Tajuk 4: Target
Hanz bangkit dari tempatnya. Merenggangkan otot-otot kaku yang terasa melelahkan dan tidak memberinya semangat. Dia menatap kosong pada kolong meja yang tidak tertutup apa pun. Terpajang puluhan foto polaroid dengan objek berbeda di dalamnya. Di setiap sudut bawah tertera nama dalam beragam huruf dan sebuah angka.
Pandangan Hanz jatuh pada foto yang paling lebar. Perempuan di dalamnya tersenyum cerah dengan seragam sekolah yang membalut tubuh tingginya. Di gambar tersebut tertera nama sebuah sekolah. Hanz memegang telinga kanan untuk menyentuh sebuah luka.
Laki-laki tinggi berotot besar itu berdiri, membuka baju kausnya lalu disampirkan pada hanger yang berada di sebelah kanan televisi. Hunian luas itu hanya memiliki tiga ruang saja. Kamar mandi, ruangan tengah sekaligus tempat yang paling luas, kemudian kamar tidur yang didominasi warna ungu.
Hanz mandi. Dia memilih kemeja yang nyaman dan celana jins hitam untuk digunakan di pertengahan musim gugur ini. Setelah semua siap dia menutup lemari, menegaskan penampilannya pada cermin yang terpasang di pintu lemari. Rambut bergaya straight hair ke samping kanan itu disisirnya asal. Hanz mulai berkemas memasukkan barang-barang dalam koper berukuran sedang.
Setelah memeriksa seluruh perlengkapan yang dibutuhkan. Hanz meraih jaket yang digantung di luar lalu memakainya sambil berjalan keluar rumah. Pandangannya kembali kosong. Belum terlambat untuk berbalik dan mengubah haluan, Hanz! Hatinya bertindak berlawanan. Hanz menggeleng dan memasukkan tangannya ke saku jaket. Laki-laki itu tersadar lantas meraba bagian jaket secara keseluruhan.
Hanz berlari kembali ke dalam rumah. Mencari setelan yang kemarin digunakannya sampai mengobrak-abrik mesin cuci. Beruntung masih dalam keadaan kering. Meraih celana hitam berbahan trivera lalu mengecek sakunya satu per satu. Dia kehilangan akal karena sesuatu yang penting telah hilang. Benda berharga yang tidak seharusnya jatuh ke tangan orang yang salah. Bukan, Hanz takut kalau kertas tipis itu membawanya pada malapetaka yang tidak bisa dihentikan. Tidak mudah diatur ulang dan—
Kau seharusnya melakukan sesuatu Hanz! Laki-laki itu membatin. Dia mengangkat tangan kiri sampai dekat dengan bibir tipisnya.
"Wei!" katanya, "hubungkan dengan Lee!"
Jam tangan itu menyala. Tangan kanan Hanz memijat tengkuk berkali-kali sampai benda pintar itu berhasil menghubungkan dirinya dengan seseorang yang dibutuhkan.
"Yes, Sir!" Intonasi ceria itu menghasilkan gema di kamar tengah. Membuat Hanz terkekeh. Sudah lama dia tidak mendengar panggilan seperti itu di Korea.
"Aku ingin meminta bantuanmu!" terang Hanz, "sorry, Lee, harus mengganggumu lagi!"
"Oh, ucapanmu membuatku bersemangat, Sir! Apalah daya, aku suka kau repotkan."
Hanz meninggalkan kediaman sambil menjelaskan secara detail tentang hotel tempat tinggal Grace. Dia hanya memerlukan bahwa perempuan itu aman pada tempatnya dan mengikut segala arahan. Paling penting bagi Hanz adalah selembar foto.
"Dia cantik!"
"Kau!" tukas Hanz kesal. "Aku sudah memberitahumu kalau dia artis China yang sedang dalam masalah!"
"Apa hubungannya?" tanya Lee yang terlambat berpikir.
"Memang artis China ada yang jelek?" sarkas Hanz. Dalam benaknya orang-orang Asia Timur itu memang menawan. Terlebih jika mereka terpilih menjadi manusia yang harus berfokus di depan kamera, kan?
Jam tangan itu mengeluarkan gelak tawa. Masuk akal jika Lee menertawakan pemikiran kawannya itu. Bunyi dari papan tetikus terdengar membuat Hanz menghentikan laju mobil. Dia menunggu dengan waswas karena pembicaraannya dengan Lee tidak berlanjut.
"Kau menemukan hal yang mencurigakan?" tanya Hanz menggoyangkan kaki, seperti penjahit ulet. Dia dibuat menunggu.
"Bingo!"
"Selembar kertas itu ada pada bidadarimu, Sir!" tambahnya.
"Siapa lag—"
"O–"
Keduanya sama-sama berhenti melanjutkan kalimat.
"Perempuan itu pergi dengan membawa semua barang-barangnya. Wah! Dia perempuan yang kuat, Sir."
"Hentikan ocehanmu dan ikuti kemana pun dia pergi! Dia targetku selanjutnya."
Panggilan itu diputus Hanz.
Lee menoleh pada wanita berambut panjang yang menyunggingkan senyum aneh. "Kau tidak bisa memasang alat pada jam tangan istimewanya, Lee?"
"Maaf, Bos! Dia Agent A-Class, dia tidak pernah mengecewakan klien. Kami tidak memasangkan 'benda haram' itu pada kepercayaan kam—
Pernyataan itu terhenti karena pukulan keras mengenai pipinya. Lee merasakan perih dan panas menjadi satu, terdiam di atas tempat duduk seumur hidupnya. Jempolnya menekan sesuatu di bawah kursi rodanya.
∆
Pergi sekarang. Grace mendapat pesan dari Allen kalau itu adalah kakak perempuannya. Aku memang berpikir terlalu berlebihan, batin Grace sambil membenahi barang-barangnya. Dia akan kembali ke China untuk sebuah wawancara terbuka tentang fitnah yang merugikannya. Niat baiknya tidak lagi disalah artikan.
Grace hendak menghubungi Hanz. Dia ingin mengabarkan berita baik itu sekaligus mengajak laki-laki itu untuk makan sore ini. Dia mungkin tahu kode yang tertera pada belakang fotonya. Dia membuka ponsel lantas teringat penelepon sore itu yang membuatnya marah.
Nomor dengan nama Sabrina itu membuat tubuh Grace menegang. Apa polisi menemuinya karena panggilan terakhir darinya? Pikirnya tidak karuan. Enggak, polisi wanita itu tidak mengatakan apa pun tentang panggilan terakhir. Mereka juga tidak mendapatkan rekaman cctv di bandara? Kenapa?
Grace semakin bergegas. Rasa takut menenggelamkan raganya. Kepalanya berputar seolah-olah mengelilingi ruangan bernuansa putih itu. Tubuh perempuan itu ambruk di tepi kasur. Telapak tangan berkeringat dingin. Kaki-kaki itu kembali seperti kenangan yang tidak akan terlupa.
"Ah!" Grace mengaduh. Menggeleng kuat untuk memulihkan pandangan. Dia bersiap pergi.
Tidak ada yang dapat menghentikan langkah lebar nan cepat itu. Grace cepat menemui pelayanan hotel dan mengembalikan kunci tanpa mengatakan apa pun. Allen sudah menegaskan tentang hal tersebut dalam sebuah pesan singkat.
Apa yang dilaluinya seperti kehilangan pegangan. Grace menaiki taksi yang sudah dia pesan sebelumnya, tetapi ragu ke mana dia harus menuju. Walau tujuan awalnya kembali ke China, memperbaiki nama studionya.
Sebuah panggilan menyentak Grace dari lamunan. Tidak seperti sebelumnya, pengemudi itu berpakaian jas dan tampak muda. Grace mengangkat panggilan itu sambil melirik ke arah si pengemudi.
"Halo, Grace!"
Grace melihat nama si penelepon dengan perlahan. Memastikan keyakinannya sendiri kalau nomor itu ... sebuah pesan suara.
"Kita tumbuh bersama dan berada dalam ruang lingkup yang sama. Kita berdua pandai berakting sejak kuliah dan masuk dalam agensi yang sama. Namun, sebuah kejadian rumit membuat kita renggang. Aku tidak segan menamparmu, kau pun juga. Namun–"
Sabrina berhenti berucap. Suara perempuan itu serak, sama seperti Grace yang saat ini menutup mulutnya.
"Aku tidak ingin kau terjatuh pada lubang yang sama. Jangan mempercayai Allen! Dia—"
Pesan itu benar-benar berakhir. Grace tercengang. Apa maksudnya untuk tidak mempercayai Allen? Lalu ponselnya?
Grace kini memiliki sebuah tujuan. Tujuan yang sama sekali tidak dia niatkan. Namun, harus dan akan dia lakukan.
"Kantor Polisi Seoul, Pak!" ujarnya dengan bahasa Korea yang canggung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro