Jendela 15
Sambil menunggu Bayu memesan es kelapa, Regin sengaja duduk disebuah kursi sedikit jauh dari banyak area yang mendapat penerangan lebih. Dari belakang, dia terlihat seperti titik putih yang gagal menerangi sekelilingnya kecuali langit cerah berbintang dan bulan penuh. Dia benci pemandangan indah yang saat tidak gila justru terlihat biasa dan membosankan. The Starry Night, Regin bertanya-tanya jika saja Van Gogh tidak membuatnya dari dalam bilik kamarnya dengan kesendirian, kejujuran pada imajinasi yang tidak peduli batas antara nyata serta imajinasi. Tanpa simbol turbulensi yang mungkin dia belum pernah liat. The Starry Night kemungkinan besar lukisan dengan omong kosong orang sakit jiwa.
Tolong tanya dia, apa selama ini dia pernah benar-benar menginginkan aku
Seseorang menepuk pundak Regin, memutus pembicaraannya dengan langit berbintang. Regin melirik melalui ekor matanya, Bayu sudah duduk disampingnya, menyilangkan kedua kaki yang dia didekap dengan tangan. Suara ombak memecah hening, bukan, lebih tepat canggung. Dalam hati Regin tidak berharap disapa bahkan lebih baik jika sama sekali tidak diganggu. Sementara Bayu, diam menundukkan kepala seperti orang mengheningkan cipta.
"Disini gelap Gin!"
"Kita butuh tempat gelap biar sadar kalau langitnya lagi cerah banget malam ini."
Bayu spontan menaikan wajahnya melihat langit yang Regin maksud.
"Iya, bintangnya juga banyak." Bayu tertawa kecil, matanya menerawang mencari-cari apa hal istimewa apa dari langit biasa yang polanya akan berulang setiap bulan.
Bayu berdehem. "Pemandangan kaya gini, menurut aku malah nuntun perasaan manusia ke titik rentan yang seharusnya enggak perlu dimunculkan."
"Apa salahnya jadi rentan sih, Bay?" Regin tersinggung mendengarnya tapi sekuat tenaga dia sembunyikan melalui intonasi suaranya.
"Hei, kok kamu tersingung."
"Aku enggak apa-apa. Cuma, apa yah?" Perasaannya mulai ingin meledak. "Omongan kamu kaya orang ketakutan jadi rentan?"
Deburan ombak dan suara angin gagal membuat suasana keduanya terasa manis, setelah ucapan terakhir Regin, Bayu langsung diam. Raut wajahnya terlihat panik. Arah matanya bak layangan putus, kemudian tersangkut pada seorang ibu yang membawa dua gelas es kelapa.
"Gin, boleh aku bilang sesuatu?"
"Iya."
"I want you truly come into my life."
Regin tidak terkejut. Hati-hati dia palingkan wajahnya melihat Bayu. Menatap wajah lelaki yang baru saya menyatakan sebuah pernyataan yang dia sudah sangat tahu apa maksudnya.
"Kita sudah dekat, memang masih harus pakai confession segala?"
"Iya dong, Regina. Aku mau kamu benar-benar ada lebih dari seorang teman. Aku cinta kamu Regina." Kedua mata Bayu menatap Regin lebih dalam dari sebelumnya.
Regin menundukan kepalanya sebentar kemudian balas menatap mata Bayu. Lama mereka bertatapan, Bayu tengah terbakar api asmara sementara Regin masih berusaha. Sejak seluruh perasaannya ditumpahkan untuk Dale, tidak ada lagi tempat buat cinta yang lain, selain sebuah tempat untuk mengisi kesepian. Bagaimana dia harus menjawab. Jangankan cinta, secuil getar sayang pun belum ada. Tapi, Bayu adalah satu-satunya sosok nyata yang mengetuk hatinya perlahan dan cukup bersabar. Rasanya, tidak ada alasan menolak.
*
Tidak setiap yang datang akan selalu benar-benar menempati. Mungkin kemarin, ketika akhirnya Regin membuka pintu hatinya, bukan berarti Bayu sudah mengisi, tapi memberi kesempatan. Hubungan mereka telah berusia dua minggu, selama itu pula Regin meminta Bayu agar tidak memberitahu dunia soal moment kebahagiaan mereka, katanya dia tidak ingin membuat siang dan malam cemburu karena Bayu menjadi semesta baru dirinya. Bayu selalu tersenyum, mengangguk ragu mencerma kalimat puitis yang sepertinya memang harus dia amini agar semua tetap berjalan baik meski tidak mengerti esensinya.
Hari-hari berjalan teratur dan lebih mengesankan dari yang Regin duga. Bayu hampir tidak pernah absen mengirimi pesan semangat pagi, ucapan selamat tidur, makan siang, makan malam. Regin merasa mendapatkan lagi moment senang yang cukup bisa membuatnya senyum-senyum sendiri. Dari tidak ada, kemudian tumbuh sekuncup rasa sayang muncul menempati ruang kosong memakan hampa dan kesepian. Meski terang di hatinya tidak seterang ketika bersama Dale tapi, kisah baru ini layak diberi kesempatan.
Seperti Regin, Bayu mengalami hal serupa. Transisi dari kesendirian menjadi kebersamaan mengubah beberapa bagian dirinya. Hatinya terang benderang, cinta tulus duduk di atas cawan berlapis satin. Regin membuatnya merasa menemukan ego seorang lelaki yang bertanggung jawab atas wanitanya. Sebuah peran penting yang diam-diam diidamkan, yang sanggup menaikan harga diri. Dan akan lebih bangga jika dia bisa melakukannya tanpa sembunyi-sembunyi.
Hubungannya bersama Regin membuat Bayu memiliki jadwal baru. Dia setuju menjemput Regin setiap dua kali seminggu dari kantor ke kos meski dengan satu syarat yang sedekit mengada-ada buat Bayu yaitu harus memarkikan mobilnya dan menunggu dari jarak kurang-lebih 150 meter dari kantor Regin. Demi menghormati Regin yang masih belum siap menunjukan hubungan ini ke permukaan, Bayu akhirnya setuju.
Sudah empat kali Bayu mendedikasikan waktu sore miliknya menjeput wanita pujaan. Setiap jam empat sore, Bayu melajukan mobilnya meninggalkan Depok menuju Kuningan, tidak peduli lelah dan bosan karena macet. Setelah sampai di Kuningan dia harus berhenti jauh dari lokasi sebenarnya sesuai permintaan Regin. Disana, di depan warung kecil, Regin selalu tersenyum menyambut kedatangannya. Bayu melepas sabuk pengaman bergegas turun, dia minta maaf sebab kali ini kedatangannya terlambat puluh menit.
Regin tertawa kecil mengatakan tidak ada yang harus dimaafkan. Karena persoalan datang telat karena macet bukanlah hal yang patut dimintai maaf, meski sering bikin kesal, tapi macet di Jakarta adalah kesalahan yang entah bagaimana bisa dimaklumi. Bayu tersenyum lega, lalu membukakan Regin pintu mobil.
"Kamu eenggak harus selalu buka pintu buat aku."
"Biar romantis. Masuk." Pinta Bayu. Intonasi dan suaranya dibuat lembut tidak terkesan terlalu menyuruh. Regin menuruti perkataan Bayu, dia langsung memasang sabuk pengaman dan menghela napas. Setitik warna abu-abu menggantung di hatinya sore itu.
Kuningan-tebet rupanya tidak mulus sekalipun mereka sengaja memutar arah agar bisa naik jalan layang. Belasan menit menunggu, hanya bergerak setengah meter, berkali-kali begitu sampai Regin kesal dan mengumpat.
"Katanya bisa maklum." Sindir Bayu. "Sabar sayang."
"Kesukaanmu sebentar lagi muncul tuh." Bayu sumringah menunjukkan siluet di depan mereka.
"Aku sukanya bintang." Jawab Regin malas sambil menyandarkan kepala di jendela kaca.
"Gimana kalau kita ketemu sahabat kamu, siapa namanya? Oh Cia! Kenalin aku, yah, aku mau bilang sekarang kita pacaran."
"Aku belum bisa sekarang. Lagian dia pasti belum sampai di kos."
"Terus kapan? Aku single, kamu single kenapa kita mesti backstreet?"
"Tunggu waktu yang pas."
"Setiap hari waktu yang pas. Enggak ada yang kamu umpetin dari aku, kan?!"
Ada. Manusia anonymous yang ngaku tinggal di Manhattan.
Lirik lagu Happy Pharel William terdengar nyaring dengan nada seenaknya sendiri begitu Regin masuk ruang TV. Bayu yang juga mendengar suara itu penasaran, Regin cuma tersenyum dan bilang kalau itu suara Cia. Regin kemudian meminta Bayu menunggu di ruang TV, selama masih dibawah jam 9 malam, tamu laki-laki masih diperbolehkan masuk namun tetap dilarang masuk ke kamar oleh pemilik kos khusus perempuan.
Meninggalkan Bayu, Regin melangkah malas mendekati asal suara. Dari dapur, Cia sedang berdiri di depan kompor menunggu mie instantnya matang. Begitu Regin lebih dekat lagi, ternyata Cia in vcall dengan Nathan.
"Lo enggak kerja?" Tanya Regin lalu melambaikan tangannya pada Nathan.
"Cuti lah hari ini."
"Ikut gue sebentar, yuk." Cekatan Regin mematikan kompor lalu merebut ponsel Cia dan melambaikan tangannya sekali lagi pada Nathan. "Nanti kalian sambung lagi, yah. Bye!"
"Regin, apa-apaan sih. Mie gue jadi enggak enak."
"Sebentar. Bayu di depan maksa mau ketemu sama lo."
"Nasabahku, pacarku tersayang." Ledek Cia sambil tertawa langsung melenggang keluar dapur. Sejak Regin cerita ada nasabah gila yang mendadak membanjiri Regin perhatian sampai merasa kehilangan muka di kantor, Cia selalu ingin melihat bentuk dan rupa manusia nyata yang berhasil membuat sahabatnya "sembuh".
Bayu sedang membaca chat dari salah satu grup whatsapp ketika sebuah suara menyapanya dengan intonasi menyenangkan. Bayu melempar senyum meresponnya namun perempuan yang dia yakini sebagai Cia tanpa aba-aba memeluknya meski singkat tapi Bayu tetap gagal menyelamatkan dirinya dari rasa canggung dan aneh. Setelahnya, mereka saling bertukar nama.
"Maen peluk-peluk aja. CCTV tuh." Ucap Regin pelan mengingatkan Cia.
"Oppss."
Dering ponsel Cia membatalkan niatnya berbincang sebentar dengan Bayu, dia menunjukkan layar ponselnya bergantian pada Regin dan Bayu kemudian pamit kembali ke dapur. Sambil berjalan meninggalkan keduanya, suara Cia kembali terdengar.
"Awas CCTV, Gin! Bu kos wacthing you."
Regin maupun Bayu kompak menertawakan kelakuan Cia.
"Emang begitu yah?"
"Belum ada apa-apa yang barusan."
Dering ponsel Bayu berbunyi. Bayu memberi kode pada Regin bahwa dia harus segera menerima telepon yang masuk. Bayu mondar-mandir berjalan di luar membahas pekerjaannya sebagai dosen dengan seseorang. Suaranya terdengar samar ke dalam, dia membahas soal mata kuliah, teori, mahasiswa, dosen lain, kurikulum dan kampus. Regin menghela napas, segelintir rasa bersalah muncul mengetahui jadwal Bayu ternyata sepadat itu dan dia masih minta dijemput.
Bayuberlari kecil menyusul Regin di ruang TV. Mereka menghabiskan membunuh waktudengan menonton reality show,kemudian diganti karena Bayu lebih tertarik melihat berita tanpa banyak obrolanyang tidak juga mengundang getaran seperti yang Regin rasakan bersama Daleketika sama-sama membahas isu dunia. Regin cuma senyum, menjawab singkat iyaatau enggak atau mungkin, setiap Bayu melibatkan Regin mengulas berita yangmereka tonton. Percayalah, Regin merasa menemui jalan buntu agar bisa terkoneksi dengan Bayu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro