Jendela 3
Pada suatu Sabtu dengan cuaca berawan, matahari naik mendekati tengah hari. Wangi pandan sisa tadi pagi masih tercium sampai ke kamar Regin. Semua yang melekat padanya saat itu terasa berbeda, seperti alam tengah bermanis-manis memanjakannya bagai anak bungsu. Regin mengerjapkan mata beberapa kali sebelum tangannya merogoh-rogoh bantal mencari keberadaan ponsel. Jam digital di layar menunjukan angka sebelas titik nol dua.
Kemudian dengan cepat jarinya menyapu berbagai sudut layar. Mengecek satu dua aplikasi, membuka pesan Whatsapp dan berakhir memandangi pesan Facebook yang semalam masuk. Sebuah pujian atas bakat yang membuatnya sering disuruh-suruh teman menggambar sesuatu, yang kelak hasil ciptaannya akan dibuat sebagai hadiah. A great painter, dalam hati Regin tersenyum, karena umumnya paling mentok orang-orang cuma menyebutnya pintar gambar, meskibegitu, dia tetap mengetik balasan pendek.
"Thank."
Semenit berlalu, terdengar lagi dering khusus pesan Facebook yang Regin pasang. Orang asing itu kekeh memuji dirinya sebagai pelukis berbakat, begitupula penyangkalan yang dilakukan Regin. Dia mengangkat kedua alisnya, membaca satu kata balasan. Really. Kata itu baginya adalah jebakan agar pada akhirnya orang menyombongkan diri. Dari dulu Regin selalu merasa tidak pernah melihat apalagi menyebut dirinya sebagai pelukis, cuma kebetulan dia bisa menggambar, dan itu merupakan sebuah bakat yang tidak ingin dibesar-besarkan.
Dalam pesan lainnya, orang asing itu bertanya soal karya acak yang sudah dibuatnya, lalu menyuruh Regin memperjelas konsistensi aliran karya yang dibuat olehnya. Kemudian, dalam pesan lainnya, orang itu bertanya pelukis dan apa karya seni kesukaan Regin. Dia menyebut beberapa nama asing yang tidak Regin tahu seperti Césarine Davin-Mirvault, Fra Filippo Lippi, François Boucher, dan John C. Johansen.
Regin mengendus ada hal menarik dari percakapan mereka. Tidak semua teman atau sahabat yang tahu dia bisa menggambar pernah bertanya siapa dan apa seni lukis kesukaannya. Dia mengambil jeda sejenak untuk memikirkan soal siapa dan apa yang dia idolakan. Nyatanya sejauh ini, Regin cuma tahu Leonardo Da Vinci dan lukisan fenomenalnya itu. Regin pun mengirim balasan pesan, selanjutnya percakapan mereka mengalir seperti air.
"Aku enggak pernah mengidolakan siapa-siapa. Selama ini hanya membuat apa yang aku ingin buat." Regin membalas sambil mengingat-ingat, kebanyakan yang dia buat adalah pesanan beberapa orang.
"Tidak pernah bukan berarti tidak akan pada suatu hari hari nanti, ya kan?!"
"Mungkin, kamu tahu banyak soal lukisan, kamu pasti lebih jago dan punya karya lebih banyak."
"Aku bukan siapa-siapa, apalagi pelukis. Aku cuma penikmat seni, khususnya seni lukis. Jika kamu kesini kamu bisa menemukan karya-karya mereka di The Frick Collection."
Entahlah, tahu-tahu hati Regin berdebar mendengar kenalannya menyebut The Frick Collection, hal itu membawa kembali ingatan akan hal yang tidak pernah benar-benar diberi perhatian. Sudah lama sekali, Regin pernah sekelebat membaca ulasan lukisan-lukisan yang tersimpan di dalam bangunan itu ketika pertama kali dirinya mengikuti forum seni New York dari Facebook. Debaran itu membuatnya ingin mengenal orang ini lebih dekat, hingga dia memutuskan membuka pintu hidupnya.
Ketika Regin mengendus obrolan bersama Dale semakin menarik, sesuatu di dalam hatinya menyala. Titik tumpu cahaya itu persis neon terjulur di tengah ruangan. Tunas sebuah perasaan. Perlahan, cahaya tadi merayap-merambati dinding hati, memakan kekakuan, apatis, dan berbagai peyangkalan inci demi inci, kemudian meledak, menjadi ratusan anak cahaya, melayang-layang berpencar di dalam tubuhnya. Regin pun lupa soal verifikasi akun yang telah direncanakan.
**********
Lanjut besok yah teman-teman :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro