15. Melarikan diri
Ruangan dalam bangunan ini sangat gelap. Aku berlari sambil terus meraba sekelilingku.
Dug. Aku menabrak dinding.
"Aw" aku meringis sambil mengusap-usap wajahku yang menghantam dinding.
Sambil menahan rasa nyeri di wajahku, aku terus berlari mencari sebuah pintu. Dan ketika aku menemukan pintu, aku membukanya untuk memastikan apa dibalik pintu.
Pintu pertama yang kutemukan menuju sebuah dapur, pintu kedua ke kamar mandi, sampai akhirnya aku menemukan sebuah pintu lagi. Ketika kubuka aku melihat jalan.
Cahaya yang masuk dari pintu setidaknya memberi sedikit penerangan jadi kubiarkan pintu itu terbuka.
"Ketemu!" kataku sambil mengepalkan tangan.
Sekarang saatnya kembali untuk memberi tahu Vaneesa dan Toorian.
.
.
Dak dak dak. Suara hantaman pria-pria menyeramkan itu terdengar. Toorian dan Vaneesa mengerahkan seluruh tenaga mereka untuk menahan pintu.
"Toorian! Vaneesa! Aku menemukan jalan belakang!" teriakku.
"B*JINGAN KAU GEERAM! KELUAR KAU!!"
"Kalian pergilah!" kata Toorian.
"Tidak. Kita harus sama-sama." kataku.
Aku melirik meja dimana tas ransel dan tas selempang tergeletak asal. Aku langsung memasukkan peralatan yang sempat dikeluarkan Toorian ke dalam tas ransel lalu mengenakannya di pundakku.
Kemudian memasukkan makanan yang berceceran ke dalam tas selempang.
"Ayo cepatttt!!!" kataku.
"Ayo Toorian!" kata Vaneesa.
Toorian menggeleng. Dia meminta kami untuk pergi lebih dulu.
"Aku akan menahan pintu." kata Toorian.
Aku berlari mendekati mereka.
Dak dak dak. Pria-pria itu masih kukuh mendobrak pintu yang ditahan Toorian dan Vaneesa.
"Kubilang ayo pergi dari sini!!" aku membentak Toorian dan Vaneesa.
"Pergi lebih dulu! Nanti aku menyusul!!" kata Toorian balik membentakku.
"Tidak!!"
"Kau keras kepala sekali!"
"Kau yang keras kepala!!!"
"Aku harus melindungi kalian!!" kata Toorian.
"Kalau kau tidak ikut bersama kami lalu siapa yang melindungi kami??"
Vaneesa tidak bisa bersuara. Ia perlahan menghentikan aksinya menahan pintu dan menarik tangan Toorian.
"Ayo kita pergi sama-sama." kata Vaneesa.
"Mereka akan menangkap kita!"
"Pintu itu sudah kukunci! Lihat! Jadi mereka masih tertahan meskipun kau tidak menahannya. Makanya ayo pergi sebelum tubuhmu tidak bisa menahan pintu itu!!!"
"GEERAM! KUBUNUH KAU!! KELUAR!!"
Suara pria itu semakin menggertak.
"Toorian!! Percaya padaku!!" kataku.
"Hm baiklah." Toorian masih menahan pintu.
"Hitungan ketiga kita lari!!" perintahku "Vaneesa bawa ini!" aku menyerahkan tas selempang kepada Vaneesa.
"Siap?" tanyaku. Mereka mengangguk.
"Satu.. Dua.. Tiga.."
Kami bertiga langsung berlari menuju bagian belakang bangunan dan hanya menyisakan lilin yang tadi kami nyalakan untuk penerangan.
Pria-pria itu masih terus berusaha untuk mendobrak pintu. Pintu itu hampir berhasil terbuka.
"Hati-hati." kataku.
"Raeesa gelap." kata Vaneesa.
"Ikuti saja aku."
Ketika terlihat cahaya yang menyusup masuk ke dalam bangunan gelap ini, aku tersenyum.
"Itu pintunya." kataku.
Kami berlari keluar bangunan melalui pintu kemudian berlari ke arah selatan mengikuti jalan.
Saat kami berlari. Terlihat pria bertubuh kekar itu sedang menendang maupun menghantam pintu dengan tangan berotot mereka.
Salah satu diantara mereka melihat kami.
"Itu dia!"
Pria-pria yang tadinya sibuk mendobrak pintu beralih mengejar kami.
"Sialll. Ayo lari lebih cepat!!" kata Toorian yang kemudian menarik tangan kananku. Sementara Vaneesa berlari di belakang kami.
Ini sudah kesekian kalinya aku dikejar-kejar karena terlihat seperti seseorang yang sedang dicari-cari.
Gerombolan pria itu berjarak beberapa meter dibelakang.
"Vaneesa ayo cepat!" aku mengulurkan tanganku. Vaneesa mengabaikannya. Ia justru berhenti berlari.
Gerombolan pria semakin mendekatinya.
"Toorian." aku menahan langkah Toorian.
"Kenapa berhenti?" tanyanya.
"Vaneesa!" aku memanggil Vaneesa.
"Dasar bodoh." kata Toorian "Raeesa, kau lari lebih dulu, tunggu kami di persimpangan."
"Lalu kalian?"
"Aku menyusul." Toorian bertolak ke arah Vaneesa yang mematung. Entah apa yang dipikirkan Vaneesa.
Aku berlari lebih dulu sesuai permintaan Toorian.
Aku berlari secepat yang kubisa. Ransel dipundakku semakin menambah beban. Nafasku berat.
Jalanan ini sepi. Hampir tidak ada orang yang berlalu lalang. Hanya suara langkah kakiku yang kudengar menggema.
Sampai dipersimpangan aku berbelok ke kiri. Bersembunyi dibalik dinding bangunan menunggu Vaneesa dan Toorian datang.
Sepuluh menit berlalu, Vaneesa dan Toorian belum juga datang. Kemana mereka? Apa mereka tertangkap?
"Raeesa!!" suara seseorang memanggilku dari kejauhan.
Aku mencari sumber suara. Tepat di seberang jalan sebelah kanan. Itu mereka!
"Tunggu disana!!" teriak Toorian.
Aku mengangguk.
Toorian berjalan kearahku sambil menggandeng Vaneesa yang sudah memasang tampang cemberut.
"Ayo kita cari tempat." ajak Toorian.
"Ayo." aku terus memperhatikan Vaneesa.
Sepanjang jalan kami hanya diam. Toorian masih terus memegang tangan Vaneesa.
Mereka kenapa sih?
Sampai akhirnya kami menemukan sebuah tempat yang tidak terpakai namun kondisinya lebih baik dari bangunan sebelumnya yang tanpa penerangan sedikitpun.
Aku duduk di lantai dan melepaskan tas ransel yang membuat pundakku sakit.
"Huh." aku mengusap keringat di dahiku.
"Apa yang kau lakukan Vaneesa?" tanya Toorian pada Vaneesa.
"Hanya melakukan hal yang kumau." jawab Vaneesa.
"Tapi itu tindakan bodoh!"
"Terserah."
"Vaneesa kau kenapa sebenarnya?" tanyaku.
"Tidak ada. Terus saja menyalahkanku."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Kalian meninggalkanku kan?" kata Vaneesa.
"Kapan?"
"Pura-pura."
"Sudahlah Raeesa. Biarkan saja dia." kata Toorian yang ikut duduk dihadapanku.
"Kalian menyebalkan." kata Vaneesa.
"Terserah kau saja." balas Toorian "ah Raeesa, apa yang kau lakukan ditempat itu sampai dikejar-kejar?"
"Aku tidak melakukan apapun." kataku.
"Lalu?"
"Ini karena keajaiban."
"Aku masih belum mengerti."
"Aku juga tidak tau, yang pasti mereka mengira aku adalah Geeram." jelasku.
"Geeram siapa?"
"Ya orang yang mereka cari-cari. Dan ini sudah kesekian kalinya."
"Hm menyusahkan sekali. Kita memang harus mencari Rattatoo secepatnya."
"Ya tentu saja. Bukankah kau juga mendapat keajaiban?" tanyaku.
"Tidak tau."
"Kau setiap ditanya pasti menjawab tidak tau."
"Memang aku tidak tau apapun." kata Toorian membaringkan tubuhnya di lantai yang dingin.
"Hm ya sudahlah."
Sementara Vaneesa masih saja diam dengan wajah tertekuk.
"Vaneesa, jangan cemberut seperti itu." kataku.
"Biar saja." jawabnya ketus.
"Apa kau tidak lelah berdiri?"
"Kalau aku lelah, aku akan duduk."
"Hm yasudah."
Sebenarnya Vaneesa kenapa?
Apa aku berbuat salah terhadapnya?
Lalu Toorian, baru saja aku ingin bertanya bagaimana ia bisa melarikan diri dari gerombolan pria tadi. Tapi Toorian sudah lebih dulu berpetualang dalam mimpi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro