Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jendela 2

Manhattan, NYC - 29 Agustus 2014.

Semua manusia di bagian negara yang terbiasa dingin memperlakukan matahari seperti barang langka. Ketika musim panas tiba, mereka mempersiapkan banyak hal mulai dari rencana liburan, konser musik, pakaian, festival makanan, dan kegiatan lain yang langsung berpayung matahari. Di antara semua orang, Dale cuma berdiri di tepi jendela apartemen menikmati kehangatan matahari. Selain itu, dia memang sama sekali tidak punya acara yang dibuat khusus sejak musim panas datang dari bulan lalu.

Dale menutup matanya sesaat, berusaha menyerap kehangatan sebelum kembali ke mejanya. Dale merasa sudah cukup tetap berada di dalam apartemen, menghibur diri dengan melihat dan menyimak diskusi karya-karya seni di forum fan page facebook NEW YORK ACADEMY OF ART. Dia merasa seperti membeli stok oksigen yang tidak disediakan alam. Dia tidak bisa menciptakan oksigennya sendiri, sebab menggambar kehidupan baru, menciptakan keindahan di atas kanvas bahkan kertas sekalipun adalah pekerjaan sulit.

Dale berpikir, pensil adalah tongkat ajaib yang tidak bisa sembarangan dipegang orang. Tidak peduli sebesar apa keinginannya, semua yang dia hasilkan tidak pernah jadi karya yang dapat dibanggakan apalagi menjanjikan. Sekarang, dia lebih puas menjadi seorang penikmat. Menikmatinya tanpa membebani tangan kakunya menciptakan sebuah karya. Sering dia merasa lebih mudah mengendalikan senjata ketimbang pensil atau kuas. Namun, Dale tidak pernah lupa seperti apa rasanya pernah menjadi bagian dari NYAA.

Dale kembali menggerakkan jarinya di atas touchpad kemudian membuka dua akun sekaligus di jendela berbeda, pengikut forum yang telah mencuri perhatiannya sejak beberapa minggu terakhir, mereka adalah S. Thomas Olsen dan Regina Silvy.

Melalui profil facebook, Dale tahu Thomas merupakan seorang mahasiswa seni sculpture Perancis beraliran ide murni yang tercermin dari setiap karyanya. Patung-patung abstrak menjadi fokus eksistensi Thomas. Sementara itu Regina, seperti domba yang tidak tahu mau lari ke mana saking luasnya padang rumput, mungkin ini sebuah alih-alih mutli talent. Kadang menyelami potrait, kemudian landscape, lalu tokoh kartun, karikatur, dan kadang terlalu ekstrem menyebrang ke dalam bentuk abstrak.

Profil Regina menarik perhatiannya. Alur hidup perempuan ini berbanding lurus dengan karyanya yang tidak pasti akan eksis dimana. Melalui akun Facebook Regin, Dale tahu bahwa Regin menyukai seni lukis, tamatan Sastra Inggris yang malah berkarir sebagai CSO bank di Jakarta. Dale mengerutkan dahi. Multi talent terasa sebegini aneh untuknya, dan keanehan itu menarik keingintahuannya.

"Hi, you seems like a greatpainter. Aku suka semua sketsa buatan kamu tapi, sekaligus sedikit membingungkan."

Dale mengirimi Regin pujian melalui pesan pribadi facebook. Lima belas menit berlalu, jangankan dibalas, dibaca saja belum. Jengah, Dale menutup akun facebooknya.

Kota New York sudah terjaga dalam tipu daya matahari musim panas sejak dini hari. Sebagian masih terlelap, lainnya sudah bergulat dalam rutinitas. Dale membuka kaus putih yang dia pakai kemudian berdiri di dalam bathtube, kedua tangannya menempel ke dinding. Pasrah di bawah kucuran air yang membuat otot-ototnya tenang. Sejak permasalahan itu datang dan menguras habis tenaga, dia merasa seperti kembali hidup di tengah peperangan dengan tingkat mengerikan lebih dari yang pernah dialaminya, terkadang mandi bisa jadi satu-satunya waktu tenang yang dia punya.

Matanya terpejam, dengan kepala bersandar di dinding, fokus hanya pada suara gemericik air. Akan tetapi, sayup-sayup malah suara di kepalanya muncul seperti dengung lebah. I just wanna play, like a spy Dad. Kalimat itu muncul bersama langkah kaki disusul suara dentuman keras selama beberapa detik. Dale melenguh-geram, memukul-mukul dinding.

Namun, bayangan itu berlanjut dan membawanya pada potongan kejadian setelahnya, terdengar jeritan seseorang memaki-maki dirinya di ruang tunggu rumah sakit. Dale melenguh tersiksa mengingatnya. Sunyi sesaat, kemudian bayangan lain di pemakaman muncul. Peti itu masuk perlahan diantar isak tangis histeris yang berujung sunyi mencekam. Dale tidak tahan, dia teriak. Teriakannya mendominasi gemericik air, hingga akhirnya jatuh terkulai di bathtube.

Bersamaan dengan terkulainya Dale, Regin menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Sofa berwarna cokelat muda yang biasa dia tempati setiap kali datang ke kafe yang sama bersama Cia. Dia merogoh saku jaket melihat pesan masuk dari facebook tadi, Regin tersenyum membacanya tanpa berniat langsung membalas. Sebagai orang yang bekerja di Bank, dia terbiasa melakukan verifikasi data nasabah agar selalu aman. Begitu juga saat ini, demi keamanan hidupnya, dia harus mengecek dulu akun orang yang mengiriminya pesan, mengecek siapa temannya, apa saja grup yang diikutinya, dengan begitu bisa disimpulkan bagaimana orang itu bisa mengetahui dirinya.

Regin memasukan ponselnya kembali ke saku jaket mengetahui Cia datang bersama Nathan. Dari pintu, Cia merentangkan kedua tangan-berlari kecil kearahnya diikuti Nathan berjalan di belakangnya. Ini adalah pertemuan kelima Regin dengan lelaki Australia itu selama dia menjalin hubungan dengan sahabatnya.

"Hai, Regin. Good to see you," sapa Nathan mengenggam kedua tangan Regin.

Regin melempar senyum dan menjawab singkat sapaan Nathan, "You too."

Masih seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, mereka memesan minum dan makanan yang sama. Diantar pula oleh pelayan yang sama. Di tengah obrolan, Nathan berdiri dan mendentingkan gelas. Dia mengangkat tangan memberi aba-aba pada pemain musik agar berhenti sebentar. Kafe berangsur sunyi. Regin maupun Cia saling adu pandang menerka yang akan dilakukan Nathan.

Setelah Nathan meletakan gelasnya di meja, dia mulai bercerita mengenai awal pertemuannya dengan Cia. Cerita itu membuat kedua perempuan itu terperangah terutama Cia, sementara pengunjung lain dan petugas kafe diam menyimak. Di akhir cerita, Nathan berlutut-mengeluarkan cincin, meminta Cia menjadi istrinya. Suasana seketika berubah pecah. Cia menutupi wajah dengan kedua tangannya, hilang sesaat ditelan bahagia.

"My dream comes true," pekik Cia sambil memeluk Regin sebelum dia menjawab yes dan membiarkan Nathan memasukan cincin di jarinya.

Seisi kafe bersorak, tepuk tangan-siulan sahut-menyahut, musik kembali dimainkan. Pegawai kafe yang mengenal mereka datang memberi selamat. Musik kembali dimainkan. Berangsur-angsur kafe kembali normal. Cia merasa kewalahan menerima kejutannya malam itu, dia menunjukan cincin di jarinya pada Regin dengan sangat antusias. Regin melempar senyum tipis, kebahagiaan ini entah kenapa terasa tidak nyata.

"Congrats for both of you."

"So? Will you following our path?"

"No, it wouldn't be me." Jawab Regin tidak tertarik.

"Ah, really? But i bet someday you will be." sahut Nathan menggebu dengan mencondongkan tubuhnya pada Regin.

Regin mengerutkan dahi, "We'll see." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro