Jendela 17
Regin berbaring di atas tempat tidur setelah mengganti pembalut, lalu menyanggah punggungnya dengan bantal. Dia pandangi langit-langit kamar tanpa memikirkan apa-apa kecuali merasakan nyeri di pinggul dan perut yang perlahan berkurang setelah makan dua buah pisang. Semakin malam, ruang kamar di banjiri rasa manis dan bahagia, menyatu dengan emosi melankolis perempuan haid, Regin tenggelam pada rasa rindu yang lain. Rindu dimengerti. Rindu obrolan dua arah yang hidup. Rindu membahas hal-hal remeh. Rindu diskusi soal lukisan. Meski sudah tahu Dale menipu, tapi dia masih begitu ingin tahu rupa dari orang yang selama ini memenuhi hidupnya, dia juga masih sangat ingin berada di dunia, di balik garis itu, tempat seseorang pulang.
Regin mengecek ponselnya dan memastikan Bayu sudah sampai Depok dengan selamat. Pesannya dibalas selang beberapa detik kemudian. Isinya menyuruh agar dirinya segera tidur dan minum jamu datang bulan. Entah berapa lama lagi waktu yang Regin butuhkan agar dia memiliki perasaan sedalam yang Bayu punya agar hubungan mereka tidak dirasa kurang bergairah.
Meski terlambat Regin mengirim pesan balasan mengucapkan happy monthversary pada Bayu.
*
Malam ini, hujan membasahi Jakarta, udaranya membuat semua orang di depan gedung bioskop mengeratkan jaket, menggosok kedua telapak tangan atau menyembunyikan rapat-rapat telapak tangan mereka ke dalam ketiak. Regin tidak sendiri, sehingga tidak perlu melakukan apa yang mereka lakukan karena Bayu menggengam sebelah tangannya. Erat dan rapat. Menghangatkan, meski hanya sebatas rasa di kulit, tidak menyentuh hingga ke dinding hati. Entah apa yang salah, seharusnya dia bahagia karena sosok yang diimpikan berada di sampingnya. Namun sejak kejadian dua minggu lalu, pasang-surut perasaannya pada Bayu semakin sulit dikendalikan.
Regin menaikan wajah menghadap langit. Menatap butiran-butiran air yang semakin lama semakin jarang. Genggaman itu terasa mengendur. Regin berpaling menatap Bayu, dia paling suka menatapnya sembunyi-sembunyi, melihat hidung yang terlalu tinggi buat ukuran orang Indonesia serta dua buah alis yang lebih tebal dari milknya, yang selalu dia pikir tidak ada gunanya diletakkan di pelipis laki-laki. Regin mengeratkan kembali genggaman tangan yang tadi sempat mengendur. Lelaki itu tertawa kecil the power of glue, serunya. Regin mengangkat bahu sambil tersenyum kecil menanggapinya.
"Sudah agak reda, lari dikit yuk." Pinta Bayu. Regin cuma mengangguk.
Sesampai di mobil, Regin menyandarkan kepala di jendela ketika dengan sengaja kembali mengais kenangan itu. Seseorang yang membuat hidupnya lengkap, tapi dia tidak nyata dan kemudian pergi. Dale dan Bayu jelas berbeda. Bayu selalu mengajaknya pergi setiap akhir pekan, memegang tangannya, berbicara, dan tertawa lewat suara, memperlakukannya dengan sangat istimewa, Bayu selalu mengabulkan hampir semua keinginan Regin. Tapi, meski nyata dan sering bertemu kebanyakan pertemuan mereka di dominasi ruang kosong. Regin berusaha menjadi dirinya seperti ketika bersama Dale, tapi sulit. Percakapan sederhana membahas Selena Gomez dan Justin Bieber cuma berakhir dengan tawa canggung. Regin tahu, Bayu selalu berusaha menerima semua dunianya meski dia harus selalu berpura-pura.
"Gin nyeri haid, yah?" Sekarang Bayu jadi parno kalau Regin diam dan kelihatan lesu.
Regin menggeleng. "Haid aku sudah selesai dua hari lalu. Aku laper."
"Kalau ada apa-apa kamu bilang dong, jangan kode-kode gitu. Aku jadi serba salah deh."
"Iya, sayang."
Tidak lama Bayu menepikan mobil di warung nasi goreng pinggir jalan tidak jauh dari gedung bioskop tadi. Keduanya duduk setelah lima belas menit berdiri menunggu meja kosong. Akhir pekan tempat makan selalu ramai pengunjung tidak peduli di tempat makan bagus atau pinggir jalan.
Mereka duduk berhadapan di depan makanan masing-masing, menyantapnya tanpa suara. Bukan satu-dua kali, tapi selalu. Setiap mereka makan, Bayu membisu. Bahkan setiap Regin mengajak Bayu mengobrol, responnya tidak lebih dari oh, ehm, atau mengangguk kecil tanpa melihat kearahnya. Harusnya ini bukan lagi masalah karena mereka telah membahas hal itu sebelumnya. Menurut Bayu, tidak ada yang aneh jika orang jadi bisu ketika mereka makan, itu hal baik daripada tersedak. Bayu tidak mengerti di mana titik masalah yang dipersoalkan Regin.
"Juara rasanya." Ungkap Bayu begitu makanannya habis sambil menidurkan sendok serta garpu di atas piring.
*
Kembali melajutkan perjalanan Regin tak selera memaksa diri membangun percakapan. Suara penyiar radio asal lewat ke telinga, pikirannya mengawang-ngawang andai Dale nyata dan bersama dirinya saat ini, dia berani bertaruh suasananya pasti tidak sesunyi seperti ini. Regin tidak sadar daritadi Bayu mencoba mengajaknya bicara membahas lagu di radio, soal arti lirik lagu, penyanyinya atau penjualan albumnya.
"Masih laper?" Bayu mengelus lengan Regin. Regin tersiap melihat Bayu.
"Apa Sayang?"
Bayu tersentak mendengarnya. "Ih dari tadi ngelamun. Mikirin apa?"
Regin melempar senyum tipis. "Enggak mikir apa-apa." Sahutnya sampai mobil Bayu sampai di depan rumah kos.
Regin buru-buru melepas sabuk pengaman namun Bayu menahannya. Dia menatap Regin dengan cara yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Diantara gelap dan suara mesin Bayu bermaksud mendapatkan sesuatu yang dibicarakan banyak orang, dia mendekatkan wajahnya pada Regin.
"Ehm. Not tonight." Regin menarik mundur wajahnya lalu membuka pitntu mobil.
"Take care, sayang." Ucap Regin sebelum menutup pintu mobil.
Bayu menghempaskan punggungnya ke kursi menyesali inisiatif gila yang bisa saja membuat Regin mungkin berpikir rendah padanya. Dia segera membuka pintu mobil lari mengejar Regin lalu menarik lengannya.
"Aku minta maaf tadi,"
"Iya. Aku masuk duluan." Regin membuka pintu pagar. Bayu mengangguk. Setelah Regin masuk kedalam rumah, Bayu memukul keningnya menyesali inisiatif gilanya sekali lagi.
Akhir minggu berikutnya, mereka kembali ke bioskop. Film yang ditonton minggu ini film horor bercerita soal papan pemanggil hantu.
"Mirip jaelankung." Bisik Bayu.
"Versi barat."
"Ending-nya ketebak nih."
"Agak bosen yah."
"Keluar yuk!" usul Bayu.
Regin tidak menganggap ajakan Bayu serius, tapi kemudian Bayu menaruh popcorn dan minuman yang dipegang Regin ke lubang di pinggir kursi. Mereka keluar mengendap-ngendap dari gelap dan memutuskan masuk ke toko buku, lalu memutari rak novel, komik, lalu menetap sejenak di tengah ruangan yang memajang banyak buku. Buku soal pernikahan menarik Bayu, dia tampak tekun membaca sinopsisnya di bagian belakang.
"Pasangan ideal kamu gimana sih?"
"Hum." Dia menoleh ke arah Regin. "Harus sepaham sama aku dong. Misalnya, soal cara didik anak, menabung. Aku juga mau istri aku nanti enggak perlu kerja. Biar aku yang cari uang."
Regin memainkan bibir, "Kalau kita berjodoh, aku tetap mau kerja."
"Lihat situasinya nanti."
Bayu mengambil buku lainnya, melihat itu Regin pamit bergerak mendekati rak hobi. Dia mengambil buku-buku soal menjahit, seni keramik terakhir melukis. Regin tidak benar-benar membaca semuanya, dia hanya terpukau melihat gambar-gambar di dalamnya, arah matanya cepat lompat dari satu gambar ke gambar lain. Dia juga mengambil buku otomotif yang masih terbalut plastik, potret mobil tua dihalaman depan mengingatkan dia pada foto profil akun Facebook Dale.
Regin langsung mengembalikan buku itu ke rak. Tidak ada ruang untuk mengenang. Semakin lama direnungi, Regin mengerti bahwa hubungan yang dijalaninya bersama Bayu tidak akan berhasil jika dirinya masih terpaku pada Dale. Dia bertekad berhenti membandingkan antara Dale dengan Bayu. Serta berusaha sepenuhnya ada untuk Bayu. Bayu mendekati dirinya, dia melihat buku-buku yang tengah dipegangnya, dengan cepat Regin menaruh kembali buku-buku itu ke tempatnya.
"Bukunya enggak dibeli?"
Regin menggeleng.
"Kenapa?"
"Aku cuma suka gambarnya."
"Oh." Ujar Bayu kemudian dia melangkah menuju rak lain. Setengah jam setelah muter-muter keduanya keluar tanpa membawa apapun. Bayu menuntun Regin ke food court. Seperti biasa, waktu makan senyap dan khidmat. Selesai makan Regin mengajak Bayu duduk didepan kaca besar menghadap langit sore.
"Kenapa kamu masih mau kerja setelah nikah?"
"Masih mau berkarir."
"Kalau kita berjodoh, aku yakin kamu eenggak akan kekurangan."
"Tapi bukan itu intinya."
"Memang karir apa yang masih mau kamu kejar?"
Regin diam sesaat mencari jawabannya. "Belum tahu, tapi yang pasti aku tetap mau kerja dan punya penghasilan sendiri."
"Ya sudah lihat kondisi nanti." Keduanya diam lagi beberapa detik. "Kamu kapan pertama kali pacaran? Terus gimana?"
Regin terkekeh, "Pertanyaan kamu random."
Raga Regin pindah ke masa lalu yang begitu pahit. Dia memang belum pernah menceritakan pada Bayu tentang Dewa, lelaki yang pergi meninggalkan dirinya menjelang ijab qobul karena tanpa pengetahuan banyak orang, Dewa menghamili Perempuan lain. Dia lebih memilih ibu dari anaknya yang merupakan selingkuhan Dewa selama dia menjalani hubungan bersama Regin.
Air muka Bayu berubah cemas mendengar kisah pahit yang dimiliki Regin. Sementara di dalam pikirannya, Regin tengah menebak wajah Bayu pasti akan berubah memaki dirinya andai dia ceritakan soal dunia fantasi dan kisahnya bersama Dale.
"Sad story." Bayu mengenggam tangan Regin.
"But, i'm lucky. Tahu sebelum kita nikah."
"Kamu kapan pacaran?" Regin balik bertanya.
"Aku enggak pernah pacaran."
Regin menatap Bayu heran. "SMA juga enggak?"
"Pernah sekali, tapi itu enggak masuk hitungan serius lah."
"Setelah itu gimana?"
"Lulus SMA aku fokus kuliah dan bertekad ngejar S2. Jadi dosen di kampus top. Sukses dan mapan adalah tujuan aku, setelah itu baru cari calon pasangan hidup."
"Ih boring." Ledek Regin. Bayu melirik Regin lalu diam-diam dia mengelitik pinggang Regin.
_______________________________________________________________________________
Kuy ramaikan Bab ini. Makasih udah baca , vote dan komen.
Lanjut besok yaah
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro