Tajuk 1: Beruntung, Dia Lagi!
Gracia menghirup aroma dari semilir angin yang menggoyangkan rambutnya. Udara musim gugur di Korea Selatan yang akhirnya bisa ia rasakan setelah bertahun-tahun hanya harapan. Meskipun kepergiannya kali ini bukan untuk syuting apa lagi untuk bersenang-senang, Gracia tetap bahagia dan bersemangat.
Perempuan itu menenteng tas berukuran sedang di tangan kanan dengan merek ternama, lalu berjalan melewati kerumunan. Kacamata hitam, masker putih, topi rajut jerami yang dihiasi pita. Dress selutut yang mencetak tubuh kurusnya, kaki mulus jenjang terbuka. Dipertontonkan.
Mata Gracia menyusuri setiap manusia yang berlalu lalang. Tinggi badannya menjadi lebih menjulang dibandingkan wanita-wanita lain di sekitarnya karena tinggi hak sepatunya. Dia mencari sang manajer yang seharusnya sudah standby di tempat.
“Sial!” gumamnya dengan bahasa Inggris yang lugas. Gracia terhuyung ke belakang dan hampir terjatuh kalau keseimbangan tubuhnya buruk. Dia menoleh ke arah lawan yang menabrak bahunya keras sekali.
Gracia menyunggingkan sudut bibir kanan lantas berdiri perlahan. Kelopak matanya terpejam beberapa detik kemudian terbuka dan memandang tajam.
“Oh, sorry,” ucap Sabrina terkekeh. Perempuan itu mengenakan setelan serupa, masker, kacamata hitam, dan topi, hanya berbeda jinjingan. Sabrina pergi dengan dua pengawal pribadi dan manajernya mendekati pintu keluar.
Geram. Gracia pergi dengan tangan kanan terbuka lebar dan melayangkannya pada wajah mungil Sabrina.
Manusia yang melihat kejadian tersebut mundur beberapa langkah untuk mengambil sudut pandang yang pas. Beberapa orang menutup mulut karena saat tangan Gracia melayang, topi bulatnya terempas. Semua orang mengenalnya. Setidaknya, negara tetangga mengenalnya sebagai aktris yang sedang naik daun. Dua pengawalnya bergegas menghentikan Grace.
“Kalau punya mata, lebih baik dipakai!” bisik Gracia pada si penabrak lalu mendahuluinya berjalan dengan menginjak kaki pengawal menggunakan haknya.
Sabrina membuang napas panjang lalu berdiri tegap. Manajernya menelepon keamanan bandara dan meminta bantuan untuk mendamaikan media dan tangan-tangan warganet.
Gracia duduk di taksi yang sudah dipesankan manajernya, Allen. Namun, laki-laki tampan keturunan China-Belanda itu hanya mengabarinya lewat telepon. Perjalanan singkat menuju negeri ginseng ini malah menimbulkan kesan pertama yang mustahil disebut indah.
“Sial banget hidupmu, Liu!” umpatnya pada diri sendiri.
“Ah, dari China, ya?” tanya Bapak Sopir dengan bahasa Korea yang sering dia dengar di drama yang ditontonnya.
“Benar. Ehm ...,” gumamnya ragu, “can you speak english?”
Laki-laki berusia pertengahan abad itu memilih diam untuk jawaban bijaknya. Gracia mengangguk. Bapak-bapak ini enggak kenal aku, kan? Gracia membatin sambil tersenyum mengambang, enggak mungkin, sih. Kamu bukan artis top! Harus paham.
Gracia mengeluarkan ponsel lalu berselancar ria di media sosial. Dia lantas memutuskan untuk menelepon manajernya karena berbagai alasan yang menghantui otaknya setelah melihat jalanan yang ramai. Kota Seoul salah satu kota paling ramai dan tidak pernah redup.
“....”
“Allen?” tanya Gracia. Baru kali ini laki-laki itu tidak mengeluarkan suara setelah mengangkat panggilannya. Terdengar deru napas yang berat ketika Grace mendekatkan ponselnya ke telinga.
[Sorry, Grace!] balas Allen dengan terburu-buru.
[Aku harus menyelesaikan sesuatu di sini. Menginaplah di tempat yang sudah kupesan. Turuti aku kali ini saja dan semuanya akan selesai. Ok, Grace!]
Kalimat Allen tanpa jeda. Gracia bingung dan membalas, “Tapi masalah apa yang—
[Aku harus tutup teleponnya.]
Suara tut mengakhiri percakapannya dengan Allen yang membuatnya resah. Bentar, sebenarnya laki-laki itu ada di mana? Gracia hendak melepas maskernya, tetapi berhenti ketika kendaraan roda empat yang dinaikinya berhenti. Dia sadar kalau dirinya menjadi pusat perhatian seseorang.
Gracia langsung tertidur pulas saat punggungnya menyentuh kasur besar yang empuk. Dia tidak lagi penasaran dengan pohon ginkgo dan maple yang menjadi pemandangan wajib di musim gugur. Warna oranye itu mendamaikan. Dunia yang melelahkan sejenak terhenti saat alam bawah sadar mengajaknya untuk berdamai dan menghibur keadaan. Satu tetes air keluar dari pelupuk mata kirinya yang terpejam.
Telepon genggam di dalam tas jinjing hitam milik Gracia berdering. Nama yang tertera membuatnya muak dan mengabaikan panggilan. Perempuan itu menggerakkan kaki untuk melepas sepatu hak yang senada dengan dress dusty pink-nya. Kemudian, tubuhnya bergerak ke atas mencari kenyamanan yang lain dalam lelap.
Gracia mendengar sebuah yang mengganggu. Ada apa, sih? Dia menutup kepala dengan satu bantal yang menganggur. Guling di dekapannya menjadi sasaran renyah untuk dimarahi mau pun diumpat. Suara langkah kaki yang saling bersahutan dengan ritme kasar membuat telinganya sakit. Kepala Gracia memutar langkah-langkah kaki kecil yang berlarian ke sana kemari.
“Ah?” Grace terbangun. Suara ketukan di pintu membuat perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu mendekat. Ada rasa lega akhirnya Allen datang menemuinya. Berarti masalahnya telah selesai, pikirnya. Dia mengenakan masker dan kacamatanya lalu bergegas karena gedoran di pintu menjadi lebih kasar.
Grace terkejut. Satu orang wanita dan dua orang laki-laki memegang pistol kecil di tangan menyambutnya segera setelah membuka pintu. Dia hanya bisa mundur karena terlalu menyeramkan berdekatan dengan senjata api.
“Nona Gracia Liu?” tanya wanita itu sambil mengeluarkan dompet tipis. Di dalamnya terdapat lencana dan tanda nama. Entahlah, tulisan balok itu tidak dipahaminya sama sekali. Gracia tidak menggeleng atau pun mengangguk. Beberapa penyewa kamar mengintip dari celah pintu.
“Kamu bisa bahasa Mandarin?” tanya petugas wanita yang mengikat rambutnya setinggi telinga. Dua laki-laki yang memasukkan pistol ke tempatnya di samping pinggang serentak menggeleng.
“Aku bisa bahasa Korea!” ungkap Gracia percaya diri. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Mari ikut kami ke kantor polisi untuk beberapa pertanyaan saja!”
Kantor polisi? Gracia mengernyit. Ok, aku paham karena aku sudah menampar Sabrina di bandara, tapi ... apa harus menurunkan polisi Korea? Gracia menggeleng. Menyadarkan diri atas tindakan yang memang mencoreng namanya.
“Kenapa?” tanya salah satu polisi yang memperhatikan Gracia dari atas sampai bawah.
“Bukan urusanmu, Bodoh!” balas Gracia dengan bahasa Mandarin dengan dialek.
Ketiganya melempar tatap. Polisi wanita itu lebih tegas dan mengeluarkan borgol.
“Berangkat tanpa ‘ini’ atau dengan ‘ini'?” ancam polwan tersebut sambil menyeringai.
“Tentang masalah apa ini?” Gracia masuk ke dalam tanpa menutup pintu, tiga orang itu mengikutinya ke dalam.
“Sabrina Zhao,” balas polisi laki-laki yang sedari hanya diam. “Perempuan tersebut terbunuh tadi sore!”
Gracia yang memegang ponsel untuk menghubungi Allen bergetar. Sabrina? Setelah kejadian di bandara pagi tadi. Grace tidak percaya. “Apa?”
“Mari ikut kami!”
Perempuan itu bergetar. Dia menggigil karena kabar kematian musuhnya yang terlalu mendadak. Gracia menggenggam erat ponselnya lantas mengambil tas lalu memasukkannya ke sana. Berharap Allen datang membantu untuk menyewa pengacara. Ah, pikirannya kalut.
Grace akhirnya di bawa ke luar gedung pencakar langit itu. Perencanaan matang tentang perjalanannya kali ini pun harus berada di kantor polisi yang pengap dan menakutkan. Grace tersenyum pahit.
“Sebentar!” Seseorang berteriak mendekati mereka. Suara yang amat dikenal Grace.
“Si—
“Saya Hanz, manajer Gracia.”
Semua orang mengangguk dan meminta laki-laki itu untuk ikut. Hanya Grace yang tidak berekspresi sama sekali. Dia lagi.
∆
to be continue
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro