Kehilangan
= Awal September 2018 =
Jam dinding menunjukkan pukul tiga sore. Dira masih di Puskesmas untuk menyelesaikan persiapan akreditasi bersama beberapa anak buahnya. Ini hari terakhir sebelum acara besar, survei akreditasi Puskesmas, yang akan dibuka esok pagi. Mereka juga harus mempersiapkan kedatangan para surveior petang nanti. Selepas magrib, pertemuan prasurvei diselenggarakan.
Rasa lelah mendera Dira. Tiga bulan sudah mereka mempersiapkan diri untuk penilaian akreditasi yang diwajibkan pemerintah sebagai upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Dalam kurun waktu tersebut tak terhitung kendala yang harus mereka hadapi. Waktu yang singkat untuk mempersiapkan hal yang besar. Dalam satu minggu terakhir, beberapa anak buahnya telah menunjukkan gejala frustrasi. Ada yang berkelahi satu sama lain. Ada yang malah tidak mau bertegur sapa, tersenggol sedikit, bacok! Yang lebih konservatif memilih aksi kalem. Ada yang mendadak sakit diare, mendadak sakit maag, mendadak ada urusan keluarga, dan segala alasan untuk tidak masuk kerja. Salah satunya, pacarnya sendiri, Kaka. Padahal sang pacar adalah Ketua Tim Mutu, jabatan krusial dalam kesuksesan survei akreditasi ini! Rasa sesak memenuhi dada Dira.
Tiba-tiba terdengar kegaduhan di depan Puskesmas. Seorang lelaki datang meminta tolong. Istrinya tengah melahirkan di rumah. Tergopoh, Dira, Bidan Yani dan Bidan Yuni mendatangi mereka menggunakan ambulans. Ia mengajak Yamin, seorang perawat senior yang terampil. Entah mengapa, perasaannya tidak enak. Siapa tahu Yamin dibutuhkan nanti.
Ia kenal pasien itu. Namanya Eraini, anak berusia tujuh belas tahun yang terlalu cepat hamil. Ia mengenalnya dengan baik karena anak itu kerap menjual ikan tangkapan keluarganya di Puskesmas. Era juga pelanggan Puskesmas karena beberapa kali terjangkit malaria saat mengikuti suaminya bekerja di daerah penambangan rakyat.
Rumah Era berjarak lima belas menit bila ditempuh dengan ambulans yang dilarikan Segah sekencang mungkin. Ketika mereka sampai, kondisi rumah sudah ramai oleh warga. Dira dan Yani bergegas menuju kamar di mana anak itu terbaring. Seketika Dira terbelalak. Era telah bersimbah darah di atas tilam tanpa ranjang. Begitu melihat Dira datang, tangisnya pecah. Kedua tangannya terulur minta dipeluk. Dira hanya mencium dan mengelus kening Era sejenak. Ia tidak punya banyak waktu karena ada hal mendesak yang harus dilakukan.
Dengan sigap, Dira dan Yani memeriksa ibu muda itu. Napasnya memburu. Bibirnya yang pucat menghamburkan desahan memilukan. Bulir-bulir keringat sebesar jagung tampak memenuhi wajah dan leher. Tekanan darahnya turun drastis. Dari kemaluan, darah segar mengucur bagai air kran. Beruntung bayinya berhasil lahir dalam kondisi selamat dan sehat.
Dira segera menempatkan kepalan tangan di perut perempuan itu guna menekan pembuluh nadi paling besar dalam tubuh, aorta. Kucuran darah seketika terhenti. Tindakan itu hanya menangguhkan kehilangan darah sementara agar mereka bisa melakukan beberapa tindakan pertolongan.
"Pasang infus, guyur[1]," perintahnya. "Masukkan oksitosin[2]. Pasang oksigen!"
Yani, Yuni dan Yamin segera bekerja dengan sigap.
"Bu Yani, manual placenta![3]" Dira memberi instruksi lagi.
"Placenta[4] sudah dikeluarkan semua," Yani melapor beberapa saat kemudian.
"Eksplorasi jalan lahir."
Yani melakukannya. "Ada luka robek cukup dalam, akan saya jahit." Yani kembali memberi laporan. Sekejap kemudian ia mulai menjahit luka. Dira kagum dengan kecepatannya melakukan itu.
"Kompresi aorta saya lepas, Ibu coba lakukan kompresi bimanual."
Yani menjalankannya dengan cepat. Bidan senior itu terlihat pucat pasi. Dira pun baru kali ini melihat perdarahan pascapersalinan sederas itu. Menurut buku yang pernah dibaca, kasus seperti ini kerap meninggal kurang dari dua jam.
Perdarahan segera berkurang setelah tindakan-tindakan itu. Namun, belum cukup untuk menyelamatkan Era. Darah masih terus merembes cukup banyak meskipun obat-obat telah disuntikkan.
Dira kembali melakukan penekanan aorta dari dinding perut. "Pak Yamin, siapkan rujukan sekarang juga!" instruksinya.
Yamin menjelaskan kondisi Era kepada pihak keluarga, lalu meminta mereka mencari speed boat- untuk mengirim Era ke rumah sakit kabupaten sesegera mungkin. Mereka kebingungan. Dalam kondisi darurat seperti ini hanya satu nama teringat oleh Dira.
"Pak Yamin, minta mereka menghubungi Pak Bian untuk speed boat-nya!"
Tak perlu waktu lama, Bian muncul dengan wajah tegasnya. "Bu Dok, kapal Satpolair[5] sudah siap di dermaga. Ada lagi yang dibutuhkan?"
Dira menoleh sambil mengucapkan terima kasih. "Tidak ada, Pak."
Yani menatap padanya. "Ibu ikut merujuk? Siapa yang menyambut surveior nanti?"
Dira baru ingat, ada peraturan yang mengatakan bahwa bila kepala Puskesmas meninggalkan tempat, maka surveior akan pulang, alias kegiatan survei dibatalkan. Mendatangkan surveior bukanlah pekerjaan sepele. Di samping itu, biayanya besar pula. Undangan sudah disebar untuk Opening Meeting esok, yang akan dihadiri oleh Kepala Dinas Kesehatan, Pak Camat, dan pejabat-pejabat terkait. Apa jadinya bila harus dibatalkan?
"Ibu bisa sendiri?" Dira balas bertanya. Melihat wajah pucat Yani dan tatapan keraguannya, ia tahu jawabannya adalah tidak.
"Yuni, coba telepon Dokter Marina atau Dokter Arga di Pegatan 2. Kalau tidak bisa, coba telepon Dokter Ika."
Yuni keluar sebentar, lalu kembali dengan wajah lesu. "Tidak ada yang aktif. Dokter Marina sedang proses melahirkan."
Dalam kelemahannya, Era mencengkeram erat tangan Dira. Air mata perempuan itu meleleh. "Saya mau sama Bu Dokter saja ...," ujarnya terbata-bata di antara isakan. "Saya tidak mau dengan dokter lain."
Dira menatap Era dalam-dalam. Sebentuk sesal menggumpal di dalam dada. Ia tidak menemukan sorot mata ceria yang penuh harap seperti biasa. Kini, mata itu kelam oleh ketidakberdayaan dan ketakutan, seperti ada bayangan kematian di dalamnya. Ia mengabaikan semua hal lain. Dielusnya kening perempuan itu. "Iya, saya akan temani kamu. Tenang saja, ya?"
Selain suami Era, perjalanan mereka didampingi oleh aparat desa dan anggota kepolisian. Bahkan Bian Kapolsek mereka ikut mengawal. Begitu sampai di dermaga, Era dipindahkan ke kapal Satpolair. Dira bersyukur, mereka mendapatkan bantuan tepat waktu. Kapal Pusling Air mereka sudah lama mogok, dan proses perbaikannya tak kunjung selesai.
Perjalanan melalui sungai memakan waktu sekitar lima jam. Sesudah itu, mereka harus menempuh perjalanan darat sebentar untuk mencapai rumah sakit kabupaten. Dira, Yani, dan Yamin tidak melepaskan tangan mereka dari tubuh Era.
Berada dalam kapal, mata Dira yang jeli segera menangkap hal yang tidak beres.
"Emergency Kit-nya[6] di mana, Pak?" tanyanya ke Yamin.
Wajah Yamin terlihat bingung. Perawat paling senior di Puskesmas, yang badannya tinggi besar mirip Brimob itu, mencari-cari sebentar, lalu mengangkat sebuah tas berwarna merah.
Dira menghela napas. Kok alat lama? Mana yang dibeli minggu lalu? batinnya. Dadanya seketika sesak karena ia hanya bisa menggerutu dalam hati. Sungguh tidak etis bila memarahi sesama petugas kesehatan di hadapan pasien. Apa lagi ia sadar diri, bila terlanjur marah sering kali anarkis.
"Pak, tolong dicek obat-obatnya," instruksinya lagi.
Yamin mengambil ampul kecil obat, lalu menunjukkannya kepada Dira dengan wajah bersalah. Dira membaca etiketnya. Kedaluwarsa. Seketika ia lemas. Itu adalah obat yang telah ia perintahkan untuk diganti sebulan yang lalu!
"Coba dicek semua yang ada di Emergency Kit itu, Pak."
"Sama, Bu," jawab Yamin lirih. "Kecuali adrenalin."
Spontan Dira melirik ke Yani.
"Oh, infus dan obat kebidanan yang kita pakai tadi bagus semua, Bu. Sudah saya cek minggu lalu," cepat-cepat Yani menyahut. Matanya menatap Yamin dengan nyala kemenangan.
Lelaki itu kini memanyunkan mulutnya seolah protes, Seneng kamu, aku dimarahi? "Yuni salah ambil tas tadi, Bu!" sahut Yamin membela diri.
Hasilnya telak. Yani memelotot maksimal. "Kok anak buahku disalahkan?"
Ya Tuhanku, ampuni hambaMu ... Seketika Dira merasakan beban berton-ton mengimpit pundak. Ia bagai tentara yang dilempar ke medan perang tanpa persenjataan. "Ya sudah. Coba lihat ambu bag-nya[7]."
Sekali lagi wajah Yamin tampak lesu. Ia menunjukkan kotak transparan berdebu tempat benda lonjong itu tersimpan. Yamin mengeluarkan alat untuk membantu pernapasan itu dari kotaknya. Balon yang seharusnya berbentuk lonjong, kini sudah penyek sebagian.
Barang itu, kan, sudah kusuruh buang. Yang begitu mana bisa untuk memompa udara, Perawatku Tersayang! ratap Dira dalam hati. "Yang baru mana, Pak?"
"Tidak saya bawa. Belum dirakit, Bu," jawab Yamin, hampir tersedak karena pandangan petir Dira yang melubangi jantung.
"Nanti kalau sampai ada apa-apa, Bapak lakukan pernapasan dari mulut ke mulut, ya!" ujar Dira. Ia yakin kepalanya sudah berasap sekarang.
Yamin kaget. Sambil melirik suami Era, ia berbisik, "Metode itu sudah tidak dianjurkan lagi kan, Bu?"
Dira cuma mendengus saja. Yamin kini sadar bahwa sang bosnya tengah marah besar.
"Saya coba perbaiki dulu," ujar Yamin, lalu cepat-cepat menghindar dari tatapan Dira.
Dira membuang muka, berusaha meredakan amarah yang nyaris meledak. Dua orang itu, Yani dan Yamin, sudah lama tidak saling sapa karena berselisih paham selama persiapan akreditasi. Tiga hari lalu, mereka perang mulut di saat rapat. Tentu saja ia tegur. Sebagai hasilnya, kedua orang itu tidak mau berbicara dengannya. Ia sampai merasa gagal sebagai pimpinan.
☆☆☆
Era pingsan beberapa kali selama perjalanan. Begitu pula suaminya. Dira kini merindukan peralatan-peralatan medis di rumah sakit dulu; emergency trolley beserta seluruh isinya, bedside monitor, EKG, defibrilator, mobile ventilator[8], kantong darah dari PMI... Sekarang, mereka cuma punya tensimeter, tabung oksigen, dan Emergency Kit usang. Beruntung pasien bisa siuman.
"Bu, lihat," bisik Yani pada Dira, sambil mengerling ke ember penampungan darah.
Dira mengangguk perlahan. Darah yang keluar sudah tidak kental lagi. Kini encer dan berwarna merah bening. Entah tinggal berapa banyak darah segar yang tersisa di tubuh anak malang itu. Perjalanan menuju rumah sakit kabupaten itu pun terasa sangat panjang.
Bertahanlah Era...
☆☆☆
Dira, Yani, dan Yamin terduduk lesu di depan ruang operasi RSUD Dr. Murjani Sampit dengan pandangan kosong. Dira dan Yani bahkan tidak ingat untuk melepas apron bersimbah darah yang melekat di tubuh mereka.
Bian datang membawakan makanan dan minuman. "Bu Dok, makan dulu. Nanti ikut pingsan."
Dira mengucapkan terima kasih saat menerima bungkusan itu.
"Bu Dok," panggil Bian lagi. "Dilepas dulu celemeknya. Serem kelihatannya."
Dira dan Yani melakukannya tanpa bicara.
"Pak, kami harus segera kembali ke Puskesmas karena besok penilaian akreditasi. Bapak bisa membantu?"
Bian mengangkat tangan dan merapatkan kedua kaki. "Siap laksanakan!"
Sayang, perjalanan melewati sungai tidak dapat dilakukan karena hujan deras dan sungai menjadi tidak aman. Malam itu, mereka terpaksa menginap di dermaga sampai hujan reda. Bagaimana nasib Puskesmas mereka? Siapa yang menggantikan dirinya dalam pertemuan prasurvei malam tadi? Lalu bagaimana Opening Meeting esok? Siapa yang akan menyampaikan presentasi kepala Puskesmas? Akankah mereka kehilangan keduanya; pasien meninggal setelah dioperasi, dan survei akreditasi dibubarkan sebelum mulai?
Oh, Dira tidak bisa berpikir lagi ...
__________________
[1] Istilah medis untuk memberikan cairan infus dalam jumlah banyak di waktu yang singkat
[2] Nama obat untuk merangsang kontraksi otot rahim
[3] Tindakan kebidanan untuk mengeluarkan ari-ari dengan tangan.
[4] Ari-ari bayi
[5] Satuan Polisi Air
[6] Kotak atau paket berisi obat dan peralatan untuk menyelamatkan nyawa pasien
[7] Alat untuk memberikan napas buatan
[8] Daftar peralatan emergensi di rumah sakit
☘☘☘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro