melemparkan nangka emas pada Ven, yang ditangkap oleh Tuan Lymia sebelum buah raksasa itu menewaskan putri bungsunya. "Pokoknya, berhentilah membakar bajuku!"
Api Ven padam. Dia menyengir kepada kakak-kakaknya, bersenandung, "Punyaku."
Juni dan Eva menatap pada ayah mereka, menuntut.
"Begini saja," putus Tuan Lymia. "Bagaimana kalau kalian bertiga berbagi?"
"Itu punyaku," ratap Juni dengan tangan terkepal. "Tidak bisakah, sekali saja, aku memiliki sesuatu untuk diriku sendiri?"
"Juni ...."
"Aku selalu berbagi buat mereka berdua!"
"Oh, kau ingin mulai berhitung jasa kita untuk satu sama lain?" tukas Eva marah. "Aku selalu membantumu dalam segala hal yang tidak bisa kaulakukan sendiri, dan pernahkah satu kali saja aku mendapat apresiasi untuk itu semua? Tidak, 'kan? Alasannya selalu karena kita bersaudara!"—Tuan Lymia mencoba menyela. Namun, anak-anaknya tidak bisa disela, terutama Eva, yang membuat air sup di panci terdekat berdeguk. "Dan sekarang kau kepingin mengeluh tentang berbagi barang-barang karena kau anak sulung dan sebagainya?! Kau kakak macam apa?!"
Lantas meledaklah kemarahan Juni. "Kalian bahkan bukan benar-benar adikku!"
Semua orang berdengap, termasuk Tuan Lymia.
Paris memepet Nyonya Adiv dan bertanya dalam bisikan. "Apa maksudnya?"
"Mereka Anak Sihir," jawab Nyonya Adiv. Wanita itu entah sejak kapan telah mendekap buntelan kain berisi bayi adopsinya. "Anak Sihir tidak punya ikatan darah dengan siapa pun. Mereka terlahir dari sihir dan diadopsi, seperti bayiku ini." Nyonya Adiv berjongkok dan memperlihatkan bayinya kepada Paris. "Oh, ya, menurutmu, dia mesti dinamai apa?"
Paris menahan napas, tidak habis pikir akan jalan pikiran wanita di hadapannya. Dia mengamati bayi Nyonya Adiv, dan berkata sinis, "Bagaimana kalau dia dinamai Nangka?"
Nyonya Adiv melipat bibirnya ke dalam, tampak sungguhan mempertimbangkan itu. Sebelum si bayi benar-benar menjadi Nangka, Paris buru-buru mengoreksi. "Kawan."
"Kawan?"
"Karena acara perayaan pengadopsian anakmu ini memecah belah hubungan persahabatan tiga perempuan itu. Anggap saja namanya bisa jadi doa agar mereka kembali akur."
"Kau yang membuat mereka bertengkar, Paris." Nyonya Adiv mengingatkan.
Ketiga Anak Sihir mulai adu mulut. Api-api obor mulai membara lebih besar, dan air mancur blueberry menyiram semua orang. Lampu-lampu gantung ikut menggila—nyala-mati seperti mengalami korsleting.
Orang-orang berpikiran bahwa, besok paginya, mereka bertiga akan kembali seperti semula. Tertawa lagi, bermain bersama seolah tak pernah terjadi apa-apa. Perkelahian mereka tak pernah berlangsung lebih dari 24 jam. Ketiganya selalu menjadi teman baik bagi satu sama lain. Hubungan macam itu tak mungkin rusak hanya dalam semalam.
Sayangnya, tidak untuk yang kali ini.
Sepuluh tahun berlalu, dan hubungan mereka tidak pernah sama lagi sejak insiden Nangka Emas.
*** Silver Lining ***
Di sorot cahaya terang
Tiada jalan pulang
Dalam malang
Kau temui keindahan
"MEREKA MASIH anak-anak dulunya—mengatai satu sama lain curang, tetapi tetap saja bermain bersama; memelihara boneka Barbie untuk digunduli atau didandani sampai menyerupai setan wanita; menggosip tentang sesuatu yang bahkan tidak mereka pahami. Begitu beranjak remaja, ketiganya jadi jarang saling tegur. Kadang hanya saling melempar senyum canggung saat berpapasan."
"Dan ketiganya malah bertingkah seperti singa betina yang kerasukan hanya karena sebiji nangka?"
"Waktu berlalu, Bocah, dan para gadis kecil telah bertumbuh menjadi setan wanita—maksudku, menjadi boneka barbie yang pernah mereka dandani. Mereka lebih peduli untuk membuktikan diri dengan suatu trofi ketimbang kualitas yang mereka miliki di dalam; kualitas semacam kepintaran, keramahan, dan kedewasaan."
"Tapi Juni punya kedewasaan, Eva itu pintar, dan Ven memiliki ... eh, entahlah. Apa yang dimiliki cewek api itu?"
"Tentu saja mereka punya kualitas masing-masing, bahkan Ven! Tapi mereka mengesampingkan itu semua. Tanpa mereka sadari, mereka malah meninggalkan orang yang paling peduli, yakni satu sama lain."
:.:.:
Juni pangling saat tahu sosok pemuda dengan rompi hitam dan kemeja putih itu adalah Paris. Pemuda gagah dengan Sihir Tumbuhan itu adalah orang yang sama dengan bocah lelaki berjubah kotor sedekade lalu.
"Memang kaukira aku selamanya bocah pendek berjubah gosong?"
Juni memutar bola matanya. "Satu hal yang tidak berubah—kau masih tidak sopan. Jadi, bagaimana bisa Kurin sepertimu jadi Anak Sihir?"
"Nyonya Adiv mengadopsiku," jawab Paris. Matanya biru kelam menusuk, lebih dalam dari tatapan Eva, lebih tajam dari pelototan Ven, dan menangkap lebih banyak cahaya dibandingkan mata Juni sendiri. Juni tak pernah menyadari ini karena sepuluh tahun lalu Paris amat dekil, tetapi pemuda itu sangat tampan dengan rambut tersisir ke belakang dan seringai sarkastisnya.
Semak di sisi mereka bergerisik, dan keluarlah sesosok gadis bertubuh ramping dengan seragam—rompi, kemeja, rok, legging, dan sepatu bot rendah—serba kelabu.
"Eva." Juni seolah hendak melompati pagar kayu dan lari. "Kenapa—?"
"Ini hari ujianku juga," jawab Eva dingin. Matanya lalu menangkap Paris. "Siapa ini?"
"Oh, bukan siapa-siapa. Aku hanya pohon ek berwajah manusia yang kebetulan punya tangan dan kaki. Abaikan saja aku, Nona-nona."
"Paris," dengus Eva yang langsung mengenalinya. "Jadi, benar, desas-desus di asrama? Mereka telah mematenkan Adopsi Sihir terhadap Kurin?"
Dari ujung jalan kecil yang diapit oleh pagar tembok penuh tumbuhan merambat, aura panas membakar mendekat. Lantas muncullah Ven dengan seragam serba merah dan bahu rompinya yang terbakar api oranye. Senyum tipisnya terulas.
Juni memandangi langit mendung di atasnya. "Ini pasti disengaja!"
Mereka berempat saling memunggungi, memandangi tiap sudut dengan awas. Tembok-tembok tinggi penuh sulur yang hidup membentang di sisi Ven, pagar kayu di sekitar Juni berkeriut dan sesekali menyerpih, membentuk formasi cucuk-cucuk yang siap menghujam di udara, semak belukar menguarkan aroma yang membuat Eva nyaris pingsan, dan tanah terus bergolak di bawah kaki Paris seolah mencari celah untuk menelannya.
"Kalau tahu ujian sihir sama dengan ajang mati konyol, mending aku jadi Kurin saja sampai mati," keluh Paris.
"Setidaknya kau bakal lebih dihargai kalau jadi Anak Sihir," kata Eva.
"Dan bisa mendapatkan apa pun yang kau mau dengan lebih mudah," tambah Juni.
"Dan hidupmu lebih terjamin," pungkas Ven. Salah satu sulur menyasarnya, tetapi Ven membakarnya habis dengan satu jentikan jari. Pada jentikan jari kedua, apinya padam. "Memang kalau jadi Kurin, kau bakal kerja apa?"
"Mengurus Kawan."
"Siapa?" tanya ketiga gadis itu bersamaan.
Pagar kayu menyerpih lagi, membentuk formasi duri-duri di udara. Juni melibas semuanya dengan sihir cahayanya, tetapi duri-duri itu justru menyebar ke balik semak, tumbuhan sulur, dan tanah di bawah kaki mereka.
"Kawan, Anak Sihir Nyonya Adiv, yang acara pengadopsiannya kalian kacaukan sepuluh tahun lalu!" Paris meloncat saat tanah memadat dan membentuk cengkraman tangan di pergelangan kakinya. "Sungguh kacau anak itu! Hanya karena dia diadopsi lebih dulu, dia berlagak seperti seorang kakak—menyuruh-nyuruhku seperti bos besar!"
Eva membuat tanah di dekat kakinya merekah, lalu memunculkan gelombang air yang menyiram semak bau di dekatnya. Aroma tidak sedap lenyap selama beberapa saat, tetapi semak-semak itu dengan cepat mengeringkan diri dan kembali membuat mata Eva berair dengan busuknya.
"Tapi, kudengar Kawan adalah Anak Sihir yang, em, apa istilahnya, ya?" Eva berdecak-decak. Tangannya masih berusaha mengendalikan air di sekitarnya, menyiram bau busuk sebanyak mungkin. "Berbeda? Prematur?"
"Iya," lirih Paris, nyaris tidak terdengar. "Dia hampir tidak punya sihir dalam dirinya, sering melupakan segala hal, dan daya hidupnya tipis. Para tabib memprediksi, umurnya hanya sampai 10 tahun. Perjanjianku dengan Nyonya Adiv, aku hanya akan mengurusnya sampai umur itu, entah dia bertahan atau tidak. Setelahnya, aku boleh menerima uang pensiun."
"Kau mau hidup dengan cara rendahan itu?!" hardik Juni.
Sihir api Ven padam seketika. Bibirnya bergetar, "Ta, tapi, itu artinya minggu depan—"
"Ulang tahunnya yang ke-10. Hari terakhirnya juga." Paris mengulurkan tangan, mencengkram sulur yang mencoba menjerat wajah Ven saat gadis itu lengah. "Hari terakhirku terjebak dalam dunia sihir yang dipenuhi orang-orang seperti kalian."
"Berhentilah mengobrol, Anak-anak!"
Terdengar suara menggema Tuan Lymia. Keempat Anak Sihir itu mendongak, seolah menunggu seorang pria dewasa jatuh dari langit.
"Ini ujian akhir kalian agar menjadi Penyihir! Ayo, selesaikanlah!" Yang ini suara Nyonya Adiv. "Dan, Paris! Tidak ada uang pensiun kalau kau tidak menyelesaikan ujian ini!"
"Ibu!" Paris memeloti langit mendung. "Kau meninggalkan Kawan sendirian di rumah, ya?"
"Oh, tidak, Nak! Kawan Ibu bawa. Orangnya ada di sini!"
"Paris!" Suara melengking anak laki-laki membelah langit seperti petir. "Beruntung nian kau, Sobat! Dikelilingi tiga perempuan cantik begitu!"
"Kawan, Sayang! Jangan melompat-lompat di atas panel itu nanti kau—" Di tengah ucapan Nyonya Adiv, langit kelabu seolah menyobek dirinya, dan jatuhlah seorang bocah laki-laki ke arena Ujian Sihir Akhir. "—jatuh .... KAWAN!"
Kawan menyongsong maut di usia 9 tahun 11 bulan 23 harinya dengan teriakan, "Wiiiiii!"
Paris melupakan tanah-tanah dan semak bau, lalu melompat untuk menangkap kakak—atau adik?—nya. Dari telapak tangan pemuda itu, tumbuhlah beledu yang memanjang dan melebar dengan kecepatan luar biasa, membuat bantalan untuk tempat Kawan mendarat.
Berita baiknya, Kawan selamat. Bocah itu terbahak kencang sampai terbatuk-batuk, "Ayo, sekali lagi, Bung!"
Berita buruknya, tanah hidup berhasil mencengkram Paris sampai kepinggang, dan sebelah tangan kirinya tersangkut di semak bau. Aroma busuk membuat pemuda itu tak berkutik hingga matanya nyaris berputar ke atas.
Eva membuat ombak besar dan menyiram Paris bersama semak dan tanah, tetapi sulur di tembok yang lelah bermain dengan Ven kini malah mengincarnya. Salah satu sulur menjerat tangannya, lalu kakinya. Serpihan kayu menggores pipinya. Tumbuhan itu menarik dan mendorongnya hingga baju Eva tersangkut ke salah satu semak yang mengurung Paris.
Ven mencoba membakar sulur dan semak, tetapi Juni menghentikannya. "Kau bisa membakar Eva dan Paris juga!"
"Juni!" teriak Eva saat salah satu sulur mencoba membekap mulutnya. "Cahaya! Sulur-sulur hidup ini takut cahaya!"
Juni mengangguk paham dan menerangi separuh arena dengan cahaya putih dari tangannya, tetapi sulur-sulur itu hanya melambat. Malah, sulur yang terlindung dari balik bayang-bayang tembok mulai merayap di tanah dan menjerat kaki Ven. Gadis itu memekik saat badannya tergantung terbalik.
"Lebih terang!" beri tahu Eva.
"Kalian bisa jadi buta!" Juni memperingatkan.
Eva menjangkau ke samping untuk menutup mata Paris dan Kawan yang sama-sama tergolek tidak berdaya, lalu menutup matanya sendiri rapat-rapat, yang diteladani oleh Ven.
Ven memekik dengan suara goyah, "Sudah! Ayo, butakan kami!"
Seluruh tubuh Juni menyala. Bola matanya bahkan berubah keemasan. Gadis itu meledak bagai supernova, berdoa dalam hati bahwa panel-panel dalam ruang kendali ujian sihir mampu melindungi Tuan Lymia dan Nyonya Adiv dari kebutaan permanen—lebih bagus lagi kalau keduanya bertindak pintar dengan memalingkan muka.
Sulur-sulur lenyap menjadi asap. Semak bau mengerut selama beberapa saat dan tanah pun berhenti bertingkah.
Suara Tuan Lymia menggelegar di langit. "Itu anak-anakku!"
"Anak-anakku juga!" Nyonya Adiv terdengar bangga. "Itu! Yang pingsan itu!"
:.:.:
"Lalu, Tuan Lymia dan Nyonya Adiv berangkulan. Orang asing akan memandang mereka sebagai sejoli, sedangkan orang yang mengenal mereka cukup lama pastilah tahu bahwa keduanya sudah seperti saudara. Karena begitulah persahabatan—bisa berasal dari hubungan apa saja dan bisa menjadi akar dari segala hubungan lainnya."
"Mereka bahkan tidak malu terhadap satu sama lain, ya? Walau Nyonya Adiv agak, em, aneh. Dan Tuan Lymia terlalu lembek."
"Oh, itulah gunanya seorang sahabat, Bocah. Mengeluh tentang kekurangan kawanmu, tetapi tetap setia dan tidak beranjak dari sisi satu sama lain."
*** Bronze Angel ***
Bukan sulap, bukan sihir
Yang tamak, yang congkak, yang kikir
Bencana ditimpakan pada mereka
Yang sempat terlena oleh nangka raksasa
PARIS TERBANGUN saat Eva menyiramnya dengan air asin.
"Bocah kurang a—" Paris menghentikan dirinya saat menyadari bahwa para gadis mengepungnya dan Kawan menyengir di sisinya. Segera saja Paris mengusap wajahnya yang basah dengan malu. "A, aku kira, Kawan mengencingi wajahku lagi."
"Lagi?!" Ven terpekik.
"Eh, sampai di mana kita?" Paris buru-buru bangkit dan menelaah keadaan sekitar.
Mereka berada di atas batu yang begitu tinggi hingga langit mendung seolah terlihat begitu dekat. Mereka semua basah kuyup dengan ujung seragam yang agak gosong dan terasa aneh karena suhu dari cahaya Juni. Jauh di bawah, sulur-sulur sudah menghilang, tetapi semak bau berusaha memanjat naik ke puncak batu, dibantu oleh gelombang tanah hidup yang berusaha mengangkat semak-semak itu ke atas. Mereka sudah setengah jalan menuju ke atas.
"Patung malaikat," gumam Eva. "Kita harus mencari patung malaikat dan menemukan sesuatu yang tersimpan di dalamnya, maka ujian ini akan berakhir."
Ven mengeluh, "Aku tidak bisa mengingat sedikit pun instruksi ujian ini."
"Aku hanya ingat separuh," kata Juni.
Kawan menceletuk, "Paris bahkan tidak membaca instruksinya dan memutuskan tidur lebih awal semalam."
Paris memberi tatapan tutup mulut pada Kawan.
Juni mengernyit. "Bagaimana kau hidup selama ini? Keberuntungan?"
Paris mengangkat bahunya dan menjawab sambil lalu, "Tuhan sayang padaku. Orang sepertiku selalu panjang umur."
Seolah tersadar akan ucapannya, Paris buru-buru menggigit lidahnya sendiri. Matanya melirik tidak nyaman pada Kawan, yang ekspresi wajahnya mengeruh. Namun, itu hanya berlangsung sesaat—Kawan kembali mengulas cengiran jailnya dan berlagak memantau keadaan sekitar.
"Jadi, ke mana kita mesti cari patung malaikat?" tanya bocah itu.
Semua mata memandangi Eva penuh harap.
"Kita mencari patung perunggu," kata Eva. "Malaikat wanita yang duduk bersimpuh. Karena menurut instruksi kita harus masuk lewat terowongan di ibu jari kakinya, berarti patung itu tingginya pasti seperti bangunan sepuluh lantai."
"Masuk ke jempol kaki seorang wanita perunggu," gumam Paris. "Sungguh menyenangkan."
"Hei, teman-teman." Ven menginjak-injakkan kakinya ke permukaan batu. "Bagaimana caranya kita naik ke atas sini tadi?"
"Gelombang airku membawa kita ke sini," jawab Eva. "Aku melihat permukaan yang tinggi, jadi aku menyasarnya."
Ven tampak berpikir selama beberapa saat seraya memandang ke bawah. "Tidakkah menurut kalian, batu ini terlalu besar dan berlekuk untuk sebuah batu biasa?"
Mereka buru-buru melongok ke bawah dan memerhatikan dengan lebih saksama. Mengabaikan semak dan tanah yang menggila, batu ini memang berbentuk seperti dipahat ....
"Ini patungnya!" Eva menjerit seraya memeluk Ven sampai keduanya melompat-lompat.
Kaki-kaki yang melonjak itu kemudian menggelincir di atas rambut perunggu sang malaikat. Barangkali, si patung hanya tidak menyenangi kepalanya diinjak-injak sejak tadi.
Segalanya terjadi begitu cepat dan beruntun. Ven dan Eva jatuh lebih dulu. Juni yang mencoba menarik mereka ikut terperosok. Melihat para gadis itu jatuh massal, Kawan memutuskan untuk ikut melompat. "Wiiiii!" teriaknya.
Paris memandangi ujung kepala patung, di mana semua teman ujiannya menghilang. "Yang benar saja!"
Lalu, dia pun terjun menyusul.
Semak bau menyambut dan tanah bergolak di sekeliling mereka. Bahkan dengan sihir air Eva dan sihir cahaya Juni, semak-semak itu nyaris tidak bisa dihentikan. Air dan cahaya—para semak dan tanah justru kegirangan dengan kombinasi Juni dan Eva.
"Bakar akarnya!" bentak Paris. Semua orang nyaris melupakan bahwa sang mantan Kurin sekarang adalah Penyihir Tanaman. Walau properti dalam arena ujian sudah dimantrai agar tidak bisa dikendalikan oleh Paris, tetapi dia tetap memahami mereka.
"Bagaimana?" pekik Ven.
Wajah Paris memerah karena bau busuk semak. "Pakai api, Venus!"
"Tapi kita nggak punya korek api," tangisnya.
"Ya, Tuhan!" gerung Paris. "Kau itu penyihir apa?!"
"Oh, ya." Ven teringat. Mata gadis itu menyala merah muda dan ujung-ujung rambutnya mulai berasap, lalu terbakar seperti obor.
Api tidak langsung membakar mereka semua, tetapi berjatuhan dalam bentuk titik-titik api kecil yang menghanguskan dedaunan dan ranting ke bawah hingga membentuk lubang di semak. Api merayap turun sampai ke tanah, sesekali menjalar dan menyasar tempat yang salah. Alis Paris terbakar sebelah dan siku seragam Juni gosong.
Semak menghitam dari bawah dan berhenti mencoba membunuh mereka semua.
Diikuti Kawan, keempat peserta ujian menyongsong jempol kaki si wanita perunggu.
Mereka menemukan sebuah peti besar di lorong di bagian dalam patung. Dalam keremangan cahaya dari rambut pirang Juni, Paris tersenyum lebar dan membuka peti. Namun, senyumnya turun saat melihat apa yang ada di dalam.
Paris mengangkat Golden Jack ke atas peti, membuat seisi lorong senyap.
"Untuk yang terkuat, bertahan hingga akhir." Paris membaca tulisan pada permukaan emas buah raksasa itu. "Kurasa, hal yang memulai pertikaian ini mesti menyelesaikannya juga. Silakan kalau kalian mau mulai saling bunuh untuk buah nangka, Nona-nona."
Ketiga gadis itu saling berpandangan, lalu mengangguk satu sama lain.
"Bukannya sudah sangat jelas?" Juni mengangkat Golden Jack, lantas memberikannya pada Kawan. "Untuk yang terkuat. Yang bertahan, bahkan tanpa kekuatan sihir, sampai akhir."
"Uwoh!" Kawan berdecak kagum. Dia menatap Paris, seolah bertanya apakah ini sudah benar.
"Kau pantas, Bocah." Paris mengangguk. "Jangan pedulikan apa kata para tabib. Kau yang terkuat. Kau bisa melalui ulang tahun yang ke-10."
Kawan terkekeh-kekeh, tersaruk mundur oleh beban Nangka Emas. Melihat Kawan yang bergerak seperti orang mabuk, Paris berharap dirinya tidak tampak sekonyol itu sepuluh tahun lalu saat membawa Nangka Emas.
"Aku ...." Eva berdeham seraya melirik Juni. "Aku minta maaf. Aku tidak akan bisa bertahan sejauh ini tanpamu. Seharusnya, aku tidak egois dulu. Golden Jack itu memilihmu."
Wajah Juni seolah hendak menangis. "Tidak. Aku yang minta maaf. Aku akan gagal sejak hari pertama jika bukan karenamu. Dan atas semua bantuanmu itu ... memang tidak pernah ada sekadar kata 'terima kasih' yang kau terima. Maaf, dan terima kasih, Eva."
Ven terbatuk dengan suara keras.
Juni dan Eva buru-buru menabrak Ven, lalu mendekapnya erat-erat. Menahan isakan, Juni berbisik, "Tentu saja hidup kami takkan berwarna tanpamu, Venus."
Eva mengangguk dengan dagu yang menumpu di bahu Ven. "Aku dan Juni barangkali sudah saling bunuh jika tidak memandang dirimu."
Kawan masih menjerit tertawa-tawa. "Aku nggak ingat kenapa dan bagaimana bisa aku berada di sini atau apa yang sebenarnya terjadi, tapi buah ini keren banget!"
"Ya, ya." Paris bersandar pada dinding lorong sambil bersedekap. "Hanya pohon ek yang ada di sini, kebetulan punya wajah dan tangan dan kaki—abaikan saja dan teruslah kalian berangkulan, atau berdansa dengan Nangka Emas raksasa."
Venus menyeringai. "Oh, jangan sensitif begitu! Kau pun teman kami, Paris!"
Paris tidak mengantisipasi saat, dengan ringannya, Venus memeluk dirinya. Rangkulan itu dirangkap oleh Eva dan Juni sampai-sampai pemuda itu tidak bisa merasakan wajahnya lagi.
"Sekadar mengingatkan," gumam Paris kaku. "Aku laki-laki."
Ven menggeleng. "Tidak terasa demikian."
"Kalau dipikir-pikir lagi, kita tidak benar-benar butuh trofi emas apa pun," bisik Eva.
Juni mengangguk. "Kita sudah punya emas kita sendiri—satu sama lain."
Kawan bergabung dalam pelukan berangkap itu, lalu menjatuhkan nangkanya tepat di atas kaki Paris yang membuat pemuda itu menyanyi sopran di dalam jempol perunggu.
:.:.:
"Tamat."
"Apakah kau menyadur cerita ini dari suatu tempat?"
"Kenapa?"
"Karena aku merasa pernah mendengarnya."
"Ah, hanya perasaanmu saja, Bocah. Intinya adalah .... Hm .... Entah apa inti dari semua ini. Intinya hanya ... persahabatan. Sesuai tema."
"Tema apa?"
"Kesampingkan itu. Intinya, ada jenis persahabatan yang serupa hubungan saudara, ada pula persahabatan rasa pacar, dan ada juga persahabatan yang dijalin oleh dua orang yang bermusuhan."
"Oke ...."
"Barangkali ada yang berfokus pada kisah persahabatan trio Barbie sihir nan seram itu, atau persahabatan Kurin dan kakak kerdilnya, atau antara Tuan Lymia dan Nyonya Adiv, atau mungkin juga persahabatan absurd kita—kau dan aku. Benar, 'kan, Bocah?"
"Ya, ya. Kau selalu benar Paris. Terserahlah."
"Baiklah, kuakhiri cerita ini dan kau mesti segera tidur karena ini sudah ... wah, lewat tengah malam. Betapa cepatnya waktu berlalu, ya?"
"Ya."
"Selamat ulang tahun yang ke-12, Kawan."
:.:.:
Pal's Incantation
SELESAI
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro