Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HUSBAND'S BROTHER (4)

THIS WORK BELONGS TO INA CARRA (INACARRA)

VOTE DAN KOMEN YANG BANYAK

🔥🔥🔥

Sepanjang siang dan sore, Lyla berusaha menghindari keberadaan kakak iparnya. Tentu saja berhasil karena tidak seperti dirinya yang standby di hotel, lelaki itu bertanggung jawab penuh di lapangan. Ia bahkan sengaja tidak mendekati venue agar tidak perlu saling sapa dengan Andes.

Waktu sudah menunjukkan jam makan malam, setelah memastikan urusannya selesai Lyla memilih segera angkat kaki untuk beristirahat di kamar. Setelah kejadian semalam antara dirinya dan Andes, lalu ia lanjut berjaga di rumah sakit, Lyla sama sekali merebahkan diri di kasur.
Melihat rombongan yang datang satu per satu dari lobby resort dan menuju ke restoran, kesempatannya berpapasan dengan kakak iparnya semakin besar. Lyla belum siap menatap sepasang mata biru tidak tercela milik Andes, berada di satu ruangan yang sama, apalagi jika lelaki itu menunjukkan perhatian seperti semalam. Pegawai yang lain akan curiga.

“Infokan ke Pak Andes, semua administrasi dan persiapan makan malam sudah selesai, rombongan bisa langsung menikmati hidangan.” Lyla memberi perintah pada salah satu pegawainya yang bertugas di meja penerima tamu, “Saya sakit kepala, langsung istirahat di kamar.”

“Ibu sudah makan?” tanya pegawainya tulus.

Lyla menggeleng, “Nanti minta dikirim ke kamar saja. Terima kasih ya.”

Tanpa basa-basi lagi, Lyla beranjak dari restoran untuk segera beristirahat. Langkahnya melewati jalan setapak menuju bungalow tempatnya beristirahat, pepohonan rindang memberi teduh cuaca malam yang hangat. Lampu kecil sepanjang jalan setapak yang temaram menjadi pemandu Lyla menuju kamarnya.
Setelah membuka pintu, ia segera melepas sepatu dan menjatuhkan diri di atas ranjang. Ia terlalu lelah untuk membongkar koper atau membersihkan diri di kamar mandi. Lyla akhirnya terlelap.

***

Bunyi gedoran pelan dari pintu kayu membuat Lyla terbangun, suara yang tidak asing memanggil namanya. Andes. Ia meraih ponsel dan melihat jam, waktu hampir tengah malam.
Dengan setengah sadar, ia menyeret kakinya ke ambang pintu. Lyla tahu kakak iparnya tidak akan berhenti menggedor jika ia tidak segera membukakan pintu untuknya.

“Ada apa?” tanya Lyla lemas seraya menempelkan pipinya ke pintu kamar yang dibukanya setengah. Ia tidak berniat menawarkan lelaki itu masuk ke dalam kamar.

Andes menarik napas lega, “Kupikir pingsan. Kamu baik-baik saja?” Lelaki itu menangkup wajah Lyla dan terlihat khawatir.

Jantung Lyla berdebar, kerongkongannya mendadak kering. Tubuhnya seolah memiliki sinyal khusus jika kakak iparnya berada di dekatnya. Andes selalu membuatnya salah tingkah dan gelisah.

Sepasang mata biru Andes berhasil menghipnotisnya kembali. Mata indah itu terlihat lebih gelap, lebih besar, dan cara lelaki itu mengeraskan rahangnya membuat Lyla penasaran apa yang akan dilakukan Andes padanya.

Andes mendekatkan wajah mereka, entah bagaimana rasa lunglai yang dirasakannya tadi kini sudah berganti menjadi gelegak gairah. Api panas semalam yang belum reda di antara mereka.

Jari lelaki itu membelai dan menyisipkan anak rambut Lyla ke belakang telinga. Telunjuk Andes bergerilya sepanjang kulit tengkuknya, membuat bulu kuduknya meremang, membangunkan hasrat yang berusaha ditekannya seharian.
Dalam cahaya temaram sudut bungalow, Lyla merasa tubuhnya seakan terbakar. Kakak iparnya berhasil membangunkan setiap titik lekuk tubuhnya yang ingin disentuh. Mendadak ia kembali diingatkan pada tujuan utamanya untuk menyelamatkan diri dari Andes.

Lyla berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Andes, “Hanya lelah, semalam aku berjaga di rumah sakit. Belum tidur sama sekali.”

“Sudah makan malam?”

Lyla menggeleng.

Andes tersenyum kecil seraya memperlihatkan nampan yang dibawanya, “Sudah kuduga.”

“Bukankah Ayu sudah mengirim makan malam untukku?” Lyla berkilah seraya memperhatikan teras depan bungalow-nya.

“Kamu tidak membuka pintu, Lyla. Lihat kucing-kucing itu sudah mengacak-acak piringmu?”

Lyla menoleh dan melihat dua nampan, salah satunya memang sudah tidak berbentuk.

“Apa kamu sengaja menghindar, Lyla?” tanya Andes.

Lyla tidak menjawab pertanyaan kakak iparnya, jantungnya terlalu berisik saat ini. Perasaannya tidak bisa lagi dibendung.

Salahkan rasa laparnya semenjak kemarin saat tangannya melingkar pada leher kakak iparnya, Lyla mendekatkan wajah mereka dan menempelkan bibir pada bibir lelaki itu. Sesaat, Andes terkesiap tapi tidak menunggu waktu lama untuk menariknya ke pelukan dan membalas ciumannya.

Kini giliran Lyla yang memberi, bibir Andes tegas sekaligus lembut. Aroma tembakau dan jus semangka dari lidah lelaki itu membuat rasa manis dalam belitan lidah mereka. Kakak iparnya memang pencium andal.
Puncak payudara Lyla menggelenyar, menempel erat di dada Andes. Napasnya memburu, tapi ia tidak peduli. Lyla membiarkan dirinya terhanyut, luapan emosi yang membingungkan. Menjawab pertanyaan dianggapnya lebih sulit dibanding mengingkari janjinya sendiri.

Kini Andes lebih berani, membelai bahu Lyla yang setengah terbuka dan dress nya yang tersingkap sedikit karena sepasang kakinya berjinjit agar sejajar tinggi. Sepasang tangan Andes membelai sisi pinggul adik iparnya, meraup pantatnya yang sintal sampai Lyla mengerang pelan dalam ciuman mereka.

Erangan lembut Lyla menjadi lampu hijau untuknya, Andes mempererat pelukan dan mengayun pelan sampai berhasil menggendongnya. Postur adik iparnya yang mungil tidak menyulitkannya, ia berhasil masuk ke dalam kamar dan mendorong pintu dengan belakang sepatunya.
Detik demi detik berlalu, Andes seakan mendengar debaran jantungnya sendiri. Perempuan yang dikaguminya mau membuka diri untuknya. Tidak seperti semalam, Lyla seakan membuka pintu gerbangnya lebar-lebar.

Andes tersenyum puas, membaringkan tubuh di sisi Lyla. Jari perempuan itu menyugar rambutnya lembut, menariknya ke belakang dan membuatnya makin semangat. Tangan Lyla turun ke pundak, lalu membelai sekilas dadanya, memberi cubitan kecil tepat di puting lalu menggerayangi.

Ia lalu menunduk pada payudara kanan Lyla, meraup puncak payudaranya yang ranum dengan bibirnya. Tak lama lidahnya menggoda dengan lumatan yang makin membuat perempuan itu melengkungkan punggung. Mengerang. Mencakar punggungnya dengan kuku-kuku lentiknya, Andes dapat merasakan sentuhan itu sampai ke tulang.

Sepasang tangan Lyla mencengkeram pundak Andes, jarinya makin terbenam seraya menjeritkan namanya. Tubuh perempuan itu bergeliat dengan permainan lidah Andes yang makin menjadi. Senyum pun makin mengembang karena ia tahu hanya satu langkah lagi sebelum adik iparnya itu akan menyerah oleh sentuhannya.

Namun, Lyla sengaja menarik bibirnya, mendorong Andes dan berusaha keluar dari himpitan lelaki itu di atas ranjang. Ia menahan bobot tubuhnya dengan sepasang tangan yang bersimpuh tepat di sisi wajah perempuan itu.

“Apa lagi sekarang?” tanya Andes tidak sabar, perubahan suasana perempuan itu benar-benar diluar prediksi. Api yang berkobar sejenak padam begitu saja. “Kenapa berhenti?”

Lyla berupaya menjauhkan diri tapi usahanya tidak berhasil karena tangan kokoh lelaki itu menjegalnya untuk tidak berubah posisi.

“Kamu yang memulai, Lyla.”

“Aku tahu,” ujar Lyla membasahi bibirnya, “Maaf, aku tadi tidak berpikir panjang. Kita tidak bisa melakukan ini.”

Alis Andes terangkat sebelah, pendar lampu sudut menghangatkan kamar membuat suasana berbanding terbalik dengan situasi tegang di antara mereka berdua.

“Mungkin sebaiknya kita tidak perlu berpikir, Lyla.” Andes berkata lembut, “Semakin banyak berpikir akan membuatmu ragu. Tidak ada yang perlu diragukan dari ketertarikan ini. Aku tertarik padamu dan sebaliknya, apa yang salah?”

Lyla terdiam, logikanya berteriak salah tapi naluri berkata sebaliknya.

Andes menjatuhkan diri di sisi Lyla, menarik perempuan itu dalam rengkuhan. Meraih pipi dan mengangkat wajahnya, “Dico memang adikku dan kamu istrinya. Kamu terlalu baik, Lyla. Jangan menutupi kesalahan Dico yang berkali-kali mengkhianatimu.”

Pandangan Lyla menerawang ke atas langit-langit, tidak terasa air matanya berkumpul di sudut mata. Suaminya tidak pernah bersikap hangat, pernikahan mereka sebatas formal diatas kertas. Padahal, ia sudah berusaha semaksimal mungkin tapi mengapa Dico memperlakukannya seperti pajangan.

“Memangnya kamu tidak sakit hati?” tanya Andes, “Satu-satunya alasan mengapa Dico menikahimu karena bocah itu tahu aku menyukaimu. Dengan memilikimu, ia merasa menang.”

Lyla menoleh mendengar kalimat terakhir dari mulut Andes, matanya menuntut penjelasan lebih banyak.

“Sudah kubilang, sejak hari pertama kelas aku jatuh hati. Satu-satunya fotomu yang dipajang di sisi cermin kamar untukku berlatih berbicara padamu,” jelas Andes. “Namun, ternyata aku kalah cepat, Dico menemukanmu dan memikatmu lebih dulu.”

Seolah dilempar kerikil ke wajahnya, Lyla terheran dengan uraian kakak iparnya. “Mengapa aku? Masih banyak perempuan lain, bukankah pacarmu banyak?”

Andes tertawa kecil lalu menggeleng, “Mungkin setelah kalian menikah, mereka hanya pelampiasan, Lyla. Mereka bukan kamu.”

Keduanya terdiam untuk beberapa saat.

“Aku tidak punya keberanian, seperti Dico. Sampai akhirnya tersadar, semua sudah terlambat.” Andes menyelipkan tangannya ke sisi tubuh perempuan itu seraya mendekapnya, ia hanya ingin dipeluk.

Pelukan itu seolah ingin bercerita kesedihan seorang lelaki yang hilang arah dan ingin dicintai. Lyla akhirnya paham, meski terlihat tangguh tapi Andes hanya anak lelaki yang ditolak ibu dan cinta pertamanya.

Butuh beberapa menit sebelum akhirnya Lyla membuka tangan dan membalas pelukannya, “Hanya malam ini, Andes. Only tonight, give me pleasure.”

Hanya itu undangan yang Andes butuhkan, tangannya meraup Lyla ke dalam pelukan. Keduanya tidur bersisian. Adik iparnya mengangkat kepala, tidak menunggu lagi ia menempelkan kedua bibir mereka.
Lyla mendesah dan menjilat bibirnya, perempuan itu tahu mereka tidak bisa mundur karena persetujuan yang sudah dilontarkan. Belajar dari kesalahannya, Andes tahu adik iparnya bukan perempuan yang ingin dipaksa. Sebelum mereka saling memuaskan, Lyla harus dipuaskan lebih dulu.

Lidah Andes menjerat lidah perempuan itu, sisa jus semangka mengisi rongga mulut mereka. Ciuman panjang dan mesra akan menjadi pembuka untuk Lyla. Ia hanya ingin merasakan Lyla seutuhnya.

Napas mereka berderu, jantung Andes berdebar tidak karuan. Tangan Andes membelai tubuh Lyla, lalu menyusup ke balik lingerie dibawah dress floral nya yang sudah tersingkap hingga pangkal paha. Perempuan itu menggeliat begitu jari-jari Andes mulai memberi pijatan kecil pada kewanitaannya yang lembab dan menghangat.

Andes begitu bergairah, ia berusaha keras menahan egonya, dua kali Lyla mundur karena ia terlalu terburu-buru. Jari Lyla kini mulai membalas perlakuannya, membelai pelan jagoannya yang sudah menegang. Tangan halus berusaha melepas resleting jeans miliknya tapi Andes menahannya.

“Malam ini bukan tentang aku, Sayang.” Andes berbisik tepat di cuping telinganya, lidahnya menjilat dan membelai serupa permen madu, kembali membuat tengkuk Lyla meremang.

Andes merebahkan diri di atas ranjang, ia menyingkap ujung dress adik iparnya hingga makin ke atas pusar. Lingerie hitam menutup segitiga maut Lyla terlihat menggiurkan. Lidahnya kembali menghujami ceruk leher Lyla tanpa ampun.

Belaian lidah basah disertai cumbuan kecil yang mengecup setiap jengkal garis pinggul adik iparnya. Erangan kecil dari mulut Lyla menjadi penanda bahwa perempuan itu juga menikmati aksi bibirnya.

Andes berlutut dan mengangkat paha Lyla, giginya gemeretak tidak sabar untuk mencecap liang hangat perempuan itu dengan mulutnya sendiri. Ia harus menikmati setiap tetes mani Lyla di lidahnya sendiri.
Telunjuknya menyusur garis lingerie Lyla, Andes membungkuk. Paha perempuan itu diangkat Andes hingga ke pundak yang membuat wajahnya kini sejajar dengan liang nikmat adik iparnya.

🖤🖤🖤

Mulai hot 🥵🥵🥵.

Stay tuned, besok kita ketemu lagi. Yang nggak sabar bisa ke Karyakarsa The WWG.

Link klik di samping 👉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro