FAVORIT #RAWSBestfriend - Extra-Terrestrial oleh LightningLai
Cerita pendek berjudul Extra-Terrestrial karya LightningLai dipublikasikan ulang sebagai salah satu favorit Lomba Cerpen #RAWSBestfriend yang diselenggarakan oleh RAWSCommunity.
***
Embus angin menyapu mulus kota yang pupus. Samar-samar harapan masih terngiang-ngiang dalam benak, membangunkan kesadaran akan bumi yang kalah. Penyerangan alien beberapa hari yang lalu tidak hanya terjadi di Negara Ortvalen, tetapi juga hampir di seluruh bagian bumi. Favanor, salah satu distrik besar Ortvalen kini rata dengan bau mayat dan pecahan beton. Asap mengepul di mana-mana, pertanda kebakaran besar telah terjadi. Derit mesin-mesin reyot mengusik. Kelabu, hanya itu yang bisa dinikmati sejauh mata memandang. Bahkan nyamuk pun enggan sekadar mampir dan menyapa si 'peradaban hampa'.
Di bawah gedung runtuh yang hanya tersisa puing-puingnya, isakan berkumandang. Dua dinding beton tebal menghimpit tubuhnya. Beruntung ada batu yang menghalangi pertemuan kedua tembok, membuatnya tetap bertahan dengan kepala di permukaan dan badan terjepit. Celahnya terlalu sempit, mustahil ia bisa keluar kecuali memotong kepalanya. Asap terus meraup jatah oksigen bersih. Dan tangis sudah mengering meski raungannya tak mereda. Lily terjebak di sana, sudah dua hari lamanya. Menguncang raga, gema perutnya yang mengempis. Kering sudah kerongkongan yang wajarnya berdahaga. Berteman dengan kehancuran nyata, meresapi betapa kejamnya alur takdir. Menunggu mati menghampiri.
"Siapa di sana?"
Bagai dinyalakan kembali saklar sarafnya, Lily lantas bergerak selebar ruang yang ada. Tetapi kerumunan kelabu mengaburkan pandang. Derap sepatu baja yang mencium reruntuhan makin jelas. Siluet entitas tak terindetifikasi mendekat. Semringah, senyumnya kembali mencuat. "Tolong aku!" serunya lirih, suaranya sudah habis di panggung tangis.
Tak disangka masih ada orang yang bisa menemukannya. Selesai sudah penantian hampanya. Namun, wajah berseri lantas menghilang dan lunturlah senyum kala melihat sosok yang datang tak sesuai harapan. Ketakutan mendera, kepanikan melejit. Keringat dingin Lily meluncur bebas di kulit kotornya. Meneguk liur yang tersisa di tenggorokan seiring mata Lily memejam kalut.
Iya, Lily memang ingin selamat. Tetapi bukan orang ini penyelamatnya. Iya, Lily memang ingin bebas. Tetapi bukan alien yang ingin ditemuinya. Iya, Lily didatangi seorang alien. Pembunuh keluarganya dan penghancur dunianya. Pupus sudah harapannya. Kalau tidak dibunuh, Lily yakin akan dibawa ke markas mereka untuk menjadi budak kriya mesin pemusnah.
"Kau baik-baik saja?"
Lily masih memejam. Takut. Meski terdengar suara seksi, rasanya terintimidasi. Lily sudah tahu kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya, jadi ia menunggu saja eksekusinya berlangsung. Namun, lama ia menunggu hanya sedikit suara gesekan benda yang melantun.
"Kau bebas sekarang."
Lily bingung. Ia menjadi bertanya-tanya, apa yang dilakukan si alien? Mengapa ia masih hidup? Walhasil si penasaran menang, membuka kelopak mata Lily. Yang didapatinya adalah beton yang sudah menghilang dari setiap sisi tubuhnya. Ia lantas menatap alien yang sedang berdiri membelakanginya di atas batuan yang lebih tinggi. Antara senang dan takut, persaan Lily campur aduk.
"Te-terima kasih!"
Hendak lari si Lily, si alien berseru menghenti. "Tunggu!" serunya sembari berbalik. Kini Lily takut kembali.
"Kau mau bebas, kan?"
Lily mengangguk.
"Aku akan mengantarmu ke perbatasan, setidaknya ada perkemahan manusia di sekitar sana," ujar sang alien sembari melompat turun. Mendekati Lily, tentunya.
Lily melirik takut-takut. Tubuh kekar dengan wajah remaja dan tinggi seperti atlet basket. Dilehernya ada insang tiga susun, untuk bernapas di air tentunya. Horg namanya, alien yang entah mengapa tiba-tiba menjadikan bumi target pijakannya.
"Ayo."
Lily yang tak berdaya lantas mengangguk dan berjalan di belakang si alien. Hanya gesekan antara sepatu dan batu yang mengiring. Mereka berjalan menjauhi kapal angkasa yang menancapkan jangkar di kerak bumi.
Membosankan, tentunya. Maka Lily mencoba mengawali pembicaraan, dengan pertanyaan sensitif. "Kenapa kau menolongku?"
Alien di hadapannya sedikit terkejut dengan raut tertegun meski terus berjalan.
Tak direspon, maka Lily kembali bertanya. "Kenapa kau tidak membawaku untuk jadi budak atau mengapa kau tidak membunuhku?"
Kali ini alien itu berhenti. Lalu menatap tajam Lily. Mata merah terang seakan-akan memancarkan sinar laser. Berpadu dengan kulit pucat yang dibatasi rambut putih. Hampir mirip manusia memang, hanya insang yang jadi perbedaan mencolok.
"Kau lemah. Membawamu ke pabrik senjata tidak akan meningkatkan efektivitas produksi. Membunuh manusia pun tak ada gunanya, setidaknya kau tidak akan menganggapku jahat bila aku menolongmu," jawabnya datar. Lalu kembali ke aktifitas sebelumnya.
Lily merenung. Bingung pula apa yang harus ia lakukan selain menurut saja akan dibawa pergi dari sini, meski sebagian dari hati kecilnya menolak memercayai alien itu. Sepi bergelayut lagi. Kini bukan Lily yang memulai topik.
"Siapa namamu?"
"L-lily," jawab Lily, gugup. "Dan kau?"
"Axal."
Setelahnya obrolan berakhir dengan Axal yang tiba-tiba berhenti bergerak dan meminta Lily bersembunyi di balik beton yang sepertinya itu dulu bekas sekolah TK. Lily tak tahu apa yang diinginkan Axal, ia hanya menurut saja. Sukur-sukur Axal tak ada niat membunuhnya. Mengintai, mata Lily muncul di sudut bongkahan tembok. Berharap tahu apa yang dilakukan Axal. Namun, ia hanya melihat Axal yang diam dengan tangan telentang dan napas panjang. Masih begitu hingga sesuatu yang besar mendekat. Bermata sembilan, berkaki delapan, dan berjalan merangkak. Hampir saja Lily berteriak, tetapi lekaslah ia tutupi dengan daun tangan.
Axal terlihat tenang meski tatapannya menghunus. Mahluk yang berdiri di hadapan Axal meraung, lalu menghantamkan kulit kerasnya pada Axal yang berdiri tepat di bawah. Rasa takut sudah menjalari tulang-tulang Lily kala Axal tak lagi terlihat. Tetapi di bawah kaki si mahluk mengerikan, Axal sedang kesusahan mendorong kaki itu hingga tubuhnya terguling lalu telentang. Axal baik-baik saja, melegakan napas Lily. Tanpa basa-basi lagi Axal langsung menodongkan senjata berupa tongkat pendek yang memancarkan sinar membentuk sebilah pedang tajam. Itu pedang laser.
Axal melompat menusuk dada monster itu hingga cipratan darah hitam membanjiri tanah. Selagi monster meraung, Axal memanggil Lily. Gadis itu keluar dari persembunyian. Wajahnya seperti baru saja melihat pembunuhan—memang iya, tetapi ini monster yang di bunuh. Lily menatap wajah monster itu, mulutnya tampak menggumamkan sesuatu seakan ingin berbicara dengan Lily. Sayangnya Axal kembali menancapkan pedang hingga mahluk itu benar-benar tak lagi bergerak. Tanpa bicara ia langsung melambaikan tangan pada Lily untuk kembali berjalan.
"I-itu tadi mahluk apa?" tanya Lily ragu.
"Entahlah."
"Bukan kalian yang membawanya?"
"Hanya ada Horg di kapal kami."
Lily terdiam. Memikirkan bagaimana mahluk itu bisa muncul. "Tetapi bumi tidak punya mahluk semacam itu. Kalaupun ada pasti cuma di komik!"
"Di Planet Cibua hanya ada tiga jenis hewan, itu pun ukurannya kecil," Axal menyela. Dan canggung mendera.
"Maaf, bukannya aku menuduh bangsamu. Aku hanya-"
"Tidak apa, itu wajar bagi orang trauma sepertimu."
Lily mengangguk samar. Sebenarnya ia masih bingung motif di balik kebaikan Axal. Apa ia hanya pura-pura baik? Oh, aku tahu! Ia pasti akan membunuhku ketika aku lengah! Ah, tidak mungkin. Lagi pula untuk apa ia menyelamatkanku kalau hanya untuk membunuhku? Apa ia akan memerkosaku? Tidak! Itu terdegar mengerikan, apa lagi jika pelakunya alien! Tidak mungkin Axal seperti itu, meski ia terlihat kejam. Begitulah suara-suara batin Lily.
"Axal, apakah tidak masalah kau menolongku?"
"Tidak."
"Apa tidak akan ada yang curiga?"
Axal tiba-tiba berhenti lalu membuka sepatu bajanya, menunjukkan sesuatu di betis kiri. Bekas luka, jarinya menunjuk bagian itu. "Alat pelacak yang menancap di kakiku sudah kucabut kemarin. Pesawat induk tidak akan tahu keberadaanku," jelasnya.
Bekas luka kecil, terlihat seperti lubang yang dalam. Membuat Lily tersenyum ngilu. "Apa itu sakit?" tanyanya.
Axal menggeleng. "Rasa sakit hanya untuk mereka yang lemah."
Kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan, melewati bangunan-bangunan runtuh dan berteduh di bawahnya ketika hujan asam melanda. Sejauh mereka berjalan, tak ada tanda-tanda kehidupan. Lily sekarang tahu betapa mudahnya Axal menemukan dirinya, karena hanya akan ada suaranya di tengah-tengah hening kemusnahan. Lily menatap Axal yang memakai pakaian seperti milik militer di zaman ini. Ketat dan pas di tubuh, tentunya dari bahan khusus yang Lily tak tahu apa namanya.
Tahun 2173, mungkin jadi tahun terakhir yang akan diingat Lily. Ia tak tahu harus berbuat apa. Menggantungkan nasib pun pada orang yang sewaktu-waktu bisa membunuhnya bila lapar. Lily jadi rindu rumahnya, tetapi ia ragu bentuknya masih utuh.
"Axal, bagaimana kau bisa berbicara bahasa manusia?"
Axal yang sedang membuat api dengan pemancar panas di tangannya lantas menoleh. Lalu menunjuk sesuatu di belakang telinga kanannya. Sebuah alat yang menyumpal lubang telinganya dengan kabel yang memanjang hingga telinga lainnya dan bermuara di alat yang menempel di sana. "Sinkronasi bahasa."
"Apa semua memakainya?"
"Hanya militer."
Axal melempar sesuatu pada Lily. Bulat dan sedikit mengembung. Roti. Ia lantas mengambilnya ragu-ragu. Ketika hendak menyuap ke mulut, Lily langsung berhenti selagi Axal hanya menatap dirinya, datar. "Kau tidak makan?" tanyanya dan Axal menggeleng.
"Aku tidak makan roti." Axal lalu bangkit berdiri ketika dirasa hujan mulai reda. "Aku akan menjaga di luar, kau tidur saja."
Meski Axal berkata demikian, Lily masih saja takut. Hatinya gelisah, ia tak bisa tidur. Baginya semua yang terjadi hari ini begitu tak masuk akal. Ditolong alien? Yang benar saja! Bahkan ia diberi makan dan dijaga tidurnya. Tetapi sanubarinya masih saja tidak tenang. Ia takut sewaktu-waktu Axal menyerangnya. Lagi pula sekarang bagi Lily tidak ada perbedaan antara malam dan siang, semuanya sama-sama gelap. Membuatnya percaya saja ini sudah malam.
Menatap tembok yang dimodifikasi Axal menjadi tenda dadakan, Lily berusaha mengantuk. Padahal sudah dua hari ia tak tidur. Sebelumnya—sebelum Axal datang—matanya selalu berat. Seakan kini tubuhnya diatur untuk tetap terjaga.
Akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri Axal saja, ada sesuatu yang ingin ditanyakannya sejak sebelum kedatangan Horg ke bumi. Axal duduk di atas beton depan tenda dadakan, mengamati bentang alam sepekat jelaga yang bertabur awan kelabu. Tatapan Axal meneduh. Membuat Lily mengerutkan dahi. Heran alien itu bisa merasa galau.
"Kau tidak tidur?" tanya Axal yang sudah tahu Lily berdiri di sebelahnya.
"Aku tidak bisa tidur." Lily mendaratkan pantat di batu yang lebih rendah. Mereka memandang lanskap kelam menyedihkan. Tak ada bulan sang lentera jagad raya, begitu pun bintang si penghias malam. Ironis betul alam sang bumi tercinta yang tak lagi memberi kesempatan cahaya pengiring malam memasuki atmosfer gulitanya.
"Axal, apa boleh aku bertanya?"
"Boleh."
"Tapi berjanjilah kau tidak akan marah."
"Aku janji."
Lily menarik napas sekejap, bersiap menerima kosekuensi dari lisannya. "Apa tujuan sebenarnya kedatangan kalian? Apa kalian ingin memusnahkan kami?"
Axal melayangkan tatapan garang pada Lily. Sorot mata yang sebelumnya damai, kini seolah memancarkan kilatan listrik. "Apa tujuanmu menanyakan hal itu?"
Nyali Lily seketika menciut. "H-hanya ingin tahu," katanya sembari menghindari wajah seram Axal.
"Kami kemari hanya untuk mengambil sumber daya. Sama sekali tidak ada niatan memusnahkan, bertolak belakang dengan budaya kalian yang bahkan mahluk satu planetnya saja ditiadakan."
"Apa maksudmu?"
"Di mana beluga? Apa masih ada beruang es? Kau pernah lihat gajah dan gadingnya? Apa masih ada Pulau Komodo beserta isinya? Terumbu karang tinggal berapa? Lahan hijau di distrik ini hanya hutan di selatan, bukan? Itu pun tidak benar-benar hijau. Sadarkah kalian para manusia sudah mendorong kehancuran mahluk lain?"
Lily terdiam, melongo. Ia bahkan baru mendengar nama mahluk-mahluk itu.
"Secara tidak langsung kalian mempercepat kepunahan bangsa kalian sendiri. Kami datang untuk menunjukkan bahwa bukan hanya kalian yang bisa seenaknya memusnahkan bangsa lain. Kau tahu? Ribuan spesies hewan dan tumbuhan sudah musnah di tangan kalian, para manusia serakah."
Lily diam. Tak mampu berkata-kata. Ia sadar bangsanya hanya peduli pada perkembangan teknokogi dan melupakan apa yang seharusnya mereka jaga. Bahkan sejak era digital abad 21—awal 2000-an hingga perang dunia ke-3—orang-orang lebih peduli pada gadget dan drama hidupnya. Mungkin usaha perbaikan sudah ada, tetapi pertumbuhan manusia jelas lebih cepat dan meningkatkan kebutuhan seiring alam yang makin merosot kualitasnya.
"Tapi kami sudah melakukan yang kami bisa untuk melindungi alam!"
"Aku tahu. Tetapi hanya dilakukan oleh masyarakat yang sadar diri saja. Coba bandingkan, di zamanmu sekarang anggota komunitas kehijauan pasti hanya 30-50 orang, berbanding terbalik dengan maraknya produksi mesin pemicu polusi tak peduli alam yang jumlahnya bisa jutaan," Axal berhenti sebentar, menatap hancurnya peradaban manusia sebelum kembali berujar,"semua tergantung pada kesadaran kalian masing-masing. Alam sudah memberikan segalanya, maka berbudilah padanya. Ingat, penghuni alam semesta bukan hanya kalian. Ada lebih dari 1000 bangsa alien di luar sana, dan sejauh ini bumi beserta isinya adalah gosip terhangat yang dikoarkan hampir di semua stasiun antar galaksi."
Lily menyesali perbuatannya selama ini. Menggantungkan segalanya kepada pemerintah. Mengandalkan teknologi canggih tanpa peduli dampaknya pada alam. Berpesta ria menganggap dirinya yang terbaik. Kalau sudah hancur begini baru ia sadar. Sudah naluri manusia bernafsu meraih kejayaan, tetapi bila mengorbankan alam maka tidak ada yang benar dari perbuatannya.
Tanpa sadar mata Lily sudah berair dibanjiri penyesalan yang dalam menembus dinding hati egoisnya.
"Kenapa kau menangis?" tanya Axal jengah. "Tidak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi. Sekarang yang harus kau lakukan adalah bangkitkan bangsamu dan kalahkan kami, bangun kembali kehijauan di bumi ini."
Axal berdiri dan mengulurkan tangannya pada Lily, ia menatap lekat-lekat mata gadis itu. "Aku percaya kalian bisa melakukan ini."
Ragu-ragu, Lily meraih tangan itu dan bangkit berdiri. "Terima kasih," kata Lily. Tersenyum bibirnya. Begitu pula lekukan tipis di wajah Axal, senyum samar yang tidak seorang pun tahu ia sedang tersenyum.
"Axal, apa sekarang kita bisa berteman?"
Axal diam sebentar. "Akan kupertimbangkan nanti," katanya sebelum menyuruh Lily kembali tidur. Tampaknya gadis itu sudah merasa lebih tenang sekarang, dukungan mental dari Axal membangkitkan kembali semangatnya menghadapi hari esok untuk bumi tercinta.
Baru dua jam yang lalu suasana sehening kuburan, kini kenyamanan tidur Lily terganggu. Gesekan alas kaki dan tanah beriringan dengan kelontangan benda-benda lain yang saling bersinggungan. Merasa ada yang tidak beres, Lily segera bangun dan mengintip ke luar tenda. Di samping kiri reruntuhan gedung, Axal tampak sedang menghadapi keroyokan tiga orang bertubuh kekar. Lily tidak tahu mereka alien atau manusia karena semua memakai helm hitam aneh.
Lily berusaha membantu dengan melempar batu, salah satu yang berdiri di belakang kedua rekannya menyadari itu dan segera merebut batu dari tangan Lily. Tak hanya sampai di situ, ia mengunci tubuh Lily agar tidak kabur. Axal kewalahan melawan kedua lawan yang sama besarnya dengan dia. Cukup kuat.
Axal terjungkal dan jatuh telungkup di tanah. Pandangannya yang mulai mengabur hanya dapat menyaksikan Lily di kepung tiga orang. Ada luka sobek di perut Axal, membuatnya tak berdaya seketika. Entah mengapa ia tak dapat mendengar apa pun.
"Axal tolong aku! Tolong!" Lily melolong.
"Kau tidak seharusnya di sini nona, ikutlah dengan kami!" kata salah satu penyerang itu.
Mereka bertiga berusaha menarik paksa Lily mengikutinya. Tentu saja Lily kalah kuat. Namun, ada kilatan cahaya yang tiba-tiba muncul dan membuat tubuh ketiganya roboh seketika. Di balik sana, Axal sedang memegang pedang lasernya di tangan kanan sembari menahan sakit di perut, menggunakan tangan kiri yang menahan darah birunya tidak keluar.
"Axal!" Lily berlari menghampiri Axal, menompang tubuhnya agar tidak terjerembap. "Astaga! Lukamu parah!"
Axal. Mengambil sesuatu dari kantong keras di punggungnya dan menyerahkanya pada Lily, sepertinya kotak P3K. "Olesi lukaku dengan obat itu lalu bungkus dengan kain hitamnya."
Tanpa basa-basi Lily segera melaksanakan perintah Axal yang wajahnya sudah akan sekarat. Lily tak bisa membayangkan betapa sakitnya luka itu, cukup dalam ketika ia mengobatinya. Darah biru Axal bahkan sempat membasahi baju Lily.
Setelah beres dengan luka, Lily mengumpulkan benda-benda lunak atau kain di sekitarnya agar Axal bisa menjadikannya bantalan. Alien itu menatap langit-langit tenda beton dengan napas tersengal-sengal.
"Aku rasa mulai sekarang kita bisa berteman, Lily."
Lily yang mendengar itu langsung tersenyum. Senang tentunya.
"Kenapa kau tersenyum?"
"Setelah bertahun-tahun, untuk pertama kalinya aku benar-benar memiliki teman. Aku merasa sangat senang, Axal!" kata Lily yang masih belum melunturkan senyumnya.
"Apa maksudmu?"
Lily menghela napas, mencungkil memori masa kecilnya. "Sejak kecil hidupku tidak bebas. Ayah melarangku berteman sembarangan, ia hanya memperbolehkanku berteman dengan kalangan anak pebisnis yang gaya hidupnya membuatku muak. Aku ingin berteman dengan teman-temanku dari pasar loak. Tetapi ayah memarahiku. Dan aku akhirnya menjalani homeschooling ditemani robot-robot asistenku. Aku tidak diizinkan keluar rumah selain mengikuti acara bisnis ayah. Kehidupan yang hampa, bukan?" jelasnya yang tersenyum getir.
Axal terdiam dan melunakan ekspresinya yang selalu kaku. "Kupikir manusia bisa membangun relasi sesukanya, mengingat jumlah kalian cukup banyak."
Lily tertawa hambar. "Status sosial adalah hal penting bagi ayah. Dia tidak akan membiarkanku bebas berteman. Itulah mengapa aku sangat senang punya teman lagi, teman yang nyata tentunya." Ia menatap Axal dengan hangat.
Axal tak bereaksi. Ia melirik deretan angka di jam tangannya kemudian menggiring bola matanya menengok tirai-tirai hitam langit yang tersibak cahaya dan berubah kelabu. "Sekarang kita harus pergi. Tempat ini mulai tidak aman," ujarnya kembali ke mode nada datar.
Axal berdiri meski Lily terus memaksanya berbaring lantaran lukanya yang belum sembuh sepenuhnya. "Lukamu belum sembuh! Kita bisa lanjutkan nanti!"
"Tidak, kita dalam bahaya. Aku yakin pasukan Kerajaan Horg akan segera menangkap kita kalau tidak segera bergerak."
Axal dan Lily berjalan lebih cepat dari sebelumnya meski Lily terkadang harus membantu Axal berjalan ketika sesekali tubuhnya hampir mencium tanah saking tak kuatnya menahan sakit. Namun, mereka berdua sempat adu cekcok hingga tak sadar sedang menapaki jalan menuju patahan raksasa sedalam jurang.
"Akh!" itu Axal, ia memegangi ujung aspal jalan yang terpotong sementara tubuhnya bergelantungan bebas. Hampir jatuh.
Lily memekik takut. "Astaga tunggu sebentar! Aku akan menolongmu!" Lily yang selalu membawa tali pramuka kemana pun dan kapan pun itu langsung mengurai susunannya, membuat simpul yang mengait pada beton berat. Ujung talinya ia serahkan pada Axal yang berusaha bertahan ketika nasibnya sudah di ujung daratan.
Axal segera menariknya hingga perutnya berada di permukaan, sayangnya tarikan pada beton terlalu kuat hingga temboknya malah roboh dan tak dapat dijadikan tumpuan lagi.
"Astaga Axal! Kenapa kau tumbuh menjadi terlalu kuat sih?! Cepat cari pijakan kaki aku akan membantumu!" Lily segera menarik tangan Axal, ia berhasil menyelamatkan si alien.
Axal dan Lily berbaring di aspal kotor yang berpasir dan retak sana-sini. Mereka masih terengah-engah. Campuran rasa lelah dan tertegun.
"Kenapa kau menyelamatkan aku?"
Lily menoleh terkejut. "Karena kau temanku."
Axal balas mengernyitkan dahi seakan tak mengerti.
"Teman saling tolong-menolong, Axal."
Axal membisu sejenak. Tentunya ia tidak bodoh untuk bisa mencerna kalimat Lily. Seakan tersihir, matanya berbinar cerah senada dengan senyum manisnya, tak menyembunyikan kebahagiaan. Membuat Lily bingung, aneh dengan perubahan si datar Axal.
"Kau bisa tersenyum?"
Tertangkap basah, Axal bangkit berdiri.
"Ayo pergi."
Lily bergeming. Ia melihat sekelilingnya. "Kenapa kau ke selatan? Kenapa tidak ke timur? Bukankah perbatasannya di timur?"
"Jangan banyak tanya! Ikuti saja aku!" teriak Axal yang sudah berjalan agak jauh sambil terseok-seok.
Lily menghela napas dan segera mengikutinya meski merasa janggal dengan sikap Axal.
Rupanya Axal membawa Lily ke hutan. Sudah tidak begitu hijau memang. Tetapi Lily tidak yakin dengan maksud Axal.
"Kenapa kita kemari?"
"Dengar, aku berbohong padamu mengenai ada perkemahan manusia di perbatasan. Semua manusia sudah kami tangkap dan-"
"Apa?!" teriak Lily terkejut sekaligus marah.
"Dengarkan aku dulu! Di perbatasan ada pangkalan militer dan laboratorium kami, mereka menginginkan aku membawamu untuk dijadikan bahan eksperimen. Tetapi aku sadar bahwa apa yang kulakukan adalah kesalahan. Jadi aku ingin kau sekarang ke hutan dan pergilah ke negara Wehnberg."
Lily menatap mata Axal dalam, tak ada kebohongan di sana. Tetapi hatinya memekik takut. Tubuhnya melolong meminta tetap diam saja tanpa mengindahkan perintah Axal. Kepercayaannya pada orang yang dianggapnya teman beberapa jam yang lalu hancur seketika.
"Bohong! Kau pasti menipuku, kan?!"
Axal mengusap wajahnya frustrasi. Ia bingung bagaimana meyakinkan Lily. "Lily percayalah padaku. Sekarang aku benar-benar ingin menolongmu!" tangannya bergerak hendak menyentuh pundak Lily, sayangnya gadis itu menepis dengan cepat.
"Jangan sentuh aku, penipu!"
Deru mesin yang bersahutan dengan angin merambat cepat. Tiba-tiba saja muncul beberapa pesawat patroli bangsa Horg.
"Kita kehabisan waktu. Lily cepat lari!"
Bukannya berlari, Lily malah terpaku ketakutan seakan raganya bukan miliknya lagi. Bersamaan dengan itu, muncul beberapa orang berbadan kekar dari salah satu pesawat. Dan mengatakan sesuatu melalui alat seperti pengeras suara berwarna putih metalik.
"Pangeran Axalum! Kau melanggar peraturan dan melalaikan tugasmu!"
"Sudah kubilang bawa dia dengan kekerasan!"
"Kenapa kau mendadak bodoh pangeran?!"
Jaring-jaring hijau terlempar dari salah satu pesawat patroli. Jarum-jarum bius ditembakkan. Mata menggelap sempurna.
⚊⚊⚊⚊⚊⚊✬✥✬⚊⚊⚊⚊⚊⚊
Angin bumi menghantam lembut lambung kapal induk orang-orang Horg. Di dalam sana mata merah sejernih kristal menatap kosong atap kamarnya. Bertahun-tahun Axal menghuni kamar itu, tetapi baru kali ini ia sadar rasanya begitu hampa. Axal tidak tahu apa yang hilang dari sana. Ia begitu merasa janggal pada roda takdirnya. Bukan, bukan karena tidak ada Lily. Axal justru merasa bangsanya selama ini menutup-nutupi sesuatu. Sesuatu yang tabu.
"Kebenaran."
Pikiran Axal terjengkang. Menoleh, didapatinya iris segelap hati menatapnya sendu. Kerutan-kerutan halus terpatri jelas, dibingkai helai demi helai surai ikalnya. Degup jantung Axal tak beraturan. Pompaannya menjadi semakin cepat. Lekas ia bangkit berdiri nenghampiri sang bidadari hati meski kaki tak memberi izin. Axal jatuh terduduk ke lantai, membuat wanita yang berdiri di ambang pintu lantas mendekat hendak membantunya berdiri. Namun, Axal lebih memilih dalam posisi tetap duduk di sana.
"Ibu?"
Sang ibu berjongkok, menyamakan tinggi dengan putranya. "Apa kamu membuat masalah, Axalum?" ia tersenyum kecil, meski terlihat dipaksakan.
Axal menundukkan kepalanya, terasa ada beban berton-ton yang menghantam punggung pendiriannya. "Maaf Ibu," lirihnya. "Maaf bila anakmu ini sudah menciptakan masalah. Maaf bila anakmu ini tak mau mendengarkan siapa pun. Maaf bila anakmu ini berakhir mengkhianati bangsanya."
Sapuan udara dingin menembus jendela, menerbangkan beberapa berkas tugas Axal yang tiduran di meja. Diamnya sang ibu dan angin yang kian menyurut menyesakkan hati Axal. Tak pernah ia seperti ini sebelumnya. Kacau dan gagal bukanlah gaya hidup Axal. Julukan anak emas ayahnya selalu melekat acap kali ia mendapat mandat kenegaraan. Tetapi baru kali ini mengurus satu mahluk saja ia tak becus.
"Kamu tidak salah, Nak. Justru niatmu ingin menyelamatkannya membuat ibu bangga." wanita setengah abad itu menghela napas. "Ibu pikir kau akan selalu kejam seperti ayahmu."
Axal mendengarkan baik-baik. Meresapi tiap kalimat yang ditangkap kesadarannya. Tak menutup kemungkinan kebenaran tekad dalam jiwanya kembali mencuat ke permukaan.
"Apa yang kulakukan ini benar?"
Ibunya masih tersenyum. "Langkahmu sudah benar. Tidak seharusnya kita merenggut kebebasan mereka. Ini salah besar, Nak."
Mata sewarna darah Axal mengerjap beberapa kali. "Apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Tanyakan pada nuranimu."
⚊⚊⚊⚊⚊⚊✬✥✬⚊⚊⚊⚊⚊⚊
Cahaya mentari pagi menelusup masuk melalui celah-celah jendela berpalang besi sel tahanan. Membawa asa kesegaran hidup. Di balik jeruji besi berlapis arus listrik, jiwa Lily meraung-raung meminta kebebasan. Namun, raganya seakan tak berdaya menerima segala huru hara dunia yang tidak lagi memihak bangsanya. Ia sadar, mungkin ini memang balasan bagi kesombongan manusia. Tetapi jauh dalam palung hatinya, Lily begitu menyesali kenaifannya yang menerima Axal sebagai teman tanpa rasa curiga. Terlebih lagi alien itu adalah seorang pangeran yang ditugaskan membawanya untuk eksperimen, mustahil ia benar-benar menganggap Lily teman. Atau mungkin Lily terlalu berharap memiliki teman yang tulus. Entahlah, tetapi rasanya teman yang tulus itu hanya mitos belaka.
Lily memikirkan apa yang dirasakan orang-orang ketika memiliki teman yang benar-benar menganggap ia penting. Batin itu bertanya, apa itu menyenangkan?
Tetapi di saat yang sama pula, ia kembali merenungkan kenyataan, apa teman terbaik benar-benar ada?
Kala sanubarinya bergelut dengan kemelut kepelikan nasib tragisnya, suara yang tak diharapkan merenggut tenang bergelimang.
"Lily."
Lily tak menoleh, bahkan menjawab sapaan pun enggan. Hatinya terlampau kecewa. Teman yang dikira semanis nasihatnya ternyata hanya sekadar fatamorgana di tengah padang ranjau. Apa pun yang Axal lakukan sudah sangat menyakiti Lily. Sandiwara Axal terlampau nyata untuk menipu manusia berperasaan macam Lily.
"Pergilah!" perintah Lily seakan tak mengenal Axal.
Axal tak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menjaga jarak agar tak tersengat listrik bui. Memutuskan duduk bersila dan menjatuhkan punggung pada dinding di belakangnya. Merelaksasi akal budinya yang penuh stigma.
"Aku tahu kau tidak akan memaafkanku dengan mudah," Axal memulai, tetapi tampaknya Lily menganggap ucapan itu hanya bualan semata—seperti sebelumnya. "Aku minta maaf atas kesalahanku. Jujur saja, aku baru menyadari kesalahanku setelah ketulusanmu menolongku. Aku benar-benar merasa bersalah saat itu juga dan ingin menyelamatkanmu agar tidak jatuh dalam perangkapku. Sayangnya kau menyimpulkan muslihatku adalah jati diriku, maka kau tak percaya ketika kutunjukkan jalan yang aman."
Axal merasa lega setelah menceritakan maksud sesungguhnya. Tetapi Lily sama sekali tak menujukkan kepedulian terhadap pengakuannya. Mendengar saja sudah membuatnya muak, untuk apa pula peduli.
Axal menghela napas berat. "Sepertinya kau memang tidak akan peduli kebenarannya," ujarnya sedikit putus asa. "Kau sudah menceritakan tentang dirimu, jadi aku juga akan melakukan hal yang sama. Meski pun kau tidak akan menggubrisnya."
Axal merenggangkan otot-ototnya sebelum memulai. "Aku lahir dan di besarkan dalam lingkungan monarki absolut. Prinsip kemiliteran kupegang teguh. Bahkan senjata perang sudah akrab dengan jemariku sebelum aku bisa membaca. Aku adalah anak ketiga dan terakhir dalam keluarga. Aku lahir dari rahim seorang selir. Sudah pasti tidak ada kekuasaan yang tersisa untukku. Karena hal itu aku mulai berlatih dengan keras agar ayah melirikku. Berkat tekadku yang kuat, ayah menganak emaskan diriku. Melampaui kakak-kakakku tentunya membuat mereka membenciku. Lambat laun aku mulai terbiasa dengan makian yang dilontarkan petinggi kerajaan pendukung fanatik ratu utama, Novartha. Tetapi seiring berjalannya waktu, kemenanganku dalam perang antar galaksi membungkam rapat-rapat lidah licin berbalut janji sampah mereka."
"Apa kau punya teman?"
Pertanyaan mendadak Lily sedikit menyenangkan Axal. "Tidak."
"Percuma sukses kalau kau tak bisa membangun relasi."
"Sebenarnya aku dulu punya." jawaban Axal membuat Lily menoleh, sedikit tertarik dengan ceritanya.
"Sekitar lima tahun yang lalu. Ketika aku masih berusia 12 tahun, dasar kemiliteran baru kupelajari. Saat itu juga di perkemahan prajurit aku bertemu seseorang yang sangat menyebalkan. Cerewet dan suka menganggu. Namanya Torash, Horg kelas bawah yang entah bagaimana bisa masuk kemiliteran."
"Awalnya aku tidak menyukainya. Lalu aku membuat masalah. Orang-orang mengaitkan tingkahku dengan posisi ibuku yang hanya seorang selir. Ketika semuanya membenciku, Torash datang dan membuatku bangkit dari keterpurukan. Kami selalu bersama hingga hari itu datang. Hari di mana kami untuk pertama kalinya diterjunkan dalam perang. Sayangnya aku tidak datang ketika Torash terdesak oleh sekumpulan bangsa Eviather. Torash tewas. Dan aku merasa sangat bersalah, seharusnya aku mendengar suara seraknya yang sudah di ambang sekarat."
Lily menatap nanar mata Axal yang berputus asa. Tampaknya alien itu sama sekali tidak mengarang cerita. Ia sedikit sesenggukan ketika menjelaskan bagaimana kematian tragis Torash.
"Itulah sebabnya aku tidak ingin cepat-cepat menjadi temanmu karena aku takut kau akan berakhir seperti Torash. Aku takut gagal menjadi teman yang baik."
Lily sekarang mengerti, hidup Axal jauh lebih menyedihkan dari pada dirinya. Lily tidak boleh berteman sesuka hati. Dan Axal, tidak ada yang mau berteman dengannya. Lily hidup berkelimpahan masa depan menjanjikan. Dan Axal harus membangun sendiri masa depannya. Sangat kontras, mereka hanya sama-sama memiliki kisah menyedihkan dalam relasi.
"Setidaknya kau sudah berusaha menolongku," sahut Lily tiba-tiba.
Axal mengembuskan napas berat, seakan bebannya mengungkung paru-paru. "Aku akan membawamu pergi dari tempat ini."
Lily tak paham. Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna kecepatan ucapan Axal. Sel tahanan yang sebelumnya dialiri listrik, mendadak mati percikannya. Axal rupanya menyerap listrik itu dengan jarinya. Kini Lily yakin bahwa Axal benar-benar berniat menolongnya.
"Cepat ikuti aku sebelum penjaga datang!" Axal segera bermanuver layaknya prajurit perang. Melakukan sedikit tipuan pada penjaga yang lewat dan berhasil membawa Lily ke sebuah garasi besar. Sembari mengendap-endap, ia mengawasi sekitar takut-takut pasukan yang sudah dialihkan perhatian sebelumnya tiba-tiba kembali dan merusak rencananya.
Axal berhenti di samping sebuah pesawat berujung runcing lengkap dengan buntut mesin jet. Ia membuka pintu tebalnya.
"Naiklah!" perintahnya tegas pada Lily yang sejak tadi diam tak berkata-kata. Seolah ia disetel dalam mode bisu.
"Dengar baik-baik. Pesawatnya sudah kuatur untuk terbang ke Wehnberg, kursi ini akan otomatis menjatuhkanmu di dekat pengungsian manusia karena mesin pesawatnya bisa mendeteksi panas tubuh." Axal mengambil sesuatu di bawah pesawat dan memberikannya pada Lily. "Pakai parasut ini! Itu akan terbuka dengan sendirinya ketika kau sudah 4.000 kaki di atas tanah."
Lily mengangguk dan segera memakai parasut. Ia menatap Axal sebelum si alien melompat dari pinggir pesawat.
"Apa kau tidak akan ikut, Axal?" tanya Lily takut-takut.
"Tidak. Aku akan menghambat pasukan Horg di sini."
"Mengapa kau melakukan ini?"
"Melakukan apa?"
"Menyelamatkanku."
Axal diam dan membelakangi Lily, bersiap bila ada yang menyerang. "Aku hanya melakukan hal yang tidak bisa kulakukan di masa lalu. Aku tidak ingin kehilangan temanku lagi."
Hening menyeruak. Lily tidak tahu mengapa ia meneteskan air mata. Entah karena terharu memiliki teman yang sangat baik atau takut berpisah dengan temannya itu.
"Terima kasih untuk semuanya, Axal. Terima kasih sudah menyadarkanku akan sekaratnya bumi," kata Lily sedikit serak.
Axal menoleh dan tersenyum lebar. Senyum yang siapa pun tidak akan pernah menyangka bisa dibuat seorang Pangeran Axalum yang otoriter. Menunjukkan jati diri aslinya.
"Terima kasih kembali. Kau sudah membuatku menyadari betapa indahnya berteman lagi," balas Axal.
Gebrakan pada pintu belakang garasi menyadarkan keduanya akan bahaya yang mendekat. Sepasukan Horg menyebar. Dipimpin dua orang yang membenci Axal.
"Dasar pengkhianat kau, Axalum!" teriak yang tertua, Avardus.
Aigalux menambahkan sambil mengancam dengan senjatanya, "Kau harus diberi pelajaran, adik sialan!"
Axal tetap diam. Lalu dengan cepat ia menekan tombol hijau pada dinding pesawat yang dinaiki Lily. Pintunya tertutup dan peswat melaju dengan otomatis. Meninggalkan garasi yang akan menjadi arena pertumpahan darah.
Lily sempat menengok ke belakang, di mana Axal mulai diserang. Apa pun yang dilakukan olehnya tak akan pernah dilupakan Lily. Akan ia catat dalam ingatan sebagai sang teman terbaik. Lily paham sekarang, teman terbaik bukan yang mengorbankan segalanya. Teman terbaik tidak harus didapat dari berteman dalam waktu yang lama. Teman terbaik tidak harus selalu menemani. Teman terbaik adalah yang berani menegur kesalahan temannya. Membeberkan makna sesungguhnya dari kehidupan. Membukakan mata akan asa yang membentang di cakrawala.
⚊⚊⚊⚊⚊⚊✬✥✬⚊⚊⚊⚊⚊⚊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro